Pada
tahun 1906 terjadilah ikrar raja-raja nusantara yang di prakasai oleh
Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama
Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi, Soetomo, Raden Adipati
Tirtokoesoemo (presiden pertama Budi Utomo), Pangeran Ario Noto Dirodjo
dari Keraton Pakualaman. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dan Raden
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam ikrar tersebut ditumbuhkannya rasa
nasionalisme “tanah air (Indonesia) diatas segala-galanya”. Pada saat
itu seluruh raja-raja nusantara menyumbangkan sebagian asset mereka
untuk membantu perjuangan. (Dana Perjuangan). Sebagian dana itu dipakai
untuk biaya perjuangan dan sebagian lagi disimpan di luar negeri.
Dana
perjuangan lebih dikenal dengan Dana Revolusi / Dana Amanah mulai
dihimpun lagi pada masa setelah kemerdekaan, dana revolusi yang dihimpun
berdasar perpu no.19 tahun 1960. Isinya antara lain, mewajibkan semua
perusahaan negara menyetorkan lima persen dari keuntungannya pada
pemerintah bagi Dana Revolusi. Yang disebut perusahaan negara itu,
termasuk pula berbagai perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasikan,
seperti perkebunan-perkebunan besar. Konon berjumlah ratusan juta dolar
tersimpan di luar negeri.
Salah
satu sumber Dana Revolusi terbesar adalah adanya "Perjanjian The Green
Hilton Memorial Agreement Geneva" dibuat dan ditandatangani pada 21
November 1963 di hotel Hilton Geneva oleh Presiden AS John F Kennedy dan
Presiden RI Ir Soekarno dengan saksi tokoh negara Swiss William Vouker.
Perjanjian ini menyusul MoU diantara RI dan AS tiga tahun sebelumnya.
Point penting perjanjian itu; Pemerintahan AS (selaku pihak I) mengakui
50 persen keberadaan emas murni batangan milik RI, yaitu sebanyak 57.150
ton dalam kemasan 17 paket emas dan pemerintah RI (selaku pihak II)
menerima batangan emas itu dalam bentuk biaya sewa penggunaan kolateral
dolar yang diperuntukkan pembangunan keuangan AS.
Dalam
point penting lain pada dokumen perjanjian itu, tercantum klausul yang
memuat perincian; atas penggunaan kolateral tersebut pemerintah AS harus
membayar fee 2,5 persen setiap tahunnya sebagai biaya sewa kepada
Indonesia, mulai berlaku jatuh tempo sejak 21 November 1965 (dua tahun
setelah perjanjian). Account khusus akan dibuat untuk menampung asset
pencairan fee tersebut. Maksudnya, walau point dalam perjanjian tersebut
tanpa mencantumkan klausul pengembalian harta, namun ada butir
pengakuan status koloteral tersebut yang bersifat sewa (leasing). Biaya
yang ditetapkan dalam dalam perjanjian itu sebesar 2,5 persen setiap
tahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya.
Biaya
pembayaran sewa kolateral yang 2,5 persen ini dibayarkan pada sebuah
account khusus atas nama The Heritage Foundation (The HEF) yang
pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas
persetujuan Sri Paus Vatikan. Sedang pelaksanaan operasionalnya
dilakukan Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS).
Kesepakatan ini berlaku dalam dua tahun ke depan sejak ditandatanganinya
perjanjian tersebut, yakni pada 21 November 1965.
Sepenggal
kalimat penting dalam perjanjian tersebut => ”Considering this
statement, which was written andsigned in Novemver, 21th 1963 while the
new certificate was valid in 1965 all the ownership, then the following
total volumes were justobtained.” Perjanjian hitam di atas putih itu
berkepala surat lambang Garuda bertinta emas di bagian atasnya dan
berstempel ’The President of The United State of America’ dan
’Switzerland of Suisse’.
