Tinjauan Dinamika Global: Geopolitik, Ekonomi, dan Isu Kemanusiaan pada Agustus 2025
Agustus 2025 menandai periode kompleks dalam lanskap global, ditandai oleh krisis kemanusiaan yang memburuk, ketegangan geopolitik yang meningkat, prospek ekonomi yang tidak pasti, serta perkembangan signifikan dalam kebijakan teknologi dan lingkungan. Laporan ini menyajikan analisis komprehensif mengenai dinamika-dinamika ini, menyoroti saling keterkaitan dan implikasinya terhadap stabilitas dan prospek global.
I. Krisis Kemanusiaan dan Konflik Global yang Berkelanjutan
Situasi kemanusiaan di berbagai belahan dunia, terutama di Gaza, terus memburuk, sementara konflik bersenjata tetap menjadi ancaman dominan yang memicu penderitaan dan ketidakstabilan.
A. Situasi Kemanusiaan yang Memburuk di Gaza
Pada awal Agustus 2025, Jalur Gaza menghadapi tragedi kemanusiaan yang mendalam, ditandai oleh kondisi kelaparan yang meluas dan berlanjutnya kekerasan. Laporan PBB menyoroti "garis kelaparan" di Gaza Barat, di mana orang-orang telantar hidup berdesakan di tenda-tenda sempit, menghadapi kondisi seperti kelaparan.1 Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan bahwa "tidak seorang pun boleh dipaksa mempertaruhkan nyawa mereka untuk mencari makanan," namun sejumlah besar orang dilaporkan terus terbunuh dan terluka saat mencari makanan.1
Pejabat Palestina di Gaza melaporkan bahwa serangan Israel pada 1 Agustus 2025 telah menewaskan sedikitnya 17 orang, termasuk tujuh orang yang mencari bantuan di dekat titik distribusi di selatan Khan Younis.2 Para petugas medis juga mengonfirmasi bahwa setidaknya dua warga Palestina lainnya meninggal karena kelaparan dalam 24 jam sebelumnya.2 Bantuan yang masuk ke Gaza sangat tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 2 juta orang.2 Warga Gaza yang kelaparan, seperti Um Mohammed, menggambarkan keputusasaan mereka setelah kembali tanpa hasil dari dapur umum, menyatakan, "Tidak ada air, tidak ada makanan, tidak ada roti. Dan apa yang memaksa kami datang ke sini lebih memalukan dari apa pun. Pada akhirnya, kami kembali tanpa apa-apa".2
Data PBB menunjukkan bahwa setidaknya 1.373 warga Palestina telah terbunuh saat mencoba mengakses makanan sejak Israel melarang PBB dan LSM mendistribusikan bantuan di Gaza, dengan mayoritas kematian ini terjadi di lokasi yang dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung AS dan Israel.1 Meskipun Israel mengumumkan jeda militer harian di Gaza barat pada 27 Juli untuk "meningkatkan respons kemanusiaan," pasukan Israel terus menyerang di sepanjang rute konvoi makanan dan di dekat lokasi bantuan GHF.1
Kondisi ini menunjukkan bahwa kelaparan tidak hanya menjadi konsekuensi dari konflik, tetapi juga dapat dipandang sebagai alat perang, dengan akses terhadap makanan dan bantuan yang secara sistematis terhalang atau menjadi sangat berbahaya. Ini merupakan pelanggaran mendalam terhadap hukum kemanusiaan internasional dan menunjukkan kegagalan kerangka kerja internasional yang ada untuk melindungi warga sipil. Kunjungan utusan Timur Tengah Presiden Trump, Steve Witkoff, dan Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, ke lokasi distribusi bantuan GHF di tengah laporan kematian massal di lokasi tersebut, menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas dan potensi keterlibatan mekanisme bantuan yang didukung AS dalam memperburuk krisis. Hal ini dapat mengikis kepercayaan terhadap upaya bantuan internasional dan memperparah penderitaan.
