Polemik Sengketa 4 Pulau Tak Berpenghuni Antara Aceh dan Sumatera Utara
Polemik status kepemilikan empat pulau tak berpenghuni yang terletak di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) semakin memanas. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menetapkan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, melalui Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Namun, keputusan ini ditolak keras oleh Pemerintah Aceh, yang mengklaim pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan ikatan historis dan yuridis, termasuk Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965. Gubernur Aceh Muzakir Manaf secara tegas menyatakan bahwa keempat pulau ini, yaitu Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, telah menjadi milik Aceh sejak dahulu kala. Ia menegaskan memiliki alasan, bukti, dan data yang kuat untuk membuktikan klaim tersebut, yang sebelumnya masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil. Keputusan Kemendagri ini menimbulkan gejolak, terutama dari masyarakat Aceh yang merasa kehilangan wilayah secara sepihak.
Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya menghormati batas Aceh yang disepakati dalam Perjanjian Helsinki, yang menurutnya telah dinodai dengan penyerahan empat pulau ke Sumatra Utara. Ia menganggap ini "seperti mengadudombakan antara Aceh dengan Sumatra Utara" dan mengingatkan agar pemerintah tidak mengeksploitasi Aceh dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan perdamaian maupun NKRI.
Keempat pulau yang menjadi objek sengketa adalah:
Pulau Panjang:
Luas sekitar 47,8 hektare, terletak 2,4 kilometer dari daratan utama Kabupaten Tapanuli Tengah.
Meskipun tidak berpenghuni, Pemprov Aceh menunjukkan bukti kepemilikan berupa Tugu Selamat Datang yang dibangun Pemkab Aceh Singkil dan tugu berkoordinat dari Dinas Cipta Karya dan Bina Marga (2012).
Terdapat infrastruktur seperti rumah singgah, musholla (dibangun Pemkab Singkil 2012), dan dermaga (dibangun 2015), yang dijadikan bukti administratif oleh Pemerintah Aceh.
Pulau Lipan (semula Pulau Malelo):
Luas hanya sekitar 0,38 hektare, berjarak 1,5 kilometer dari Tapanuli Tengah.
Sebagian besar daratannya telah tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut, bahkan dinilai tidak lagi memenuhi kriteria sebagai pulau berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) karena tidak muncul saat pasang laut tertinggi.
Citra satelit tahun 2007 sempat menunjukkan vegetasi di lokasi tersebut.
Pulau Mangkir Kecil (semula Pulau Rangit Kecil):
Luas 6,15 hektare, berjarak sekitar 1,2 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah.
Tidak berpenghuni, namun memiliki tugu dan prasasti yang dibangun oleh Pemerintah Aceh pada tahun 2008 ("Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam") dan diperkuat dengan prasasti tambahan pada tahun 2018 sebagai bentuk klaim.
Pulau Mangkir Besar (semula Pulau Rangit Besar):
Luas 8,16 hektare, berjarak sekitar 1,9 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah.
Tidak berpenghuni, hanya terdapat tugu batas wilayah yang dibangun oleh Pemerintah Aceh, tanpa infrastruktur atau aktivitas warga lainnya.
Keempat pulau ini berdekatan dengan Wilayah Kerja (WK) Migas Offshore West Aceh (OSWA) yang berada di bawah kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Namun, Kepala BPMA Nasri Djalal menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut tidak termasuk dalam cakupan wilayah kerja OSWA. Beliau juga menambahkan bahwa data seismik yang memadai untuk menilai potensi migas di wilayah tersebut belum ditemukan, sehingga mendorong adanya survei awal dan akuisisi data seismik. Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufik, juga sedang menelusuri data lama terkait potensi migas dan keberadaan sumur-sumur tua di kawasan tersebut.
Kronologi dan Duduk Perkara Sengketa dari Kemendagri
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan kronologi sengketa ini berawal pada tahun 2008 saat Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, yang terdiri dari Kemendagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, LAPAN, Pusat Hidrografi dan Oseanologi TNI AL, Direktorat Topografi TNI AD, serta pemerintah provinsi dan kabupaten, melakukan verifikasi pulau-pulau di Indonesia:
Pada tahun 2008, tim memverifikasi 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau sengketa tersebut. Hasil verifikasi ini dikonfirmasi oleh Gubernur Aceh pada 4 November 2009.
Pada tahun 2009, terdapat perubahan nama pulau (Pulau Mangkir Besar dari Pulau Rangit Besar, Pulau Mangkir Kecil dari Pulau Rangit Kecil, Pulau Lipan dari Pulau Malelo) disertai perubahan koordinat.
Di sisi lain, pada tahun 2008, Pemda Sumatera Utara melaporkan dan memverifikasi 213 pulau di Sumut, termasuk keempat pulau sengketa ini. Hal ini dikonfirmasi oleh Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2009.
