Syar’u man qablana (syariat sebelumnya) adalah salah satu konsep dalam ilmu ushul fiqh yang mengacu pada hukum-hukum yang diterapkan pada umat sebelum umat Islam, seperti umat Yahudi dan Nasrani. Dalam konteks ini, hukum-hukum yang ada pada umat terdahulu, yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam, dapat diterima dan dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum Islam. Syar’u man qablana mencerminkan keterkaitan antara hukum yang berlaku pada umat terdahulu dengan hukum yang ada dalam Islam, selama tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dasar Hukum Syar’u Man Qablana

Konsep syar’u man qablana berasal dari praktik dalam Islam yang merujuk pada ajaran dan hukum yang diberikan kepada umat sebelumnya, seperti Nabi Musa (Yahudi) atau Nabi Isa (Nasrani). Dalam Al-Qur’an, beberapa ayat mengakui bahwa hukum yang diterima oleh umat terdahulu dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi umat Islam, meskipun hukum yang berlaku pada umat terdahulu tidak sepenuhnya diterima atau diikuti.

Beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang merujuk pada syar’u man qablana antara lain:

  • Surat Al-Maidah (5:48): “Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan sebagai penentu terhadapnya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."
  • Surat Al-Baqarah (2:62): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Konsep dalam Praktik

Dalam praktik hukum Islam, syar’u man qablana digunakan untuk merujuk kepada ketentuan hukum yang pernah berlaku di kalangan umat terdahulu, yang relevan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Sebagai contoh, dalam hal-hal yang belum diatur secara spesifik dalam Al-Qur'an dan Hadits, kadang-kadang ketentuan hukum yang diterima oleh umat terdahulu dapat dijadikan referensi atau pedoman, dengan catatan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Contoh Penerapan Syar’u Man Qablana

  1. Puasa: Salah satu contoh penerapan syar’u man qablana adalah tentang kewajiban berpuasa. Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa puasa adalah kewajiban bagi umat Islam, sebagaimana ia diwajibkan juga pada umat terdahulu (Bani Israil). Ini menunjukkan bahwa kewajiban puasa bagi umat Islam memiliki kesamaan dengan hukum puasa yang diterapkan pada umat sebelumnya.

    • Surat Al-Baqarah (2:183): “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”
  2. Hukum Tentang Halal dan Haram: Beberapa hal yang dinyatakan halal atau haram dalam Islam mungkin juga pernah berlaku pada umat terdahulu. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus hukum makanan dan minuman, hukum yang diterima oleh umat Yahudi dan Nasrani dapat diterima oleh umat Islam selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

    • Surat Al-Maidah (5:5) menyebutkan tentang makanan yang halal bagi umat Islam, termasuk makanan dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).
  3. Hukum tentang Kewajiban Zakat: Meskipun kewajiban zakat sebagai salah satu rukun Islam ditetapkan dalam Al-Qur'an, dalam praktiknya, umat terdahulu juga mengenal kewajiban memberikan sebagian harta mereka untuk amal. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa kewajiban zakat merupakan hal yang juga ada pada umat-umat sebelumnya.

    • Surat Al-Baqarah (2:177) mengandung perintah memberikan zakat dan sedekah sebagai bagian dari amal saleh yang dikenalkan dalam agama-agama sebelumnya.

Persyaratan Syar’u Man Qablana

Untuk diterima dalam sistem hukum Islam, syar’u man qablana harus memenuhi beberapa syarat berikut:

  1. Tidak Bertentangan dengan Syariat Islam: Hukum-hukum yang diambil dari syariat umat sebelumnya harus tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Jika bertentangan, maka hukum tersebut tidak dapat diterima.

  2. Relevansi dengan Kebutuhan Umat Islam: Hukum yang diterima dari umat terdahulu harus relevan dengan konteks dan kebutuhan umat Islam pada masa tersebut.

  3. Tidak Bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits: Meskipun syariat umat terdahulu bisa diterima, ia tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum yang jelas terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Kelebihan dan Kekurangan Syar’u Man Qablana

Kelebihan:

  • Fleksibilitas: Memberikan ruang bagi hukum Islam untuk berkembang dengan mempertimbangkan praktik-praktik hukum yang sudah ada sebelumnya, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
  • Keterhubungan antar umat: Menunjukkan hubungan yang baik antara umat Islam dengan umat terdahulu, serta menjaga kelanjutan prinsip-prinsip moral dan etika.
  • Meningkatkan penerimaan: Ketika hukum yang ada sudah dikenal dan diterima oleh umat terdahulu, hal tersebut dapat lebih mudah diterima oleh umat Islam jika diterapkan dalam konteks yang benar.

Kekurangan:

  • Tergantung pada konteks: Tidak semua hukum yang diterapkan pada umat terdahulu bisa langsung diterima dalam hukum Islam. Oleh karena itu, perlu penilaian yang mendalam tentang relevansi dan kesesuaiannya.
  • Potensi Konflik: Kadang-kadang penerimaan hukum-hukum terdahulu dapat menimbulkan konflik atau kebingungan jika tidak ada dasar yang jelas dalam syariat Islam.

Kesimpulan

Syar’u man qablana adalah sumber hukum yang mengacu pada syariat yang diterapkan pada umat terdahulu, seperti umat Yahudi dan Nasrani, yang masih relevan dan tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Meskipun tidak semua hukum umat terdahulu diterima dalam Islam, prinsip ini memberikan ruang untuk memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang bermanfaat dan relevan dalam menjaga keharmonisan dan kemaslahatan umat Islam.

0 comments:

Luncurkan toko Anda hanya dalam 4 detik dengan 
 
Top