TRISULA WEDHA
Oleh: Yaman Al Bughury
Prabu Jayabaya adalah orang yang pertama kali mempopulerkan istilah Trisula Wedha. Istilah ini disebutkan beberapa kali dalam ramalannya yang terkenal dengan ramalan Jayabaya. Banyak orang yang tidak mempercayai ramalan itu terutama masyarakat di luar pulau Jawa. Sebagian lagi bersikap apatis namun tidak sedikit juga yang meyakini kebenarannya. Sebagian masyarakat Jawa menjadikan ramalan Jayabaya sebagai rujukan dalam mengamati setiap era perubahan zaman.
Ramalan Jayabaya menggunakan bahasa Jawa yang sangat halus. Tata bahasanya sangat indah menyejukkan sukma. Bila membacanya serasa kita terbuai dalam ayunan. Kalimat yang digunakannya seperti bait-bait puisi mengalir lancar seperti air jernih dan bersih dari telaga suci. Bait-baitnya serasa hidup dan mengantar kita menembus lorong waktu ke masa silam ratusan tahun yang lampau. Banyak menggunakan kausa kata dan kalimat-kalimat simbolik, jenaka dan samar-samar sehingga menimbulkan multitafsir bagi pembacanya. Lebih dari semua itu ramalam Jayabaya seperti sebuah wahyu yang musti diterima oleh pembaca secara apa adanya tanpa koreksi ataupun catatan. Sungguh mengagumkan!.
Jayabaya meramalkan akan munculnya seorang dewa berbadan manusia yang bersenjatakan Trisula Wedha. “Dewa” memiliki konotasi pada tataran dimensi dunia gaib sedang “manusia” memiliki dimensi pada tataran dunia nyata. Itu berarti dewa yang diprediksi oleh Jayabaya akan muncul adalah seorang manusia yang hidup dan beraktifitas seperti manusia pada umumnya. Semua aktivitas yang dilakukan orang itu berdimensi ganda yaitu dimensi di dunia gaib dan dimensi di dunia nyata pada waktu yang bersamaan.
Orang itu adalah SATRIO PININGIT. Satrio (seorang ksatria) dan Piningit (yang menyembunyikan diri) memiliki aktivitas di dunia nyata dan gaib. Sifat dan karakter Satrio Piningit di dunia nyata berbeda dengan sifat dan karakter Satrio Piningit di dunia gaib. Sifat dan karakter itu dilakoni seorang diri. Jayabaya secara terang benderang sudah memisahkan mana sifat dan karakternya di dunia nyata dan mana sifat karakternya di dunia gaib. Identifikasi itu sangat jelas di dalam ramalan tersebut.
Dalam ramalannya, Jayabaya menyebut beberapakali kata Trisula Wedha namun hanya sekali saja Jayabaya memberi perincian makna Trisula Wedha yaitu “benar, lurus, jujur”. Oleh karena ramalan Jayabaya ini seperti sebuah wahyu yang suci maka kita semua, termasuk saya pribadi menerima apa adanya sebagaimana yang disajikan bahwa Trisula Wedha adalah benar, lurus, jujur.
Yang mencengangkan kita semua adalah ketika muncul sebuah tulisan di internet yang berjudul “SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL”. Penulis artikel ini tidak mencantumkan namanya. Penulis artikel itu menafsirkan Trisula Wedha sangat jauh berbeda dengan apa yang kita yakini selama ini. Penulis artikel telah menghancurkan leburkan tata nilai dan meluluh lantakkan keyakinan yang selama ini kita bangun dan pelihara secara turun temurun. Dalam artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL hal. 2 penulis artikel itu mengatakan:
“Satrio Piningit telah muncul dengan membawa senjata “Trisula Wedha”. Senjata Trisula atau tiga sila atau tiga dasar adalah laku peran dia sebagai Imam Mahdi, Yesus Kristus dan Nabi Isa. Itulah yang dimaksud dengan Senjata Trisula”.
Artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL telah berhasil mengguncang dunia maya. Sontak para pembaca mulai ribut. Kebanyakan diantara mereka melontarkan fitnah keji, dengan menggunakan kata-kata kasar dan kotor yang ditujukan kepada penulis artikel. Sebagian pembaca memberi komentar sinis bernada menghasut. Yang membuat kita tercengang adalah banyak juga pembaca yang memberi komentar mendukung kebenaran artikel itu. Lebih mengherankan lagi penulis artikel tidak pernah memberi klarifikasi apalagi memberi pencerahan kepada pembacanya.
Artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL diposting pertama kali pada tanggal 2 Juni 2012 dan saya membacanya awal Nopember 2012. Saat pertama kali membaca artikel itu dada saya terasa sesak dan jantung saya berdenyut kencang. Entah saya tegang mungkin juga gugup. Tentu, tidak dengan serta merta saya menerima artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL sebagai sebuah kebenaran. Karena itu saya melakukan kajian secara husus dan mendalam dengan kekuatan logika saya sembari memohon bantuan “energi murni” Yang Maha Kuasa. Energi murni mutlak dibutuhkan mengingat ramalan Jayabaya memiliki nuansa wahyu yang suci dan terjaga. Konsentrasi kajian pada misteri “TRISULA WEDHA”. Hasil kajian saya tulis dengan harapan semoga membawa manfaat yang positif bagi kita semua. Amin.

