ezdoubler

Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut: Analisis Komprehensif Konflik Batas Wilayah dan Resolusi Prospektif

Pemandangan salah satu pulau sengketa di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara

Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, mengenai pemindahan status administratif empat pulau tak berpenghuni dari wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi Aceh) ke Kabupaten Tapanuli Tengah (Provinsi Sumatera Utara), telah memicu polemik substansial di kancah nasional. Respons tegas dari Pemerintah Provinsi Aceh beserta masyarakatnya, yang menganggap klaim historis dan yuridis mereka terabaikan, melampaui sekadar keberatan administratif. Sengketa ini telah membangkitkan kembali sensitivitas sejarah yang mendalam, esensi otonomi daerah yang termaktub dalam kerangka konstitusi pasca-reformasi, serta potensi ketegangan di wilayah yang memiliki rekam jejak konflik berkepanjangan dan baru saja melalui proses rekonsiliasi damai. Permasalahan ini, secara fundamental, menyentuh dimensi identitas kolektif, martabat regional, dan komitmen terhadap perdamaian yang telah diupayakan dengan gigih, menggarisbawahi kompleksitas inheren dalam penataan batas wilayah di negara kepulauan seperti Indonesia, di mana setiap jengkal tanah, terlepas dari ukurannya, memiliki makna mendalam bagi identitas dan kedaulatan lokal. Konflik ini tidak hanya mengenai batas geografis semata, namun juga persinggungan kompleks antara regulasi pusat, aspirasi daerah, serta nilai-nilai historis dan sosiologis yang telah mengakar.

 

Latar Belakang dan Profil Geostrategis Pulau Sengketa

Empat pulau yang menjadi pusat persengketaan adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil), dan Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar). Meskipun secara fisik tidak dihuni oleh populasi permanen, keberadaan dan klaim atas pulau-pulau ini memegang nilai geostrategis yang signifikan, baik bagi kepentingan regional kedua provinsi maupun kepentingan nasional yang lebih luas. Nilai ini tidak hanya ditinjau dari potensi sumber daya alam yang melimpah, seperti perikanan tangkap yang lestari, kekayaan biota laut yang dapat dikembangkan untuk ekowisata bahari, dan potensi cadangan migas serta mineral di bawah permukaannya, tetapi juga fungsinya sebagai penanda batas wilayah maritim yang krusial. Penanda ini penting untuk yurisdiksi penegakan hukum di laut, pengawasan keamanan maritim dari ancaman transnasional, dan perlindungan kedaulatan negara di perairan sekitarnya. Penguasaan atas pulau-pulau ini dapat secara langsung memengaruhi penentuan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen di masa mendatang, yang berimplikasi pada hak eksploitasi sumber daya alam bawah laut yang sangat besar.

 

1.    Pulau Panjang: Pulau ini memiliki luas sekitar 47,8 hektare, menjadikannya salah satu pulau yang lebih substansial di antara yang disengketakan, dan berlokasi strategis hanya 2,4 kilometer dari daratan utama Kabupaten Tapanuli Tengah. Keberadaannya merupakan simbol krusial bagi klaim kedaulatan Aceh. Infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, seperti Tugu Selamat Datang, tugu koordinat (yang didirikan pada tahun 2012 oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga sebagai penanda geografis), rumah singgah, musholla (juga dibangun pada tahun 2012 untuk memfasilitasi kegiatan keagamaan), dan dermaga (yang selesai pada tahun 2015 untuk aksesibilitas), dianggap sebagai bukti konkret dari aktivitas administratif dan pengelolaan yang telah berlangsung di pulau tersebut. Klaim Aceh didasarkan pada argumen fundamental bahwa pemerintah daerah secara logis tidak akan menginvestasikan pembangunan infrastruktur vital dan melakukan pengelolaan rutin di wilayah yang bukan yurisdiksinya. Oleh karena itu, keberadaan fasilitas ini secara kuat mendukung posisi Aceh yang telah menjalankan fungsi pemerintahan secara de facto di Pulau Panjang selama bertahun-tahun, menandakan kehadiran yang terorganisir dan berkesinambungan.

