KEJAWEN
“Permata” Asli Bumi Nusantara yang Selalu Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan
Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai
Ajaran
kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu
tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya
asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah
benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru
disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina,
memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai
kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri,
dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia
segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan
jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena
dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik
asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image
buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara
memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat),
penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu,
diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran
Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara
menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang
korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili
santrinya, dst.
Tidak
berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa
dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau.
Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali
naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah,
budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era
kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru”
tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa
yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian
dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif
disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan
“local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul
mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah
tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma
agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan,
menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya
istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;
Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat
yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain
bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama
manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami
manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam
agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan
istilah tasawuf.
Takhayul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan
makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya
kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang
Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam
rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe
sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga
mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai
bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat
dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO:
not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng,
sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah
kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus
diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan
dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan
tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap
sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen :
berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara
manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha
Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan
anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari
kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran
kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan
kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah
“kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination
ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah
yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era
Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta
kerajaan.
Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati
Dalam
khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra
yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana
dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral,
yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi
teks.
Pendidikan
moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau
budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau
buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang
melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam
dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh
keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat
yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah
laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian
lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat
menambah jelas pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang
mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda
guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang
berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam
kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan
pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi
telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan
untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.
Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen
Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam
perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena
menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia
lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber
yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih
lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu
menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi
menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat
mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam
lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman
yang mengganggu stabilitas kebangsaan
NAFSU
Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ;
sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang
berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah,
amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem;
adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua
sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang
pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri.
Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan
yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua
kejahatan yg pernah dilakukannya.
Tapa ngeli,
yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni
mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama
air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk
dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka
manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau
keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak
nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.
PAMRIH
Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih
berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois.
Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara
sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak
menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan
menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan
secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu,
pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan
batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan
mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan
kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat
dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi
untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi.
Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak
sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan
dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya.
Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
- Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
- Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
- Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk
menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian
raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama,
sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan
pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena
sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama
(weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan
teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.