Makna dan Kegunaannya
TRISULA WEDHA bermakna ganda yaitu sebagai berikut:
1. Sumber kekuatan
Ramalan menamakannya “Senjata” yang dapat dimaknai sebagai sebuah sarana yang digunakan untuk menunjukkan kekuatan sekaligus sebagai alat perlindungan diri.
2. Pedoman hidup di dunia nyata yang diaplikasikan dalam bentuk laku dan perbuatan sehari-hari yang dapat dimanifestasikan sebagai sifat dan karakter yang menyatu dan melekat pada diri seseorang.

Dimensinya
TRISULA WEDHA memiliki dimensi ganda yaitu:
1. Sebagai sumber kekuatan (senjata) dimensinya di dunia gaib sehingga tidak bisa dilihat secara kasat mata dan tidak bisa diketahui.
2. Sebagai pedoman hidup dimensinya di dunia nyata artinya dapat dilihat dan diketahui.

Pemiliknya
Pemilik TRISULA WEDHA ada dua yaitu:
1. Satrio Piningit dalam kedudukannya sebagai pemimpin
2. Individu-individu atau orang perorang yang selama ini diasuh oleh Satrio Piningit (anak asuhnya) jika orang-orang ini bersatu dalam jumlah kecil disebut kelompok. Jika kelompok-kelompok membentuk persatuan disebut komunitas. Jika komunitas bersatu dalam jumlah yang massif disebut rakyat. Jika rakyat bersatu secara keseluruhan tanpa dibatasi oleh sekat-sekat agama dan batasan wilayah negara maka disebut ummat manusia.

I. Penjelasan Trisula Wedha sebagai Senjata
1. SATRIO PININGIT
Artikel mengatakan “SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL” dengan membawa senjata “Trisula Wedha” yaitu laku perbuatan Satrio Piningit sebagai Imam Mahdi, Yesus Kristus dan Nabi Isa. Seharusnya masalah ini tidak perlu diributkan atau dipermasalahkan mengingat senjata yang digunakan Satrio Piningit dimensinya gaib dan peruntukannya tentunya juga gaib. Dan hal ini jauh sebelumnya sudah diramalkan oleh Jayabaya yaitu:

a. Imam Mahdi
Dalam kitab “Musarar Jayabaya” No. 27 disebutkan: “Kemudian kelak akan datang Tanjung Putih Semune Pudak kesungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amison, redahlah kesengsaraan di bumi, nahkoda ikut kedalam persidangan”
Tanjung putih semune pudak kesungsang artinya: Raja berhati putih namun masih tersembunyi (Satrio Piningit). Lahir di bumi Mekah, maksudnya Satrio Piningit beragama islam dan menguasai Tauhid murni. Kata lahir di Mekah merujuk pada hadits nabi Muhammad bahwa Imam Mahdi lahir di Mekah dan dari garis keturunan nabi Muhammad.
No. 28 kitab “musarar Jayabaya menyebutkan:
“ Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan tanah Jawa. Letaknya dekat dengan gunung perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Maksudnya; Berkedaton di Mekah adalah peran gaib dia sebagai Imam Mahdi. Berkedaton di tanah Jawa adalah Satrio Piningit berdarah Jawa dari garis ibunya. Dicintai pasukannya maksudnya pasukan gaib Imam Mahdi. Memang raja yang terkenal sedunia maksudnya adalah Imam Mahdi sudah terkenal oleh orang-orang islam sedunia.
No. 29 kitab “musarar Jayabaya” menyebutkan:
“Waktu itu ada keadilan, Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh Ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali”.
Maksudnya Satrio Piningit dalam perannya sebagai Imam Mahdi menetapkan keadilan kepada rakyatnya yang juga adalah masyarakat gaib (mahluk halus, syetan dan jin). Waktu itu pemerintahan raja baik sekali maksudnya semua masyarakat gaib tunduk kepada perintah Imam Mahdi. Orangnya tampan senyumnya manis sekali. Maksudnya Satrio Piningit (Imam Mahdi) tampan sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa dan sangat susah untuk tersenyum. Senyumnya manis sekali maksudnya jika Satrio Piningit (Imam Mahdi) sudah memperlihatkan senyumnya maka pertanda masyarakatnya (mahluk halus, syetan dan jin) sudah tertib mengikuti apa yang dia kehendaki. Jika perintahnya tidak dituruti maka dia akan memperlihatkan kemurkaannya. “Orangnya tampan senyumnya manis sekali dimaksudkan sebagai satu upaya untuk menutupi wajahnya yang geram, keras dan susah memperlihatkan senyumnya. Hal itu lumrah bagi seorang raja yang harus memerintah secara adil. Dia harus ditakuti sekaligus harus dicintai oleh rakyat gaibnya.
Dalam “Bait Terakhir Ramalan Jayabaya”, Laku Peran Satrio Piningit sebagai Imam Mahdi ditulis pada ramalan No. 162 baris 6-7 sebagai berikut:
Sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula weda
Yang memimpin perang adalah putera Bathara Indra
bersenjatakan trisula weda
Dan pada bait No. 163 baris pertama dikatakan:
apeparap pangeraning prang
bergelar pangeran perang
Maksudnya; “putera Bathara Indra, bergelar pangeran perang” adalah identitas Imam Mahdi yang dilakoni oleh Satrio Piningit. Merujuk kepada hadits nabi Muhammad SAW; Imam Mahdi akan memimpin perang menghancurkan segala bentuk-bentuk kebatilan dan kemungkaran.

