Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut: Kronologi, Klaim, & Potensi Konflik Batas Wilayah
Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang secara administratif memindahkan empat pulau tak berpenghuni dari wilayah Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi Aceh) ke Kabupaten Tapanuli Tengah (Provinsi Sumatera Utara) telah memicu polemik nasional. Keputusan ini sontak menimbulkan gelombang protes keras dari Pemerintah Provinsi Aceh dan masyarakatnya, yang merasa klaim historis dan yuridis mereka diabaikan. Sengketa ini bukan sekadar persoalan batas administratif, melainkan memunculkan kembali sensitivitas sejarah, otonomi daerah, dan potensi ketegangan di wilayah yang pernah dilanda konflik panjang.
Latar Belakang dan Profil Pulau Sengketa
Empat pulau yang menjadi inti sengketa adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil), dan Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar). Keempatnya tidak berpenghuni, namun memiliki nilai strategis dan historis bagi klaim kedua provinsi.
Pulau Panjang: Luas sekitar 47,8 hektare, terletak 2,4 kilometer dari daratan utama Kabupaten Tapanuli Tengah. Klaim Aceh didukung keberadaan Tugu Selamat Datang, tugu koordinat (2012), rumah singgah, musholla (2012), dan dermaga (2015) yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil.
Pulau Lipan (semula Pulau Malelo): Luas hanya sekitar 0,38 hektare, berjarak 1,5 kilometer dari Tapanuli Tengah. Pulau ini sebagian besar telah tenggelam akibat naiknya permukaan air laut dan dinilai tidak lagi memenuhi kriteria sebagai pulau menurut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) karena tidak muncul saat pasang laut tertinggi.
Pulau Mangkir Ketek (semula Pulau Rangit Kecil): Luas 6,15 hektare, berjarak sekitar 1,2 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah. Klaim Aceh diperkuat dengan Tugu "Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam" yang dibangun pada 2008, serta prasasti tambahan pada 2018.
Pulau Mangkir Gadang (semula Pulau Rangit Besar): Luas 8,16 hektare, berjarak sekitar 1,9 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah. Di pulau ini hanya terdapat tugu batas wilayah yang dibangun oleh Pemerintah Aceh.
Kedua belah pihak, Aceh dan Sumatera Utara, sama-sama mengklaim pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Sengketa ini juga bersinggungan dengan Wilayah Kerja (WK) Migas Offshore West Aceh (OSWA) yang berada di bawah kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), meskipun Kepala BPMA Nasri Djalal menyatakan keempat pulau itu tidak termasuk dalam cakupan WK OSWA dan potensi migasnya masih memerlukan survei lebih lanjut.
Kronologi Sengketa: Sebuah Sejarah Panjang
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan bahwa sengketa ini memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan disebut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sudah ada sejak tahun 1928. Kronologi versi Kemendagri sebagai berikut:
1965: Dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965, yang menjadi salah satu dasar klaim historis Aceh atas kepemilikan tanah di pulau-pulau tersebut.
1992: Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara menandatangani Peta Kesepakatan yang disaksikan oleh Mendagri. Menurut Pemprov Aceh, peta ini mengindikasikan keempat pulau masuk wilayah Aceh.
2008: Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri dari berbagai kementerian/lembaga melakukan verifikasi pulau-pulau di Indonesia. Dalam proses ini, Sumatera Utara melaporkan keempat pulau sengketa sebagai bagian dari wilayahnya, sementara Aceh tidak. Pemkab Aceh Singkil sendiri membangun Tugu Selamat Datang di Pulau Mangkir Ketek sebagai klaim kepemilikan.
2009: Gubernur dari kedua provinsi memberikan konfirmasi atas jumlah pulau di wilayah masing-masing. Kemendagri mengklaim bahwa koordinat yang diberikan Aceh pada saat itu keliru dan merujuk ke Pulau Banyak, bukan keempat pulau sengketa. Sementara itu, Pemprov Aceh mencatat adanya perubahan nama pulau (seperti Pulau Mangkir Besar dari Rangit Besar, Pulau Lipan dari Malelo) disertai perubahan koordinat.
2012: Berdasarkan konfirmasi dari kedua gubernur serta pelaporan ke PBB, Kemendagri menetapkan status empat pulau tersebut sebagai wilayah Sumatera Utara.
2017: Kemendagri kembali menetapkan empat pulau masuk Sumatera Utara setelah melakukan analisis spasial.