B. Konflik dan Ketidakstabilan di Berbagai Wilayah
Selain Gaza, konflik dan ketidakstabilan terus melanda wilayah lain, menimbulkan korban sipil dan memperburuk kondisi kemanusiaan. Di Ukraina, gelombang serangan rudal dan drone Rusia pada awal Agustus 2025 telah menewaskan puluhan orang dan melukai banyak lainnya, termasuk wanita hamil dan anak-anak.1 Seorang pejabat senior PBB memperingatkan tentang meningkatnya korban sipil dan memburuknya kondisi kemanusiaan, mendesak kembali ke jalur diplomasi.1 Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan pada 1 Agustus 2025 untuk membahas krisis yang sedang berlangsung ini.1
Di Haiti, kekerasan bersenjata terus merenggut nyawa dan menghancurkan mata pencarian. Lebih dari 1.500 orang tewas antara April dan Juni 2025.1 Insiden di mana dua geng mengambil alih stasiun radio, menyiarkan propaganda, dan kemudian membakar pasar terdekat, menunjukkan bagaimana kekerasan tidak hanya membunuh orang tetapi juga menghancurkan kehidupan mereka.1
Meluasnya konflik di luar wilayah konflik tradisional, seperti yang terlihat di Ukraina dan Haiti, menunjukkan jaringan ketidakstabilan yang kompleks dan saling terkait. Hal ini menimbulkan tantangan signifikan bagi upaya perdamaian global dan respons kemanusiaan. Selain itu, pola kekerasan yang terus-menerus terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil, seperti serangan terhadap jalur bantuan di Gaza dan serangan rudal di Ukraina, menunjukkan erosi perlindungan sipil dan norma-norma internasional dalam zona konflik. Perkembangan ini dapat membentuk preseden berbahaya untuk konflik di masa depan dan mengikis tatanan internasional berbasis aturan yang bertujuan untuk membatasi penderitaan dalam perang.
II. Risiko Global dan Ketegangan Geopolitik
Tahun 2025 ditandai oleh pergeseran signifikan dalam lanskap risiko global, dengan konflik bersenjata dan konfrontasi geoeconomi muncul sebagai ancaman utama.
A. Lanskap Risiko Global yang Bergeser
Laporan Risiko Global 2025 menyoroti perubahan dramatis dalam persepsi risiko. "Konflik bersenjata berbasis negara" (perang proksi, perang saudara, kudeta, terorisme) telah melonjak dari peringkat #8 tahun lalu menjadi risiko #1 yang diperkirakan akan menimbulkan krisis material pada tahun 2025, dipilih oleh hampir seperempat responden survei (23%).3 Konfrontasi geoeconomi (sanksi, tarif, penyaringan investasi) menempati peringkat #3, didorong oleh ketegangan geopolitik, ketidaksetaraan, dan polarisasi masyarakat.3
Risiko peristiwa cuaca ekstrem juga menjadi perhatian utama, dipilih oleh 14% responden, dengan beban perubahan iklim yang semakin nyata setiap tahun.3 Selain itu, misinformasi dan disinformasi (#4) serta polarisasi masyarakat (#5) tetap menjadi risiko utama, yang secara eksplisit dicatat sebagai pendorong risiko-risiko lain, termasuk konflik bersenjata dan peristiwa cuaca ekstrem.3
Kenaikan drastis "konflik bersenjata berbasis negara" ke peringkat teratas dan "konfrontasi geoeconomi" ke posisi ketiga menunjukkan pergeseran mendasar menuju bentuk-bentuk persaingan antarnegara yang lebih terbuka dan mengganggu secara ekonomi. Hal ini menunjukkan dunia di mana peperangan tradisional dan tekanan ekonomi semakin terjalin sebagai alat utama kenegaraan, mengaburkan batas antara persaingan militer dan ekonomi. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan evolusi strategis di mana alat ekonomi (sanksi, tarif) digunakan dengan tujuan yang sama seperti kekuatan militer, secara fundamental membentuk kembali sifat konflik internasional. Paradigma keamanan global bergeser ke arah di mana stabilitas ekonomi secara inheren merupakan masalah keamanan nasional, dan perang ekonomi adalah instrumen utama kekuatan negara.
Selain itu, misinformasi dan disinformasi, bersama dengan polarisasi masyarakat, berada di peringkat tinggi dan secara eksplisit dicatat sebagai penguat risiko-risiko utama lainnya, termasuk konflik dan peristiwa cuaca ekstrem.3 Hal ini menyoroti peran penting lingkungan informasi dalam memperburuk ketidakstabilan global dan menghambat tindakan kolektif. Erosi pemahaman bersama, kepercayaan, dan kohesi sosial, yang dipicu oleh penyebaran informasi palsu yang semakin cepat, merupakan kerentanan mendasar. Kerusakan mendasar dalam lingkungan informasi ini mempersulit penanganan tantangan global yang kompleks, karena merusak konsensus dan tindakan kolektif. Integritas lingkungan informasi adalah risiko meta, yang membuat semua tantangan global lainnya menjadi lebih sulit diatasi dan rentan terhadap eskalasi.
III. Dinamika Kekuatan Global dan Perdagangan yang Berkembang
Tahun 2025 ditandai oleh pergeseran signifikan dalam dinamika kekuatan global, terutama yang didorong oleh rivalitas AS-Tiongkok, tantangan Uni Eropa, dan ancaman proteksionisme yang mengubah arus perdagangan global.