b. Yesus Kristus dan Nabi Isa
Laku dan peran Satrio Piningit sebagai Yesus Kristus dan Nabi Isa sudah digambarkan dan disampaikan dalam ramalan bait No. 159 baris ke 1-7 sbb:
Selet-selete yen mbesuk ngancik tutupin tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah
apengawak manungsa
apasurya padha bethara Kresna
awatak Baladewa
agegaman trisula wedha
selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
didampingi dewa delapan serta membawa perwiranya ratu
akan ada dewa tampil
berbadan manusia
berparas seperti Bathara Kresna
berwatak seperti Baladewa
bersenjata trisula wedha
Maksudnya: “Selambat-lambatnya menjelang tutup tahun” merujuk tanggal 25 desember (sebelum tutup tahun) ummat manusia (nasrani) merayakan perayaan natal yaitu hari lahirnya Yesus Kristus, yang selalu diperingati menjelang tutup tahun. “didampingi dewa delapan serta membawa perwiranya ratu” Kata ratu merujuk pada sosok bunda Maria/Sitti Maryam. “akan ada dewa tampil berbadan manusia” merujuk pada sosok nyata (manusia) Satrio Piningit. “berparas seperti Bathara Kresna. Berwatak seperti Baladewa” merujuk pada peran Satrio Piningit sebagai Yesus Kristus dan Nabi Isa. “Bersenjatakan trisula wedha” merujuk pada persamaan senjata yang dibawa oleh Putera Bathara Indra (Imam Mahdi).
Alqur’an tidak membenarkan rekaan manusia terhadap wajah Yesus Kristus dan Nabi Isa dan membantah watak Yesus Kristus sebagai anak Allah. Alqur’an hanya mengakui Nabi Isa sebagai anak Maryam.
Jauh-jauh hari sebelumnya Jayabaya sudah meramalkan bahwa Satrio Piningit akan melakoni peran dia sebagai Yesus Kristus dan Nabi Isa agar manusia berhenti mempermasalahkannya karena Yesus Kristus dan Nabi Isa adalah menjadi urusan dan rahasia Tuhan. Allah membantah dan mengingkari tuduhan manusia yang mengatakan Allah memiliki anak. Allah tidak memiliki anak. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Untuk mengahiri fitnah keji manusia terhadap Allah maka Allah menciptakan hambaNya. Seorang laki-laki pemberani (Satrio=Ksatria) untuk menyelesaikan permasalahan pelik ini dengan jalan perang. Satrio dalam laku peran dia sebagai Imam Mahdi mendapat perintah untuk memerangi iblis laknatullah beserta seluruh pasukan dan bala tentaranya. Karena iblis yang menyebabkan manusia bermusuh-musuhan, berselisih pendapat dalam memahami sosok Yesus Kristus dan Nabi Isa. Iblis yang memutarbalikkan fakta dan mengajari manusia agar menuduh Allah memiliki anak yaitu Yesus Kristus. KeMaha Sucian Allah dinodai oleh dusta iblis. Satrio Piningit ditugaskan untuk membersihkan noda itu. Allah menghendaki seluruh manusia tunduk dan mengakui Allah sebagai Tuhan. Tuhan yang sendiri. Tuhan yang tidak memiliki anak. Tuhan yang tidak diperanakkan. Tuhan yang tidak memiliki sekutu atau mitra dalam kedudukan Dia sebagai Tuhan Semesta Alam. Satrio Piningit diperintahkan mempersatukan seluruh agama-agama baik agama langit maupun agama bumi.
Jayabaya dalam ramalan bait No. 164 baris ke 3 dan bait 167 baris ke 9:
mumpuni sakabehing laku
ngerti garise siji-sijining umat
menguasai seluruh ajaran (ngelmu)
mengerti garis hidup setiap umat
Allah memberikan ilmu-Nya kepada Satrio Piningit dalam laku peran dia sebagai Imam Mahdi agar memenangi semua peperangan yang dia hadapi. Ilmu sakti yang Allah berikan kepada Sang Pangeran Perang adalah ilmu yang belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya.
Jayabaya menyebut dalam ramalan bait No. 162 baris ke 10 sebagai berikut:
sakti mandraguna tanpa aji-aji
sakti mandraguna tanpa azimat
Selain tanpa azimat juga tanpa mantra-mantra tanpa bacaan dan doa-doa. Dialah ksatria (satrio) yang bergelar pangeran perang.
Dari hasil kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL yang menyebut trisula wedha adalah “Imam Mahdi, Yesus Kristus dan Nabi Isa” dapat dibenarkan karena sudah sesuai dengan ramalan Jayabaya.
Sebutan putera Bathara Indra merujuk pada Imam Mahdi. Berparas seperti Bathara Kresna dan berwatak seperti Baladewa merujuk pada Yesus Kristus dan Nabi Isa.
Artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL ditulis oleh Satrio Piningit yang sejati karena sebahagian besar materi tulisannya adalah history penulisnya sendiri. Dapat dibenarkan jika penulisnya tidak menunjukkan identitasnya mengingat pesan-pesan yang disampaikan semuanya berada pada tataran dimensi gaib, bukan untuk kita manusia yang nyata ini. Tapi penulisnya hanya sekedar ingin memberi tahu kita bahwa SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL. Dia berada di sekitar kita.

