ezdoubler

Dinamika Geopolitik Asia-Pasifik 2024-2025: Tantangan, Rivalitas, dan Strategi Adaptif

 


Ringkasan Eksekutif

Kawasan Asia-Pasifik saat ini berada dalam situasi geopolitik yang sangat rapuh, ditandai oleh kompleksitas dan intensifikasi ketegangan yang berlangsung sepanjang tahun 2024 dan diproyeksikan akan berlanjut hingga 2025. Laporan ini menganalisis secara mendalam dinamika yang didominasi oleh persaingan kekuatan besar antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang memanifestasikan diri dalam berbagai titik panas regional. Laut Tiongkok Selatan, Selat Taiwan, dan Semenanjung Korea menjadi episentrum ketegangan militer dan diplomatik, diperparah oleh sengketa wilayah yang belum terselesaikan dan krisis internal dengan dampak regional yang signifikan.

Arsitektur keamanan regional terus berevolusi, dengan pembentukan aliansi baru seperti AUKUS dan penguatan Quad yang memicu kekhawatiran akan perlombaan senjata dan tantangan terhadap norma-norma regional seperti Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ). Dampak ekonomi dari rivalitas ini, termasuk perang dagang dan fragmentasi rantai pasok, juga semakin terasa, memengaruhi pertumbuhan dan investasi di seluruh kawasan. Indonesia, sebagai pemain kunci dengan kebijakan luar negeri bebas-aktif, berupaya menavigasi kompleksitas ini melalui diplomasi multilateral dan penguatan pertahanan mandiri. Namun, pergeseran sentimen publik di beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Timur Laut menunjukkan kecenderungan menuju otonomi strategis yang lebih besar atau "multi-alignment."

Laporan ini menyimpulkan bahwa risiko konflik di Asia-Pasifik tetap tinggi, menuntut strategi adaptif yang memadukan diplomasi yang kuat, multilateralisme yang diperkuat, dan ketahanan ekonomi. Pencegahan eskalasi memerlukan komitmen kolektif terhadap hukum internasional dan dialog inklusif untuk menjaga stabilitas di kawasan yang vital ini.


I. Pendahuluan: Lanskap Geopolitik Asia-Pasifik yang Rapuh

Kawasan Asia-Pasifik tengah menghadapi periode krusial, diwarnai oleh jaring ketegangan geopolitik yang rumit dan terus meningkat secara signifikan sepanjang tahun 2024, dengan proyeksi volatilitas yang berlanjut hingga tahun 2025. Laporan ini menyajikan analisis tingkat ahli yang mendalam mengenai dinamika ini, dengan fokus pada interaksi persaingan kekuatan besar, titik-titik panas yang persisten, dan respons strategis dari para aktor regional.

Signifikansi strategis kawasan ini berasal dari dinamisme ekonominya yang tak tertandingi, jalur laut yang sangat penting, dan konsentrasi kekuatan global. Ketegangan yang berlaku terutama didorong oleh rivalitas yang kian memanas antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang meresapi berbagai domain mulai dari postur militer dan pembangunan aliansi hingga pengaruh ekonomi dan persaingan teknologi.

Laporan ini akan memberikan pemeriksaan komprehensif terhadap titik-titik panas utama – Laut Tiongkok Selatan, Selat Taiwan, dan Semenanjung Korea – di samping sengketa teritorial lain yang masih membara dan konflik internal dengan implikasi regional. Laporan ini akan menganalisis dampak dari arsitektur keamanan yang berkembang, termasuk aliansi seperti AUKUS dan Quad, dampak ekonomi dari gesekan geopolitik, dan pendekatan kebijakan luar negeri "bebas-aktif" Indonesia yang bernuansa, sebagai pemain regional yang sangat penting. Analisis ini akan memanfaatkan informasi terbaru yang tersedia dari tahun 2024 dan 2025 untuk memberikan perspektif yang tepat waktu dan berwawasan ke depan, mengidentifikasi tren yang mendasari, hubungan kausal, dan implikasi yang lebih luas bagi stabilitas regional dan global.


II. Titik Panas Utama dan Dinamika Regional

Bagian ini akan menggali lebih dalam area geografis spesifik yang mengalami peningkatan ketegangan, memberikan detail yang lebih terperinci dan menghubungkannya dengan narasi geopolitik yang lebih luas.

Tabel 1: Titik Panas Geopolitik Utama dan Status (2024-2025)

Titik Panas

Aktor Utama Terlibat

Sifat Ketegangan/Isu

Perkembangan Kunci (2024-2025)

Status/Prospek Saat Ini

Laut Tiongkok Selatan

Tiongkok, AS, Vietnam, Filipina, Malaysia, Indonesia, Australia, Inggris

Klaim teritorial, militerisasi, kebebasan navigasi, perlombaan senjata

Pengerahan bomber H-6 Tiongkok (Mei 2025), latihan gabungan sekutu (Sept 2024), kekhawatiran AUKUS terhadap SEANWFZ, negosiasi CoC berlanjut

Ketegangan tinggi, risiko eskalasi, diplomasi lambat

Selat Taiwan

Tiongkok, Taiwan, AS

Klaim kedaulatan, pelanggaran wilayah, dukungan militer, reformasi pertahanan

Peningkatan drastis incursions PLA/CCG (Jan-Mei 2025), simulasi blokade Kinmen, bantuan militer AS, tantangan reformasi militer Taiwan

Risiko krisis "cukup mungkin" (2025), tekanan militer Tiongkok meningkat

Semenanjung Korea

Korea Utara, Korea Selatan, Tiongkok, AS, Rusia

Program nuklir/rudal, provokasi perbatasan, aliansi baru

22 uji coba senjata strategis Korut (2024), pengembangan rudal hipersonik/ICBM, ledakan jalur perbatasan (Okt 2024), aliansi Korut-Rusia, pergeseran kebijakan Korsel

Ancaman nuklir meningkat, provokasi berlanjut, potensi pergeseran aliansi Korsel

Kepulauan Senkaku/Diaoyu

Tiongkok, Jepang

Sengketa teritorial, pelanggaran wilayah

Rekor aktivitas CCG Tiongkok (2024), kapal bersenjata berat, penolakan tuduhan pelanggaran udara

Ketegangan persisten, taktik "zona abu-abu" Tiongkok

Ambalat (Indonesia-Malaysia)

Indonesia, Malaysia

Sengketa teritorial maritim, sumber daya

Belum sepenuhnya terselesaikan meskipun komitmen penyelesaian, potensi ketegangan di bawah kepemimpinan baru

Belum terselesaikan, berpotensi menjadi sumber gesekan

Miangas (Indonesia-Filipina)

Indonesia, Filipina

Sengketa batas maritim, klaim tumpang tindih

Ketergantungan ekonomi lokal pada Filipina, klaim berbeda (UNCLOS vs. Traktat Paris), renovasi pos perbatasan tertunda

Belum terselesaikan, implikasi kedaulatan praktis

Penangkapan Ikan Ilegal (Vietnam)

Indonesia, Vietnam

Pelanggaran kedaulatan, pencurian sumber daya

Peningkatan kapal Vietnam yang ditangkap (2023-2025), peningkatan kasus illegal fishing secara keseluruhan

Berlanjut, tantangan penegakan hukum maritim

Pasir Laut (Singapura-Indonesia)

Indonesia, Singapura

Sengketa sumber daya, pengerukan ilegal

Penangkapan kapal pengeruk Singapura (Okt 2024), usulan larangan ekspor pasir laut

Berlanjut, isu kedaulatan dan lingkungan

Krisis Myanmar

Myanmar (Militer, Oposisi), Negara ASEAN, Komunitas Internasional

Konflik internal, krisis kemanusiaan, pengungsian

Penderitaan tak terduga (2024), 3 juta IDP, 70% di bawah garis kemiskinan, penolakan bantuan, tantangan prinsip non-intervensi ASEAN

Krisis kemanusiaan parah, tantangan kohesi ASEAN, belum ada solusi militer


A. Laut Tiongkok Selatan: Perairan yang Diperebutkan dan Peningkatan Kehadiran

Klaim Nine-Dash Line Tiongkok: Tantangan Hukum dan Penegasan Berkelanjutan

Inti dari sengketa di Laut Tiongkok Selatan berpusat pada klaim "sembilan garis putus-putus" Tiongkok yang sangat luas, yang tumpang tindih secara signifikan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Putusan penting pada tahun 2016 oleh Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag secara eksplisit menyatakan bahwa klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok "tidak memiliki dasar hukum berdasarkan hukum internasional," mengutip pertentangannya dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).1 Putusan ini juga menegaskan hak kedaulatan Filipina atas ZEE 200 mil lautnya.1

Terlepas dari penolakan hukum internasional ini, Tiongkok (RRT) dan Taiwan (ROC) terus menolak putusan tersebut dan menegaskan "hak historis" atas wilayah tersebut. Tiongkok bahkan memperluas klaimnya menjadi "sepuluh garis putus-putus" di sebelah timur Taiwan pada tahun 1984, yang oleh Grok AI digambarkan sebagai "sama tidak berdasarnya – murni pamer kekuatan geopolitik, bukan hukum".1 Pola ini, di mana Tiongkok secara konsisten mengabaikan putusan hukum internasional dan terus menegaskan klaimnya melalui kehadiran militer dan militerisasi, menunjukkan tantangan sistemik terhadap tatanan internasional berbasis aturan. Ini bukan sekadar sengketa bilateral, melainkan upaya yang disengaja untuk mengikis validitas dan efektivitas hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa teritorial secara global. Konsekuensinya, negara-negara pengklaim lainnya dan kekuatan eksternal terpaksa lebih mengandalkan proyeksi kekuatan dan pembangunan aliansi daripada jalur hukum, yang pada gilirannya meningkatkan militerisasi di kawasan tersebut.