A. Rivalitas AS-Tiongkok yang Semakin Intens: Kompetisi Ekonomi, Teknologi, dan Strategis
Rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok terus menjadi fitur penentu lanskap global pada Agustus 2025, dengan persaingan yang meningkat di seluruh domain ekonomi, teknologi, dan strategis. Menurunnya kerja sama antara kedua negara memperdalam perpecahan global, menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas kemitraan internasional dan ekonomi global.4
Secara ekonomi, AS secara aktif berupaya membatasi pengaruh Tiongkok atas Terusan Panama, menegaskan bahwa kendali Tiongkok atas jalur perdagangan penting tersebut melanggar perjanjian tahun 1977 yang ditandatangani oleh kedua negara.4 Potensi pemerintahan baru AS dapat membawa pendekatan ekonomi yang lebih proteksionis pada tahun 2025, termasuk usulan tarif 60% untuk Tiongkok dan hingga 20% untuk semua mitra dagang, yang akan "mengubah status quo dan mempercepat penataan ulang arus perdagangan global".5 Rivalitas ekonomi yang meningkat ini meningkatkan potensi kebijakan balasan, tarif, pembatasan perdagangan, dan tindakan keras keamanan siber.4
Dalam bidang teknologi, perlombaan untuk dominasi, khususnya dalam Kecerdasan Buatan (AI), semakin intensif.4 Peluncuran model AI yang hemat biaya oleh startup Tiongkok, DeepSeek, menimbulkan kekhawatiran tentang dominasi model AS terkemuka, karena memenangkan perlombaan AI menawarkan keuntungan ekonomi yang signifikan, manfaat keamanan nasional, dan keunggulan luar biasa dalam pengaruh global.4
Ketegangan ini menimbulkan ketidakpastian mendalam atas masa depan kemitraan internasional dan rantai pasokan, secara signifikan mempersulit perencanaan jangka panjang dan strategi global.4 Dekopling atau derisking dari Tiongkok dianggap sebagai risiko geopolitik ekonomi utama oleh hampir sepertiga CEO, yang berpotensi memfragmentasi ekonomi global dan rantai pasokan, memaksa perusahaan untuk sepenuhnya memikirkan kembali strategi sumber, lokasi produksi, dan rencana investasi.4 Pertumbuhan ekonomi yang lesu dan perebutan standar regulasi serta akses pasar untuk AI dan teknologi canggih juga diperkirakan akan terjadi.4 Kekhawatiran tentang sensor dan ancaman keamanan siber meningkat, terutama untuk bisnis di sektor teknologi dan keamanan data.4
Rivalitas AS-Tiongkok bukan sekadar sengketa bilateral, melainkan kekuatan fundamental yang secara aktif mendorong fragmentasi ekonomi global dan rantai pasokan. Usulan tarif dan strategi "dekopling/derisking" menunjukkan langkah kebijakan yang disengaja menjauh dari sistem global yang terintegrasi menuju struktur ekonomi yang lebih regional atau berbasis blok. Ini merupakan tantangan mendasar terhadap prinsip-prinsip globalisasi terbuka, menandakan pergeseran strategis menuju nasionalisme ekonomi dan proteksionisme sebagai paradigma dominan, yang memiliki implikasi mendalam bagi perdagangan dan investasi global.
Selain itu, penekanan pada dominasi AI sebagai masalah "keuntungan ekonomi, manfaat keamanan nasional, dan keunggulan luar biasa dalam pengaruh global" 4 menempatkan AI sebagai medan pertempuran sentral untuk kekuatan global. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan teknologi, khususnya dalam AI, kini sama pentingnya dengan kekuatan militer atau ekonomi tradisional dalam menentukan posisi geopolitik dan pengaruh global di masa depan. AI bukan hanya teknologi lain; itu adalah teknologi strategis yang menentukan keseimbangan kekuatan di masa depan, menjadikan perlombaan AI sebagai fitur sentral persaingan kekuatan besar.
