Sabtu

Makalah Ilmiah - Analisis Filosofis Tri Darma Mangkunegara I: Dari Doktrin Perang ke Relevansi Kepemimpinan Kontemporer

 

Analisis Filosofis Tri Darma Mangkunegara I: Dari Doktrin Perang ke Relevansi Kepemimpinan Kontemporer

 

Abstrak

Falsafah kepemimpinan Jawa merupakan khazanah kearifan lokal yang kaya akan nilai-nilai etis dan pragmatis. Salah satu yang paling signifikan namun sering kali disederhanakan adalah Tri Darma, yang dicetuskan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) pada abad ke-18. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif Falsafah Tri Darma, tidak hanya sebagai artefak historis, tetapi sebagai sebuah sistem kepemimpinan yang dinamis. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi literatur, makalah ini mengkaji tiga pilar utama Tri Darma: Rumangsa Melu Handarbeni (rasa ikut memiliki), Wajib Melu Hangrungkebi (kewajiban ikut membela), dan Mulat Sarira Hangrasa Wani (keberanian mawas diri), serta etos solidaritas absolut yang menyertainya, Tiji Tibeh (mati satu mati semua, sejahtera satu sejahtera semua). Analisis dilakukan dengan menempatkan Tri Darma dalam konteks historis kelahirannya yang penuh konflik, serta melakukan analisis komparatif dengan kerangka filosofis lain seperti Hasta Brata, Kepemimpinan Pelayan (Servant Leadership), dan etika Konfusianisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tri Darma adalah sebuah doktrin kepemimpinan berbasis kinerja yang lahir dari kebutuhan pragmatis di medan perang, berfungsi sebagai kontrak sosial timbal balik yang menyeimbangkan paternalisme dengan akuntabilitas. Meskipun menawarkan prinsip-prinsip universal yang relevan untuk organisasi modern—seperti kepemilikan psikologis dan akuntabilitas pemimpin—penerapannya juga mengandung risiko, terutama terkait potensi "bapakisme" yang dapat menghambat budaya kritik. Makalah ini menyimpulkan bahwa relevansi Tri Darma di era kontemporer bergantung pada kemampuan untuk mengadaptasi esensi filosofisnya sambil melepaskan kekakuan struktural historisnya.

Kata Kunci: Tri Darma, Kepemimpinan Jawa, Mangkunegara I, Paternalisme, Hasta Brata, Servant Leadership, Etika Kepemimpinan.

 

1. Pendahuluan

Kajian mengenai kepemimpinan sering kali didominasi oleh model-model Barat, padahal kearifan lokal dari berbagai budaya menawarkan perspektif yang kaya dan relevan. Di antara khazanah budaya Nusantara, falsafah kepemimpinan Jawa menempati posisi unik, dengan ajaran-ajaran yang mengakar pada pandangan dunia kosmologis, etis, dan pragmatis. Salah satu ajaran yang paling berpengaruh adalah Tri Darma, sebuah doktrin yang digagas oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara I, atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, pada pertengahan abad ke-18. 1

Berbeda dengan banyak filsafat yang lahir dari kontemplasi di masa damai, Tri Darma ditempa dalam panasnya api peperangan dan pergolakan politik. Ia lahir sebagai respons langsung terhadap ancaman eksistensial dan kebutuhan untuk membangun sebuah entitas politik baru, Praja Mangkunegaran, dari nol. 2 Falsafah ini bukan sekadar kumpulan nasihat moral, melainkan sebuah sistem operasional yang dirancang untuk membangun loyalitas absolut, menanamkan rasa kepemilikan kolektif, dan memastikan kelangsungan hidup sebuah komunitas melalui ikatan tanggung jawab timbal balik.

Meskipun prinsip-prinsipnya, seperti Mulat Sarira Hangrasa Wani, telah diadopsi sebagai moto resmi Kota Surakarta, pemahaman yang komprehensif mengenai Tri Darma sebagai sebuah sistem yang terintegrasi masih terbatas. 1 Sering kali, ia dibahas secara terpisah dari konteks historisnya yang brutal atau dari etos solidaritas absolut

Tiji Tibeh yang memberinya nyawa.

Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk melakukan analisis filosofis yang mendalam terhadap Tri Darma. Penelitian ini akan mengupas: (1) Konteks historis yang melahirkan falsafah ini; (2) Tiga pilar fundamental Tri Darma dan hubungannya dengan etos Tiji Tibeh; (3) Posisi Tri Darma dalam lanskap pemikiran Jawa melalui perbandingan dengan ajaran Hasta Brata; dan (4) Relevansi serta tantangan penerapannya dalam konteks kepemimpinan modern melalui dialog dengan teori Servant Leadership dan etika Konfusianisme. Dengan demikian, makalah ini berupaya menyajikan Tri Darma bukan sebagai peninggalan masa lalu, melainkan sebagai sebuah kerangka kerja kepemimpinan yang dinamis dan relevan untuk dikaji di era kontemporer.

 

2. Kerangka Teoretis dan Kajian Pustaka

Untuk memahami Tri Darma secara utuh, perlu untuk menempatkannya dalam dialog dengan beberapa konsep kepemimpinan kunci, baik yang berasal dari tradisi Jawa maupun dari luar.

2.1. Paternalisme dalam Budaya Kepemimpinan Jawa

Kepemimpinan dalam budaya Jawa secara tradisional bersifat paternalistik, di mana hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin dianalogikan seperti hubungan seorang ayah (bapak) dengan anak-anaknya (anak buah). 3 Dalam model ini, pemimpin diharapkan untuk

ngayomi (melindungi), membimbing, dan menjadi teladan (panutan). 4 Sebagai imbalannya, pengikut diharapkan menunjukkan loyalitas, hormat, dan kepatuhan. 3 Model ini berakar pada budaya kolektivistik yang menekankan harmoni dan hierarki. 6 Namun, paternalisme ini memiliki risiko, yaitu dapat menekan budaya kritik dan menciptakan ketergantungan, sebuah fenomena yang dikenal sebagai "bapakisme". 7 Sebuah pepatah penting,

Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur ("Tidak ingin terkenal karena warisan leluhur, melainkan bertindak luhur karena ajaran leluhur"), berfungsi sebagai penyeimbang kritis, yang menegaskan bahwa legitimasi tidak datang dari status, melainkan dari tindakan bajik. 8

2.2. Hasta Brata: Kepemimpinan Berbasis Karakter Kosmologis

Jauh sebelum Tri Darma, tradisi Jawa telah mengenal Hasta Brata sebagai ajaran kepemimpinan ideal. Berasal dari tradisi Hindu-Jawa kuno dan termaktub dalam naskah seperti Serat Rama, Hasta Brata (delapan laku) menginstruksikan seorang pemimpin untuk meneladani delapan sifat alam atau dewa: Matahari (sumber energi dan inspirasi), Bulan (pemberi ketenangan dan harapan), Bintang (pedoman dan teladan), Angin (teliti dan dekat dengan rakyat), Api (tegas dan adil), Samudra (berwawasan luas dan pemaaf), Bumi (murah hati dan kokoh), dan Langit (mengayomi dan visioner). 9 Fokus utama Hasta Brata adalah pada pembentukan

karakter pemimpin yang ideal, yang legitimasinya bersumber dari perwujudan sifat-sifat luhur tersebut. 14

2.3. Servant Leadership: Kepemimpinan sebagai Pelayanan

Sebagai kerangka perbandingan modern, konsep Servant Leadership yang dipopulerkan oleh Robert K. Greenleaf menawarkan paradigma di mana fokus utama pemimpin adalah melayani kebutuhan dan mendorong pertumbuhan para pengikutnya. 15 Prinsip-prinsipnya meliputi mendengarkan secara aktif, empati, penyembuhan, kesadaran diri, persuasi, dan komitmen tulus pada pengembangan setiap individu. 15 Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang suportif di mana individu dapat berkembang dan berkontribusi secara maksimal. Model ini secara konseptual membalik piramida kekuasaan, menempatkan pemimpin dalam posisi melayani tim. 15

 

3. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur (studi pustaka). Data dikumpulkan dari berbagai sumber primer dan sekunder. Sumber primer mencakup ajaran inti Tri Darma dan Hasta Brata sebagaimana termaktub dalam berbagai teks budaya. Sumber sekunder meliputi buku-buku akademis, jurnal ilmiah, dan artikel-artikel yang relevan dengan sejarah Mangkunegaran, filsafat Jawa, dan teori kepemimpinan. 17

Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, analisis kontekstual digunakan untuk memahami latar belakang historis dan sosio-politik yang membentuk Tri Darma. Kedua, analisis isi dilakukan untuk menguraikan makna filosofis dari setiap pilar Tri Darma dan etos Tiji Tibeh. Ketiga, analisis komparatif digunakan untuk membandingkan Tri Darma dengan Hasta Brata, Servant Leadership, dan etika Konfusianisme guna menyoroti keunikan serta universalitasnya. Sintesis dari analisis ini kemudian digunakan untuk merumuskan relevansi dan tantangan penerapan Tri Darma dalam konteks kontemporer.

 

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Konteks Historis: Doktrin yang Lahir dari Pengkhianatan dan Perjuangan

Tri Darma tidak dapat dipahami tanpa menilik latar belakang kelahirannya yang penuh gejolak. Pada pertengahan abad ke-18, lanskap politik Jawa dikoyak oleh perang suksesi, perebutan kekuasaan, dan intervensi VOC. 23 Raden Mas Said (kelak Mangkunegara I) memiliki klaim kuat atas takhta Mataram sebagai cucu Amangkurat IV dari putra sulung yang diasingkan karena menentang VOC. 24 Haknya ini dirampas oleh paman-pamannya yang didukung oleh Kompeni.

Awalnya, Raden Mas Said bersekutu dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, untuk melawan kekuasaan Pakubuwana II yang pro-VOC. 24 Namun, titik balik terjadi dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 1755. Perjanjian yang dimediasi VOC ini memecah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja pertama Yogyakarta. 25 Raden Mas Said merasa dikhianati karena ia sepenuhnya dikecualikan dari kesepakatan tersebut. 27

Ditinggalkan sekutunya dan kini menghadapi tiga musuh sekaligus—Surakarta, Yogyakarta, dan VOC—Raden Mas Said melanjutkan perjuangan gerilya yang mustahil. 28 Selama dua tahun, pasukannya yang kecil namun militan terbukti tak terkalahkan, membuatnya dijuluki "Pangeran Sambernyawa" (Pangeran Penyambar Nyawa). 29 Keberhasilannya sangat bergantung pada dukungan rakyat dan taktik perang yang brilian. 30 Menyadari bahwa perang ini tidak dapat dimenangkan, VOC akhirnya bernegosiasi, yang berpuncak pada Perjanjian Salatiga pada 1757. 29 Perjanjian ini memberikan Raden Mas Said wilayah otonom yang menjadi Praja Mangkunegaran. 27 Kedaulatan ini dimenangkan, bukan diberikan. Konteks inilah yang membentuk Tri Darma sebagai sebuah doktrin pragmatis untuk memobilisasi rakyat dan membangun negara dari medan perang.

4.2. Analisis Pilar Tri Darma dan Etos Tiji Tibeh

Tri Darma terdiri dari tiga pilar yang membentuk sebuah siklus kontrak sosial yang saling menguatkan.

  1. Rumangsa Melu Handarbeni (Rasa Ikut Memiliki): Ini adalah fondasi dari segalanya. Pemimpin tidak hanya mendelegasikan tugas, tetapi mendelegasikan tujuan. 2 Dengan menanamkan rasa kepemilikan yang mendalam terhadap perjuangan atau organisasi, komitmen pengikut berubah dari eksternal menjadi intrinsik. 34 Mereka tidak lagi bekerja untuk pemimpin, tetapi untuk sesuatu yang mereka anggap "milik" mereka sendiri. 35

  2. Wajib Melu Hangrungkebi (Wajib Ikut Membela): Ini adalah konsekuensi logis dari pilar pertama. Ketika rasa memiliki telah tertanam, secara alami akan timbul kewajiban untuk melindungi dan mempertahankan apa yang dimiliki tersebut dari segala ancaman. 30 Pengikut bertransformasi dari partisipan pasif menjadi penjaga aktif yang siap berkorban. 34

