ezdoubler

BAB 4: SULING BULAN & HUTAN YANG BERJALAN

Mimpi yang Menjadi Petunjuk

Kiko terbangun di tengah malam dengan dahi berkeringat dingin. Gendang Sayap berdenyut pelan di sampingnya, seperti jantung yang berdetak. Di depannya, Lula sedang memandang bulan purnama—cahayanya membentuk pola aneh di tanah, seperti anak panah yang menunjuk ke arah Pegunungan Kabut Biru.

"Kita harus pergi ke sana," bisik Lula. "Tapi hutan di kaki gunung itu... tidak pernah berada di tempat yang sama dua kali."

Kiko mengeluarkan selembar kulit kayu bertuliskan peta yang ditempelkan di bagian bawah Gendang Sayap—warisan dari ibunya. Tertulis:

"Carilah pohon dengan mata, tapi jangan menatapnya terlalu lama."


Hutan yang Bernafas

Pagi hari, mereka tiba di tepi Hutan Sikambang. Sesuai namanya, hutan ini berpindah seperti kambing yang mengembara. Batang-batang pohonnya berwarna abu-abu kebiruan, dengan akar yang bergerak pelan seperti kaki.

"Jangan bersuara," Lula memperingatkan. "Mereka bisa mendengar niat buruk."

Tapi saat Kiko melangkah masuk—

Krek!

Sebuah ranting patah.

Seketika, seluruh hutan berhenti bergerak.

Dari balik pepohonan, pasangan mata kuning bermunculan—satu, lima, dua belas... seluruh pohon sedang memandang mereka.


Pohon dengan Mata

Seekor rusa putih tiba-tiba muncul, menginjak-injak tanah dengan gelisah.

"Ikuti aku," suaranya terdengar langsung di kepala Kiko. "Sebelum mereka tahu kau membawa Gendang Penipu."

Rusa itu membawa mereka ke sebuah pohon raksasa yang batangnya terbelah, membentuk celah seperti pintu. Di tengahnya, tergantung suling perak yang memancarkan cahaya bulan—Suling Bulan.

Tapi sebelum Kiko menyentuhnya—

"Berhenti!"

Rusa putih itu berubah wujud menjadi lelaki tua dengan janggut akar.

"Aku Penjaga Kedua," katanya. "Suling itu akan memakan memori terindahmu sebagai harga. Kau siap kehilangan sesuatu?"


Pengorbanan yang Tidak Terduga

Lula maju. "Ambil memoriku. Aku sudah setengah roh—tidak banyak yang tersisa."

Tapi Kiko mendorongnya. "Tidak! Aku yang akan membayarnya."

Penjaga itu mengangguk. "Pegang Suling Bulan, dan pikirkan kenangan yang rela kau berikan."

Kiko memejamkan mata—ia memilih kenangan pertama kali ia mendengar nyanyian ibu. Begitu Suling Bulan disentuh, sesuatu yang hangat mengalir keluar dari telinganya.

"Selesai," desis Penjaga.

Kiko membuka mata—ia tidak bisa mengingat melodi ibunya lagi. Tapi yang lebih mengerikan...

Lula mulai menghilang.

"Kiko... kenanganmu tentang ibu adalah satu-satunya hal yang menahanku di dunia ini!"


Para Pemakan Nada Menyerang

Kabut hitam tiba-tiba menyergap dari segala arah. Para Pemakan Nada berbentuk seperti bayangan dengan mulut berbentuk corong, menyedot setiap suara:

  • Kicauan burung menjadi bisu.

  • Gemerisik daun lenyap.

  • Bahkan detak jantung Kiko hampir tak terdengar.

Dalam kepanikan, Kiko meniup Suling Bulan—

Nada yang keluar bukan dari mulutnya, tapi dari kenangan yang hilang.

Suara ibu tiba-tiba menggema di seluruh hutan, memukul mundur para Pemakan Nada.

Penjaga Kedua tersenyum sedih. "Kau lupa, tapi nadanya tetap ada di jiwamu."


Teka-Teki Terakhir

Saat kabut hitam menghilang, Kiko menemukan ukiran baru di Suling Bulan:

"Yang terakhir ada di antara langit dan bumi, di tempat waktu berjalan mundur."

Lula—kini lebih transparan—berbisik lemah: "Lonceng Angin... ada di Menara Awan, tapi untuk mencapainya..."

Dari kejauhan, bedug kuno di Kampung Cahaya tiba-tiba berbunyi sendiri.

Dug... dug... dug...

Tapi kali ini, nadanya terbalik.

(Bersambung...)


Kunci Plot:

  1. Harga yang Harus Dibayar: Setiap alat musik membutuhkan pengorbanan—Gendang Sayap membutuhkan keberanian, Suling Bulan memakan memori, dan Lonceng Angin akan mengambil... waktu.

  2. Lula Semakin Lemah: Ia adalah penjaga sementara—rohnya terikat pada kenangan Kiko tentang ibu.

  3. Waktu Mulai Kacau: Bunyi bedug terbalik adalah tanda Gerbang Mimpi semakin tidak stabil.

31 Mar 2025

0 comments:

Powered by DaysPedia.com
Waktu Saat Ini di Bangkok
65024pm
Sel, 4 Maret
6:32am 11:54 6:27pm
 
Top