B. Uni Eropa di Persimpangan Jalan: Tekanan Ekonomi, Kekhawatiran Keamanan, dan Divisi Internal
Uni Eropa menghadapi tahun 2025 yang penuh tantangan, menavigasi tekanan ekonomi yang signifikan, pergeseran keamanan yang berkembang, dan dilema kebijakan internal yang kompleks. Harga energi yang tinggi dan tekanan kompetitif dari Tiongkok dan AS menantang industri Eropa, menyebabkan perkiraan pertumbuhan yang rendah antara 0,8% dan 1,6%.5 Potensi tarif AS terhadap Eropa dan pengalihan ekspor Tiongkok yang murah ke wilayah tersebut dapat memperburuk tantangan ini.5
Dalam hal keamanan, pendekatan Amerika yang direvisi terhadap konflik Ukraina akan secara langsung memengaruhi keamanan Eropa, menambah lapisan kompleksitas pada perhitungan strategis UE.5 Kendala fiskal, seperti rem utang Jerman, membatasi ruang gerak dan fleksibilitas kebijakan UE.5 UE menghadapi pilihan sulit: mendamaikan AS dengan pembelian LNG dan peningkatan pengeluaran pertahanan mungkin tidak cukup untuk mencegah tarif, dan peningkatan tarif terhadap Tiongkok mungkin tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari semua negara anggota UE, terutama Jerman.5
Tantangan yang dihadapi UE, yang sebagian besar dibingkai oleh tekanan eksternal dari AS dan Tiongkok (perdagangan, tarif, persaingan energi) dan kendala fiskal internal, menunjukkan bahwa kemampuan UE untuk menentukan arah independen dan secara efektif melindungi kepentingan ekonomi dan keamanannya sangat terbatas. Hal ini menempatkan UE sebagai pemain yang lebih reaktif daripada proaktif dalam dunia multipolar yang berkembang. Pilihan kebijakan UE sangat dipengaruhi, dan berpotensi didikte, oleh kekuatan eksternal, sementara aturan fiskal internal (seperti rem utang Jerman) semakin membatasi kapasitasnya untuk bertindak secara independen. UE, meskipun ukuran ekonominya besar, tampaknya berada dalam posisi otonomi strategis yang berkurang, terjebak di antara rivalitas kekuatan besar dan keterbatasan internal, membuatnya rentan terhadap pergeseran geopolitik eksternal.
Kesulitan dalam mendapatkan dukungan dari semua negara anggota (misalnya, Jerman) untuk tindakan seperti peningkatan tarif terhadap Tiongkok 5 menyoroti divisi internal yang mendasari di dalam UE. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan eksternal memperburuk garis patahan yang ada, berpotensi menghambat respons terpadu terhadap tantangan kritis dan melemahkan kekuatan tawar kolektif blok tersebut. Kurangnya konsensus internal yang mendasar tentang kebijakan perdagangan yang kritis, bahkan di hadapan ancaman eksternal yang dirasakan, menunjukkan bahwa pengambilan keputusan kolektif dan persatuan UE berada di bawah tekanan signifikan, sehingga sulit untuk menampilkan front persatuan dan merespons tekanan eksternal secara efektif. Kemampuan UE untuk bertindak sebagai blok yang kohesif sedang diuji oleh kepentingan nasional yang berbeda, membuatnya rentan terhadap tekanan eksternal dan berpotensi memperlambat responsnya terhadap tantangan global.
C. Pergeseran Arus Perdagangan Global dan Ancaman Proteksionisme
Globalisasi diperkirakan akan menjadi lebih bergejolak dan tidak pasti pada tahun 2025, didorong oleh potensi pergeseran AS menuju proteksionisme dan "penataan ulang" perdagangan global yang dihasilkan. Pemerintahan baru AS dapat mengejar pendekatan ekonomi yang lebih proteksionis pada tahun 2025, dengan usulan tarif 60% untuk Tiongkok dan hingga 20% untuk semua mitra dagang.5 Bahkan implementasi parsial dari tarif ini dapat secara signifikan mengganggu pola perdagangan global, terutama jika mempertimbangkan potensi pembalasan oleh mitra dagang.5
Lingkungan ini mempercepat "penataan ulang" arus perdagangan global dan evolusi rantai pasokan global.5 Perusahaan mungkin terpaksa sepenuhnya memikirkan kembali strategi sumber, lokasi produksi, dan rencana investasi karena potensi fragmentasi ekonomi global dan rantai pasokan.4 Bioteknologi secara eksplisit diidentifikasi sebagai medan pertempuran baru untuk persaingan geopolitik pada tahun 2025, menggarisbawahi kepentingan strategisnya bagi pertumbuhan ekonomi, keamanan nasional, dan kesehatan manusia. Dinamika ini akan membutuhkan perusahaan untuk menjadi gesit dalam pembangunan dan pergerakan rantai nilai mereka dalam lanskap biotek global yang lebih terfragmentasi.5
Pernyataan eksplisit bahwa "globalisasi mungkin menjadi lebih bergejolak dan tidak pasti" 5 dan deskripsi rinci tentang usulan tarif AS serta efek riaknya 5 menunjukkan pembalikan kebijakan yang disengaja atau perlambatan signifikan tren globalisasi. Hal ini menyiratkan masa depan di mana integrasi ekonomi bukan lagi default, melainkan pilihan strategis yang tunduk pada pertimbangan geopolitik dan kepentingan nasional. Usulan tarif AS yang mampu "mengubah status quo dan mempercepat penataan ulang arus perdagangan global" 5 bukan hanya sengketa perdagangan kecil; ini merupakan tantangan mendasar terhadap prinsip perdagangan global terbuka, menunjukkan pergeseran yang disengaja menuju nasionalisme ekonomi dan proteksionisme sebagai paradigma dominan. Era globalisasi yang tidak terbatas telah berakhir, digantikan oleh lingkungan perdagangan yang lebih terfragmentasi dan didorong secara politis di mana kebijakan ekonomi semakin menjadi alat persaingan geopolitik.