 

2.    Pulau Lipan (sebelumnya dikenal sebagai Pulau Malelo): Pulau ini memiliki luas yang sangat terbatas, yakni sekitar 0,38 hektare, dan berjarak 1,5 kilometer dari Tapanuli Tengah. Kondisinya saat ini sangat kritis; sebagian besar daratannya telah tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan abrasi pantai yang intens, menjadikannya rentan terhadap perubahan iklim dan erosi pantai yang ekstrem. Bahkan, secara teknis, pulau ini dinilai tidak lagi memenuhi kriteria sebagai "pulau" berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982. UNCLOS secara spesifik mensyaratkan daratan yang secara alami terbentuk, dikelilingi air, dan tetap berada di atas permukaan air pada saat air pasang tinggi. Karena Pulau Lipan tidak memenuhi kriteria ini (sebagian besar atau seluruhnya terendam saat pasang tinggi), secara hukum laut internasional, ia tidak diakui sebagai pulau yang dapat menghasilkan zona maritim penuh (seperti laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, atau landas kontinen). Statusnya mungkin lebih mendekati "batu karang" atau fitur lain yang dampaknya terhadap penentuan zona maritim sangat terbatas atau tidak ada, tergantung pada detail ketinggian dan komposisinya. Meskipun demikian, citra satelit tahun 2007 menunjukkan adanya vegetasi, mengindikasikan eksistensinya yang lebih substansial di masa lampau dan menjadi relevan dalam konteks klaim historis, meskipun statusnya kini dipertanyakan secara geofisik dan hukum internasional. Perubahan status geografis ini menambah kompleksitas dalam penentuan batas dan interpretasi hukum.

 

3.    Pulau Mangkir Ketek (sebelumnya dikenal sebagai Pulau Rangit Kecil): Dengan luas 6,15 hektare dan jarak sekitar 1,2 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah, klaim Aceh atas pulau ini diperkuat oleh Tugu "Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam" yang didirikan pada tahun 2008, serta penambahan prasasti penguat pada tahun 2018 sebagai bentuk afirmasi kedaulatan yang berkelanjutan. Pembangunan tugu-tugu ini menunjukkan upaya eksplisit dan berulang dari Pemerintah Aceh untuk menandai dan menegaskan wilayahnya secara fisik, serta memperkuat narasi identitas administratif di lokasi tersebut. Ini adalah contoh konkret dari administrasi wilayah yang dilakukan oleh Aceh untuk mengamankan klaimnya.

 

4.    Pulau Mangkir Gadang (sebelumnya dikenal sebagai Pulau Rangit Besar): Pulau ini memiliki luas 8,16 hektare dan terletak sekitar 1,9 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah. Sama seperti ketiga pulau lainnya, pulau ini juga tidak berpenghuni. Bukti klaim Aceh di pulau ini adalah tugu batas wilayah yang dibangun oleh Pemerintah Aceh, sebuah penanda fisik yang berfungsi sebagai klaim yurisdiksi dan penegasan teritorial. Berbeda dengan Pulau Panjang, tidak ditemukan infrastruktur tambahan atau aktivitas warga yang signifikan di lokasi ini, namun keberadaan tugu batas saja sudah dianggap cukup sebagai penanda yurisdiksi dan upaya penegasan kedaulatan oleh pihak Aceh. Kehadiran tugu ini menjadi simbol klaim teritorial yang tak terbantahkan dari perspektif lokal, meskipun tidak diiringi dengan pembangunan infrastruktur komprehensif.

Gambar Pulau Mangkir Besar

 Kedua belah pihak, Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, secara simultan mengklaim pulau-pulau tersebut sebagai bagian integral dari wilayah administratif masing-masing, menciptakan dualisme klaim yang secara inheren memerlukan resolusi yang jelas, mengikat, dan dapat diterima oleh semua pihak. Persengketaan ini juga memiliki dimensi ekonomi yang signifikan, terutama mengingat kedekatannya dengan Wilayah Kerja (WK) Migas Offshore West Aceh (OSWA) yang berada di bawah otoritas Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Meskipun Kepala BPMA, Nasri Djalal, menyatakan bahwa keempat pulau tersebut tidak termasuk dalam cakupan WK OSWA dan potensi migasnya masih memerlukan survei lebih lanjut, adanya potensi sumber daya alam di sekitar wilayah ini secara inheren meningkatkan kompleksitas permasalahan dan nilai strategis kepemilikan. Potensi ini dapat mencakup cadangan hidrokarbon yang belum terbukti, kekayaan sumber daya perikanan yang melimpah dan berkelanjutan, atau bahkan prospek pengembangan pariwisata bahari di masa depan yang dapat memberikan kontribusi ekonomi signifikan. Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufik, bahkan saat ini tengah menelusuri data historis terkait potensi migas dan keberadaan sumur-sumur tua di kawasan tersebut, mengindikasikan adanya prospek ekonomi yang potensial dan menambah urgensi bagi kejelasan batas wilayah demi kepastian investasi dan pengelolaan sumber daya yang efisien.