Peningkatan Aktivitas Militer: Pengerahan Tiongkok dan Respons Regional

Ketegangan di Laut Tiongkok Selatan diperparah oleh peningkatan aktivitas militer yang nyata dari semua pihak. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Indonesia mencatat bahwa ketegangan AS-Tiongkok secara langsung telah menyebabkan peningkatan aktivitas militer di Laut Tiongkok Selatan, yang mengharuskan Indonesia untuk meningkatkan kesiapsiagaan di wilayah seperti Natuna.3

Sebuah perkembangan signifikan pada Mei 2025 adalah pengerahan dua bomber strategis jarak jauh H-6 oleh Tiongkok ke Pulau Yongxing (Pulau Woody) di Kepulauan Paracel yang disengketakan. Ini menandai pengerahan pertama sejak tahun 2020 dan terjadi di tengah meningkatnya ketegangan dengan Filipina dan peningkatan aktivitas militer Tiongkok di dekat Selat Taiwan, sesaat sebelum Dialog Shangri-La.4 Bomber H-6 ini mampu membawa rudal jelajah anti-kapal dan serangan darat, dengan beberapa varian mampu meluncurkan rudal balistik berhulu ledak nuklir.4 Pengerahan bomber H-6 ke Pulau Yongxing bukan tindakan biasa. Ini adalah platform canggih, jarak jauh, dan berpotensi berkemampuan nuklir. Pengerahan mereka, terutama setelah jeda lima tahun dan menjelang forum keamanan besar, memiliki banyak tujuan strategis. Ini menandakan kemampuan dan kesediaan Tiongkok untuk memproyeksikan kekuatan lebih dalam ke Laut Tiongkok Selatan, mengintimidasi negara-negara pengklaim seperti Filipina, dan mengirim pesan yang jelas kepada AS tentang jangkauan militer Tiongkok yang semakin besar. Fakta bahwa para analis tidak yakin mereka akan ditempatkan secara permanen di sana 4 menyiratkan strategi "rotasi pasukan melalui pangkalan" yang disengaja untuk demonstrasi pencegahan dan kesiapsiagaan. Langkah ini meningkatkan profil risiko di Laut Tiongkok Selatan, bergerak melampaui patroli rutin ke normalisasi aset strategis kelas atas di wilayah yang disengketakan. Ini memaksa angkatan laut regional untuk mengkalibrasi ulang penilaian ancaman mereka dan berpotensi mempercepat upaya modernisasi mereka sendiri, berkontribusi pada perlombaan senjata regional.

Sebagai respons, negara-negara sekutu dan mitra, termasuk Amerika Serikat, Filipina, dan Selandia Baru, melakukan latihan maritim gabungan di Laut Tiongkok Selatan pada akhir September 2024, yang bertujuan untuk mempromosikan "Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka" (FOIP).6 Indonesia dan Vietnam juga menyelaraskan upaya pertahanan mereka untuk melawan ekspansi maritim Tiongkok.6

Dampak AUKUS: Kekhawatiran Perlombaan Senjata, Implikasi SEANWFZ, dan Peran ASEAN

Pakta keamanan trilateral AUKUS, yang secara resmi dibentuk pada September 2021 antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat, bertujuan untuk memfasilitasi akuisisi kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia dan meningkatkan kerja sama dalam teknologi pertahanan canggih seperti siber, AI, dan teknologi kuantum.7 Mitra AUKUS meluncurkan Tantangan Inovasi Maritim 2025 untuk mendorong kemampuan mutakhir.9

Namun, inisiatif ini telah menimbulkan kekhawatiran signifikan di kawasan. Para kritikus dan negara-negara regional, termasuk Indonesia, menyatakan keprihatinan bahwa AUKUS dapat memicu perlombaan senjata dan merusak stabilitas regional.7 Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi pelanggaran Traktat Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ). Traktat ini, yang didirikan pada tahun 1995, mengikat negara-negara anggota ASEAN untuk menjaga Asia Tenggara sebagai zona bebas senjata nuklir dan melarang pengembangan, pembuatan, kepemilikan, penempatan, pengangkutan, pengujian, atau penggunaan senjata nuklir di dalam zona tersebut.7 Meskipun negara-negara AUKUS menyatakan bahwa kapal selam tersebut bertenaga nuklir, bukan bersenjata nuklir, perbedaan ini seringkali kabur dalam persepsi regional, dan kehadiran kapal-kapal semacam itu menimbulkan kecemasan proliferasi.10

AUKUS, yang dimaksudkan sebagai penyeimbang kekuatan Tiongkok yang berkembang, secara tidak sengaja telah menciptakan dilema keamanan bagi negara-negara non-blok di Asia Tenggara. Ini menantang prinsip SEANWFZ yang telah lama dipegang, yang merupakan landasan arsitektur keamanan regional ASEAN. Hal ini memaksa anggota ASEAN untuk mengambil posisi yang berbeda (misalnya, dukungan Filipina terhadap AUKUS versus kekhawatiran Indonesia), menguji persatuan dan sentralitas blok tersebut.7 Oleh karena itu, pakta AUKUS, meskipun memperkuat aliansi keamanan tertentu, berisiko memecah belah pendekatan kolektif ASEAN terhadap keamanan regional. Ini dapat mendorong negara-negara lain untuk mempertimbangkan peningkatan pertahanan mereka sendiri, yang berpotensi mengarah pada pembangunan senjata regional yang lebih luas dan membuat kawasan lebih rentan terhadap rivalitas kekuatan besar.

Indonesia, yang berkomitmen pada kebijakan luar negeri "bebas-aktif", telah mengambil sikap hati-hati namun tegas. Indonesia menekankan pentingnya transparansi dan kepatuhan terhadap UNCLOS untuk setiap kapal selam bertenaga nuklir yang melintasi jalur laut strategisnya (SLOC).10 Kebijakan Indonesia digambarkan sebagai "strategi lindung nilai yang canggih," menyeimbangkan penolakan terhadap teknologi nuklir melalui diplomasi multilateral dengan kerja sama keamanan bilateral dengan anggota AUKUS untuk meningkatkan kesadaran domain maritim.12

Upaya Diplomatik ASEAN: Kemajuan dan Tantangan Kode Etik (CoC)

Laut Tiongkok Selatan tetap berada di "halaman depan ASEAN," menjadikan stabilitasnya krusial bagi kepentingan ekonomi dan keamanan kawasan.13 Alat diplomatik utama ASEAN untuk mengelola sengketa dengan Tiongkok adalah Kode Etik (CoC). Hingga KTT ASEAN di Vientiane, Laos, pada Oktober 2024, diskusi mengenai CoC antara ASEAN dan Tiongkok masih berlangsung dan belum final.13 Meskipun demikian, ASEAN dan Tiongkok dilaporkan mempercepat negosiasi.13

Indonesia, yang menyadari ketegangan yang terus-menerus, secara proaktif menyerukan pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pada Januari 2024 untuk membahas isu Laut Tiongkok Selatan, menggarisbawahi komitmennya terhadap stabilitas regional melalui diplomasi.14 Namun, CoC telah dinegosiasikan selama lebih dari dua dekade. "Percepatan" pembicaraan yang terus-menerus tanpa finalisasi, bahkan di tengah insiden yang meningkat, menunjukkan adanya ketidaksesuaian mendasar. Meskipun ASEAN menekankan diplomasi dan stabilitas 13, tindakan asertif Tiongkok yang bersamaan (seperti pengerahan H-6 4) merusak semangat negosiasi ini. Proses CoC mungkin lebih berfungsi sebagai langkah pembangunan kepercayaan untuk mengelola, daripada menyelesaikan, sengketa, memungkinkan Tiongkok untuk melanjutkan kendali de facto-nya. Kemajuan CoC yang lambat, ditambah dengan tindakan unilateral Tiongkok, berisiko membuat upaya diplomatik ASEAN semakin tidak efektif dalam membentuk realitas di lapangan. Hal ini dapat menyebabkan persepsi menurunnya pengaruh ASEAN dalam mengelola tantangan keamanan regional, yang berpotensi mendorong negara-negara anggota secara individual untuk mencari jaminan keamanan eksternal.

B. Selat Taiwan: Titik Krusial Rivalitas Kekuatan Besar

Bagian ini akan menganalisis peningkatan ketegangan di sekitar Taiwan, dengan fokus pada aktivitas militer, dukungan internasional, dan tantangan pertahanan internal Taiwan.

Peningkatan Ketegangan: Incursions dan Latihan Militer Tiongkok

Ketegangan di Selat Taiwan telah meningkat secara signifikan, dengan Tiongkok secara konsisten meningkatkan tekanan militernya terhadap Taiwan. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dan Penjaga Pantai Tiongkok (CCG) telah menormalisasi tingkat aktivitas yang lebih tinggi di sekitar Taiwan, yang oleh Beijing dianggap sebagai entitas "separatis berbahaya".15

Pada Januari 2025, aktivitas udara dan laut PLA di sekitar Taiwan melonjak ke "tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," dengan 248 pesawat melintasi garis tengah Selat Taiwan (dibandingkan 72 pada Januari 2024) dan 200 kapal perang di perairan sekitarnya (dibandingkan 142 pada Januari 2024).16 Ini termasuk empat patroli kesiapan tempur gabungan, dengan dua di antaranya melibatkan penerbangan drone yang mengelilingi Taiwan, sebuah pola operasional baru dan agresif.16 CCG melakukan 74 incursions ke perairan terbatas Kinmen sejak Februari 2024, termasuk empat pada Mei 2025 saja, biasanya melibatkan empat kapal selama kurang lebih dua jam.15 Incursions ini dipandang sebagai "latihan untuk operasi memutus Kinmen dari pasokan atau intervensi melalui laut" dan upaya untuk "mendesensitisasi Taiwan dan mitranya terhadap intrusi semacam itu".15 Patroli CCG di sekitar Pulau Pratas juga meningkat pada tahun 2025, melampaui total incursions tahun 2024 pada bulan Mei, kemungkinan menunjukkan area fokus baru untuk mengikis kedaulatan Taiwan.15 Tiongkok juga melakukan latihan militer skala besar di sekitar Taiwan pada April 2025, yang digambarkan sebagai latihan "hukuman" dan "peringatan keras" terhadap kemerdekaan Taiwan.17