Selain itu, keharusan yang jelas bagi perusahaan untuk "gesit dalam pembangunan dan pergerakan rantai nilai mereka" 5 dan untuk "memikirkan kembali strategi sumber, lokasi produksi, dan rencana investasi" 4 menyoroti perubahan strategis wajib bagi bisnis. Ketahanan dan kemampuan beradaptasi, daripada efisiensi murni, akan menjadi yang terpenting dalam menavigasi perdagangan global dan rantai pasokan yang terfragmentasi. Pergeseran geopolitik memaksa evaluasi ulang mendasar terhadap model bisnis global, memprioritaskan ketahanan rantai pasokan dan kemampuan beradaptasi strategis di atas efisiensi biaya tradisional.
IV. Prospek Ekonomi Global: Divergensi dan Ketidakpastian
Institusi keuangan internasional menyajikan gambaran yang beragam dan tidak pasti untuk pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2025, dengan divergensi yang mencolok dalam proyeksi mereka yang mencerminkan asumsi dan interpretasi yang berbeda dari tren saat ini.
A. Proyeksi Pertumbuhan Global: Perbandingan Prakiraan IMF dan Bank Dunia
Menurut Pembaruan Prospek Ekonomi Dunia (WEO) Juli 2025 dari Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan global diproyeksikan sebesar 3,0 persen untuk tahun 2025, yang merupakan revisi naik dari WEO April 2025.6 Proyeksi ini juga menunjukkan pertumbuhan sebesar 3,1 persen pada tahun 2026.6 Revisi naik ini dikaitkan dengan faktor-faktor seperti antisipasi tarif, tingkat tarif efektif yang lebih rendah, kondisi keuangan yang lebih baik, dan ekspansi fiskal di beberapa yurisdiksi utama.6 Meskipun demikian, inflasi global diperkirakan akan menurun, namun inflasi AS diprediksi akan tetap di atas target.6
Sebaliknya, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan global akan melambat menjadi 2,3 persen pada tahun 2025, yang merupakan penurunan signifikan dari perkiraan sebelumnya.7 Pemulihan yang lesu sebesar 2,5 persen diperkirakan terjadi pada tahun 2026-27.7 Penurunan ini dikaitkan dengan kenaikan hambatan perdagangan, ketidakpastian kebijakan yang meningkat, pertumbuhan yang lebih lemah dari perkiraan di ekonomi-ekonomi besar, konflik yang memburuk, dan peristiwa cuaca ekstrem.7
Perbedaan yang mencolok dalam prakiraan pertumbuhan antara IMF dan Bank Dunia mencerminkan narasi ekonomi yang kontras, yang menunjukkan perbedaan mendasar dalam persepsi risiko dan efektivitas kebijakan. Divergensi ini bukan hanya perbedaan numerik; ini menunjukkan bahwa asumsi yang berbeda tentang bagaimana kebijakan akan diterapkan dan bagaimana risiko akan dimitigasi menyebabkan pandangan yang berbeda tentang masa depan ekonomi. Hal ini menggarisbawahi tingkat ketidakpastian yang mendalam dalam prospek ekonomi global.
Selain itu, perbedaan proyeksi ini menyoroti saling keterkaitan antara risiko geopolitik dan kinerja ekonomi. Ketegangan perdagangan, konflik, dan ketidakpastian kebijakan secara langsung menghambat pertumbuhan global yang berkelanjutan. Ketika Bank Dunia secara eksplisit mengaitkan proyeksi pertumbuhan yang lebih rendah dengan "eskalasi pembatasan perdagangan" dan "konflik yang memburuk" 7, hal ini memperjelas bahwa stabilitas ekonomi sangat terikat pada stabilitas geopolitik. Ini berarti bahwa tanpa resolusi terhadap ketegangan geopolitik, upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil akan terus menghadapi hambatan signifikan.