2. INDIVIDU ATAU ORANG PERORANG
Jayabaya sudah meramalkan keadaan masyarakat Jawa (Indonesia) yang dikuasai nafsu dunia dan nafsu syetan yang menyebabkan kehancuran di segala bidang kehidupan baik perorangan (individu) keluarga di rumah tangga, masyarakat dan pemerintahan. Penggambaran ini dapat dibaca sendiri pada bait 140 sampai dengan 158. Penulis tidak menguraikan karena bukan menjadi pokok kajian.
Dalam ramalan Jayabaya bait 162 baris ke 6 – 10 sebagai berikut:
sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula wedha
momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala
sakti mandraguna tanpa aji-aji
yang memimpin adalah putera Bathara Indra
bersenjatakan trisula wedha
para asuhannya menjadi perwira perang
jika berperang tanpa pasukan
sakti mandraguna tanpa azimat
Penjelasannya: Pesan yang disampaikan sangat jelas bahwa Satrio Piningit memiliki anak asuh. Anak asuhnya dianggap sebagai anaknya sendiri sedang anak asuhnya itu menganggap Satrio Piningit adalah bapak sendiri. Tidak ada kekhawatiran sedikitpun akan terjadinya penghianatan selama berlangsungnya perang mengingat hubungan mereka itu layaknya sebagai anak kandung sendiri dengan bapak kandung. Karena itu anak-anak asuhnya semua dijadikan sebagai perwira perang. Satrio Piningit adalah panglima perangnya (pangeran perang). Anak asuhnya juga menjadikan trisula wedha sebagai sumber kekuatannya. Satrio Piningit menurunkan kekuatannya kepada anak asuhnya tanpa diketahui oleh anak asuhnya itu. Medan peperangan adalah medan gaib (tidak diketahui) oleh seluruh ummat manusia.
Bait 166 baris ke 8-9 sebagai berikut:
tan karsa sinuyudan wong sak tanah jawa
nanging inung pilih-pilih sapa
tidak mau dihormati orang setanah jawa
tetapi hanya memilih beberapa saja
Penjelasannya: Dalam kitab musarar Jayabaya No. 28 sudah disebutkan “kedatonnya dua di Mekah dan tanah Jawa”. Posisi Mekah berada di Timur tengah. “Tidak mau dihormati orang setanah jawa tetapi hanya memilih beberapa saja”. Kata beberapa artinya lebih dari satu orang. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tanah jawa terdiri atas Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kemungkinan anak asuhnya satu orang berasal dari Jawa Timur, dan satu orang berasal dari Jawa Tengah. Untuk menarik garis ke posisi kedatonnya di Mekah yang berada pada kelompok negara-negara di Timur Tengah. Jawa Barat patut dikesampingkan karena tidak relevan dengan kitab musarar Jayabaya.
Bait 171 baris ke 9 – 13 sebagai berikut:
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbul ratu tanpa makutha
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktu anda
memakai lambang ratu tanpa mahkota
Penjelasannya: “ada manusia yang bisa bertemu” maksudnya manusia itu adalah anak asuh Satrio Piningit sendiri. “tapi ada manusia yang belum saatnya” maksudnya adalah orang-orang diluar anak asuhnya saat ini. “jangan iri dan kecewa. Itu bukan waktu anda” maksudnya akan ada juga waktu orang-orang (diluar anak asuhnya) yang dapat bertemu dia. “memakai lambang ratu tanpa mahkota” maksudnya perwira perang Satrio Piningit yang tidak diketahui orang (tanpa mahkota).
Satrio Piningit memiliki beberapa orang anak asuh. Entah berapa orang jumlahnya. Orang-orang (individu-individu) bersatu dalam satu kelompok “persaudaraan”. Mereka semua memiliki derajat yang sama sebagai perwira perang. Mereka memiliki sumber kekuatan/persenjataan yang sama yaitu “trisula wedha” pemberian bapak asuhnya.
Selama masih dalam status perang Satrio Piningit tidak mungkin bisa diketemukan karena dia dikelilingi oleh para perwira-perwira perangnya. Jika perang telah usai dan kemenangan di pihak Satrio Piningit itu berarti kemenangan dipihak orang banyak (rakyat). Saat itulah Satrio Piningit diketahui orang dan tentu saja semua anak asuhnya itu bisa juga kita ketahui.
Dipertegas kembali bahwa perang yang dilakoni oleh Satrio Piningit (pangeran perang / panglima perang) dengan para anak asuhnya (perwira perang) adalah perang di dunia gaib. Kita semua tidak tahu. Hanya mereka saja yang tahu perang macam apa yang mereka alami. Biarlah semua itu menjadi urusan mereka sendiri. Mereka hanya menjalani suratan takdirnya dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Untuk membenarkan bahwa perang itu berlangsung di dunia gaib, maka Jayabaya dengan indah menuliskan ramalannya bait 162 baris ke 9 dan bait 173 baris 1-2 sbb:
perange tanpa bala
Jika berperang tanpa pasukan
nglurung tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina orang lain.
Jayabaya sudah meramalkan perang di dunia gaib ini. Jika berperang tanpa pasukan. Menyerang tanpa pasukan maksudnya tidak ada pasukan yang membantunya. Anak asuh Satrio Piningit tidak bisa dikatakan sebagai pasukan karena Jayabaya sudah menempatkan mereka sebagai perwira perang. Artinya perwira perang dan panglima perang satu kesatuan yang menjadi satu sebagai anak dan bapaknya. Mungkin bapak akan berkata pada anaknya “kamu adalah aku tapi aku bukan kamu” maksudnya kamu berperang bersama aku berarti kita satu tapi kamu perwira perang dan aku panglima perangnya”. Tidak akan mungkin terjadi penghianatan di antara mereka. Lawan mereka adalah Iblis Laknatullah. “bila menang tak menghina yang lain”. Siapa yang mau dihina ? Tidak dihina juga memang iblis sudah hina.
Semua manusia mengetahui iblis ada meski tidak dilihat. Manusia juga tahu bahwa iblis menyesatkan manusia dari jalan yang lurus agar menemaninya di neraka. Satrio Piningit menulis artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL tujuannya agar manusia juga tahu bahwa dia sudah ada (muncul) meski tidak dilihat. Dia ditugaskan oleh Tuhan untuk melawan iblis agar manusia berjalan di atas jalan yang lurus. Jalan yang dikehendaki Allah. Apakah ada sesuatu yang salah ? Mungkin saja ada manusia yang tidak suka atau membenci artikel itu tapi bukan berarti artikel itu salah. Manusialah yang tidak faham. Manusialah yang memiliki kesombongan. Manusialah yang salah karena telah melakukan perbuatan yang melampaui batas. Iblis yang berbisik di hati manusia untuk menolak kebenaran artikel itu. Iblis menjadikan manusia sebagai tempat berlindung dari serangan Satrio Piningit. Orang Bali menyebutnya sebagai “perang puputan” yang artinya perang habis-habisan.