Tindakan Tiongkok bukan provokasi acak, melainkan peningkatan tekanan yang sistematis dan bertahap. Normalisasi incursions (74 insiden di sekitar Kinmen sejak Februari 2024 15), lonjakan aktivitas udara dan laut 16, dan "latihan untuk blokade" 15 menunjukkan strategi "katak mendidih" yang disengaja. Dengan secara bertahap meningkatkan "normal baru" kehadiran militer dan taktik zona abu-abu, Tiongkok bertujuan untuk mengikis kesadaran ancaman Taiwan, menghabiskan sumber dayanya, dan mendesensitisasi pengamat internasional, membuat langkah yang lebih agresif di masa depan (seperti blokade penuh) menjadi tidak terlalu mengejutkan atau tidak terlalu mungkin memicu respons yang kuat dan segera. Strategi ini menimbulkan tantangan besar bagi pencegahan. Ini memaksa Taiwan dan sekutunya untuk terus-menerus mengkalibrasi ulang apa yang merupakan "garis merah" dan berisiko salah perhitungan jika "incursion" rutin meningkat secara tak terduga. Hal ini juga memberikan tekanan besar pada anggaran pertahanan dan personel Taiwan.

Tabel 2: Aktivitas Militer Utama dan Tren di Wilayah Sengketa (2024-2025)

Wilayah

Aktor

Jenis Aktivitas

Statistik/Frekuensi Kunci (2024-2025)

Signifikansi/Tujuan

Selat Taiwan

PLA Tiongkok

Incursions Udara/Laut

248 pesawat melintasi garis tengah (Jan 2025 vs. 72 Jan 2024); 200 kapal perang (Jan 2025 vs. 142 Jan 2024) 16

Peningkatan tekanan militer, normalisasi aktivitas tinggi, pengujian respons Taiwan

Selat Taiwan (Kinmen)

CCG Tiongkok

Incursions Perairan Terbatas

74 incursions sejak Feb 2024; 4 incursions Mei 2025 15

Latihan untuk blokade, erosi kedaulatan, desensitisasi Taiwan

Selat Taiwan (Pratas)

CCG Tiongkok

Patroli Perairan Terbatas

Incursions 2025 melampaui total 2024 pada Mei; setidaknya 3 kali Mei 2025 15

Area fokus baru untuk erosi kedaulatan, pengurasan sumber daya Taiwan

Selat Taiwan

PLA Tiongkok

Latihan Militer Skala Besar

Latihan "hukuman" April 2025 17

Peringatan keras terhadap kemerdekaan Taiwan, unjuk kekuatan

Laut Tiongkok Selatan (Paracel)

PLA Tiongkok

Pengerahan Bomber Strategis

2 bomber H-6 di Pulau Yongxing Mei 2025 (pertama sejak 2020) 4

Sinyal strategis omni-directional ke Filipina, AS, dan pemangku kepentingan lainnya; demonstrasi kesiapan militer

Laut Tiongkok Selatan

AS, Filipina, Selandia Baru, dll.

Latihan Maritim Gabungan

Akhir September 2024 6

Promosi "Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka" (FOIP), respons terhadap agresivitas Tiongkok

Senkaku/Diaoyu

CCG Tiongkok

Aktivitas Kapal

Rekor aktivitas 2024; kapal bersenjata berat 19

Penegasan klaim teritorial, taktik zona abu-abu

Dukungan AS dan Postur Militer: Paket Bantuan dan Penyelarasan Strategis

Amerika Serikat terus memperkuat dukungan militernya untuk Taiwan, mencerminkan komitmennya terhadap keamanan pulau tersebut. Pada Oktober 2024, AS mengumumkan paket bantuan militer yang signifikan sebesar US836 juta dalam pengeluaran pertahanan dari AS.21 Dukungan ini mencakup pembelian sistem rudal permukaan-ke-udara (SAM) Amerika senilai $312,9 juta, yang akan ditempatkan di dekat Taipei untuk pertahanan rudal jarak menengah, serta dua sistem radar bergerak baru untuk deteksi ancaman.22 Pejabat AS, termasuk Menteri Pertahanan, secara konsisten menyatakan bahwa Tiongkok menimbulkan ancaman nyata di Indo-Pasifik dan bahwa AS berupaya menjaga perdamaian melalui kekuatan.21

AS memberikan bantuan militer dan mempertahankan penyelarasan strategis dengan Taiwan untuk mencegah agresi Tiongkok. Namun, "jaminan" kepada Taiwan ini dapat dianggap sebagai "provokasi" oleh Tiongkok, yang mengarah pada peningkatan ketegasan Tiongkok. Ini menciptakan dilema di mana tindakan penguatan pencegahan justru dapat secara tidak sengaja meningkatkan risiko konflik dengan memperkeras tekad Beijing. AS berusaha untuk menjaga keseimbangan antara meyakinkan Taiwan dan sekutunya tanpa secara terang-terangan memprovokasi Tiongkok ke dalam tindakan militer prematur. Efektivitas pencegahan AS bergantung pada kredibilitasnya, tetapi peningkatan frekuensi dan skala incursions Tiongkok menunjukkan bahwa Beijing mungkin sedang menguji batas-batas pencegahan ini. Hal ini dapat menyebabkan siklus eskalasi yang berkelanjutan, di mana tindakan masing-masing pihak dianggap sebagai ancaman oleh pihak lain, membuat de-eskalasi semakin sulit.

Reformasi Pertahanan Taiwan: Tantangan dan Implikasi bagi Kesiapsiagaan

Sebagai respons terhadap ancaman yang meningkat, Taiwan memulai reformasi militer yang signifikan, termasuk memperpanjang wajib militer dari empat bulan menjadi satu tahun, dimulai pada tahun 2024.23 Namun, reformasi ini menghadapi tantangan besar. Setahun setelah implementasi, militer mengakui tertinggal dari jadwal dalam melatih wajib militer karena kekurangan peralatan dan instruktur.23 Hanya 6% wajib militer yang memenuhi syarat memilih untuk mendaftar pada tahun 2024, dengan sebagian besar menunda untuk kuliah, yang menyebabkan penundaan dalam pelatihan khusus (drone, rudal Stinger, roket antitank).23

Kepercayaan publik terhadap militer juga terguncang oleh tingginya angka bunuh diri; 134 kematian personel militer akibat bunuh diri tercatat dari 2016-2024, dengan 13 di antaranya terjadi dalam empat bulan pertama tahun 2024 saja.23 Secara keseluruhan, personel militer menurun dari 165.000 pada tahun 2022 menjadi 153.000 pada tahun 2024.23 Sentimen "umpan meriam" di kalangan wajib militer muda semakin menunjukkan krisis kepercayaan.23 Meskipun bantuan militer eksternal sangat penting, kemampuan pertahanan internal Taiwan terganggu oleh masalah sistemik: moral rendah, kekurangan personel, pelatihan yang tidak memadai, dan kurangnya kepercayaan publik. Persepsi "umpan meriam" dan tingginya angka bunuh diri mengungkapkan masalah yang mendalam dalam sumber daya manusia militer. Kerentanan internal ini dapat secara serius memengaruhi kemampuan Taiwan untuk melakukan pertahanan berkelanjutan, bahkan dengan persenjataan canggih. Efektivitas dukungan militer eksternal terbatas jika struktur militer internal dan sumber daya manusia Taiwan tidak kuat. Kesenjangan ini merupakan kerentanan kritis yang dapat dieksploitasi Tiongkok, karena pertahanan yang kuat tidak hanya bergantung pada perangkat keras tetapi juga pada kekuatan tempur yang termotivasi, terlatih, dan tangguh. Ini juga menunjukkan bahwa strategi pertahanan "seluruh masyarakat" memerlukan penanganan kepercayaan masyarakat dan kesejahteraan militer.

Dampak Pemilihan Presiden Taiwan terhadap Hubungan Lintas Selat

Hasil pemilihan presiden Taiwan, yang diadakan pada Januari 2024, merupakan faktor signifikan yang memengaruhi dinamika lintas selat. Mantan Presiden Indonesia SBY menyoroti hal ini, memperingatkan bahwa pemilihan tersebut dapat memengaruhi geopolitik Asia-Pasifik, terutama jika presiden "anti-Tiongkok" terpilih.24 Memang, setelah pelantikan Presiden Lai Ching-te pada Mei 2024, incursions PLA ke ADIZ Taiwan melonjak dan tetap tinggi, rata-rata 304 per bulan, lebih dari dua kali lipat rata-rata dua tahun sebelumnya.15

Survei pada April 2025 menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Taiwan menolak kerangka "satu negara, dua sistem" Tiongkok, menandakan dukungan populer yang berkelanjutan untuk identitas Taiwan yang berbeda.26 Pemerintah Taiwan menekankan penyelesaian perbedaan melalui dialog untuk perdamaian dan saling menguntungkan.27 Pemilihan presiden Taiwan 2024 berfungsi sebagai pemicu yang jelas untuk intensifikasi tekanan militer Tiongkok. Beijing memandang Partai Progresif Demokratik (DPP) dan Presiden Lai Ching-te sebagai pro-kemerdekaan, secara langsung menantang prinsip "Satu Tiongkok"-nya. Lonjakan aktivitas militer berikutnya adalah respons hukuman langsung dan sinyal intoleransi Beijing terhadap setiap langkah yang dianggap menuju kemerdekaan formal. Perkembangan politik di Taiwan di masa depan, terutama yang dianggap Beijing sebagai tantangan terhadap status quo, sangat mungkin memprovokasi paksaan militer lebih lanjut. Ini menciptakan siklus di mana proses demokrasi di Taiwan secara tidak sengaja dapat menjadi titik nyala bagi ketidakstabilan regional, membuat Taiwan lebih sulit untuk mengejar lintasan politiknya tanpa tekanan eksternal.