 

 Kronologi Persengketaan: Jejak Sejarah Sejak Era Pra-Kemerdekaan hingga Kontemporer

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, telah mengemukakan bahwa isu batas wilayah ini berakar pada sejarah yang sangat panjang, bahkan telah eksis sejak periode kolonial Belanda pada tahun 1928, menunjukkan bahwa permasalahan ini bukanlah fenomena baru, melainkan akumulasi dari ketidakjelasan di masa lampau yang belum terselesaikan secara komprehensif. Kurangnya delineasi yang jelas sejak awal telah menciptakan celah bagi interpretasi yang beragam. Kronologi persengketaan ini melibatkan serangkaian peristiwa, proses verifikasi, dan keputusan yang kerap ditafsirkan secara berbeda oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga memperumit upaya penyelesaian yang adil dan berkelanjutan, serta memerlukan analisis multisektoral yang mengintegrasikan aspek sejarah, hukum, geografi, dan politik:

 

·         1965: Penerbitan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965. Dokumen ini menjadi salah satu dasar klaim historis Aceh yang mengindikasikan bahwa kepemilikan tanah oleh warga Aceh di pulau-pulau tersebut telah diakui secara administratif di bawah otoritas Aceh pada periode tersebut, bahkan sebelum otonomi khusus diberlakukan. Fondasi argumentasi krusial bagi Pemerintah Aceh dalam mempertahankan klaimnya bersandar pada dokumen ini. Keabsahan dan kekuatan hukum dokumen historis ini, terutama dalam konteks legislasi batas wilayah pasca-kemerdekaan dan Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh yang memberikan kekhususan bagi Aceh, merupakan salah satu poin sentral dalam perdebatan hukum, dan memerlukan penafsiran yudisial yang cermat serta pengakuan terhadap konteks sejarah lokal.

·         1992: Sebuah peristiwa signifikan terjadi ketika Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan) dan Gubernur Sumatera Utara (Raja Inal Siregar) secara kolektif menandatangani Peta Kesepakatan yang disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri. Menurut Pemerintah Provinsi Aceh, peta ini secara eksplisit mengindikasikan garis batas laut yang menempatkan keempat pulau tersebut dalam wilayah administratif Aceh, yang seharusnya menjadi landasan kuat dan final dalam penyelesaian persengketaan, mencerminkan adanya konsensus tingkat regional di masa lalu yang mengikat secara politik dan administratif. Namun, Kemendagri mungkin memiliki interpretasi yang berbeda mengenai kekuatan mengikat peta ini dalam konteks penetapan batas wilayah definitif, terutama jika ada perubahan peraturan, metodologi pemetaan, atau data geospasial yang lebih akurat di kemudian hari. Diskrepansi ini menjadi kunci permasalahan.

·         2008: Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, sebuah konsorsium lintas kementerian/lembaga terkait pemetaan dan wilayah (termasuk Kemendagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Pusat Hidrografi dan Oseanologi TNI AL, Direktorat Topografi TNI AD, serta perwakilan pemerintah provinsi dan kabupaten), melaksanakan proses verifikasi pulau-pulau di seluruh wilayah Indonesia. Pada fase ini, Kemendagri mencatat bahwa Sumatera Utara secara proaktif melaporkan keempat pulau sengketa sebagai bagian dari yurisdiksinya, sementara Aceh tidak melakukan hal yang sama dalam laporan awal mereka, yang menjadi salah satu titik awal perbedaan data dan interpretasi. Ironisnya, pada tahun yang sama, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil justru membangun Tugu Selamat Datang di Pulau Mangkir Ketek, yang merupakan manifestasi klaim fisik di lapangan yang tidak sejalan dengan catatan verifikasi pusat, menunjukkan adanya perbedaan data, pemahaman, dan aktivitas di tingkat daerah versus nasional yang perlu diselaraskan.

·         2009: Gubernur dari kedua provinsi secara resmi mengonfirmasi jumlah pulau di wilayah masing-masing. Pada titik ini, Kemendagri mengklaim bahwa koordinat yang diserahkan oleh Pemerintah Aceh pada waktu itu tidak akurat dan secara faktual merujuk kepada Pulau Banyak, bukan keempat pulau yang sedang disengketakan. Kemendagri menafsirkan ini sebagai indikasi kurangnya data akurat dari pihak Aceh pada awal verifikasi, yang kemudian menjadi dasar bagi keputusan pusat yang lebih lanjut. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Aceh mencatat adanya perubahan nama pulau (misalnya, Pulau Mangkir Besar dari Rangit Besar, Pulau Mangkir Kecil dari Rangit Kecil, Pulau Lipan dari Malelo) yang disertai dengan perubahan koordinat, merefleksikan upaya administratif Aceh dalam mengelola wilayahnya dan kemungkinan pembaruan data internal mereka yang tidak tercatat secara sinkron di tingkat nasional. Ini menyoroti masalah sinkronisasi data antar tingkatan pemerintahan.