Berbagai
otoritas moneter maupun kaum Monetarist, menilai perjanjian itu sebagai
fondasi kolateral ekonomi perbankan dunia hingga kini. Ada pandangan
khusus para ekonom, AS dapat menjadi negara kaya karena dijamin hartanya
’rakyat Indonesia’, yakni 57.150 ton emas murni milik para raja di
Nusantara ini. Pandangan ini melahirkan opini kalau negara AS memang
berutang banyak pada Indonesia, karena harta itu bukan punya pemerintah
AS dan bukan punya negara Indonesia, melainkan harta raja-rajanya bangsa
Indonesia.
Bagi
Politikus AS sendiri, perjanjian The Green Hilton Agreement merupakan
perjanjian paling tolol yang dilakukan pemerintah AS. Karena dalam
perjanjian itu AS mengakui asset emas bangsa Indonesia. Sejarah ini
berawal ketika 350 tahun Belanda menguasai Jawa dan sebagian besar
Indonesia. Ketika itu para raja dan kalangan bangsawan, khususnya yang
pro atau ’tunduk’ kepada Belanda lebih suka menyimpan harta kekayaannya
dalam bentuk batangan emas di bank sentral milik kerajaan Belanda di
Hindia Belanda, The Javache Bank (cikal bakal Bank Indonesia). Namun
secara diam-diam para bankir The Javasche Bank (atas instruksi
pemerintahnya) memboyong seluruh batangan emas milik para nasabahnya
(para raja-raja dan bangsawan Nusantara) ke negerinya di Netherlands
sana dengan dalih keamanannya akan lebih terjaga kalau disimpan di pusat
kerajaan Belanda saat para nasabah mempertanyakan hal itu setelah
belakangan hari ketahuan.
Waktu
terus berjalan, lalu meletuslah Perang Dunia II di front Eropa, dimana
kala itu wilayah kerajaan Belanda dicaplok pasukan Nazi Jerman. Militer
Hitler dan pasukan SS Nazi-nya memboyong seluruh harta kekayaan Belanda
ke Jerman. Sialnya, semua harta simpanan para raja di Nusantara yang
tersimpan di bank sentral Belanda ikut digondol ke Jerman.
Perang
Dunia II front Eropa berakhir dengan kekalahan Jerman di tangan pasukan
Sekutu yang dipimpin AS. Oleh pasukan AS segenap harta jarahan SS Nazi
pimpinan Adolf Hitler diangkut semua ke daratan AS, tanpa terkecuali
harta milik raja-raja dan bangsawan di Nusantara yang sebelumnya
disimpan pada bank sentral Belanda. Maka dengan modal harta tersebut,
Amerika kembali membangun The Federal Reserve Bank (FED) yang hampir
bangkrut karena dampak Perang Dunia II, oleh ’pemerintahnya’ The FED
ditargetkan menjadi ujung tombak sistem kapitalisme AS dalam menguasai
ekonomi dunia.
Belakangan
kabar ’penjarahan’ emas batangan oleh pasukan AS untuk modal membangun
kembali ekonomi AS yang sempat terpuruk pada Perang Dunia II itu
didengar pula oleh Ir Soekarno selaku Presiden I RI yang langsung
meresponnya lewat jalur rahasia diplomatic untuk memperoleh kembali
harta karun itu dengan mengutus Dr Subandrio, Chaerul saleh dan Yusuf
Muda Dalam walaupun peluang mendapatkan kembali hak sebagai pemilik
harta tersebut sangat kecil. Pihak AS dan beberapa negara Sekutu saat
itu selalu berdalih kalau Perang Dunia masuk dalam kategori Force Majeur
yang artinya tidak ada kewajiban pengembalian harta tersebut oleh pihak
pemenang perang.
Namun
dengan kekuatan diplomasi Bung Karno akhirnya berhasil meyakinkan para
petinggi AS dan Eropa kalau asset harta kekayaan yang diakuisisi Sekutu
berasal dari Indonesia dan milik Rakyat Indonesia. Bung Karno
menyodorkan fakta-fakta yang memastikan para ahli waris dari nasabah The
Javache Bank selaku pemilik harta tersebut masih hidup !!