C. Semenanjung Korea: Ancaman Nuklir yang Persisten dan Ketegangan Perbatasan

Bagian ini akan menganalisis tantangan keamanan yang sedang berlangsung yang ditimbulkan oleh ambisi nuklir Korea Utara dan hubungan antar-Korea, di samping kebijakan luar negeri Korea Selatan yang berkembang.

Program Nuklir dan Rudal Korea Utara: Perkembangan dan Pilihan Strategis

Korea Utara terus secara agresif memajukan program senjata nuklir dan rudalnya, meskipun ada sanksi internasional dan upaya diplomatik.28 Pada tahun 2024, Korea Utara melakukan 22 uji coba dan peluncuran senjata strategis, dengan sistem pengiriman nuklir taktis menyumbang 81% dari jumlah tersebut, menunjukkan bias yang jelas terhadap kemampuan nuklir taktis.29 Sistem baru yang diluncurkan termasuk dua jenis rudal balistik jarak menengah hipersonik (misalnya, Hwasong-16n) dan ICBM berbahan bakar padat terbaru (Hwasong-19).29 Meskipun peluncuran satelit mata-mata pada Mei 2024 gagal, Korea Utara menekankan pengerahan operasional senjata nuklir taktis dan kesediaannya untuk menggunakannya.29

Penilaian ancaman tahunan (ATA) komunitas intelijen AS tahun 2025 menunjukkan bahwa Kim Jong-un memandang senjata nuklir sebagai "penjamin keamanan rezim".28 Undang-undang Korea Utara tahun 2022 dilaporkan memperluas kondisi penggunaan nuklir untuk mencakup kemungkinan penggunaan pertama jika kelangsungan hidup rezim terancam.28 Pada Maret 2023, Kim memerintahkan "peningkatan persediaan senjata nuklir dan perluasan produksi bahan nuklir tingkat senjata".28 IAEA melaporkan pembangunan dan operasi di pabrik pengayaan sentrifugal uranium Yongbyon pada Maret 2025.28 Pergeseran Korea Utara dari pengujian menjadi penekanan pada "pengerahan operasional" dan "produksi massal" senjata nuklir taktis 28 menandakan perubahan kritis dalam strategi nuklirnya. Ini menunjukkan pergeseran dari postur pencegahan murni ke postur yang mencakup potensi penggunaan di medan perang, menurunkan ambang batas eskalasi nuklir. Undang-undang baru yang mengizinkan penggunaan pertama semakin menggarisbawahi pergeseran agresif ini. Operasionalisasi ini membuat ancaman konflik nuklir di Semenanjung Korea lebih langsung dan kompleks. Ini meningkatkan tekanan pada Korea Selatan dan AS untuk mengembangkan strategi pencegahan yang lebih kuat dan fleksibel yang memperhitungkan berbagai ancaman nuklir Korea Utara, termasuk serangan taktis.

Insiden Antar-Korea: Provokasi Perbatasan dan Respons

Semenanjung Korea tetap menjadi "titik panas".30 Pada Oktober 2024, Korea Utara meningkatkan ketegangan dengan meledakkan bagian-bagian jalan dan jaringan kereta api antar-Korea di sisi perbatasannya, yang mendorong Korea Selatan untuk merespons dengan "tembakan balasan".31 Aktivitas militer Korea Utara pada tahun 2024 mencakup "strategi zona abu-abu" berupa provokasi intensitas rendah, seperti penyebaran "balon kotoran" dan gangguan GPS terhadap Korea Selatan.29 Tindakan ini memperkuat pembagian dan memperkuat postur pertahanan Korea Utara.29

Penggunaan "provokasi intensitas rendah" dan "strategi zona abu-abu" oleh Korea Utara (misalnya, balon kotoran, gangguan GPS, penghancuran infrastruktur perbatasan) 29 bukan sekadar gangguan. Ini adalah taktik non-militer-kinetik yang disengaja yang dirancang untuk menguji tekad Korea Selatan, mengikis kepercayaan publiknya, dan secara bertahap menggeser status quo tanpa memicu respons militer skala penuh. Ini mencerminkan taktik Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan. Taktik-taktik ini memungkinkan Korea Utara untuk mempertahankan keadaan ketegangan yang meningkat dan mengkonsolidasikan kemampuan strategisnya tanpa melewati garis merah yang jelas yang akan mengundang pembalasan yang luar biasa. Ini membuat Korea Selatan dan AS sulit untuk merumuskan respons yang proporsional, meningkatkan risiko salah perhitungan atau eskalasi yang tidak disengaja jika salah satu insiden "intensitas rendah" ini lepas kendali.

Kebijakan Luar Negeri Korea Selatan yang Berkembang di Bawah Kepemimpinan Baru

Kemenangan kandidat oposisi Lee Jae-myung dalam pemilihan presiden ke-21 Korea Selatan pada 3 Juni 2025, menandakan potensi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Seoul.33 Lee diperkirakan akan menjauh dari inisiatif keamanan regional yang berpusat pada AS dan ramah Jepang dari pemerintahan sebelumnya, lebih memilih "keterlibatan hati-hati" dengan Tiongkok dan Rusia untuk memaksimalkan kemampuan manuver Korea Selatan dalam tatanan regional yang terpolarisasi.33 Pendekatannya terhadap Korea Utara berorientasi pada keterlibatan, termasuk melanjutkan jalur komunikasi, yang sangat kontras dengan pendekatan AS yang berorientasi pada pencegahan.33

Lee juga mendukung percepatan transfer kendali operasional masa perang (OPCON) dari AS ke militer Korea Selatan.33 Sentimen publik mencerminkan pergeseran ini, dengan jajak pendapat Gallup Korea tahun 2025 menunjukkan hanya 43% warga Korea Selatan yang mempercayai AS sebagai mitra jangka panjang (turun dari 64% pada tahun 2022), dan lebih dari 60% mendukung kebijakan luar negeri yang lebih netral.34 Pergeseran kepemimpinan baru Korea Selatan menuju "keterlibatan hati-hati" dengan Tiongkok dan Rusia, ditambah dengan pendekatan yang lebih berorientasi pada keterlibatan dengan Korea Utara, secara langsung menantang kohesi trilateral antara Korea Selatan, AS, dan Jepang. Perbedaan ini, terutama pada isu-isu seperti penegakan sanksi dan pencegahan nuklir yang diperluas, dapat menciptakan keretakan dalam sistem aliansi yang telah dibangun AS di Indo-Pasifik. Korea Selatan yang kurang selaras dapat memperumit upaya keamanan regional terhadap ambisi nuklir Korea Utara dan pengaruh Tiongkok yang semakin besar. Hal ini juga dapat mendorong negara-negara regional lainnya untuk mempertimbangkan kembali penyelarasan mereka sendiri, yang berpotensi melemahkan front kolektif melawan kekuatan revisionis dan membuat kawasan lebih rentan terhadap pengaruh eksternal.

D. Sengketa Regional Lainnya dan Konflik Internal

Di luar titik-titik panas utama, beberapa sengketa lain dan krisis internal berkontribusi pada kompleksitas kawasan.

Kepulauan Senkaku/Diaoyu: Peningkatan Aktivitas Tiongkok

Kepulauan Senkaku (Kepulauan Diaoyu di Tiongkok) yang tidak berpenghuni, diklaim oleh Jepang dan Tiongkok, tetap menjadi titik nyala potensial. Pada tahun 2024, Tiongkok mencatat rekor aktivitas di dekat pulau-pulau ini, dengan Penjaga Pantai Tiongkok (CCG) mengirimkan kapal-kapal yang lebih besar dan bersenjata berat ke perairan yang disengketakan.19 Tiongkok juga membantah tuduhan Jepang mengenai pelanggaran wilayah udara di dekat Senkaku.35 Kehadiran dan penegasan klaim yang persisten oleh Tiongkok ini menggarisbawahi pola yang lebih luas dari ketegasan teritorial di luar Laut Tiongkok Selatan. Peningkatan aktivitas CCG di sekitar Kepulauan Senkaku/Diaoyu, yang mencerminkan taktik di Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan, menunjukkan strategi yang konsisten dan terkoordinasi oleh Tiongkok untuk menegaskan klaim teritorialnya di berbagai sengketa maritim. Ini bukan insiden terisolasi, melainkan bagian dari pola operasi "zona abu-abu" yang lebih luas. Ketegasan multi-front ini memberikan tekanan berkelanjutan pada banyak negara regional secara bersamaan, meregangkan sumber daya mereka dan berpotensi menciptakan peluang bagi Tiongkok untuk mencapai kendali de facto di wilayah yang disengketakan.