·         2012: Berdasarkan konfirmasi dari kedua gubernur serta pelaporan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bagian dari upaya identifikasi pulau-pulau global dan penegasan kedaulatan, Kemendagri secara definitif menetapkan status keempat pulau tersebut sebagai wilayah administratif Sumatera Utara. Keputusan ini menandai titik balik penting dalam pergeseran klaim administratif, memberikan dasar hukum formal bagi posisi Kemendagri. Pelaporan ke PBB ini juga berpotensi memberikan dimensi internasional pada klaim kepemilikan, memperumit penyelesaian jika tidak ada konsensus domestik yang kuat dan disepakati bersama, karena akan melibatkan preseden di forum internasional.

·         2017: Kemendagri kembali menegaskan penetapan empat pulau masuk wilayah Sumatera Utara setelah melakukan analisis spasial yang lebih komprehensif, memanfaatkan teknologi geospasial yang lebih mutakhir dan citra satelit beresolusi tinggi, sehingga memperkuat posisi pemerintah pusat dengan dasar data yang diperbarui dan lebih akurat dari perspektif teknis, meskipun ini masih bersifat sepihak dari kacamata Aceh.

·         2020: Rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga kembali mengukuhkan penetapan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara, menunjukkan konsistensi posisi pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir dan adanya dukungan dari berbagai instansi terkait dalam kerangka koordinasi pemerintahan. Konsensus di tingkat pusat ini, bagaimanapun, tidak serta-merta mencerminkan penerimaan di tingkat daerah.

·         Februari 2022: Diskusi bersama antara kedua pemerintah provinsi terkait keempat pulau ini dilaksanakan, namun pertemuan tersebut tidak berhasil mencapai konsensus yang mengikat. Sehari setelahnya, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 yang memperbarui data kewilayahan, dengan kembali menetapkan empat pulau masuk wilayah Sumatera Utara. Keputusan ini segera disomasi oleh Gubernur Aceh, yang kemudian direspons oleh pemerintah pusat dengan menyepakati pelaksanaan survei lapangan pada Mei-Juni 2022 sebagai upaya mediasi dan verifikasi ulang, mengindikasikan kesediaan pemerintah pusat untuk meninjau kembali data lapangan dan mencari penyelesaian, meskipun keputusan administratif telah dikeluarkan dan memicu reaksi keras.

·         2025: Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 secara resmi diterbitkan, menetapkan keempat pulau masuk wilayah administratif Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penerbitan keputusan ini menjadi katalisator utama polemik yang memanas saat ini, menarik perhatian publik dan seluruh pihak terkait, karena dianggap sebagai langkah final dan unilateral dari pemerintah pusat yang dapat berdampak langsung pada dinamika regional, sosial, dan politik di kedua provinsi.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, secara konsisten menekankan bahwa penyelesaian batas wilayah merupakan isu krusial guna menjamin kepastian hukum bagi seluruh entitas, akurasi perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah, validitas tata ruang, dan efektivitas perencanaan pembangunan daerah. Beliau menjelaskan bahwa, jika batas wilayah tidak jelas, proyek pembangunan di area sengketa berpotensi menyebabkan temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan bahkan implikasi hukum yang serius bagi pejabat terkait, karena ketidakpastian yurisdiksi dapat menghambat investasi, memicu sengketa kepemilikan aset, dan mengganggu pembangunan daerah secara signifikan, serta menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang tidak efisien. Tito Karnavian mengklaim bahwa keputusan Kemendagri didasarkan pada penelitian cermat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) yang bertanggung jawab atas data geospasial nasional, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) yang memiliki keahlian dalam pemetaan maritim, dan Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat (Dittopad) untuk survei darat. Beliau juga menyatakan bahwa hasil penelitian ini telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (klaim yang disomasi oleh Aceh, menciptakan ambiguitas dan pertanyaan tentang validitas persetujuan menyeluruh, terutama mengenai apakah penandatanganan tersebut merupakan persetujuan akhir atau hanya pengakuan proses). Meskipun demikian, beliau mengakui bahwa batas laut masih belum mencapai konsensus, sehingga wewenang pengambilan keputusan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat, menunjukkan bahwa aspek maritim dari sengketa ini masih terbuka untuk diskusi lebih lanjut dan memerlukan pendekatan yang berbeda dari batas darat karena kompleksitas hukum laut internasional dan definisi wilayah maritim.

