BAB 2: NYANYIAN YANG MEMBANGKITKAN YANG TIDUR
Kiko tidak menyadari bahwa ia telah memainkan nada terlarang.
Setiap tiupan serulingnya menggetarkan udara seperti air yang dijatuhi batu. Nada-nada itu meliuk-liuk, membentuk tulisan cahaya di udara—tanda-tanda yang mirip dengan ukiran di Bedug Kuno.
"Berhenti, Kiko!"
Pak Cik Mat tiba-tiba menjatuhkan diri dari tangga, wajahnya pucat. Tapi suaranya tenggelam dalam gelombang musik yang kini mengalir sendiri dari seruling itu, seolah alat musik itu memiliki kemauannya sendiri.
Dan kemudian—
Tanah bergerak.
Di ujung Kampung Cahaya, di bawah Pohon Beringin Tua yang akarnya menjalar seperti ular raksasa, sesuatu terbangun.
Pohon yang Bernapas
Kiko berlari ke arah sumber suara gemuruh, seruling masih menempel di bibirnya. Yang ia temukan membuat bulu kuduknya berdiri:
Pohon Beringin itu kini terbuka, seperti kelopak bunga raksasa. Di tengahnya, terlihat sebuah pintu dari kayu yang berdenyut-denyut, seolah hidup.
"Kau telah memanggilku, Penjaga Nada Baru?"
Suara itu bergema dari dalam pohon—dalam, bergaung, seperti gong yang dipukul di dasar gua.
Kiko gemetar. "Aku... aku tidak sengaja!"
"Nada Pembuka tidak pernah ada yang tidak sengaja," jawab suara itu. "Kau membuka Gerbang Mimpi. Sekarang, dengarkan..."
Dengung sayap.
Dari balik pintu pohon, sesuatu yang besar dan berkilauan mulai merayap keluar—seekor kupu-kupu raksasa, sayapnya berpola seperti peta bintang, matanya memancarkan cahaya bulan.
"Aku Penjaga Pertama," desis kupu-kupu itu. "Dan kau telah membangkitkan bahaya."
Rahasia di Balik Bedug Kuno
Pak Cik Mat akhirnya menyusul, napasnya tersengal. Begitu melihat kupu-kupu itu, ia langsung bersujud.
"Kiko, kau tidak tahu apa yang kau lakukan!" teriaknya. "Bedug Kuno bukan sekadar alat penanda waktu—ia adalah penjaga! Selama ini, ia menahan makhluk-makhluk dari Dunia Nada agar tidak masuk ke dunia kita!"
Kupu-kupu itu mengangguk. "Dan kini, kau telah memainkan Lagu Pembuka. Jika kau tidak menyelesaikannya, Gerbang akan tetap terbuka... dan Mereka akan datang."
"Mereka?" tanya Kiko, jantungnya berdebar liar.
"Para Pemakan Nada," bisik kupu-kupu itu. "Makhluk yang menghancurkan dunia dengan keheningan."
Tugas yang Mustahil
Kiko diberi syarat:
Ia harus menemukan tiga alat musik legendaris—
Gendang Sayap (tersembunyi di gua bawah laut)
Suling Bulan (dijaga oleh hutan yang bisa berjalan)
Lonceng Angin (tergantung di langit, di antara awan yang hidup)
Sebelum bulan purnama berikutnya—hanya tersisa 7 hari.
Jika gagal, Gerbang akan terbuka lebar, dan seluruh Kampung Cahaya akan diam selamanya—tidak ada lagi suara, tidak ada lagi musik, tidak ada lagi tawa.
Kejutan di Menit Terakhir
Saat Kiko mengangguk ketakutan, tiba-tiba—
"Aku akan menemanimu."
Suara kecil itu berasal dari dalam seruling.
Dari lubang seruling, sebuah asap biru membentuk sosok kecil: seorang anak perempuan dengan rambut berkilauan seperti senar harpa, mengenakan pakaian dari daun kering.
"Aku Lula," katanya. "Roh penjaga seruling ini. Dan sebenarnya... aku adalah saudara kembarmu."
Kiko jatuh terduduk.
Ibunya bukan sekadar meninggalkan warisan.
Ibunya meninggalkan sebuah misi.
(Bersambung...)
Elemen yang Diperdalam:
Dunia Paralel: Gerbang Mimpi mengarah ke Dunia Nada, tempat segala suara dan musik berasal.
Keluarga yang Terpecah: Lula adalah roh saudari Kiko yang terperangkap dalam seruling—ibu mereka sengaja memisahkan mereka untuk menyelamatkan nyawa Kiko.
Antagonis Misterius: "Para Pemakan Nada" adalah bayangan gelap yang bergerak di kejauhan, mengincar kelemahan Kiko.
0 comments:
Posting Komentar