Sengketa Maritim: Ambalat (Indonesia-Malaysia), Miangas (Indonesia-Filipina), Penangkapan Ikan Ilegal (Vietnam), Pasir Laut (Singapura-Indonesia)

  • Blok Ambalat (Indonesia-Malaysia): Wilayah kaya sumber daya di Laut Sulawesi ini tetap menjadi isu kontroversial dengan klaim yang tumpang tindih. Meskipun Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (keduanya menjabat pada tahun 2024) menawarkan peluang untuk kemitraan baru, sengketa ini belum sepenuhnya terselesaikan dan dapat tetap menjadi sumber ketegangan.36 Kedua negara telah berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa perbatasan, tetapi Blok Ambalat tidak secara eksplisit tercakup dalam perjanjian Juni 2023.37

  • Miangas (Indonesia-Filipina): Pulau Miangas yang terpencil di Indonesia, secara geografis lebih dekat ke Filipina, menghadapi tantangan termasuk klaim landas kontinen dan ZEE yang tumpang tindih, dengan Indonesia berpegang pada UNCLOS dan Filipina pada Traktat Paris.38 Ketergantungan lokal pada peso dan barang-barang Filipina menyoroti implikasi praktis dari perbatasan yang belum terselesaikan.38 Renovasi Pos Lintas Batas di Miangas tertunda hingga Januari 2025.39

  • Penangkapan Ikan Ilegal (Vietnam): Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia menunjukkan tren peningkatan penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal Vietnam di perairan Indonesia: 1 kapal tertangkap pada 2023, 3 pada 2024, dan 4 pada Mei 2025.40 Secara keseluruhan, kasus penangkapan ikan ilegal (asing dan domestik) meningkat dari 165 pada 2023 menjadi 212 pada 2024.40

  • Pasir Laut (Singapura-Indonesia): Isu ekspor pasir laut dan pengerukan ilegal terus menjadi titik pertikaian. Pada Oktober 2024, pihak berwenang Indonesia menangkap kapal keruk Singapura yang mencuri sekitar 100.000 meter kubik pasir laut per bulan dari perairan Batam.42 Ada usulan di parlemen Indonesia untuk menghindari pembukaan kembali ekspor pasir laut ke Singapura karena potensi dampak ekonomi negatif.43

Meskipun sengketa ini (Ambalat, Miangas, penangkapan ikan ilegal, pasir laut) mungkin tampak terlokalisasi atau kurang kritis dibandingkan rivalitas kekuatan besar, persistensi dan eskalasi sesekali mereka berkontribusi pada rasa ketidakstabilan regional yang lebih luas. Setiap masalah yang belum terselesaikan menambah gesekan pada hubungan bilateral, menghabiskan sumber daya diplomatik, dan dapat dieksploitasi oleh aktor eksternal yang mencari perpecahan. Insiden penangkapan ikan ilegal dan pasir laut, khususnya, menyoroti tantangan yang sedang berlangsung dalam penegakan hukum maritim dan pengelolaan sumber daya. Jika sengketa "minor" ini tidak ditangani atau dikelola dengan buruk, mereka dapat merusak kepercayaan dan kerja sama regional, mengalihkan perhatian dan sumber daya dari tantangan strategis yang lebih besar. Mereka juga mengungkap kerentanan dalam tata kelola maritim dan penegakan kedaulatan, yang dapat dieksploitasi oleh aktor yang lebih asertif.

Krisis Myanmar: Implikasi Kemanusiaan dan Keamanan Regional

Krisis politik dan kemanusiaan internal di Myanmar, menyusul kudeta tahun 2021, terus memiliki implikasi regional yang signifikan. Serangan militer terhadap warga sipil, penolakan bantuan kemanusiaan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis meluas dalam cakupan dan intensitas pada tahun 2024, menyebabkan penderitaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.44 Lebih dari 70% populasi dilaporkan hidup di bawah garis kemiskinan, dengan lebih dari tiga juta orang mengungsi secara internal (IDP).45

Krisis migrasi Rohingya, konsekuensi langsung dari konflik etnis yang berkepanjangan, menyajikan dilema bagi negara-negara Asia Tenggara, memaksa mereka untuk menyeimbangkan keamanan perbatasan dengan tanggung jawab kemanusiaan.46 Banyak negara regional telah memperketat kebijakan imigrasi, seringkali mengabaikan standar internasional untuk perlindungan pengungsi.46 Para ahli percaya bahwa tahun 2025 akan menjadi "tahun krusial bagi perdamaian di Myanmar," dengan kemenangan militer dianggap "tidak terbayangkan," yang hanya akan menyebabkan penderitaan yang lebih besar.45 Prinsip non-intervensi, landasan ASEAN, sedang ditantang karena krisis ini jelas merupakan masalah regional dan internasional.45

Krisis Myanmar, meskipun bersifat internal, secara langsung menantang prinsip dasar non-intervensi ASEAN dan kemampuannya untuk bertindak sebagai blok regional yang kohesif. Bencana kemanusiaan dan aliran pengungsi meluas ke negara-negara tetangga ASEAN, menciptakan beban keamanan dan sosial. Ketidakmampuan ASEAN untuk secara efektif menyelesaikan krisis secara internal atau menyepakati respons yang terpadu dan kuat menunjukkan keterbatasannya dan merusak kredibilitasnya sebagai aktor sentral dalam stabilitas regional. Krisis yang berkepanjangan di Myanmar berisiko menetapkan preseden bagi konflik internal untuk mengganggu stabilitas kawasan yang lebih luas tanpa intervensi regional yang efektif. Hal ini juga menyoroti ketegangan antara kedaulatan nasional dan tanggung jawab kemanusiaan, yang berpotensi menyebabkan fragmentasi lebih lanjut di dalam ASEAN mengenai cara mengatasi krisis tersebut.


III. Persaingan Geopolitik AS-Tiongkok: Dinamika Penentu

Bagian ini mengeksplorasi rivalitas menyeluruh antara Amerika Serikat dan Tiongkok, menguji dimensi strategis dan ekonominya.

A. Rivalitas Strategis dan Pembangunan Aliansi

Ambisi Hegemoni Regional Tiongkok: Evolusi dan Tantangan Belt and Road Initiative (BRI)

Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok, yang diluncurkan pada tahun 2013, awalnya bertujuan untuk memperluas pengaruh Tiongkok melalui kerja sama ekonomi, berupaya membangun blok dan rantai pasok yang dipimpin Tiongkok.47 Pada tahun 2025, BRI bergeser dari ekspansi kuantitatif ke peningkatan kualitatif, berfokus pada penyempitan daftar negara prioritas, memupuk sentimen pro-Tiongkok melalui pendidikan dan pelatihan kejuruan, serta memperluas di bidang ekonomi digital dan hijau.47 Pertemuan Dewan Penasihat Forum Belt and Road untuk Kerja Sama Internasional 2025 menekankan "Kerja Sama Belt and Road Berkualitas Tinggi untuk Membangun Dunia yang Terbuka, Inklusif, dan Saling Terhubung untuk Pembangunan Bersama".48

Namun, kemajuan di bidang digital dan hijau "tidak terlalu menonjol" karena persepsi yang tidak sesuai dan keengganan negara-negara penerima untuk terseret ke dalam konflik AS-Tiongkok.47 Lingkungan diplomatik yang tidak dapat diprediksi di bawah potensi pemerintahan Trump juga diperkirakan akan membuat pengelolaan BRI lebih sulit.47 Pergeseran BRI dari "kuantitas ke kualitas" dan fokusnya pada area spesifik seperti pelatihan kejuruan dan ekonomi digital/hijau 47 menunjukkan adaptasi strategis Tiongkok. Ini adalah respons terhadap kritik (misalnya, perangkap utang) dan pengakuan bahwa investasi infrastruktur saja tidak cukup untuk pengaruh jangka panjang, terutama ketika negara-negara penerima waspada untuk tidak terjebak dalam persaingan kekuatan besar. Evolusi ini menunjukkan strategi jangka panjang yang lebih halus dan berpotensi lebih efektif bagi Tiongkok untuk membangun pengaruh, bergerak melampaui leverage ekonomi murni ke integrasi sosial dan teknologi yang lebih dalam. Namun, tantangan (persepsi yang tidak sesuai, sensitivitas geopolitik, potensi kebijakan pemerintahan Trump) menunjukkan bahwa jalur BRI menuju dominasi global tidak terhalang.

Penyeimbangan Balik AS: Inisiatif Quad dan AUKUS

Amerika Serikat, sebagai respons terhadap ketegasan Tiongkok yang semakin meningkat, telah memperkuat aliansi yang ada dan membentuk kemitraan baru. Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad), yang terdiri dari AS, Jepang, India, dan Australia, berfungsi sebagai kerangka kerja penting untuk kerja sama yang bertujuan menjaga "Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, dan inklusif".8 Quad adalah kemitraan multidimensional yang mencakup aspek ekonomi, teknologi, dan pencegahan strategis.8

AUKUS, pakta keamanan trilateral dengan Inggris dan Australia, merupakan komponen signifikan dari strategi penyeimbangan balik ini, terutama melalui penyediaan kapal selam bertenaga nuklir kepada Australia dan kerja sama dalam teknologi pertahanan canggih.8 Tantangan Inovasi Maritim AUKUS 2025 menyoroti upaya berkelanjutan untuk mengintegrasikan inovasi pertahanan di antara para mitra.9 Pembentukan dan penguatan aliansi seperti Quad dan AUKUS secara eksplisit dirancang untuk mencegah ambisi regional Tiongkok dan menjaga keseimbangan kekuatan. Mereka memberikan keamanan kolektif dan keuntungan teknologi. Namun, dari perspektif Tiongkok, aliansi ini dipandang sebagai upaya penahanan, yang mengarah pada eskalasi aktivitas militer dan pengerasan posisi secara bergantian. Ini menciptakan dilema keamanan di mana upaya untuk meningkatkan keamanan di satu sisi dianggap sebagai ancaman oleh pihak lain. Meskipun aliansi ini memperkuat keamanan negara-negara anggota, mereka juga berkontribusi pada militerisasi Indo-Pasifik dan meningkatkan risiko salah perhitungan. Kawasan ini semakin terbagi menjadi blok-blok yang bersaing, menantang posisi non-blok tradisional banyak negara Asia Tenggara dan mempersulit pembentukan mekanisme keamanan regional yang inklusif.

B. Interdependensi dan Kerentanan Ekonomi

Bagian ini akan menganalisis bagaimana ketegangan geopolitik memengaruhi ekonomi global dan regional, terutama dalam perdagangan, investasi, dan rantai pasok.