Berdasarkan konfirmasi dari kedua gubernur serta pelaporan ke PBB pada tahun 2012, status empat pulau ini kemudian ditetapkan sebagai wilayah Sumatera Utara.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menambahkan bahwa persoalan ini memiliki sejarah panjang sejak tahun 1928 dan melibatkan banyak pihak. Tito menekankan bahwa penyelesaian batas wilayah sangat penting untuk kepastian hukum, penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), tata ruang, dan perencanaan pembangunan, untuk menghindari masalah administrasi dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ia menjelaskan bahwa batas darat antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah telah diteliti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat, yang kemudian menjadi dasar keputusan pemerintah pusat. Keputusan ini tertuang dalam Kepmendagri tahun 2022 dan ditegaskan kembali pada April 2025, yang diklaim telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Namun, ia mengakui batas laut masih belum menemui titik temu, sehingga kewenangan pengambilan keputusan diserahkan kepada pemerintah pusat.
Safrizal juga menjelaskan bahwa empat pulau itu masuk Sumatera Utara karena dekat wilayah Tapanuli Tengah. Upaya pengecekan Kemendagri atas klaim Aceh pada 2009 menunjukkan bahwa koordinat yang ditetapkan Aceh merujuk pada Pulau Banyak, bukan empat pulau sengketa. Aceh kemudian menerbitkan surat revisi koordinat. Pada 2017, Kemendagri menetapkan empat pulau itu menjadi bagian dari Sumatera Utara setelah analisis spasial. Meskipun ada pembahasan bersama antara dua pemerintah provinsi pada Februari 2022 yang tidak mencapai keputusan, Kemendagri kemudian menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 yang menetapkan empat pulau masuk Sumatera Utara. Belakangan keputusan ini disomasi Gubernur Aceh, namun pemerintah pusat sepakat melayani upaya survei lapangan pada Mei-Juni 2022.
Potensi Konflik dan Kritik Terhadap Keputusan Kemendagri
Keputusan Kemendagri untuk memindahkan secara administratif empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara telah menuai kritik keras dari berbagai kalangan di Aceh. Sejumlah legislator asal Aceh, termasuk Muslim Ayub, bereaksi keras dan mengingatkan pemerintah pusat agar tidak membuat luka baru bagi masyarakat Aceh, merujuk pada sejarah panjang konflik di Aceh yang mereda dengan perjanjian Helsinki pada 2005.
Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Humam Hamid, memperingatkan bahwa pendekatan legalistik terhadap pengalihan wilayah tanpa dialog yang terbuka berpotensi memicu konflik baru, mencontohkan kasus Catalonia dan Mindanao. Humam Hamid menekankan bahwa Aceh memiliki kesamaan dengan Catalonia dalam hal identitas historis yang kuat, pengalaman relasi yang timpang dengan pemerintah pusat, dan kesadaran kolektif untuk mempertahankan martabat wilayah. Ia berpendapat bahwa pengabaian aspirasi lokal dan keputusan sepihak dapat memperdalam kecurigaan serta membangkitkan kembali narasi resistensi yang lebih luas di Aceh. Bagi masyarakat Aceh, keputusan ini bukan sekadar pengalihan wilayah, melainkan pengabaian atas martabat dan komitmen politik pasca-damai. Humam Hamid juga mengkritik pendekatan "mental kolonial" yang hanya melihat batas kartografi tanpa mempertimbangkan "imaji kebangsaan" serta kondisi psikologi dan sosiologis masyarakat Aceh.
Tanggapan dan Usulan Solusi
Menanggapi hal ini, Humam Hamid mengingatkan Tito agar tidak memicu masalah yang tidak perlu di tengah tantangan global dan meminta Mendagri untuk memahami Aceh sebagai wilayah bekas konflik. Humam juga menyarankan agar pemerintah berkonsultasi dengan tokoh-tokoh yang berperan dalam perdamaian Aceh, seperti mantan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Humam menilai keputusan peralihan empat pulau merupakan persoalan sensitif dan meyakini Presiden Prabowo Subianto perlu turun tangan untuk mengkaji ulang keputusan Mendagri Tito, mengingat hubungan baik Prabowo dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menyarankan agar pemerintah mengembalikan status empat pulau itu ke Aceh untuk meredam potensi ketegangan. Trubus juga mengkritik sikap Kemendagri yang mempersilakan masalah ke meja hijau, yang menurutnya terkesan arogan dan dapat menyulut ketegangan.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, meminta pemerintah menyelesaikan sengketa ini secara damai melalui pembentukan tim verifikasi bersama. Tim ini harus melibatkan kedua belah pihak, termasuk pemerintah provinsi Sumut dan tokoh masyarakat lokal. Dede juga mengusulkan pengelolaan bersama empat pulau tersebut dan menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mengeluarkan keputusan apapun, terutama terkait eksplorasi sumber daya alam, sampai ada keputusan bersama.