  3. Mulat Sarira Hangrasa Wani (Berani Mawas Diri): Ini adalah komitmen timbal balik dari pemimpin yang menjaga integritas seluruh sistem. Frasa ini berarti "berani merasakan dan melihat diri sendiri," sebuah panggilan untuk introspeksi yang jujur dan pengakuan atas kesalahan. 1 Dengan menunjukkan akuntabilitas dan kerentanan, pemimpin membangun kepercayaan otentik dan membuktikan bahwa ia tunduk pada standar moral yang sama dengan pengikutnya. 36

Ketiga pilar ini dihidupkan oleh etos Tiji Tibeh, akronim dari Mati Siji, Mati Kabeh; Mukti Siji, Mukti Kabeh (Mati satu, mati semua; sejahtera satu, sejahtera semua). 30 Ini adalah ekspresi solidaritas absolut yang melarutkan batas antara individu dan kolektif. Nasib individu tidak dapat dipisahkan dari nasib kelompok. Mangkunegara I sendiri mencontohkan ini dengan sering kali menjadi yang terakhir mengambil bagian dari pampasan perang, menunjukkan bahwa kemakmuran pemimpin (

mukti siji) hanya datang setelah kemakmuran pasukannya (mukti kabeh) terjamin. 38

4.3. Analisis Komparatif: Tri Darma dalam Dialog Filosofis

  • vs. Hasta Brata: Jika Hasta Brata adalah filsafat kepemimpinan berbasis karakter yang ideal dan kosmologis, Tri Darma adalah filsafat berbasis kinerja dan aksi yang pragmatis. 39 Hasta Brata bertanya, "Pemimpin harus

    menjadi seperti apa?", meneladani sifat-sifat alam yang agung. Tri Darma bertanya, "Apa yang harus dilakukan oleh pemimpin dan pengikut?" Ini menandai evolusi dari model kepemimpinan statis seorang pewaris takhta ke model dinamis seorang pendiri negara.

  • vs. Servant Leadership: Keduanya berbagi tujuan etis untuk melayani dan menyejahterakan pengikut. Namun, pendekatannya berbeda secara fundamental. Servant Leadership secara konseptual membalik piramida hierarki, sementara Tri Darma beroperasi di dalam struktur paternalistik Bapak-Anak yang hierarkis. 15 Tri Darma dapat diinterpretasikan sebagai model unik "Kepemimpinan Pelayan Paternalistik," di mana fungsi pemimpin adalah melayani, namun dalam struktur budaya yang menghargai hierarki dan loyalitas kolektif.

  • vs. Etika Konfusianisme: Terdapat kesejajaran yang kuat antara paternalisme Jawa dan etika Konfusianisme, kemungkinan besar karena pertukaran budaya historis. 42 Keduanya menekankan harmoni sosial melalui hierarki (misalnya, Lima Hubungan/Wulun dalam Konfusianisme), kepemimpinan berbasis moral (

    junzi vs. panutan), dan metafora negara sebagai keluarga. 44 Namun, Tri Darma memiliki kekhasan. Prinsip

    Handarbeni dan Hangrungkebi mengkodifikasi komitmen timbal balik secara lebih eksplisit dan aktif. Selain itu, etos Tiji Tibeh menyiratkan bentuk kolektivisme dan ikatan takdir bersama yang lebih ekstrem daripada yang umumnya ditemukan dalam Konfusianisme klasik.

4.4. Relevansi dan Kritik dalam Konteks Kontemporer

Prinsip-prinsip inti Tri Darma memiliki relevansi yang kuat untuk organisasi modern. Handarbeni selaras dengan konsep pemberdayaan karyawan dan kepemilikan psikologis. Hangrungkebi dapat diterjemahkan menjadi integritas organisasi dan komitmen bersama terhadap nilai-nilai perusahaan. Mulat Sarira adalah fondasi untuk kepemimpinan yang akuntabel dan transparan, yang sangat dihargai di era saat ini. 36