Perang Dagang dan Fragmentasi Rantai Pasok: Dampak pada Ekonomi Global dan Regional

Perang dagang antara AS dan Tiongkok, yang kembali memanas oleh tarif tinggi dari pemerintahan Trump pada tahun 2025, merupakan pendorong utama ketegangan ekonomi global.3 AS memberlakukan tarif tambahan sebesar 32% untuk produk Tiongkok, dengan rencana 10-20% untuk semua impor, yang dibalas oleh Tiongkok.3 Ketegangan ini, bersama dengan konflik yang sedang berlangsung (misalnya, Rusia-Ukraina, Timur Tengah) dan kebijakan proteksionis, menciptakan tekanan signifikan terhadap stabilitas ekonomi dan sentimen investor secara global.49 Hal ini menyebabkan volatilitas harga komoditas, gangguan pasokan energi, dan ketidakpastian investasi global.49

Munculnya kebijakan "reshoring" dan "friend-shoring," yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan rantai pasok domestik, meningkatkan biaya produksi dan risiko inflasi jangka panjang.49 Keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global membuat pasar domestiknya rentan terhadap tekanan eksternal ini.49 Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi untuk negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik akan melambat menjadi 4,9% pada tahun 2025, turun dari 5% pada tahun 2024, sebagian karena peningkatan tarif AS, ketidakpastian kebijakan, dan potensi tindakan balasan.51 "Perang dagang" bukan hanya tentang persaingan ekonomi; ini adalah penggunaan kebijakan ekonomi yang disengaja untuk tujuan geopolitik. Pergeseran menuju "reshoring" dan "friend-shoring" 49 menandakan evaluasi ulang mendasar terhadap efisiensi rantai pasok global demi keamanan nasional dan penyelarasan geopolitik. Ini berarti keputusan ekonomi semakin didikte oleh pertimbangan strategis daripada logika pasar murni. Tren ini memfragmentasi sistem ekonomi global, menciptakan rantai pasok paralel dan berpotensi mengarah pada ekonomi global yang kurang efisien tetapi lebih "aman." Ini memaksa negara-negara, termasuk Indonesia, untuk mendiversifikasi kemitraan ekonomi mereka dan membangun ketahanan domestik untuk mengurangi guncangan eksternal, mempercepat decoupling yang lebih luas di sektor-sektor kritis.

Tren Investasi Asing Langsung (FDI): Pengaruh Geopolitik pada Arus Investasi

Investasi Asing Langsung (FDI) global telah mengalami penurunan untuk tahun kedua berturut-turut, didorong oleh meningkatnya ketegangan perdagangan.52 Di Indonesia, meskipun total investasi meningkat pada awal 2025, pertumbuhan ini terutama didorong oleh investasi domestik (PMDN), dengan FDI hanya berkontribusi sebagian kecil. Tren ini menunjukkan bahwa investor asing menjadi lebih berhati-hati terhadap prospek bisnis di Indonesia.53

Penurunan FDI disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan regulasi, ketidakpastian hukum, dan meningkatnya nasionalisme ekonomi secara internal, diperparah oleh konflik geopolitik global secara eksternal.53 Sektor-sektor yang sangat bergantung pada FDI, seperti logam dasar, pertambangan, kimia, dan farmasi, sangat terpengaruh.53 Pengurangan arus modal asing menyebabkan kesulitan dalam mengakses modal untuk proyek-proyek skala besar, membatasi transfer teknologi dan praktik manajemen modern ke perusahaan lokal, dan dapat menghambat penciptaan lapangan kerja.53 Penurunan FDI global dan pergeseran menuju investasi domestik di negara-negara seperti Indonesia 53 menunjukkan bahwa risiko geopolitik kini menjadi faktor utama dalam keputusan investasi, berpotensi mengalahkan pertimbangan ekonomi tradisional seperti ukuran pasar atau biaya tenaga kerja. Investor memprioritaskan stabilitas dan prediktabilitas daripada potensi pengembalian yang lebih tinggi di wilayah yang bergejolak. Tren "de-risking" 54 memaksa perusahaan untuk menilai kembali jejak global mereka berdasarkan penyelarasan geopolitik. Rekalibrasi arus investasi ini dapat menyebabkan ekonomi global dua kecepatan, di mana investasi terkonsentrasi di wilayah yang "aman" secara geopolitik, sementara pasar berkembang yang "berisiko" berjuang untuk menarik modal, yang berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi global dan menghambat pembangunan di negara-negara rentan. Hal ini juga memerlukan strategi pemerintah yang proaktif untuk meningkatkan iklim investasi dan mendiversifikasi sumber pendanaan.


IV. Perspektif Regional dan Posisi Strategis Indonesia

Bagian ini akan menganalisis peran blok regional, khususnya ASEAN, dan menggali kebijakan luar negeri Indonesia yang bernuansa dalam menavigasi lanskap geopolitik yang kompleks.

A. Sentralitas ASEAN dan Pandangan Anggota yang Beragam

Tantangan terhadap Persatuan dan Efektivitas ASEAN

Komitmen jangka panjang ASEAN untuk menjaga Asia Tenggara sebagai Zona Damai, Kebebasan, dan Netralitas (ZOPFAN) dan Zona Bebas Senjata Nuklir (SEANWFZ) sedang diuji oleh munculnya pakta keamanan baru seperti AUKUS.10 Program kapal selam nuklir AUKUS menantang komitmen bebas nuklir ASEAN dan memperkenalkan ketidakpastian baru, terutama karena kapal selam ini kemungkinan akan melewati Jalur Laut Komunikasi (SLOC) Indonesia.10 Munculnya pakta ini menguji netralitas ASEAN, dengan pandangan yang berbeda di antara para anggotanya.10 Krisis Myanmar juga secara signifikan menantang persatuan ASEAN dan prinsip non-intervensinya, karena gejolak kemanusiaan dan politik memiliki efek limpahan regional.45

ASEAN beroperasi berdasarkan prinsip konsensus dan non-intervensi, yang secara historis memungkinkannya untuk menjaga persatuan di antara negara-negara anggota yang beragam. Namun, besarnya tantangan geopolitik saat ini (AUKUS, Laut Tiongkok Selatan, Myanmar) memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada model ini. Kepentingan nasional yang berbeda dan tekanan eksternal membuat ASEAN semakin sulit untuk merumuskan respons yang terpadu dan efektif, yang mengarah pada persepsi melemahnya "Sentralitas ASEAN." Jika ASEAN tidak dapat secara efektif mengatasi tantangan internal dan eksternal ini, relevansinya sebagai arsitektur keamanan dan diplomatik regional utama dapat berkurang. Hal ini dapat menyebabkan tatanan regional yang lebih terfragmentasi di mana negara-negara individual mengejar pengaturan bilateral, yang selanjutnya memperumit upaya keamanan kolektif dan berpotensi meningkatkan ketidakstabilan.

Peran Mekanisme yang Dipimpin ASEAN (ARF, EAS, ADMM-Plus) dalam De-eskalasi

Meskipun ada tantangan, mekanisme yang dipimpin ASEAN seperti Forum Regional ASEAN (ARF) dan KTT Asia Timur (EAS) terus memainkan peran krusial dalam mempromosikan saling percaya dan pengertian di kawasan.55 EAS, yang merayakan ulang tahun ke-20 pada tahun 2025, berfungsi sebagai platform yang dipimpin para pemimpin untuk dialog tentang isu-isu strategis, politik, dan ekonomi, menjunjung tinggi Sentralitas ASEAN dan mendukung Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP).56 India, misalnya, secara aktif berpartisipasi dalam aktivitas ARF mengenai keamanan maritim dan non-proliferasi.55 Yayasan ASEAN, bekerja sama dengan mitra dialog, menyelenggarakan Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AFMAM) EAS 2025 di Jakarta (September 2025) untuk memperkuat diplomasi dan melibatkan peserta muda dalam kerja sama regional.56 Keberadaan dan aktivitas ARF, EAS, dan mekanisme lain yang dipimpin ASEAN yang berkelanjutan menunjukkan pentingnya fundamental mereka sebagai platform untuk dialog dan pembangunan kepercayaan di kawasan yang bergejolak. Mereka menyediakan ruang vital untuk komunikasi di antara berbagai aktor, termasuk kekuatan besar. Meskipun forum-forum ini penting untuk mengelola ketegangan dan memupuk pemahaman, dampaknya dalam menyelesaikan sengketa geopolitik inti secara langsung atau mencegah persaingan kekuatan besar tetap terbatas. Mereka lebih berfungsi sebagai "katup pengaman" dan sarana komunikasi daripada mekanisme penyelesaian konflik yang menentukan, terutama ketika kekuatan besar memprioritaskan tindakan unilateral di atas konsensus multilateral.