II. Penjelasan Trisula Wedha Sebagai Pedoman Hidup
1. SATRIO PININGIT
Pada bait 168 baris ke 4 – 8 sebagai berikut:
mung angan delake trisula
landheping trisula pucuk
gegawe pati utawa utang nyawa
sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan
sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda
hanya berpedoman trisula
ujung trisulanya sangat tajam
membawa maut atau utang nyawa
yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain
yang dikiri kanan menolak pencurian dan kejahatan
Penjelasannya: Dalam wujudnya sebagai manusia nyata Satrio Piningit menjadikan trisula wedha sebagai pedoman dalam menjalani hidup dan kehidupannya sehari-hari. Pedoman hidup trisula wedha terpatri dalam sanubarinya, berurat berakar di jiwanya dan tumbuh subur di dalam darahnya sehingga membentuk karakter utama Satrio Piningit yaitu:
1. Tidak akan merugikan orang lain
2. Tidak akan mencuri
3. Tidak akan berbuat kejahatan
Ketiga karakter utama Satrio Piningit tersebut adalah aturan moral yang dia terapkan sendiri dalam dirinya. Aturan moral yang didasari oleh trisula wedha.Tiga karakter utama itu adalah inti Kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada nabi Musa as. untuk bani Israil akan tetapi bani Israil tidak mematuhinya. Ketiga aturan moral di atas sesuai dengan batasan hukum positif yang berlaku di negara Republik Indonesia. Karena itu, bisa juga dikatakan Satrio Piningit mewakili bani Israil dalam mengimani Taurat (Torah). Andaikan orang Israil menjalankan hukum taurat sebagaimana yang dikehendaki Allah, mungkin saja mereka tidak memperlakukan orang-orang Palestina di luar batas-batas kemanusian.
Ramalan bait 159 baris terakhir sbb:
Utang wirang nyawer wirang
Hutang malu dibayar malu.
Mungkin dapat dimaknai bahwa perlakuan orang-orang Israil, keturunan bani Israil, keturunan Yakub bin Ishak bin Abraham (Ibrahim) membuat malu karena tidak menjalankan kitab taurat yang pernah diberikan kepadanya. Siapakah yang merasa dipermalukan dengan ulah bani Israil yang tidak mau menjalankan hukum-hukum Allah sebagaimana yang terdapat di kitab taurat?.
Ramalan bait 173 baris ke 8-9.
hi ya iku momongane kaki Sabdopalon
sing wis adu wirang nanging kondhang
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur.
“itulah asuhannya Sabdopalon” maksudnya Satrio Piningit diasuh (anak asuh) Sabdopalon. “yang sudah menanggung malu” maksudnya Sabdopalon merasa malu dengan ulah bani Israil yang tidak mau mematuhi kitab suci Taurat. “tetapi termahsyur” maksudnya: “Sabdopalon adalah nama lain dari nabi Hidir alaihissalam. Nabi Hidir as sebagaimana kita ketahui sudah termahsyur namanya. Nabi Hidir as adalah guru nabi Musa as. Dia yang mengasuh (membimbing) nabi Musa as. Bani Israil adalah ummat Musa as. Oleh karena bani Israil tidak mematuhi nabi Musa as dengan menjalankan hukum-hukum Taurat maka sebagai guru tentu saja nabi Hidir merasa malu kepada Tuhannya. Nabi Hidir (Sabdopalon) merasa malu dianggap tidak berhasil membimbing nabi Musa as.
Untuk membayar rasa malunya maka Sabdopalon (nabi Hidir as) mengasuh (membimbing) Satrio Piningit agar menaati pedoman “Trisula wedha” yang merupakan inti ajaran Taurat (hukum-hukum Tuhan). Dengan demikian maka Satrio Piningit dapat juga dikatakan telah menggenapkan bani Israil. Yang mendiami negara Israil sekarang ini bukan bani Israil yang dimaksudkan dalam ayat suci Alqur’an.