2020: Rapat lintas kementerian kembali menetapkan keempat pulau sebagai wilayah Sumatera Utara.
Februari 2022: Pembahasan bersama antara kedua pemerintah provinsi mengenai empat pulau ini dilakukan, namun tidak menghasilkan keputusan. Keesokan harinya, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 yang memperbarui data kewilayahan, kembali menetapkan empat pulau masuk Sumatera Utara. Keputusan ini disomasi oleh Gubernur Aceh, yang kemudian disikapi pemerintah pusat dengan menyepakati survei lapangan pada Mei-Juni 2022.
2025: Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 secara resmi diterbitkan, menetapkan keempat pulau masuk wilayah administrasi Tapanuli Tengah, Sumut, dan memicu polemik yang ada saat ini.
Mendagri Tito Karnavian menegaskan bahwa penyelesaian batas wilayah sangat penting untuk kepastian hukum, penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), tata ruang, dan perencanaan pembangunan, serta untuk menghindari masalah administrasi dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ia juga menyebutkan bahwa batas darat telah diteliti oleh BIG, TNI AL, dan Topografi AD, dan hasilnya menjadi dasar keputusan pemerintah pusat, yang diklaim telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Namun, batas laut masih belum menemui titik temu, sehingga kewenangan pengambilan keputusan diserahkan kepada pemerintah pusat.
Argumen dan Klaim Para Pihak
Polemik ini menampilkan perbedaan landasan argumen yang signifikan dari masing-masing pihak:
Pemerintah Aceh dan Masyarakat Lokal:
Pemerintah Aceh, di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf, secara tegas menyatakan bahwa keempat pulau tersebut adalah milik Aceh sejak dahulu kala, dengan alasan, bukti, dan data yang kuat. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menekankan komitmen untuk terus memperjuangkan pengembalian status administratif pulau-pulau tersebut ke Aceh Singkil. Bukti-bukti yang dipegang Aceh meliputi:
Bukti Historis: Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965 (1965) yang menjadi dasar klaim kepemilikan tanah oleh warga Aceh.
Kesepakatan Antar-Gubernur: Peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan Mendagri pada tahun 1992, yang menurut Aceh, menunjukkan garis batas laut yang mengindikasikan keempat pulau masuk wilayah Aceh.
Infrastruktur Fisik: Pembangunan tugu selamat datang, tugu koordinat, rumah singgah, musholla (2012), dan dermaga (2015) oleh Pemkab Aceh Singkil di Pulau Panjang, serta tugu dan prasasti di Pulau Mangkir Ketek dan Mangkir Gadang.
Dukungan Kemenko Polhukam: Pada tahun 2022, rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang difasilitasi Kemenko Polhukam umumnya menyimpulkan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh berdasarkan dokumen dan hasil survei.
Kesaksian Warga: Bekas nelayan Yardi (57) mengklaim pernah membuat tapal batas dan gapura di Pulau Panjang dan Mangkir Gadang. Teuku Rusli Hasan, ahli waris Teuku Raja Udah, juga mengeklaim kepemilikan keluarga atas pulau-pulau tersebut berdasarkan surat keputusan tahun 1965.
Pemerintah Pusat (Kemendagri):
Kemendagri berpegang pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang menunjukkan bahwa Sumatera Utara secara konsisten mendaftarkan keempat pulau, sementara Aceh tidak pada verifikasi awal. Mereka juga berpatokan pada analisis spasial dan kedekatan geografis pulau-pulau tersebut dengan garis pantai Tapanuli Tengah. Tito Karnavian menegaskan bahwa proses ini sudah panjang dan melibatkan banyak pihak, serta menyebut bahwa keputusan Kemendagri telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (meskipun hal ini disomasi oleh Aceh).
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara:
Gubernur Sumatera Utara Bobby Afif Nasution menegaskan bahwa perubahan status administratif ini adalah keputusan pemerintah pusat, bukan kebijakan Pemprov Sumut. Ia menyatakan bahwa provinsi tidak memiliki wewenang untuk menyerahkan atau mengambil wilayah. Bobby menyerukan masyarakat untuk tidak terprovokasi dan menjaga keharmonisan antar warga Aceh dan Sumut. Ia juga menyatakan kesiapan Pemprov Sumut untuk membahas ulang polemik ini, namun menekankan bahwa keputusan akhir ada di tangan pemerintah pusat. Menariknya, Bobby juga menyampaikan keinginan untuk berkolaborasi dengan Aceh dalam mengelola potensi sumber daya alam (termasuk migas) dan pariwisata di sekitar pulau-pulau tersebut.