B. Kebijakan Luar Negeri Bebas-Aktif Indonesia

Menjaga Netralitas di Tengah Persaingan Kekuatan Besar

Indonesia menganut kebijakan luar negeri "bebas-aktif," yang bertujuan untuk menjaga netralitas sambil secara aktif mendorong perdamaian melalui ASEAN dan dialog multilateral.12 Kebijakan ini merupakan warisan Sukarno, yang dihidupkan kembali di era multipolaritas.34 Posisi geografis Indonesia yang strategis menempatkannya di tengah pusaran konflik regional, terutama terkait Laut Tiongkok Selatan dan AUKUS.10 Indonesia menekankan pentingnya menjaga stabilitas tanpa terjebak dalam blok-blok kekuatan [User Query]. Presiden Indonesia Ganjar Pano (dalam KTT Maret 2025) menyatakan, "Asia Tenggara tidak akan menjadi papan catur siapa pun; kami adalah pemain sekarang, bukan pion," menandakan niat jelas Indonesia untuk menyeimbangkan kemerdekaan dan kepemimpinan regional.34 Para pembuat kebijakan Indonesia telah menyatakan frustrasi dengan ketidakpastian AS, terutama dalam kerja sama perdagangan dan iklim.34

Kebijakan "bebas-aktif" Indonesia berkembang dari posisi non-blok tradisional menjadi "strategi lindung nilai" yang lebih asertif.12 Ini berarti secara aktif terlibat dengan semua kekuatan besar, termasuk memperdalam kerja sama keamanan bilateral dengan anggota AUKUS sambil juga meningkatkan kerja sama pertahanan non-konvensional dengan Rusia dan Tiongkok.12 Ini bukan netralitas pasif, melainkan upaya dinamis untuk memaksimalkan otonomi strategis dan menghindari ketergantungan eksklusif pada satu kekuatan, terutama mengingat ketidakpastian AS yang dirasakan.34 Strategi lindung nilai yang canggih ini, jika berhasil, dapat berfungsi sebagai model bagi kekuatan menengah lainnya di Indo-Pasifik. Namun, ini juga menuntut kelincahan diplomatik yang luar biasa dan kemampuan pertahanan internal yang kuat untuk menghindari terjebak dalam baku tembak atau dianggap tidak dapat diandalkan oleh kekuatan besar mana pun. Risiko bagi AS adalah "secara perlahan dikalahkan oleh salah satu".34

Pentingnya Strategis dan Kepemimpinan Regional

Komitmen Indonesia untuk memperkuat pertahanan maritimnya terlihat jelas, dengan peningkatan alokasi anggaran (peningkatan 21% pada tahun 2023) untuk modernisasi radar dan kapal patroli, khususnya di Natuna.3 Ada juga fokus pada integrasi perencanaan ekonomi pertahanan ke dalam rencana pembangunan nasional, termasuk teknologi dual-use dan peningkatan kapasitas angkatan laut di titik-titik sempit strategis seperti Selat Malaka dan Natuna.3 Indonesia menganjurkan transparansi maritim sebagai kunci stabilitas di Indo-Pasifik, bertujuan untuk mencegah perilaku agresif dan konflik melalui dialog dan kerja sama tanpa memihak klaim teritorial mana pun.57

Peningkatan pengeluaran pertahanan Indonesia, fokus pada Natuna, dan penekanan pada transparansi maritim 3 menunjukkan ambisi yang berkembang untuk menjadi "titik tumpu strategis" di Indo-Pasifik. Ini melampaui netralitas semata; ini tentang secara aktif membentuk lingkungan keamanan regional melalui peningkatan kemampuan dan inisiatif diplomatik, terutama dalam kesadaran domain maritim. Pergeseran yang diusulkan dari gerbang ekspor-impor utama ke wilayah Indonesia Timur juga menandakan reorientasi ekonomi strategis.57 Sikap proaktif Indonesia ini dapat memperkuat kekuatan kolektif ASEAN dan memberikan suara regional yang lebih kuat dalam mengelola persaingan kekuatan besar. Namun, ini juga membutuhkan investasi signifikan dan kemauan politik yang berkelanjutan untuk menjembatani kesenjangan antara ambisi dan kemampuan, terutama di kawasan di mana kekuatan lain dengan cepat memodernisasi pasukan mereka.


V. Prospek dan Implikasi bagi Stabilitas Regional

Bagian ini mensintesis analisis ahli dan sentimen publik untuk memprediksi skenario dan risiko potensial.

A. Analisis Ahli dan Prediksi Eskalasi Konflik

  • Prospek Keseluruhan: Asia-Pasifik dicirikan oleh ketidakpastian tinggi dan rivalitas geopolitik yang persisten, yang dapat memicu konflik lintas batas baru pada tahun 2025.54 Lingkungan global digambarkan sebagai "era gejolak".58

  • Laut Tiongkok Selatan: Para ahli memprediksi situasi akan tetap "panas tanpa mendidih" pada tahun 2025.59 Masa jabatan kedua Donald Trump dapat membawa lebih banyak ketidakpastian, dengan fokus yang lebih sedikit pada Laut Tiongkok Selatan, yang berpotensi mengarah pada periode yang lebih tenang jika perhatian AS berkurang.59 Namun, aktivitas pembangunan pulau Vietnam dan aktivitas pengembangan minyak/gas Malaysia dicatat sebagai pemicu eskalasi.59

  • Selat Taiwan: Para ahli kebijakan luar negeri AS, menurut Council on Foreign Relations, percaya bahwa krisis keamanan di Selat Taiwan "cukup mungkin terjadi pada tahun 2025," dengan kerugian signifikan bagi kepentingan AS jika itu terwujud.22 Beberapa mantan pemimpin militer AS telah memprediksi invasi Tiongkok pada tahun 2025 atau 2027.60 Taiwan melakukan simulasi perang meja pada Januari 2025 yang mensimulasikan invasi RRT yang didukung oleh Iran, Korea Utara, dan Rusia, termasuk potensi pemutusan kabel bawah laut.22 Taiwan juga berencana untuk mensimulasikan skenario invasi 2027 dalam latihan perang tahunan Han Kuang pada Juli 2025.61

  • Semenanjung Korea: Korea Utara diperkirakan akan melancarkan "serangan yang lebih agresif" terhadap Korea Selatan dan Amerika Serikat pada tahun 2025, yang bertujuan untuk memprovokasi ketegangan maksimum untuk negosiasi baru.29 Tahun ini menandai kesimpulan rencana pembangunan pertahanan lima tahun Korea Utara dan peringatan 80 tahun Partai Buruh.29

  • Myanmar: Para ahli percaya tahun 2025 akan menjadi "tahun krusial bagi perdamaian," dengan kemenangan militer menjadi "tidak terbayangkan".45

Beberapa analisis ahli menunjukkan tahun 2025 sebagai tahun kritis untuk potensi eskalasi di berbagai titik nyala. Prediksi untuk Taiwan (invasi pada tahun 2025 atau 2027 60, krisis "cukup mungkin" pada tahun 2025 22), ditambah dengan rencana ofensif agresif Korea Utara untuk tahun 2025 29, menunjukkan konvergensi garis waktu yang berbahaya. Ini bukan hanya tentang insiden yang terisolasi, tetapi lingkungan regional yang siap untuk krisis simultan atau berjenjang. Konvergensi ini menuntut strategi pencegahan yang sangat terkoordinasi dan komprehensif dari AS dan sekutunya, serta mekanisme manajemen krisis regional yang kuat. Risiko satu konflik meluas atau memicu konflik lain meningkat secara signifikan, yang berpotensi mengarah pada konflik regional yang lebih luas.

B. Sentimen Publik dan Pergeseran Aliansi di Negara-negara Kunci

  • Vietnam: Survei nasional pada Maret 2025 menunjukkan hanya 38% orang dewasa Vietnam yang memandang AS sebagai mitra yang dapat diandalkan, turun dari 61% pada tahun 2023, menyusul tarif AS atas elektronik dan alas kaki Vietnam.34 Vietnam merespons dengan menandatangani perjanjian perdagangan strategis baru dengan Tiongkok dan Korea Selatan, memprioritaskan kedaulatan dan mencari "teman, bukan tuan".34

  • Indonesia: Para pembuat kebijakan Indonesia frustrasi dengan ketidakpastian AS dalam kerja sama perdagangan dan iklim. Pernyataan Presiden Ganjar Pano pada Maret 2025, "Asia Tenggara tidak akan menjadi papan catur siapa pun," mencerminkan pergeseran yang jelas menuju penyeimbangan kemerdekaan dan kepemimpinan regional, tidak lagi condong ke barat.34

  • Korea Selatan: Jajak pendapat Gallup Korea tahun 2025 menunjukkan hanya 43% warga Korea Selatan yang mempercayai AS sebagai mitra jangka panjang (turun dari 64% pada tahun 2022), dengan lebih dari 60% mendukung kebijakan luar negeri yang lebih netral, menyusul tarif AS atas baja dan semikonduktor Korea Selatan.34 Pergeseran ini juga dipengaruhi oleh pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol pada Februari 2025 dan bangkitnya kepemimpinan baru.34

  • Filipina: Meskipun latihan Balikatan 2025 menyoroti komitmen multinasional terhadap keamanan Filipina 62, Filipina "diam-diam menulis ulang buku pedomannya," bergerak dari sekutu setia AS menjadi pemain kekuatan regional dengan pemikirannya sendiri, terlibat dalam program berbagi drone dengan Pakistan dan Filipina.34 Tiongkok kini memandang Filipina sebagai sekutu AS, melihat sedikit keuntungan dari menarik kembali aktivitas asertifnya.63

  • Australia: Sikap publik pada tahun 2024 menunjukkan 53% memandang Tiongkok sebagai ancaman keamanan, sementara 44% melihatnya sebagai mitra ekonomi, sebuah plateau dari tahun 2023.64 Meskipun 83% memandang aliansi AS penting untuk keamanan, 75% juga percaya bahwa itu membuat Australia lebih mungkin terseret ke dalam perang di Asia.64 Kekhawatiran juga ada mengenai implementasi AUKUS.65

  • Jepang: Jepang mengejar integrasi militer yang lebih dalam dengan AS dan meningkatkan dukungan untuk AS dalam kontingensi Taiwan, meskipun ada keengganan publik terhadap sifat radikal perubahan ini.66

Pergeseran sentimen publik dan posisi kebijakan luar negeri di Vietnam, Indonesia, Korea Selatan, dan Filipina menunjukkan tren regional yang lebih luas menjauh dari penyelarasan eksklusif dengan AS menuju "multi-alignment" atau lindung nilai yang canggih. Hal ini didorong oleh kombinasi ketidakpastian AS yang dirasakan (tarif, pergeseran kepemimpinan politik), pengaruh ekonomi dan militer Tiongkok yang berkembang, dan keinginan untuk otonomi dan kedaulatan strategis yang lebih besar. Negara-negara mencari "rencana cadangan" dan "teman, bukan tuan".34 Tren ini memperumit strategi berbasis aliansi AS di Indo-Pasifik, karena sekutu atau mitra tradisional mungkin menjadi kurang dapat diandalkan atau lebih transaksional. Hal ini dapat menyebabkan lingkungan keamanan regional yang lebih cair dan tidak dapat diprediksi, di mana negara-negara mengejar kemitraan yang beragam untuk memaksimalkan kepentingan nasional mereka, yang berpotensi merusak upaya pencegahan kolektif terhadap kekuatan revisionis.