B. Tantangan Ekonomi Utama dan Risiko Penurunan
Prospek ekonomi global pada tahun 2025 terus dibayangi oleh serangkaian tantangan dan risiko penurunan yang signifikan. IMF mencatat bahwa risiko penurunan tetap ada dari potensi tarif yang lebih tinggi, ketidakpastian yang meningkat, dan ketegangan geopolitik.6 Sementara itu, Bank Dunia mengidentifikasi risiko-risiko utama yang dapat menyebabkan pertumbuhan lebih rendah, termasuk eskalasi pembatasan perdagangan, ketidakpastian kebijakan yang terus-menerus, pertumbuhan yang lebih lemah dari perkiraan di ekonomi-ekonomi besar, konflik yang memburuk, dan peristiwa cuaca ekstrem.7
Ancaman yang meluas dari ketidakpastian kebijakan dan fragmentasi perdagangan menjadi perhatian utama. Lingkungan kebijakan yang tidak dapat diprediksi dan hambatan perdagangan menciptakan sistem ekonomi global yang volatil dan kurang efisien. Ketika institusi-institusi besar seperti IMF dan Bank Dunia secara konsisten menyebutkan "ketidakpastian kebijakan" dan "tarif yang lebih tinggi" atau "pembatasan perdagangan" sebagai risiko utama 6, hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian yang berasal dari kebijakan nasional dan proteksionisme perdagangan merupakan ancaman sistemik yang mengganggu kepercayaan dan investasi global.
Selain itu, perubahan iklim dan konflik semakin bertindak sebagai pengganggu ekonomi fundamental. Peristiwa cuaca ekstrem dan konflik yang memburuk tidak lagi hanya masalah lingkungan atau sosial; mereka semakin bertindak sebagai guncangan ekonomi langsung yang menuntut respons kebijakan terintegrasi. Bank Dunia secara eksplisit menyebut "peristiwa cuaca ekstrem" dan "konflik yang memburuk" sebagai risiko penurunan utama 7, yang menunjukkan bahwa dampak fisik dari perubahan iklim dan biaya konflik bersenjata memiliki konsekuensi ekonomi makro yang signifikan. Hal ini memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih holistik yang mengintegrasikan keamanan, lingkungan, dan strategi ekonomi untuk membangun ketahanan global.
V. Perkembangan Kebijakan Teknologi dan Lingkungan
Tahun 2025 menyaksikan perkembangan kebijakan yang signifikan di bidang teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), dan lingkungan, dengan fokus pada implementasi Perjanjian Paris dan aktivitas IPCC.
A. Lanskap Regulasi Kecerdasan Buatan (AI) di AS: Pendekatan Administrasi Trump
Pada 23 Juli 2025, Administrasi Trump merilis "America's AI Action Plan" dan Presiden Trump menandatangani tiga Perintah Eksekutif yang membahas pengembangan AI, pengadaan federal, dan infrastruktur.8 Rencana Aksi AI setebal 25 halaman ini bertujuan untuk memperkuat dominasi AI Amerika melalui deregulasi, promosi sistem AI yang "netral secara ideologis," investasi infrastruktur, dan persaingan internasional.8
Rencana ini diorganisasikan dalam tiga pilar utama:
Mempercepat Inovasi: Pilar ini berfokus pada penghapusan hambatan regulasi dan promosi adopsi AI yang cepat di seluruh lembaga federal dan ekonomi yang lebih luas.8 Ini mengarahkan lembaga federal untuk mengidentifikasi dan menghilangkan aturan yang dapat memperlambat penerapan teknologi AI.8 Ini juga mencakup pembentukan "Pusat Penelitian Tenaga Kerja AI" di bawah Departemen Tenaga Kerja untuk mengevaluasi dampak AI pada pasar tenaga kerja dan mendanai pelatihan ulang cepat bagi individu yang terkena dampak perpindahan pekerjaan terkait AI.8
Membangun Infrastruktur AI Amerika: Pilar ini membahas infrastruktur fisik dan manusia yang diperlukan untuk mendukung pengembangan dan penyebaran AI.8 Ini menekankan pengembangan tenaga kerja untuk peran infrastruktur AI, termasuk program pelatihan untuk teknisi listrik, teknisi HVAC canggih, dan operator pusat data.8 Departemen Tenaga Kerja diarahkan untuk menciptakan inisiatif nasional yang mengidentifikasi pekerjaan prioritas tinggi yang penting untuk infrastruktur AI.8
Memimpin dalam Diplomasi dan Keamanan Internasional AI: Pilar terakhir ini menguraikan strategi global untuk mempromosikan standar AI Amerika dan mengurangi ketergantungan pada teknologi yang bermusuhan.8 Ini mencakup inisiatif federal untuk mengekspor solusi AI "full-stack" ke negara-negara sekutu, meliputi komponen perangkat keras, perangkat lunak, dan keamanan siber.8