 

 Argumentasi dan Klaim Para Pihak: Dinamika Narasi dan Validitas Bukti


Polemik ini menampilkan perbedaan signifikan dalam landasan argumentasi dari masing-masing pihak, merefleksikan dinamika narasi yang kompleks dan perbedaan dalam interpretasi validitas bukti yang diajukan. Bukti-bukti ini seringkali berasal dari sumber dan konteks historis yang berbeda, mencerminkan persinggungan antara hukum positif negara, sejarah lokal, dan hak adat yang diakui secara tradisional:

Pemerintah Aceh dan Komunitas Lokal:

Pemerintah Provinsi Aceh, di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf, secara kategoris menyatakan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian integral dari wilayah Aceh sejak masa lampau, mengacu pada sejarah panjang keterikatan wilayah yang terangkum dalam identitas lokal dan budaya maritim. Klaim ini didukung oleh berbagai argumen, bukti historis dan fisik, serta data yang kuat, disertai komitmen penuh untuk memperjuangkan pengembalian status administratif pulau-pulau tersebut ke Aceh Singkil, sebagaimana ditegaskan oleh Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir. Bukti-bukti yang diajukan oleh Aceh meliputi:

·         Bukti Historis dan Yuridis yang Fundamental: Dokumen primer yang menjadi andalan adalah Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965 (tertanggal 17 Juni 1965). Dokumen ini merupakan fondasi klaim historis dan yuridis Aceh, menunjukkan bahwa kepemilikan tanah oleh warga Aceh di pulau-pulau tersebut telah diakui secara administratif di bawah otoritas Aceh pada periode tersebut, bahkan sebelum otonomi khusus diberlakukan pasca-MoU Helsinki. Keabsahan dan relevansi dokumen historis ini dalam konteks legislasi batas wilayah modern, khususnya undang-undang pembentukan provinsi dan daerah, serta semangat perjanjian damai yang mengakui kekhususan Aceh, menjadi salah satu poin utama perdebatan hukum dan politik yang memerlukan interpretasi cermat dari Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial terkait.

·         Kesepakatan Antar-Gubernur Tahun 1992: Sebuah Peta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan) dan Gubernur Sumatera Utara (Raja Inal Siregar), serta disaksikan langsung oleh Mendagri pada tahun 1992. Menurut Pemerintah Provinsi Aceh, peta ini bukan sekadar arsip biasa, melainkan secara eksplisit mengindikasikan garis batas laut yang menempatkan keempat pulau tersebut dalam wilayah Aceh, dan oleh karenanya, seharusnya menjadi bukti tak terbantahkan yang mengikat secara politik dan administratif bagi kedua belah pihak dan pemerintah pusat. Interpretasi Kemendagri terhadap kekuatan hukum dan implementasi peta ini, serta apakah ada batasan waktu keberlakuan atau perubahan kondisi yang membatalkannya, menjadi krusial dalam penyelesaian sengketa, menunjukkan adanya perbedaan penafsiran legal.

·         Pembangunan Infrastruktur Fisik sebagai Indikator Pengelolaan: Keberadaan Tugu Selamat Datang, tugu koordinat (2012), rumah singgah, musholla (2012), dan dermaga (2015) yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil di Pulau Panjang, serta tugu dan prasasti di Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang, menunjukkan adanya aktivitas administratif, pengelolaan nyata, dan investasi pemerintah Aceh di wilayah tersebut selama periode yang signifikan. Ini diargumentasikan sebagai bukti kedaulatan de facto yang telah lama berlangsung, mendahului banyak keputusan administratif yang lebih baru, dan secara kuat menegaskan klaim keberadaan pemerintahan yang efektif serta pengakuan oleh masyarakat lokal.

·         Dukungan Lintas Kementerian (Kemenko Polhukam): Pada tahun 2022, sebuah rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang difasilitasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) secara umum menyimpulkan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh berdasarkan analisis aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, dan layanan publik yang telah dikembangkan oleh Pemerintah Aceh. Kesimpulan ini memberikan validasi dari institusi lain terhadap klaim Aceh, memperkuat posisinya di mata publik dan lembaga negara, dan menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang perlu diselaraskan di tingkat pusat.

·         Kesaksian Konkret dari Komunitas Lokal: Kesaksian dari warga lokal seperti Yardi (57), seorang bekas nelayan di Aceh Singkil, yang mengklaim pernah terlibat dalam pembuatan tapal batas dan gapura di Pulau Panjang dan Pulau Mangkir Gadang satu dekade lalu bersama Dinas Perikanan setempat, memberikan dimensi bukti nyata keterikatan historis dan sosial masyarakat Aceh dengan pulau-pulau tersebut. Narasi hidup dan pengetahuan tradisional ini melengkapi bukti administratif dengan perspektif akar rumput, menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari kehidupan, mata pencaharian, dan budaya masyarakat lokal. Demikian pula klaim Teuku Rusli Hasan sebagai ahli waris yang memiliki surat keputusan tahun 1965, memperkuat argumen klaim turun-temurun dan hak adat yang telah ada jauh sebelum batas-batas modern ditetapkan, menyoroti dimensi hak ulayat yang kerap diakui dalam hukum agraria Indonesia.