2. Individu-Individu atau Orang per Orang atau Rakyat
Pada bait 164 baris ke 7 – 9 sebagai berikut:
kinen ambantu manungso jawa padha asesanti trisula wedha
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
membantu manusia jawa berpedoman pada trisula wedha
tajamnya tritunggal nan suci
benar, lurus, jujur
Satrio Piningit harus membantu masyarakat jawa (Indonesia) menjadikan trisula wedha sebagai pedoman hidup dalam menjalani hidup dan kehidupannya sehari-hari. Masyarakat Jawa (Indonesia) melakukan tindakan yang salah, perbuatan yang menyimpang dan banyak berdusta. Semua itu disebabkan karena pengaruh Iblis.

Kuatnya pengaruh iblis terhadap manusia Jawa (Indonesia) sudah diramalkan oleh Jayabaya sebagaimana bait 118 (bahasa Jawa dan artinya) sbb:

rawa dadi bera = rawa menjadi rata
iblis anjalma manungsa = iblis menyerupai manusia
iblis mendhilis = iblis merajalela
manungsa sara = manusia sengsara
jaran doyan sambel = kuda suka makan sambel
kreta arodha papat setugel = kereta roda empat menjadi separuh (setengah)
wong bener thenger-thenger = orang benar tidak bisa berbuat apa-apa
bejane sing lali = untungnya yang lupa
bejane sing eling = untungnya yang ingat
nanging isih beja sing waspadha = tetapi masih beruntung yang waspada

Penjelasan maknanya :
• “Rawa menjadi rata” dapat dimaknai sebagai: banyaknya manusia sehingga rawa/sawah menjadi rata karena ditimbun kemudian diratakan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal (rumah). Pengusaha property / developer / pengembang perumahan berlomba-lomba membangun rumah akan tetapi kebutuhan rumah tidak pernah cukup. Penduduk Indonesia sekarang berjumlah 230 juta jiwa menempati urutan ke- 4 dunia tingkat kepadatan penduduknya. Dalam 5-6 tahun ke depan mungkin sudah bisa menembus angka seperempat milyard manusia.

• “Iblis menyerupai manusia. Iblis merajalela. Manusia sengsara”. Maknanya dapat dijelaskan sebagai sebuah keadaan dimana manusia sudah melakoni sifat-sifat iblis secara sadar. Banyaknya manusia yang hilir mudik, penuh kesibukan tanpa mengenal waktu, dianggap sebagai merajalelanya iblis. Manusia sengsara; manusia berlomba-lomba mengejar dunia dengan penuh nafsu meski ahirnya hanya fatamorgana karena apa yang didapatkan tidak membuat manusia merasa tenang dan bahagia. Manusia selalu resah dan gelisah sendiri, susah tidur karena iblis selalu berbisik, iblis selalu memupuk rasa khawatir dan sakwasangka buruk di dada manusia. Akal, logika berfikir manusia sengaja ditutup agar iblis mudah menguasai manusia dan menjalankan secara sadar apapun yang diajarkan dan dikehendaki iblis. Iblis menyerupai manusia sudah diramalkan oleh Jayabaya. Keadaan tersebut digambarkan sebagaimana ramalannya baris ke 12-37 sbb:

