Ziarah Kubur (nyekar) dalam Islam
Ziarah Kubur (nyekar) merupakan tradisi yang sudah menjamur di
Indonesia, bahkan dapat dikatakan merupakan sebuah rutinitas yang sudah
sangat umum dilakukan dan intensitasnya akan semakin meningkat di
hari-hari menjelang Lebaran sampai hari setelah lebaran.
Banyak sekali perdebatan mengenai perihal ziarah kubur (nyekar) ini,
sebagian ada yang memperbolehkan dengan alasan menjaga adat turun
temurun dan sebagian lagi melarang karena hal tersebut tidak disebutkan
secara jelas dalam agama islam.
Adapun dalam sebuah hadits Bukhari : 8 dan Muslim : 111 "Daripada Ibn
Abbas, bahwa Nabi Muhammad SAW melalui dua kubur. Lalu Beliau bersabda:
“Sesungguhnya kedua-duanya sedang di azab dan tidaklah kedua-duanya di
azab karena dosa besar. Adapun yang ini di azab karena tidak menjaga
(kebersihan) daripada kencing sedangkan yang lainnya karena suka mengadu
domba.” Lalu Nabi SAW meminta pelepah dan mematahkannya (menjadi) dua
bagian. Kemudian Beliau menancapkan di atas (kubur) ini satu dan di atas
(kubur) ini satu. Kalangan sahabat Nabi bertanya: “Wahai Rasulullah,
mengapa engkau melakukan hal ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan
diringankan azab itu daripada kedua-duanya selama pelepah kurma itu
belum kering.”
Sebagian beranggapan bahwa pelepah kurma atau
bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya,
karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah
selama dalam keadaan basah.
NYEKAR (Tradisi ziarah atau kunjungan ke makam di kalangan masyarakat Muslim Jawa)
Berbeda dengan tradisi ziarah yang ditujukan kepada tokoh-tokoh ulama atau wali yang dianggap keramat, sebagai penghormatan dan upaya mengambil berkah, subjek ziarah dalam nyekar ini umumnya adalah makam leluhur keluarga: kakek-nenek, orang-tua, dan saudara. Nyekar berasal dari kata Jawa sekar yang berarti kembang atau bunga. Dalam praktiknya, memang ziarah ini melibatkan penaburan bunga di atas makam yang dikunjungi. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menyertakan dupa dan kemenyan. Sampai sekarang masih dilestarikan oleh orang jawa khususnya warga NU. Di dalam nyekar, yang pasti dan umum terjadi, adalah (resik) pembersihan makam dan pembacaan himpunan doa atau bagian dari surat Al-Quran, yang pendek-panjangnya, bervariasi satu sama lain. Ini juga membuat waktu yang dibutuhkan dalam nyekar berbeda-beda: dari yang singkat sekitar belasan menit, hingga hitungan jam, bahkan ada yang seharian penuh. Jika mereka yang nyekar ini tidak ada yang bisa membaca doa sendiri --umumnya dalam bahasa Arab-- di pemakaman umum biasanya ada juru kunci atau guru agama yang bisa membantu memimpin dan memandu pembacaan ini. Nyekar bisa dilakukan kapan pun sepanjang tahun. Misal pada waktu tahun pertama dari anggota keluarga yang meninggal, di mana ikatan-ikatan emosional dengan orang yang telah mendahului itu masih sangat kuat. Nyekar juga biasa dilakukan seseorang menjelang pelaksanaan upacara lingkaran hidup seperti perkawinan, di mana ia menjadi semacam permohonan doa restu. Nyekar ke leluhur ini juga umum dilakukan oleh mereka yang ingin memohon doa restu dan kekuatan batin karena menghadapi suatu tugas dan tanggung jawab yang berat, akan bepergian jauh, atau karena ada hajat dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang besar sekali. Tetapi yang sering, terpenting dan terutama, nyekar dilakukan sekitar seminggu sebelum bulan Ramadan tiba atau setelah lebaran, pada minggu pertama Syawal. Ini bisa dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama dengan anggota keluarga lain, baik laki-laki maupun perempuan. Tradisi nyekar sebelum Ramadan ini muncul dari keinginan umat Islam untuk memasuki Bulan Suci dengan keadaan bersih dan penuh “kekuatan”. Mereka ingin segala kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja, dimaafkan oleh teman-teman, saudara-saudara, dan seluruh keluarga agar mereka bisa menjalani puasa dengan lancar, tenang, dan tulus. Permohonan maaf ini juga mereka tujukan pada anggota keluarga dan leluhur mereka yang sudah meninggal sekaligus untuk meringankan beban anggota-anggota keluarga yang sudah wafat itu. Nyekar akan mengingatkan diri mereka bahwa setiap manusia kelak juga akan mengalami kematian. Di beberapa tempat, kegiatan nyekar ini didahului dengan semacam slametan kecil yang diisi dengan pembacaan doa, dzikir-tahlil, atau bagian Quran lainnya dan diakhiri dengan makan bersama. Kenduri ini biasa digelar di rumah, langgar, masjid atau di tempat makam itu sendiri. Karena dilakukan pada bulan Sya’ban atau dalam Bahasa Jawa disebut Sadran, maka sebagian kalangan menyebut praktik ini sebagai nyadran. Ruwah juga dipakai oleh orang Jawa untuk menyebut Sya’ban. Sulit untuk melacak, kapan tradisi nyekar atau nyadran ini muncul. Diyakini bahwa tradisi ini diperkenalkan oleh para wali yang di satu sisi meneruskan tradisi penghormatan kepada roh leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut ajaran Hindu-Budha saat itu dan di sisi lain menyelaraskan dan membingkainya dengan ajaran Islam. Nyekar atau nyadran karena itu bisa dikatakan suatu bentuk dari pribumisasi Islam, akomodasi Islam pada tradisi lokal. Secara teologis, tradisi ini memang masih memiliki hubungan dengan akidah Islam tentang kematian bahwa setelah manusia meninggal, rohnya akan meninggalkan jasad dan akan berada di alam barzakh hingga nanti hari kebangkitan atau hari kiamat. Sedangkan ziarah kubur juga memiliki dasar-dasarnya di dalam Islam sebagaimana termaktub dalam hadits nabi yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, dan at-Tarmizi: “Dahulu aku telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.”