Pemerintah Pusat (Kemendagri) dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara:

Kemendagri secara teguh berpegang pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang menunjukkan bahwa Sumatera Utara secara konsisten mendaftarkan keempat pulau, sementara Aceh tidak pada fase verifikasi awal tahun 2008. Mereka juga mendasarkan keputusan pada analisis spasial dan kedekatan geografis pulau-pulau tersebut dengan garis pantai Tapanuli Tengah, yang menurut mereka lebih logis secara geografis dan efisien secara administratif untuk tujuan pengelolaan dan layanan publik. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa proses ini telah berlangsung lama dan melibatkan banyak pihak, serta menyatakan bahwa keputusan Kemendagri telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (meskipun klaim ini disomasi oleh Aceh, mengindikasikan adanya ketidaksepakatan pada proses akhir dan validitas persetujuan yang disengketakan). Ini menciptakan ambiguitas mengenai apakah tanda tangan tersebut merupakan persetujuan final atau hanya pengakuan proses.

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Afif Nasution, menempatkan diri pada posisi yang terkesan netral dalam polemik ini, menegaskan bahwa perubahan status administratif ini merupakan diskresi pemerintah pusat yang berdasarkan kajian teknis dan regulasi nasional, bukan kebijakan yang diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Beliau menyatakan bahwa provinsi tidak memiliki wewenang untuk menyerahkan atau mengambil wilayah tanpa payung hukum yang jelas dan perintah dari pusat. Gubernur Nasution mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi dan secara proaktif menjaga keharmonisan antar warga Aceh dan Sumatera Utara, mengingat eratnya hubungan sosial, kekeluargaan, dan banyaknya warga kedua provinsi yang bermukim di wilayah masing-masing, yang berpotensi terganggu oleh konflik ini. Meskipun menyatakan kesiapan Pemprov Sumut untuk membahas ulang polemik ini, beliau menekankan bahwa keputusan final berada di tangan pemerintah pusat, mengalihkan tanggung jawab penyelesaian konflik ke level nasional. Di tengah persengketaan, Gubernur Nasution juga mengutarakan keinginan untuk berkolaborasi dengan Aceh dalam pengelolaan potensi sumber daya alam (termasuk migas) dan pariwisata di sekitar pulau-pulau tersebut, mengindikasikan sebuah pendekatan kooperatif di masa mendatang yang mungkin dapat meredakan ketegangan ekonomi, terlepas dari isu batas wilayah yang lebih sensitif dan krusial, menunjukkan fokus pada potensi manfaat bersama.

 

Potensi Konflik dan Implikasi Jangka Panjang

Keputusan Kemendagri ini telah menimbulkan kekhawatiran serius akan potensi konflik dan implikasi yang lebih luas, terutama jika mempertimbangkan sejarah panjang konflik di Aceh sebagai wilayah bekas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berhasil mereda melalui penandatanganan Perjanjian Helsinki pada tahun 2005. Perjanjian ini merupakan tonggak penting bagi perdamaian, stabilitas regional, dan otonomi Aceh. Oleh karena itu, isu perbatasan ini harus ditangani dengan kehati-hatian maksimal, mengingat kerentanan wilayah pasca-konflik terhadap isu-isu sensitif yang dapat memicu ketidakpuasan kembali, mengancam fondasi perdamaian yang telah dibangun.

·         Pemicu Konflik Baru dan Pembukaan "Luka Lama": Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Humam Hamid, secara eksplisit memperingatkan bahwa pendekatan legalistik yang mengabaikan dimensi dialogis dan sensitivitas lokal dapat memicu eskalasi konflik yang tidak diinginkan. Beliau menarik paralel dengan kasus-kasus kompleks seperti Catalonia di Spanyol atau Mindanao di Filipina, di mana isu-isu identitas yang kuat, janji-janji otonomi yang dirasa tidak sepenuhnya dipenuhi, dan pengabaian aspirasi lokal oleh pemerintah pusat menjadi katalisator bagi perlawanan dan ketidakstabilan politik berkepanjangan. Konflik batas wilayah, jika tidak ditangani dengan cermat dan mempertimbangkan semua aspek (hukum, sosial, budaya, sejarah), dapat memicu sentimen separatisme atau ketidakpuasan mendalam di kalangan masyarakat yang merasa identitas dan hak-hak historisnya terancam, yang berujung pada destabilisasi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI asal Aceh, Muslim Ayub, secara tegas menyatakan bahwa keputusan ini berpotensi "membuka luka lama" dan secara signifikan mengikis fondasi perdamaian yang telah susah payah dibangun pasca-Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yang secara fundamental memberikan Aceh status otonomi khusus dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya alamnya. Ini adalah pencapaian krusial bagi perdamaian dan rekonsiliasi yang tidak boleh terganggu oleh keputusan yang dianggap tidak adil.