Rencana Aksi AI dan Perintah Eksekutif terkait menandakan preferensi kuat untuk regulasi federal yang terpusat dan seragam, serta upaya eksplisit untuk membatasi apa yang oleh Administrasi disebut sebagai jangkauan berlebihan oleh negara bagian dan kota.8 Presiden Trump menekankan perlunya "standar federal akal sehat yang mengesampingkan semua negara bagian" untuk menghindari tantangan operasional yang ditimbulkan oleh kerangka regulasi AI negara bagian yang tambal sulam.8 Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB) diarahkan untuk mempertimbangkan iklim regulasi AI suatu negara bagian saat membuat keputusan pendanaan, yang berpotensi membatasi pendanaan jika rezim regulasi AI negara bagian menghambat efektivitas pendanaan tersebut.8
Salah satu arahan penting adalah revisi Kerangka Kerja Manajemen Risiko AI (RMF) NIST untuk "menghilangkan referensi ke misinformasi, Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI), dan perubahan iklim".8 Meskipun RMF NIST bersifat sukarela, arahan ini konsisten dengan perspektif filosofis Administrasi yang lebih luas tentang DEI.8
Tiga Perintah Eksekutif yang ditandatangani pada 23 Juli 2025 meliputi:
"Mencegah AI Woke dalam Pemerintah Federal": Perintah ini berfokus pada praktik pengadaan AI federal, mewajibkan "Prinsip AI Tidak Bias" yang memprioritaskan "pencarian kebenaran" dan "netralitas ideologis".8
"Mempromosikan Ekspor Tumpukan Teknologi AI Amerika": Perintah ini menetapkan Program Ekspor AI Amerika untuk mendukung penyebaran global teknologi AI asal AS.8
"Mempercepat Perizinan Federal Infrastruktur Pusat Data": Perintah ini menyederhanakan proses lingkungan dan perizinan untuk pusat data AI.8
Pendekatan ini menunjukkan pivot strategis menuju dominasi AI nasional dan deregulasi. Ini adalah strategi nasional yang jelas dan agresif yang memprioritaskan keunggulan kompetitif dan penyebaran cepat di atas pengawasan regulasi yang komprehensif, yang berpotensi membentuk norma AI global. Dengan secara eksplisit mengarahkan penghapusan konsep-konsep seperti DEI, misinformasi, dan perubahan iklim dari kerangka kerja standar seperti NIST AI RMF, Administrasi Trump secara efektif mempolitisasi etika dan tata kelola AI. Ini menunjukkan bahwa konsep "AI tidak bias" adalah konsep yang diperdebatkan dan mencerminkan sikap ideologis tertentu, yang berpotensi memengaruhi pengembangan dan penyebaran AI di luar pengadaan federal, karena perusahaan teknologi AS mungkin menyesuaikan praktik pengembangan mereka secara umum untuk selaras dengan arahan ini.
B. Kebijakan Perubahan Iklim: Perjanjian Paris dan Aktivitas IPCC
Perjanjian Paris, perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim, bertujuan untuk menahan "peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri" dan mengejar upaya "membatasi peningkatan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri".10 Untuk mencapai batas 1,5°C, emisi gas rumah kaca harus mencapai puncaknya paling lambat sebelum tahun 2025 dan menurun 43% pada tahun 2030.10
Implementasi Perjanjian Paris didasarkan pada siklus lima tahun tindakan iklim yang semakin ambisius. Negara-negara berkomunikasi melalui Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) yang menguraikan tindakan untuk mengurangi emisi dan membangun ketahanan.10 Strategi Jangka Panjang (LT-LEDS) juga dianjurkan untuk memberikan visi jangka panjang.10 Perjanjian ini juga menyediakan kerangka kerja untuk dukungan keuangan, teknis, dan peningkatan kapasitas bagi negara-negara yang membutuhkan.10 Kerangka kerja transparansi yang ditingkatkan (ETF) akan memfasilitasi pelaporan transparan tentang tindakan mitigasi dan adaptasi mulai tahun 2024, yang akan berkontribusi pada Global Stocktake untuk menilai kemajuan kolektif.10
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terus menjadi badan ilmiah penting yang mendukung kebijakan iklim. Pada tahun 2025, IPCC memiliki beberapa kegiatan yang sedang berlangsung:
Pertemuan Pakar IPCC tentang Gender, Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusivitas dijadwalkan pada 23 September 2025.11
Penulis IPCC berkumpul di Kenya pada Juli 2025 untuk mengembangkan draf pertama Laporan Khusus tentang Perubahan Iklim dan Kota.11
Kemitraan antara IPCC dan American Geophysical Union (AGU) diumumkan pada Juni 2025 untuk memperluas akses ke publikasi untuk pekerjaan pada Laporan Penilaian Ketujuh.11
Target 1,5°C dan tenggat waktu emisi puncak pada tahun 2025 menggarisbawahi urgensi tindakan drastis yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim. Meskipun ada kerangka kerja kebijakan yang kuat seperti Perjanjian Paris, kesenjangan implementasi global menunjukkan bahwa laju tindakan belum sesuai dengan skala tantangan. Batas waktu 2025 untuk emisi puncak secara kritis menyoroti jendela sempit untuk tindakan yang berarti, dan kegagalan untuk memenuhi target ini akan memiliki konsekuensi yang parah.