Tabel 4: Pergeseran Sentimen Publik terhadap Kekuatan Besar (2024-2025)

Negara

Sentimen Kunci

Data/Tren Spesifik (2024-2025)

Faktor Pendorong

Implikasi bagi Penyelarasan

Vietnam

Kepercayaan pada AS sebagai mitra

Turun ke 38% (Maret 2025) dari 61% (2023) 34

Tarif AS pada elektronik/alas kaki, mencari otonomi strategis

Multi-alignment, perjanjian perdagangan baru dengan Tiongkok/Korsel

Indonesia

Kebijakan luar negeri

"Tidak lagi condong ke barat," "bukan papan catur siapa pun" 34

Frustrasi dengan ketidakpastian AS (perdagangan, iklim)

Lindung nilai canggih, otonomi strategis, kepemimpinan regional

Korea Selatan

Kepercayaan pada AS sebagai mitra jangka panjang; kebijakan luar negeri

Turun ke 43% (2025) dari 64% (2022); >60% dukung kebijakan netral 34

Tarif AS (baja, semikonduktor), pemakzulan Presiden Yoon (Feb 2025), kepemimpinan baru

Keterlibatan hati-hati dengan Tiongkok/Rusia, tantangan kohesi aliansi

Filipina

Hubungan dengan AS; peran regional

"Menulis ulang buku pedoman," dari sekutu setia AS menjadi pemain kekuatan regional 34

Tiongkok memandang Filipina sebagai sekutu AS 63, mencari otonomi

Lebih mandiri, berbagi drone (Pakistan/Filipina)

Australia

Tiongkok sebagai ancaman vs. mitra; aliansi AS

53% ancaman keamanan, 44% mitra ekonomi (2024); 75% percaya aliansi AS tingkatkan risiko perang 64

Kekhawatiran implementasi AUKUS 65

Keseimbangan kepentingan ekonomi/keamanan, dilema aliansi

Jepang

Integrasi militer dengan AS

Peningkatan dukungan AS dalam kontingensi Taiwan 66

Kekhawatiran ancaman Tiongkok/Korut/Rusia 66

Integrasi militer yang lebih dalam dengan AS, retisensi publik

C. Skenario dan Risiko Potensial

Diskusi di X (Twitter) mengenai potensi perang regional, bahkan "Perang Dunia III," akibat unjuk kekuatan militer Tiongkok, meskipun merupakan skenario tingkat tinggi, menggarisbawahi ketegangan dan pembangunan militer yang nyata. "Era gejolak" 58 dan rivalitas geopolitik yang persisten 54 menunjukkan kemungkinan tinggi ketegangan yang berlanjut, jika tidak meningkat. Risiko salah perhitungan tetap tinggi, terutama di wilayah maritim yang ramai dan disengketakan seperti Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan, di mana incursions dan latihan yang sering meningkatkan kemungkinan bentrokan yang tidak disengaja.

Diskusi publik tentang "Perang Dunia III" dan latihan militer yang sering dilakukan oleh kekuatan besar bukan hanya ancaman kosong; mereka berkontribusi pada lingkungan psikologis ketegangan yang meningkat. Normalisasi retorika berisiko tinggi dan postur militer ini, meskipun dimaksudkan untuk mencegah, juga meningkatkan beban kognitif dan stres pada para pengambil keputusan, meningkatkan risiko reaksi berlebihan atau salah tafsir selama krisis. Lingkungan ini memerlukan saluran komunikasi krisis yang kuat dan mekanisme de-eskalasi untuk mencegah eskalasi retoris atau taktis agar tidak berubah menjadi konflik yang tidak disengaja. Persepsi "risiko Perang Dunia III" juga dapat memengaruhi opini publik dan pilihan kebijakan dengan cara yang semakin memperburuk ketegangan.


VI. Rekomendasi untuk Mempromosikan Perdamaian dan Stabilitas

Bagian ini akan menawarkan rekomendasi konkret dan dapat ditindaklanjuti berdasarkan analisis sebelumnya.

Penguatan Diplomasi Multilateral dan Dialog

Memprioritaskan dan memberdayakan mekanisme yang dipimpin ASEAN (ARF, EAS, ADMM-Plus) sebagai platform sentral untuk dialog inklusif dan pembangunan kepercayaan. Forum-forum ini, terlepas dari keterbatasannya, adalah satu-satunya arsitektur regional yang ada yang menyatukan semua pemangku kepentingan utama, termasuk kekuatan besar. Meningkatkan efektivitasnya dapat mendorong transparansi, mengurangi kesalahpahaman, dan menyediakan saluran untuk de-eskalasi. Tindakan spesifik termasuk mempercepat finalisasi dan implementasi Kode Etik yang mengikat secara hukum dan efektif di Laut Tiongkok Selatan. Mendukung inisiatif seperti AFMAM EAS 2025 Yayasan ASEAN 56 untuk membangun kapasitas diplomatik di kalangan pemimpin masa depan juga krusial.

Peningkatan Kerja Sama Keamanan Regional

Mendorong inisiatif kerja sama keamanan praktis dan non-tradisional yang melampaui blok geopolitik. Meskipun persaingan kekuatan besar mendorong pembangunan militer, area seperti kesadaran domain maritim, bantuan bencana, kontra-terorisme, dan keamanan siber menawarkan titik temu untuk kerja sama, membangun kepercayaan dan interoperabilitas di antara pasukan regional tanpa penyelarasan militer langsung. Indonesia harus melanjutkan "strategi lindung nilai yang canggih" 12 dengan terlibat dalam latihan gabungan dengan berbagai mitra (misalnya, AS, Jepang, India, Rusia, Tiongkok) dalam pertahanan non-konvensional dan keamanan maritim, memastikan tidak terjebak dalam orbit tertentu.

Promosi Ketahanan Ekonomi dan Diversifikasi

Mengembangkan strategi nasional dan regional yang kuat untuk mengurangi dampak ekonomi dari ketegangan geopolitik, perang dagang, dan fragmentasi rantai pasok. Kerentanan ekonomi dapat dieksploitasi untuk leverage geopolitik. Membangun ketahanan mengurangi ketergantungan pada pasar tunggal atau jalur pasokan, meningkatkan otonomi strategis. Indonesia harus mendiversifikasi ekonominya, mencari pasar ekspor baru, dan memperkuat sektor non-komoditas seperti teknologi dan manufaktur.67 Menerapkan "Peta Jalan Ketahanan Rantai Pasok Nasional" yang berfokus pada sektor-sektor strategis seperti pertahanan, energi, dan pangan.3 Menyederhanakan regulasi investasi untuk menarik FDI yang terdiversifikasi, menyeimbangkan investasi asing dan domestik.53

Saran Kebijakan Spesifik untuk Indonesia dan ASEAN

  • Indonesia:

    • Terus menegaskan kebijakan luar negeri "bebas-aktif" dengan kelincahan diplomatik, menavigasi persaingan kekuatan besar tanpa penyelarasan eksklusif.

    • Memperkuat kemampuan pertahanan maritimnya, khususnya di wilayah strategis seperti Natuna, melalui modernisasi dan integrasi perencanaan ekonomi pertahanan.3

    • Secara proaktif terlibat dalam forum multilateral untuk mengadvokasi tatanan berbasis aturan dan penyelesaian sengketa secara damai.

    • Mengatasi tantangan militer internal (moral, rekrutmen, pelatihan) untuk memastikan kesiapan pertahanan.23

  • ASEAN:

    • Menegaskan kembali dan memperkuat Sentralitas ASEAN dengan menyajikan front yang lebih terpadu pada isu-isu keamanan regional yang kritis.

    • Mengembangkan strategi bersama untuk mengatasi implikasi AUKUS dan pengaturan keamanan eksternal lainnya terhadap SEANWFZ dan stabilitas regional.

    • Meningkatkan tekanan dan mengusulkan solusi konkret untuk krisis Myanmar, berpotensi mengevaluasi kembali prinsip non-intervensi ketika konflik internal memiliki dampak limpahan regional yang signifikan.


Kesimpulan

Kawasan Asia-Pasifik pada tahun 2024-2025 dicirikan oleh tingkat kompleksitas geopolitik dan kerapuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rivalitas AS-Tiongkok yang semakin intensif, ditambah dengan titik-titik panas yang persisten di Laut Tiongkok Selatan, Selat Taiwan, dan Semenanjung Korea, menciptakan lingkungan yang tidak stabil di mana risiko eskalasi tetap signifikan.

Sementara kekuatan besar mengejar kepentingan strategis mereka melalui pembangunan aliansi dan postur militer, negara-negara regional, khususnya Indonesia, beradaptasi dengan strategi lindung nilai yang canggih untuk mempertahankan otonomi dan mempromosikan stabilitas. Tantangan terhadap multilateralisme dan kohesi regional, terutama di dalam ASEAN, menggarisbawahi keharusan untuk diplomasi yang adaptif dan proaktif.

Pada akhirnya, jalan menuju perdamaian dan stabilitas di Asia-Pasifik bergantung pada keseimbangan yang rumit: pencegahan yang kuat terhadap agresi, dikombinasikan dengan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap dialog, hukum internasional, dan kerja sama regional yang inklusif. Masa depan keamanan global sebagian besar akan ditentukan oleh bagaimana dinamika kompleks ini dikelola di kawasan yang sangat penting ini.

 

0 comments:

Powered by DaysPedia.com
Waktu Saat Ini di Bangkok
65024pm
Sel, 4 Maret
6:32am 11:54 6:27pm
 
Top