·         Erosi Kepercayaan dan Potensi "Adu Domba": Keputusan unilateral yang tidak melalui dialog komprehensif dan partisipatif ini dikhawatirkan dapat secara signifikan merusak tingkat kepercayaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang pada gilirannya dapat mengikis stabilitas politik regional dan nasional secara keseluruhan. Kehilangan kepercayaan ini dapat mempersulit implementasi kebijakan pemerintah pusat di daerah, memicu resistensi, dan menghambat program-program pembangunan nasional. Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menyatakan bahwa keputusan ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya "mengadu domba" antara Aceh dan Sumatera Utara, yang secara langsung mengancam keutuhan perdamaian dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri. Implikasi ini sangat berbahaya mengingat harmonisnya hubungan sosial, kekerabatan, dan ketergantungan ekonomi antar warga kedua provinsi selama ini, yang dapat retak akibat ketegangan administratif yang meruncing, memunculkan konflik horizontal yang tidak diinginkan.

·         Pengabaian Martabat dan Narasi Historis: Bagi masyarakat Aceh, isu ini bukan sekadar permasalahan administrasi atau transfer wilayah fisik yang tidak berpenghuni, melainkan merupakan representasi dari pengabaian terhadap identitas historis yang kaya, komitmen politik yang terkandung dalam perjanjian damai (MoU Helsinki), dan martabat kolektif yang sangat dijunjung tinggi sebagai bagian dari perjuangan panjang mereka untuk kedaulatan dan pengakuan. Humam Hamid mengkritik pendekatan Kemendagri sebagai manifestasi "mental kolonial" yang hanya berfokus pada batas kartografi dan data teknis semata, tanpa mempertimbangkan "imaji kebangsaan" serta kondisi psikologi dan sosiologis masyarakat Aceh yang sangat sensitif terhadap isu kedaulatan dan identitas kultural yang telah terbentuk selama berabad-abad. Hilangnya wilayah, bahkan yang tak berpenghuni, dapat dirasakan sebagai kerugian identitas yang mendalam, mengikis rasa memiliki, kebanggaan daerah, dan loyalitas terhadap keputusan pusat, yang berpotensi memunculkan perlawanan pasif atau aktif.

 

Usulan dan Jalan Keluar Menuju Solusi Berkelanjutan

Berbagai pemangku kepentingan telah mengemukakan usulan solusi untuk mengatasi polemik ini secara bijaksana, dengan mengedepankan pendekatan yang lebih komprehensif, dialogis, dan partisipatif, demi tercapainya resolusi yang adil dan langgeng serta menghindari eskalasi konflik yang tidak diinginkan:

·         Dialog dan Verifikasi Bersama yang Transparan: Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, merekomendasikan pembentukan tim verifikasi bersama yang melibatkan secara setara perwakilan dari kedua provinsi (Aceh dan Sumatera Utara), tokoh masyarakat lokal yang memiliki pemahaman mendalam tentang isu ini dan dapat mewakili aspirasi akar rumput, serta pemerintah pusat sebagai fasilitator netral dan mediator yang adil. Tim ini harus bertugas meninjau ulang seluruh bukti secara transparan, mencakup dokumen historis, peta, dan bukti fisik di lapangan, dengan metodologi yang disepakati bersama dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, historis, dan yuridis. Transparansi dalam proses ini dianggap krusial untuk membangun kembali kepercayaan dan legitimasi hasil verifikasi, serta mengurangi kecurigaan di antara pihak-pihak yang bersengketa, sehingga keputusan dapat diterima secara luas.

·         Intervensi Pimpinan Nasional: Guru Besar Humam Hamid berpandangan bahwa intervensi langsung dari pimpinan tertinggi negara, khususnya Presiden Prabowo Subianto, menjadi sangat esensial untuk mengkaji ulang keputusan Menteri Dalam Negeri. Pertimbangan sensitivitas Aceh dan hubungan baik antara Presiden Prabowo dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dianggap sebagai faktor penting yang dapat memfasilitasi komunikasi dan menemukan titik temu di tingkat politik tertinggi, yang mungkin tidak tercapai di tingkat bawah. Humam Hamid juga menyarankan agar dilakukan konsultasi dengan tokoh-tokoh perdamaian yang berpengalaman, seperti mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang memiliki rekam jejak dalam upaya penyelesaian konflik Aceh. Pengalaman mereka dalam negosiasi dan diplomasi di Aceh dapat memberikan perspektif yang berbeda, strategi resolusi yang telah terbukti efektif dalam menjaga perdamaian, dan legitimasi moral bagi keputusan yang diambil.