Akeh janji ora ditetepi = banyak janji tidak ditepati
keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe = banyak orang berani melanggar sumpah sendiri
Manungsa padha seneng nyalah = orang-orang saling lempar kesalahan
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi = tak peduli akan hukum Hyang Widhi
Barang jahat diangkat-angkat = yang jahat dijunjung-junjung
Barang suci dibenci = yang suci (justru) dibenci
Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit = banyak orang hanya mementingkan uang
Lali kamanungsan = lupa jati kemanusiaan
Lali kabecikan = lupa hikmah kebaikan
Lali sanak lali kadang = lupa sanak lupa saudara
Akeh bapa lali anak = banyak ayah lupa anak
Akeh anak wani nglawan ibu = banyak anak berani melawan ibu
Nantang bapa = menantang ayah
Sedulur padha cidra = saudara dan saudara saling khianat
Kulawarga padha curiga = keluarga saling curiga
Kanca dadi mungsuh = kawan menjadi lawan
Akeh manungsa lali asale = banyak orang lupa asal-usul
Ukuman Ratu ora adil = hukuman raja tidak adil
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil = banyak pejabat jahat dan ganjil
Akeh kelakuan sing ganjil = banyak ulah-tabiat ganjil
Wong apik-apik padha kapencil = orang yang baik justru tersisih
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin = banyak orang kerja halal justru merasa malu
Luwih utama ngapusi = lebih mengutamakan menipu
Wegah nyambut gawe = malas untuk bekerja
Kepingin urip mewah = inginnya hidup mewah
Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka = melepas nafsu angkara murka, memupuk  durhaka
• “Kuda makan sambel. Kereta roda empat menjadi separuh / setengah”. Maknanya dapat diuraikan: kuda makan sambel dapat dimaknai sebagai kendaraan mobil yang membutuhkan (makan) bahan bakar minyak (BBM) seperti bensin dan solar. Kereta roda empat menjadi separuh / setengah dapat dimaknai sebagai sepeda motor yang juga digambarkan sebagai “kuda makan sambel” karena bagaimanapun motor juga membutuhkan BBM (sambel).

Sekarang ini banyak sekali mobil dan motor. Jalan-jalan yang dulunya lengang sekarang sudah dipadati oleh kendaraan mobil dan motor. Terjadi kemacetan panjang dimana-mana. Mobil dan motor adalah sarana manusia berkendara untuk menunjang aktivitas mereka. Mobil dan motor dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai status sosial seseorang.

• “Orang benar tidak bisa berbuat apa-apa”. Orang benar dapat dimaknai sebagai orang-orang ahli agama (ustadz, kiyai, ulama, pendeta, pastor, biksu, suhu dsb termasuk orang yang berbudi). Mereka tidak bisa berbuat apa-apa melihat kondisi masyarakat yang tidak jelas arahnya. Keadaan ini sudah dijabarkan oleh Jayabaya sebagaimana ramalannya baris ke 175-184.
akeh wong mendem donga = banyak orang mabuk doa
kana-kene rebutan unggul = dimana-mana berebut menang
angkara murka ngombro-ombro = angkara murka menjadi-jadi
agama ditantang = agama ditantang
akeh wong angkara murka = banyak orang angkara murka
nggedhekake duraka = membesar-besarkan durhaka
ukum agama dilanggar = hukum agama dilanggar
prikamanungsan di-iles-iles = prikemanusiaan diinjak-injak
kasusilan ditinggal = tata susila diabaikan
akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi = banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.

• “Untungnya yang lupa. Untungnya yang ingat”. Dapat dimaknai sebagai satu bentuk keadaan / kondisi psikologi masyarakat dalam mencari kebenaran karena orang-orang “benar” sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak lagi didengar oleh rakyat. Tidak ada lagi tokoh atau orang “benar” baik tokoh masyarakat maupun pejabat pemerintah yang bisa didengar perkataanya apalagi untuk dipanuti / ditaati. Orang yang lupa adalah orang-orang yang memaksakan kehendaknya dengan jalan “demonstrasi”. Jayabaya menuliskannya pada baris ke 149-156 sbb:

Angkara murka saya ndadi = angkara murka semakin menjadi
Kana-kene saya bingung = di sana-sini makin bingung
Pedagang akeh alangane = pedagang banyak rintangan
Akeh buruh nantang juragan = banyak buruh melawan majikan
Juragan dadi umpan = majikan menjadi umpan
Sing suwarane seru oleh pengaruh = yang bersuara tinggi mendapat pengaruh
Wong pinter diingar-ingar = si pandai direcoki
Wong ala diuja = si jahat dimanjakan