Respon Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menegaskan komitmen Pemprov Aceh untuk terus memperjuangkan agar status administratif keempat pulau dikembalikan ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Ia menjelaskan bahwa proses ini telah berlangsung sebelum tahun 2022 dan telah difasilitasi rapat koordinasi serta survei lapangan oleh Kemendagri. Dalam verifikasi lapangan, Pemerintah Aceh menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan (seperti surat kepemilikan tanah tahun 1965), foto-foto pendukung, dan peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan oleh Mendagri pada tahun 1992. Peta ini menunjukkan garis batas laut yang mengindikasikan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh. Syakir juga menyebutkan bahwa pada tahun 2022, Kemenko Polhukam memfasilitasi rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang umumnya menyimpulkan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh berdasarkan aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, dan layanan publik yang telah dibangun Aceh.
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara Bobby Afif Nasution menegaskan bahwa perubahan status administratif empat pulau tersebut merupakan keputusan pemerintah pusat, bukan kebijakan dari Pemprov Sumatera Utara. Bobby menyatakan bahwa provinsi tidak memiliki wewenang untuk mengambil atau menyerahkan pulau. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi dan ingin menjalin keharmonisan antar kepala daerah, mengingat banyaknya warga Aceh di Sumut dan warga Sumut di Aceh. Bobby juga menegaskan bahwa polemik ini sebaiknya diselesaikan langsung bersama pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, karena pembahasan di daerah tidak akan menemukan solusi. Ia menyatakan Pemprov Sumut terbuka untuk membahas ulang, namun keputusan tetap berada di tangan pemerintah pusat, dan meluruskan bahwa kunjungannya ke Aceh bukan untuk mengajak kerja sama dalam pengelolaan pulau, melainkan untuk membuka ruang diskusi lebih lanjut.
Reaksi dan Bukti dari Warga Lokal Aceh
Warga lokal Aceh juga menyuarakan protes mereka.
Wakil Ketua Partai Aceh, Suadi Sulaiman (bekas anggota GAM), menegaskan pentingnya berpegang pada Perjanjian Helsinki, khususnya perbatasan 1 Juli 1956 Aceh, demi menjaga perdamaian yang sudah berlangsung lama. Ia mengingatkan pemerintah pusat untuk tidak memicu inkonsistensi terhadap proses perdamaian Aceh dan tidak mengeksploitasi Aceh yang dapat merusak keutuhan NKRI. Suadi mengkhawatirkan sengketa ini bisa memantik perpecahan dan "mengadu domba" Aceh dan Sumatera Utara, mengingat hubungan baik kedua wilayah dan banyaknya warga yang bermukim di sana.
Yardi (57), bekas nelayan di Gosong Telaga, Aceh Singkil, menyatakan keputusan pengalihan status harus dipertimbangkan kembali. Ia mengeklaim sebagai saksi sejarah pembuatan tapal batas dan gapura di Pulau Panjang dan Pulau Mangkir Gadang satu dekade lalu bersama Dinas Perikanan setempat. Yardi menggambarkan kondisi Pulau Lipan yang dulunya dihuni binatang berbisa dan kini mudah tenggelam saat pasang besar, sementara Pulau Mangkir Besar dan Mangkir Ketek ditumbuhi tumbuhan liar dan pohon besar, kadang menjadi tempat berlindung nelayan. Di Pulau Panjang, terdapat bangunan milik pemerintah Aceh dan pemakaman lama, serta pernah dihuni oleh orang Gunung Sitoli, Nias, dan disewa orang Sitiris-tiris (Sumatra Utara).
Teuku Rusli Hasan, warga Aceh yang mengaku ahli waris Teuku Raja Udah, mengeklaim empat pulau tersebut adalah milik keluarganya berdasarkan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965 tertanggal 17 Juni 1965.
Pemerhati pemerintahan daerah, Armand Suparman, menyebut protes perubahan status wilayah ini terjadi karena pemerintah belum menuntaskan sengketa klaim antar daerah. Ia melihat perlunya pemerintah pusat memiliki aturan yang jelas, sebaiknya berupa Peraturan Pemerintah (PP), yang dapat melibatkan berbagai kementerian dan lembaga dalam penanganan sengketa lintas sektor (darat dan laut). Armand juga menekankan pentingnya undang-undang pembentukan wilayah yang komprehensif dan tidak menyimpan masalah perbatasan di kemudian hari.
Upaya mempertemukan dua gubernur:
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sempat berupaya menemui Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di Banda Aceh pada Rabu (04/06) untuk membicarakan perkara ini, didampingi Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu. Bobby menyatakan ingin "sama-sama meredam atau sama-sama menyepakati apa yang harus kita disepakati bersama." Namun, Muzakir diberitakan sedang sibuk sehingga hanya sebentar menemui Bobby.
Potensi Migas:
Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution juga menyampaikan keinginannya untuk berkolaborasi dengan pemerintah Aceh dalam mengolah kekayaan alam, termasuk potensi migas dan pariwisata, di wilayah empat pulau tersebut, berharap dapat dikelola bersama-sama.
Polemik ini terus berlanjut dan menjadi perhatian berbagai pihak, dengan Kemendagri berupaya mencari solusi melalui jalur administratif dan legal, sementara berbagai pihak di Aceh menuntut pengembalian status pulau-pulau tersebut ke Aceh dan penyelesaian yang lebih komprehensif.
0 comments:
Posting Komentar