PETUALANGAN MERDU KIKO KECIL
BAB 1: LANGIT BERWARNA NADA
Subuh di Kampung Cahaya selalu dimulai dengan gemuruh. Bukan gemuruh halilintar atau deru angin, melainkan suara Bedug Kuno yang bergema dari serambi masjid tua. Bunyinya seperti detak jantung bumi—Dug... dug.. dug!—menyusup ke celah-celah rumah panggung, membangunkan ibu-ibu yang mulai menanak nasi, menggugah anak-anak yang mengusap mata, bahkan membisikkan semangat pada ayam-ayam jago yang terlambat berkokok.
Kiko, bocah delapan tahun dengan lusuh di ujung peci songkok hitamnya, sudah berdiri di depan bedug itu. Baju kokonya yang hijau lumut sedikit kusut karena semalam ia bermimpi tentang raksasa yang menari di atas gendang raksasa.
"Bedug ini lebih tua dari kakek buyutku," bisiknya, menatap ukiran misterius dan tanda tahun di badan kayunya—garis-garis seperti peta, simbol matahari dan bulan, serta goresan mirip notasi musik kuno.
Tiba-tiba—
"Kiko! Bantu aku turunkan kotak ini!"
Suara itu berasal dari Pak Cik Mat, lelaki tua berkacamata tebal yang kakinya pincang akibat perang zaman dulu. Ia sedang berdiri di atas tangga goyah, berusaha menggapai kotak kayu berdebu di atas rak gudang.
"Apa isinya, Pak Cik?" tanya Kiko sambil menahan tangga.
"Warisan..." jawab Pak Cik Mat dengan suara serak. "Untukmu."
BAB 1: LANGIT BERWARNA NADA (Lanjutan)
Kiko menelan ludah. Kata "warisan" itu terasa berat, seperti batu yang diikatkan di hatinya. Kotak kayu itu tidak besar, tapi ukiran di permukaannya rumit—garis-garis berkelok seperti aliran sungai, titik-titik yang membentuk rasi bintang, dan di tengahnya, simbol yang membuat jantung Kiko berdegup kencang: sebuah gendang kecil dengan sayap.
"Untukku? Tapi... kenapa?" Kiko membelalak.
Pak Cik Mat tersenyum samar, matanya berkaca-kaca di balik lensa tebal. "Karena kau satu-satunya yang masih mendengar bisikan mereka."
"Bisikan?" Kiko mengernyit.
Dug... dug... dug...
Bedug Kuno bergema lagi, tapi kali ini, Kiko merasakan sesuatu yang berbeda. Suaranya seolah mengandung kata-kata, seperti lagu yang dinyanyikan bumi sendiri.
Pak Cik Mat membuka kotak itu dengan gemetar. Di dalamnya, terbaring sebuah seruling bambu tua, warnanya kekuningan seperti gigi kerbau, dihiasi oleh pita merah yang sudah pudar.
"Ini milik ibumu," ucapnya pelan.
Kiko tercekat. Ibunya—perempuan dengan suara merdu yang selalu menyanyikan lagu-lagu tanpa lirik—telah pergi ketika ia masih balita. Tak ada foto, tak ada surat, hanya kenangan kabur tentang nyanyian yang membuat angin berhenti berhembus.
"Pak Cik... aku tidak bisa main seruling," batah Kiko, tapi tangannya sudah meraih alat musik itu.
Saat jarinya menyentuh seruling, sesuatu ajaib terjadi.
Langit berubah warna.
Warna-warna yang tak pernah ia lihat sebelumnya—ungu seperti senja yang terluka, biru seperti air mata naga, dan emas seperti mimpi yang terlupakan—menari di atas kampung. Dan kemudian...
Suara.
Bukan suara angin, bukan suara manusia, tapi nada-nada hidup, seolah seluruh alam semesta bernyanyi hanya untuknya.
"Kau dengar itu, Pak Cik?!" teriak Kiko.
Tapi Pak Cik Mat hanya menggeleng, matanya penuh duka. "Aku sudah tua, Kiko. Telingaku tak lagi menangkap bahasa langit."
Kiko memandang seruling itu, lalu tanpa berpikir, ia meniupnya.
Dan dunianya berubah selamanya.
(Bersambung...)
Catatan Pengembangan Cerita:
Magical Realism: Dunia Kiko dipenuhi keajaiban halus—musik yang bisa mengubah warna langit, benda-benda tua yang menyimpan memori, dan alam yang "berbicara" melalui nada.
Misteri Keluarga: Seruling adalah kunci untuk mengungkap rahasia ibunya. Di bab-bab selanjutnya, Kiko akan menemukan bahwa ibunya adalah Penjaga Nada, seseorang yang bisa menyembuhkan luka dunia melalui musik.
Konflik Awal: Kiko tidak bisa mengontrol kekuatannya. Nada yang ia mainkan tanpa sengaja membangunkan sesuatu—atau seseorang—yang seharusnya tetap tidur.
0 comments:
Posting Komentar