Potensi Konflik dan Implikasi
Keputusan Kemendagri ini telah memicu kekhawatiran akan potensi konflik dan implikasi yang lebih luas, terutama mengingat sejarah Aceh sebagai wilayah bekas konflik.
Pemicu Konflik Baru: Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Humam Hamid, memperingatkan bahwa pendekatan legalistik tanpa dialog yang sensitif dapat memicu konflik baru, mengambil pelajaran dari Catalonia atau Mindanao. Ia menekankan bahwa Aceh memiliki identitas historis yang kuat dan pengalaman relasi timpang dengan pusat.
Erosi Kepercayaan: Legislator Muslim Ayub (DPR RI) menyatakan keputusan ini dapat "membuka luka lama" dan merusak perdamaian yang telah terbangun pasca-MoU Helsinki. Ia khawatir keputusan ini akan membuat masyarakat Aceh semakin marah.
"Adu Domba": Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, merasa keputusan ini seperti "mengadu domba" antara Aceh dan Sumatera Utara, mengancam keutuhan perdamaian dan NKRI, terutama karena banyak warga kedua provinsi yang bermukim di wilayah masing-masing. Bagi masyarakat Aceh, ini adalah pengabaian terhadap martabat dan komitmen politik pasca-damai.
Usulan dan Jalan Keluar
Berbagai pihak telah mengemukakan usulan solusi untuk mengatasi polemik ini secara bijaksana:
Dialog dan Verifikasi Bersama: Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menyarankan pembentukan tim verifikasi bersama yang melibatkan kedua provinsi, tokoh masyarakat lokal, dan pemerintah pusat untuk meninjau ulang semua bukti secara transparan. Ia juga mengusulkan pengelolaan bersama pulau-pulau tersebut dan agar tidak ada eksplorasi sumber daya alam sampai ada keputusan bersama.
Intervensi Pimpinan Nasional: Humam Hamid meyakini Presiden Prabowo Subianto perlu turun tangan untuk mengkaji ulang keputusan Mendagri, mempertimbangkan sensitivitas Aceh dan hubungan baik Prabowo dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Ia juga menyarankan konsultasi dengan tokoh perdamaian seperti mantan Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla.
Pengembalian Status atau Pengelolaan Bersama: Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menyarankan agar pemerintah mengembalikan status pulau ke Aceh untuk meredam ketegangan, atau menjajaki opsi pengelolaan bersama potensi sumber daya alam. Ia juga mengkritik pernyataan Kemendagri yang terkesan "arogan" dengan mempersilakan masalah ke meja hijau.
Regulasi Komprehensif: Pemerhati pemerintahan daerah, Armand Suparman, menyoroti kurangnya aturan yang jelas dalam menangani sengketa klaim antar daerah. Ia mengusulkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang kuat dan melibatkan lintas sektor untuk menangani sengketa batas wilayah secara komprehensif, termasuk darat dan laut, untuk menghindari masalah di kemudian hari.
Kesimpulan
Polemik sengketa empat pulau tak berpenghuni antara Aceh dan Sumatera Utara adalah cerminan kompleksitas dalam penegasan batas wilayah di Indonesia, terutama ketika bersentuhan dengan sejarah, identitas lokal, dan otonomi khusus. Keputusan Kemendagri, meskipun didasarkan pada proses verifikasi nasional, telah memicu reaksi kuat dari Aceh yang merasa hak dan martabatnya diabaikan.
Penyelesaian sengketa ini memerlukan pendekatan yang lebih dari sekadar legalistik-administratif. Dialog terbuka, verifikasi ulang yang transparan dengan melibatkan semua pihak (termasuk masyarakat lokal), serta pertimbangan mendalam terhadap konteks historis dan sosiologis Aceh, adalah kunci untuk mencapai solusi yang adil dan langgeng. Intervensi pimpinan nasional dan pembentukan regulasi yang komprehensif untuk sengketa antar-daerah juga akan sangat krusial. Demi menjaga keutuhan dan perdamaian, semua pihak perlu mengedepankan musyawarah mufakat dan menghindari langkah-langkah yang dapat membangkitkan kembali memori konflik.
Tag: #SengketaPulau #Aceh #SumateraUtara #BatasWilayah #Kemendagri #KonflikAceh #PulauPanjang #PulauLipan #PulauMangkir #OtonomiKhusus
0 comments:
Posting Komentar