Didalam masyarakat Jawa terdapat banyak kegiatan-kegiatan yang khas. Salah satu kegiatan tersebut adalah nyekar atau ziarah kubur. Nyekar berasal dari kata “sekar”, yaitu bunga. Nyekar dapat dilakukan kapan saja. Namun, pada umumnya nyekar dilakukan tepat dihari orang yang kita ziarahi meninggal, atau saat mempunyai hajat, menyambut datangnya bulan Ramadhan, sebelum atau setelah Idul Fitri, saat bermimpi orang yang meninggal tersebut, dan sebelum berpergian jauh; seperti merantau. Nyekar dilakukan untuk menghormati dan mendoakan orang yang sudah meninggal, sebagai salah satu bentuk bakti kita kepada orang yang sudah meninggal tersebut dan sebagai pengingat bahwa masih ada kehidupan lain setelah di dunia, yaitu akhirat.
Nyekar yang biasa dilakukan adalah dengan menabur bunga. Sebelum pergi ke makam, terlebih dahulu menyiapkan bunga (lebih baik jika ada tujuh rupa), air, dan pendel. Menggunakan bunga, karena untuk memberikan efek wangi pada sekitar makam, air untuk membasahi makam agar tumbuhan yang hidup sekitar makam tidak kekeringan dan keharuman bunga tadi sampai kedalam tanah, dan pendel untuk memberikan kesejukan. Ada juga orang yang membawa sesajen dan membakar menyan dengan ditaburi gula pasir dan dengan dibacakan doa-doa Jawa, yang pada saat ini hanya sesepuh desa yang bisa. Saat membawa bunga campuran tersebut, dilarang menciumi baunya, karena akan mengurangi keharumannya dan merupakan sikap yang tidak hormat. Dianjurkan juga saat berangkat dan pulang tidak pada satu jalur yang sama, hal tersebut dilakukan agar kita bisa mengenal wilayah sekitar dan berani mengambil keputusan yang berbeda. Ketika sampai didepan area makam, langkah pertama ketika masuk adalah menggunakan kaki kanan dan sebaliknya ketika pulang menggunakan kaki kiri, karena niat baik diawali dari kanan dan kiri untuk mengintrospeksi diri. Bagi wanita yang sedang haid dilarang memasuki area makam, karena dalam keadaan tidak suci dan kosong. Takutnya nanti ada hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kemasukan makhluk gaib.
Tradisi berziarah ke makam keluarga atau nyekar, menjadi salah satu tradisi masyarakat Indonesia menjelang bulan Ramadhan. Maka tidak heran, berbagai tempat pemakaman umum dipenuhi warga yang berziarah.
Setiap menjelang bulan Ramadhan, banyak tradisi yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Salah satunya adalah berziarah ke makam keluarga atau nyekar. Selain mendoakan keluarga mereka yang telah tiada, tradisi nyekar juga dimanfaatkan untuk merawat dan membersihkan makam.
“Ziarah ke makam orangtua. Kalau mau menjelang bulan puasa kita kan harus ziarah. Kan banyak yang ziarah ke luar, ke mana ya, ke (makam) para Wali, masak orangtua yang dekat kenapa enggak diziarahi. Yang penting nomorsatukan orangtua dulu. Sudah biasa setiap tahun (ziarah) begini, nanti juga mau lebaran begini juga,” .
Banyaknya warga yang datang untuk berziarah, membuat kunjungan ke tempat pemakaman umum meningkat dua kali lipat. Jika pada hari biasanya tempat pemakaman umum tampak sepi dari peziarah, kini justru padat oleh peziarah
Ziarah makam hanya satu dari sekian banyak tradisi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Selain makam keluarga, sebagian umat muslim ada pula yang berziarah ke makam para Wali dan pemuka agama Islam lainnya.
Ada pula umat muslim yang melakukan tradisi munggahan atau makan bersama untuk menyambut Ramadhan. Berbagai tradisi yang patut dilestarikan tersebut merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia sejak dulu.