“Banyak buruh melawan majikan” maknanya demonstrasi-demonstrasi buruh yang marak sekarang ini menuntut upah tinggi, jaminan sosial, jaminan hidup dsb. “Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh” maknanya para pendemo-pendemo yang bergerak dalam jumlah banyak. “si jahat dimanjakan” maknanya semua keinginan para pendemo akan dipenuhi oleh pemerintah. Para pendemo disebut sebagai si jahat, karena mereka melakukan demonstrasi dengan penuh nafsu amarah, arogan, memaksa dan tidak mau menghiraukan kepentingan masyarakat lain dengan cara menutup dan menguasai jalan. “Untungnya yang ingat” dapat dimaknai sebagai orang-orang yang tidak terlibat atau melibatkan diri dalam demonstrasi-demonstrasi apapun untuk menyampaikan tuntutannya. Jika tidak ada tuntutan berarti tidak melarutkan diri dalam satu permasalahan apapun.

• “tetapi masih beruntung yang waspada” dapat dimaknai sebagai keadaan orang-orang yang mewaspadai tanda-tanda kemungkinan-kemungkinan munculnya kebenaran ramalan Jayabaya.

“KEWASPADAAN” merupakan sikap yang bijaksana dan cerdas dalam menentukan posisi kita di tengah-tengah kondisi masyarakat yang cenderung mengedepankan ego dan nafsu belaka. Dengan bersikap “waspada” kita akan dapat membaca tanda-tanda zaman, mengamati tingkah laku manusia yang menyimpang dari nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan. Dengan bersikap “waspada” kita dapat merenungkan bahwa ajaran agama bukan lagi sebuah solusi yang tepat untuk menjawab keadaan masyarakat yang penuh dengan kebathilan. Dengan bersikap “waspada” kita dapat memikirkan dengan akal fikiran dan logika bahwa di saat-saat seperti inilah “trisula wedha” bisa dianggap sebagai satu-satunya alternatif untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Trisula wedha adalah inti dari ajaran semua agama yang selalu mengajarkan “kebaikan” kepada penganutnya.

“WASPADA” termasuk sikap kita untuk mewaspadai artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL. Memang, artikel itu tidak mengatakan bagaimana Satrio Piningit mempersatukan ummat manusia untuk tunduk kepada satu Tuhan karena tugas kitalah untuk menyimpulkan sendiri dengan melakukan kajian sebelum menolak kebenarannya. Hanya dengan sikap waspada dan kehati-hatian saja kita dapat menemukan setitik cahaya kebenaran di tengah keadaan yang gelap gulita.

Pedoman hidup trisula wedha mulai diterapkan Satrio Piningit secara ketat dan disiplin di kalangan anak asuhnya. Bagi yang tidak menaati pedoman hidup trisula wedha ini (benar, lurus, jujur) akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Dari anak asuhnya kelak trisula wedha akan berkembang secara massif dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Jawa (Indonesia) dan ummat manusia pada umumnya. Semua ini bisa tercapai manakala Satrio Piningit sudah berhasil memenangi perang melawan musuhnya yaitu iblis Laknatullah oleh karena iblis yang menjadi penghalang utama dijadikannya trisula wedha tersebut sebagai pedoman hidup manusia.

Jika anda berfikir benar, berkata benar, melakukan perbuatan yang benar dan berfikir jujur, berkata jujur dan melakukan perbuatan yang jujur maka anda sudah berada di jalan yang lurus.

Dalam artikel SATRIO PININGIT TELAH MUNCUL disebutkan bahwa Satrio Piningit tidak menjalankan syiar islam, Satrio Piningit tidak berpihak ke agama apapun. Satrio Piningit akan mempersatukan seluruh ummat manusia untuk tunduk pada satu Tuhan, mengikuti nabi Ibrahim, seorang yang hanif. Untuk menjadi hanif patrikan di dalam sanubari “tritunggal nan suci” yaitu “benar, lurus, jujur”. Biarkan “tritunggal nan suci” berurat-berakar di jiwamu. Biarkan “tritunggal nan suci” tumbuh subur di darahmu. Tajamnya “tritunggal nan suci” akan menerangi jalanmu dan menyelamatkan manusia dalam meniti jalan yang lurus. Titian sirathol mustaqim.

Pedoman hidup trisula wedha (benar, lurus, jujur) adalah inti ajaran alqur’an. Benar, lurus, jujur sesungguhnya tiga akan tetapi satu “tritunggal nan suci” yaitu “Jalan yang lurus (siratal mustaqim)” atau “tauhid murni” kepada Allah. Oleh karena ramalan Jayabaya (trisula wedha) relevan dengan inti ajaran alqur’an maka kami mengatakannya sebagai “wahyu suci yang terjaga”.

Demikianlah kajian ini kami tuliskan semoga bisa mencerahkan dan membuka cakrawala berfikir kita semua terutama kepada para ksatria pencari kebenaran.
Ditulis pada tanggal 12-12-2012.
BENAR LURUS JUJUR. 2

0 comments:

Luncurkan toko Anda hanya dalam 4 detik dengan 
 
Top