Namun, penerapan Tri Darma secara mentah, terutama dalam bingkai paternalisme Jawa, menghadirkan tantangan signifikan. Risiko "bapakisme"—di mana pemimpin yang terlalu melindungi atau dominan justru menekan inovasi, menghambat pemikiran kritis, dan melumpuhkan inisiatif bawahan—sangat nyata. 47 Penekanan kuat pada loyalitas dapat disalahgunakan untuk menuntut kepatuhan buta dan membungkam perbedaan pendapat. 49 Dalam lingkungan kerja yang semakin beragam dan global, model yang sangat hierarkis dan kolektivistik mungkin berbenturan dengan nilai-nilai individualisme dan partisipasi. 47

Oleh karena itu, relevansi Tri Darma di abad ke-21 bergantung pada kemampuan untuk melakukan "pembongkaran kritis"—mengekstrak esensi filosofisnya yang universal (kepemilikan, kewajiban, akuntabilitas) sambil mengadaptasi atau meninggalkan bentuk historisnya yang kaku dan hierarkis.

 

5. Kesimpulan

Falsafah Tri Darma Mangkunegara I adalah sebuah sistem kepemimpinan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar kumpulan aforisme. Ia adalah doktrin pragmatis yang ditempa dalam konflik, dirancang untuk membangun loyalitas dan negara dari nol. Sebagai sebuah kontrak sosial, ia secara cerdas menyeimbangkan hierarki paternalistik dengan kewajiban timbal balik, yang diikat oleh semangat solidaritas absolut Tiji Tibeh.

Dalam lanskap pemikiran Jawa, Tri Darma menandai sebuah evolusi dari kepemimpinan berbasis karakter (Hasta Brata) ke kepemimpinan berbasis kinerja. Dalam dialog lintas budaya, ia menunjukkan kesamaan tujuan dengan Servant Leadership dan kesejajaran struktural dengan etika Konfusianisme, namun tetap mempertahankan keunikannya.

Warisan abadi Mangkunegara I ini menawarkan kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu bagi para pemimpin modern. Namun, untuk dapat diterapkan secara efektif, diperlukan adaptasi yang cermat. Tantangannya adalah menerjemahkan semangat kepemilikan bersama, pembelaan timbal balik, dan akuntabilitas yang berani ke dalam konteks organisasi yang lebih datar, beragam, dan demokratis. Penelitian lebih lanjut dapat berfokus pada studi kasus empiris tentang bagaimana prinsip-prinsip Tri Darma, yang telah diadaptasi, dapat diimplementasikan di sektor korporasi atau pemerintahan di Indonesia saat ini untuk meningkatkan keterlibatan dan integritas organisasi.

 

Daftar Pustaka

  • Achmad, S. W. (2018). Falsafah Kepemimpinan Jawa: Dari Sultan Agung hingga Hamengkubuwana IX. Araska Publisher. 18

  • Adhit, A., & Asbari, M. (2024). Falsafah Kepemimpinan Jawa: Nilai dan Karakter Seorang Pemimpin Menurut Budaya Jawa. Literaksi: Jurnal Manajemen Pendidikan, 2(02), 141–145. 19

  • Endraswara, S. (2013). Falsafah Kepemimpinan Jawa. Narasi. 4

  • Greenleaf, R. K. (dikutip dalam berbagai sumber). Konsep Servant Leadership. 15

  • Irawanto, D. W. (2008). Aplikabilitas Kepemimpinan Paternalistik di Indonesia. Journal of Human Capital, 1(01). 50

  • Pellegrini, E. K., & Scandura, T. A. (2008). Paternalistic Leadership: A Review and Agenda for Future Research. Journal of Management, 34(3), 566-593. 49

  • Rusmaniar, D. (2009). Aspek-Aspek Moral Yang Membangun Falsafah Tri Dharma Mangkunegara I. Skripsi, Universitas Indonesia. 51

  • Widyastuti, S. H. (n.d.). Kandungan Nilai Moral dalam Ungkapan Tradisional Jawa dan Pepatah Cina. Jurnal Penelitian. 43

  • Yao, X. (2000). An Introduction to Confucianism. Cambridge University Press. 44

  • Berbagai sumber jurnal dan artikel lainnya yang dirujuk dalam teks.

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.

Demokrasi Pancasila Berdasarkan Agama dan Relevansinya terhadap Perilaku Sosial

  Demokrasi Pancasila Berdasarkan Agama dan Relevansinya terhadap Perilaku Sosial   BAB I PENDAHULUAN   Demokrasi Pancasila bukan...