·         Pengembalian Status atau Mekanisme Pengelolaan Bersama: Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pengembalian status pulau ke Aceh sebagai langkah awal untuk meredam ketegangan yang tengah memanas, yang dapat menjadi gestur niat baik dari pusat dan simbol pengakuan terhadap klaim historis dan identitas Aceh. Alternatif lainnya adalah menjajaki opsi pengelolaan bersama atas potensi sumber daya alam (migas dan pariwisata) di sekitar pulau, yang dapat menjadi solusi saling menguntungkan (win-win solution) bagi kedua provinsi. Ini mengalihkan fokus dari persengketaan kepemilikan menjadi pemanfaatan bersama yang adil dan berkelanjutan, sehingga mengurangi tensi konflik, mendorong kerja sama ekonomi, dan menciptakan model pengelolaan wilayah perbatasan yang inovatif. Trubus juga mengkritik pernyataan Kemendagri yang dianggap "arogan" karena mempersilakan masalah ke jalur hukum, yang justru berpotensi memperkeruh situasi dan memperpanjang konflik tanpa solusi politik yang memuaskan masyarakat dan pihak yang bersengketa.

·         Regulasi Komprehensif untuk Batas Wilayah: Pemerhati pemerintahan daerah, Armand Suparman, menyoroti kekosongan hukum berupa ketiadaan aturan yang jelas dan komprehensif dalam penanganan sengketa klaim antar daerah di Indonesia. Beliau mengusulkan penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) yang kuat dan komprehensif sebagai payung hukum. PP ini harus mampu mengintegrasikan berbagai sektor (tidak terbatas pada Kemendagri) dan mencakup penanganan sengketa batas wilayah secara menyeluruh, baik darat maupun laut, dengan kriteria yang jelas, mekanisme penyelesaian sengketa yang adil, dan peran institusi yang transparan untuk mencegah terulangnya permasalahan serupa di kemudian hari. Armand menekankan pentingnya undang-undang pembentukan wilayah yang secara eksplisit dan tuntas mengatur perbatasan sejak awal, agar tidak "menyimpan masalah" di masa depan yang dapat meledak menjadi konflik

·         serius dan mengancam stabilitas nasional.

 

Kesimpulan Akhir

Polemik sengketa empat pulau tak berpenghuni antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara merupakan refleksi kompleksitas inheren dalam penegasan batas wilayah di Indonesia. Kompleksitas ini diperparah ketika isu batas bersentuhan dengan narasi sejarah yang kuat, identitas lokal yang sangat sensitif, dan kerangka otonomi khusus yang telah diberikan kepada Aceh sebagai hasil dari proses perdamaian yang monumental. Meskipun Kemendagri mendasarkan keputusannya pada serangkaian proses verifikasi nasional, reaksi keras dari Aceh secara jelas mengindikasikan bahwa pendekatan yang murni administratif dan legalistik saja tidak memadai untuk mengatasi permasalahan yang memiliki akar budaya, sejarah, dan politik yang dalam, yang memerlukan pertimbangan lebih jauh dari sekadar data kartografi semata.

Penyelesaian sengketa ini secara imperatif memerlukan pendekatan yang jauh lebih holistik dan dialogis. Dialog terbuka yang konstruktif, proses verifikasi ulang yang transparan dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh pihak (termasuk masyarakat lokal yang terdampak langsung dan memiliki ikatan historis yang kuat), serta pertimbangan mendalam terhadap konteks historis dan sosiologis Aceh, merupakan elemen kunci untuk mencapai solusi yang tidak hanya adil secara hukum tetapi juga dapat diterima secara sosial dan politik. Intervensi pimpinan nasional, melalui mediasi dan kajian ulang yang imparsial, serta pembentukan regulasi yang komprehensif untuk penyelesaian sengketa antar-daerah juga akan sangat krusial dalam menciptakan kerangka penyelesaian yang berkelanjutan dan mencegah konflik serupa di masa depan. Demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merawat perdamaian yang telah dicapai melalui pengorbanan besar, dan memastikan stabilitas pembangunan regional, seluruh pihak berkepentingan diharapkan untuk mengedepankan semangat musyawarah mufakat, menghindari retorika yang memecah belah dan mengadu domba, dan secara proaktif mencari jalan keluar yang senantiasa menghormati martabat setiap wilayah serta memperkuat rasa persatuan dalam keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

 

Tag: #SengketaPulau #Aceh #SumateraUtara #BatasWilayah #Kemendagri #KonflikAceh #PulauPanjang #PulauLipan #PulauMangkir #OtonomiKhusus

 


0 comments:

Powered by DaysPedia.com
Waktu Saat Ini di Bangkok
65024pm
Sel, 4 Maret
6:32am 11:54 6:27pm
 
Top