Kegiatan IPCC yang sedang berlangsung, termasuk laporan khusus dan persiapan untuk Siklus Penilaian Ketujuh, menunjukkan infrastruktur ilmiah dan kebijakan yang terus berkembang untuk tindakan iklim. Laporan dan aktivitas IPCC yang sedang berlangsung sangat penting untuk menginformasikan kebijakan, meskipun ada potensi resistensi politik atau kepentingan nasional yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas ilmiah terus memberikan dasar bukti yang kuat, bahkan ketika implementasi kebijakan menghadapi hambatan politik dan ekonomi.
VI. Kesimpulan
Agustus 2025 menyoroti lanskap global yang ditandai oleh ketidakpastian yang mendalam dan saling keterkaitan tantangan. Krisis kemanusiaan di Gaza, yang diperparah oleh kelaparan dan hambatan bantuan, mencerminkan erosi norma-norma perlindungan sipil di tengah konflik yang meluas di seluruh dunia, dari Ukraina hingga Haiti. Kondisi ini menunjukkan bahwa kelaparan dapat digunakan sebagai alat perang, dan kegagalan institusi internasional untuk secara efektif melindungi warga sipil mengikis kepercayaan dan memperburuk penderitaan manusia.
Pergeseran risiko global menempatkan konflik bersenjata dan konfrontasi geoeconomi di garis depan, menandakan pergeseran strategis di mana kekuatan militer dan ekonomi semakin terjalin sebagai alat kenegaraan. Fenomena ini diperparah oleh misinformasi dan polarisasi masyarakat, yang secara fundamental merusak kapasitas untuk tindakan kolektif dan konsensus global.
Rivalitas AS-Tiongkok yang semakin intensif, khususnya dalam perlombaan dominasi AI, secara aktif mendorong fragmentasi ekonomi global dan rantai pasokan. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan teknologi, terutama dalam AI, kini sama pentingnya dengan kekuatan militer atau ekonomi tradisional dalam menentukan posisi geopolitik dan pengaruh global di masa depan. Uni Eropa, yang terjebak di antara tekanan ekonomi eksternal dan kendala fiskal internal, menunjukkan otonomi strategis yang berkurang dan kohesi internal yang tegang, yang menghambat kemampuannya untuk merespons secara terpadu terhadap tantangan global. Ancaman proteksionisme yang meluas menandakan berakhirnya globalisasi tanpa batas, memaksa bisnis untuk memikirkan kembali strategi rantai pasokan mereka demi ketahanan daripada efisiensi.
Proyeksi ekonomi global yang berbeda dari IMF dan Bank Dunia menggarisbawahi ketidakpastian yang mendalam, dengan ketegangan geopolitik, hambatan perdagangan, dan ketidakpastian kebijakan yang berfungsi sebagai risiko penurunan utama. Ini menekankan bahwa stabilitas ekonomi sangat terikat pada stabilitas geopolitik, dan bahwa perubahan iklim serta konflik semakin bertindak sebagai guncangan ekonomi langsung.
Terakhir, perkembangan kebijakan teknologi di AS, dengan fokus pada dominasi AI dan deregulasi, menunjukkan pendekatan agresif yang berpotensi membentuk norma AI global, bahkan ketika etika AI dipolitisasi. Sementara itu, kebijakan perubahan iklim menghadapi urgensi yang meningkat, dengan target emisi puncak tahun 2025 yang menuntut tindakan drastis, meskipun ada kesenjangan implementasi. Aktivitas IPCC yang sedang berlangsung terus memberikan dasar ilmiah yang penting, tetapi tantangan politik tetap ada.
Secara keseluruhan, tahun 2025 menunjukkan dunia yang semakin terfragmentasi dan kompetitif, di mana krisis kemanusiaan, ketegangan geopolitik, ketidakpastian ekonomi, dan pergeseran teknologi saling terkait. Respons yang terkoordinasi dan komprehensif sangat penting untuk menavigasi kompleksitas ini dan membangun jalur menuju stabilitas dan pembangunan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.