Nah,
salah satu klausul dalam perjanjian The Green Hilton Agreement tersebut
adalah membagi separoh separoh (50% & 50%) antara RI dan AS-Sekutu
dengan ’bonus belakangan’ satelit Palapa dibagi gratis oleh AS kepada
RI. Artinya, 50 persen (52.150 ton emas murni) dijadikan kolateral untuk
membangun ekonomi AS dan beberapa negara eropa yang baru luluh lantak
dihajar Nazi Jerman, sedang 50 persen lagi dijadikan sebagai kolateral
yang membolehkan bagi siapapun dan negara manapun untuk menggunakan
harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41 tahun dengan biaya
sewa per tahun sebesar 2,5 persen yang harus dibayarkan kepada RI
melalui Ir.Soekarno. Kenapa hanya 2,5 persen ? Karena Bun Karno ingin
menerapkan aturan zakat dalam Islam.
Pembayaran
biaya sewa yang 2,5 persen itu harus dibayarkan pada sebuah account
khusus a/n The Heritage Foundation (The HEF) dengan instrumentnya adalah
lembaga-lembaga otoritas keuangan dunia (IMF, World Bank, The FED dan
The Bank International of Sattlement/BIS). Kalau dihitung sejak 21
November 1965, maka jatuh tempo pembayaran biaya sewa yang harus
dibayarkan kepada RI pada 21 November 2006. Berapa besarnya ? 102,5
persen dari nilai pokok yang banyaknya 57.150 ton emas murni + 1.428,75
ton emas murni = 58.578,75 ton emas murni yang harus dibayarkan para
pengguna dana kolateral milik bangsa Indonesia ini.
Padahal,
terhitung pada 21 November 2010, dana yang tertampung dalam The
Heritage Foundation (The HEF) sudah tidak terhitung nilainya. Jika biaya
sewa 2.5 per tahun ditetapkan dari total jumlah batangan emasnya 57.150
ton, maka selama 45 tahun X 2,5 persen = 112,5 persen atau lebih dari
nilai pokok yang 57.150 ton emas itu, yaitu 64.293,75 ton emas murni
yang harus dibayarkan pemerintah AS kepada RI. Jika harga 1 troy once
emas (31,105 gram emas ) saat ini sekitar 1.500 dolar AS, berapa nilai
sewa kolateral emas sebanyak itu ?? Hitung sendiri aja !!
Mengenai
keberadaan account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan dunia
manapun yang dapat mengakses rekening khusus ini, termasuk lembaga
pajak. Karena keberadaannya yang sangat rahasia. Makanya, selain
negara-negara di Eropa maupun AS yang memanfaatkan rekening The HEF ini,
banyak taipan kelas dunia maupun ’penjahat ekonomi’ kelas paus dan hiu
yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini agar terhindar dari
pajak. Tercatat orang-orang seperti George Soros, Bill Gate, Donald
Trump, Adnan Kasogi, Raja Yordania, Putra Mahkota Saudi Arabia,
bangsawan Turko dan Maroko adalah termasuk orang-orang yang menitipkan
kekayaannya pada rekening khusus tersebut.
Pada
masa Pemerintahan Soeharto hingga Megawati telah diadakan suatu operasi
untuk mengembalikan dana tersebut ke Indonesia. Bahkan para bankir
hitam kelas dunia, CIA dan MOSSAD (agen rahasia Israel) berusaha keras
untuk mendapatkan user account dan PIN The HEF tersebut, termasuk
mencari tahu siapa yang diberi mandat Ir Soekarno terhadap account
khusus itu. Namun usaha puhak-pihak yang mencoba mendapatkan harta
tersebut belum menghasilkan, Ir Soekarno atau Bung Karno tidak pernah
memberikan mandat kepada siapa pun. Artinya pemilik harta rakyat
Indonesia itu tunggal, yakni atas nama Bung Karno sendiri. Sampai saat
ini !!!