Alangkah indahnya Dewi Keadilan!
Bagi
bangsa Indonesia, pentingnya keadilan dalam seluruh kehidupan bernegara
tecermin dalam Pancasila. Sebab Pancasila lahir sebagai jawaban atas
praktik hidup eksploitatif akibat kolonialisme dan imperialisme.
Pancasila
merupakan falsafah pembebasan yang terlahir dari dialog kritis antara
Bung Karno dan Pak Marhaen. Dari situlah gagasan keadilan itu
ditempatkan secara ideologis.
Keadilan dalam perspektif ideologis
harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum. Budaya hukum, tertib hukum,
institusionalisasi lembaga penegak hukum, dan keteladanan aparat penegak
hukum menjadi satu kesatuan supremasi hukum.
Sumpah presiden dan
hakim Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari supremasi hukum. Namun,
bagi hakim Mahkamah Konstitusi, sumpah dan tanggung jawabnya lebih
mendalam dari sumpah presiden.
Karena itulah persyaratan menjadi
hakim Mahkamah Konstitusi juga lebih berat, yakni tidak hanya
menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
sesuai Undang-Undang Dasar, tetapi juga ditambahkan syarat lainnya,
yakni memiliki sikap kenegarawanan.
Dengan sikap kenegarawanan
tersebut, hakim Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab terhadap
terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan
negara sebagai hal yang paling utama.
Dengan
tanggung jawab ini, keputusan hakim Mahkamah Konstitusi atas sengketa
pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) sangat ditunggu rakyat
Indonesia, apakah keadilan substantif dapat benar-benar ditegakkan, atau
sebaliknya semakin terseret ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan
kekuasaan politik?
Etika presiden
Budayawan
dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno menyampaikan bahwa ada unsur-unsur
yang merupakan pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan Pilpres 2024.
Etika
merupakan ajaran dan keyakinan tentang baik dan tidak baik sebagai
cermin dari kualitas manusia sebagai manusia. Tuntutan dasar terhadap
pentingnya etika dituangkan dalam ketentuan hukum dan hal tersebut
berlangsung terus dalam sejarah peradaban umat manusia. Tidak
memperhatikan hukum yang berlaku sama saja dengan pelanggaran etika.
Tanggung
jawab penguasa seperti presiden terhadap etika sangatlah penting.
Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat
besar. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut
standar dan tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum
tercipta.
Dalam tanggung jawab presiden itu, maka persoalan
berkaitan dengan keselamatan seluruh bangsa dan negara berada di pundak
presiden. Presiden berdiri untuk semua. Segala kesan yang menunjukkan
bahwa presiden memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya
adalah fatal. Sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia.
Apa
yang disampaikan Franz Magnis-Suseno menjadi landasan etis bagi hakim
Mahkamah Konstitusi untuk mengurai seluruh akar persoalan pilpres yang
berangkat dari nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan Presiden.
Menempatkan etika dalam setiap keputusan
Mahkamah Konstitusi sangatlah penting. Sebab, Mahkamah Konstitusi hadir
sebagai benteng keadilan terakhir dalam penyelesaian sengketa pilpres
atau pemilu.
Keputusan hakim Mahkamah Konstitusi akan menjadi
indikator terpenting, apakah demokrasi yang berkedaulatan rakyat tetap
eksis atau justru perlombaan penyalahgunaan kekuasaan akan menjadi
model kecurangan dan bisa direplikasi dalam pemilihan kepala daerah
(pilkada) serentak hingga pemilihan umum yang akan datang.
Apa dan siapa yang salah?
Temuan terjadinya penurunan kualitas demokrasi Indonesia telah berulang kali dikaji para peneliti.
Indeks
demokrasi Indonesia, menurut data Freedom House, terus menunjukkan
penurunan. Demikian juga menurut The Economist Intelligence Unit (EIU)
yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat ke-54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.
Dengan
mencermati berbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di
dalam menyelesaikan sengketa pemilu tentu menjadi tolok ukur bagi
peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan
semakin mematikan demokrasi.
Keputusan hukum Mahkamah Konstitusi memiliki makna demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Agar
sumber kecurangan tersebut dapat diungkap, hakim Mahkamah Konstitusi
dapat membedah sumber kegaduhan dalam kecurangan pilpres. Kecurangan
pemilu sendiri tidak berlangsung tiba-tiba. Ia lahir melalui serangkaian
evolusi kecurangan.
Dalil awal, pilpres dilakukan secara langsung
untuk menihilkan kecurangan. Akan tetapi, kecurangan bisa terjadi di
tengah lima indikator besar, yaitu (1) proses pemilu dan pluralisme
politik, (2) tata kelola pemerintahan, (3) tingkat partisipasi politik
masyarakat, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan sipil.
Kompleksitas pemilu
Kesemuanya
diawali dari Pemilu 1971 ketika aparatur negara, khususnya ABRI,
digunakan sebagai alat elektoral dan alat represif dengan sumber daya
negara yang relatif tidak terbatas.
Pertautan kepentingan
geopolitik global terhadap pemilu terjadi pada pemilu tahun 1999, 2004,
dan semakin menguat pada tahun 2024.
Politik bantuan sosial
diterapkan secara masif pada tahun 2009 seiring dengan meningkatkan
populisme. Sementara penggunaan aparat penegak hukum, termasuk TNI dan
Polri, dipraktikkan pada Pemilu 2009 dan 2019.
Efektivitas
penggunaan instrumen hukum semakin sempurna di Pemilu 2019 ketika
jabatan Jaksa Agung RI disalahgunakan bagi kepentingan elektoral.
Mengapa
evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif? Sebab
belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat
dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon
mengundurkan diri.
Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga
bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif
(TSM). Ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan
Presiden. Nepotisme ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto
sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilu ketika Presiden
masih menjabat dan ada kepentingan subyektif bagi kerabatnya.
Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah?
Dengan
tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah.
Pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang
salah. Kondisi ini terjadi akibat etika dan moral dijauhkan dari praktik
hukum. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin,
manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan.
Sikap
kenegarawanan yang dimiliki hakim Mahkamah Konstitusi masuk dalam
dimensi tanggung jawab bagi pemulihan etika dan moral itu. Tanpanya,
Mahkamah Konstitusi hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengketa pemilu
yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih
bagaimana proses pemilu dan keseluruhan input dari proses pemilu.
Hasil pemilu ternyata bisa berubah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan adanya voting behaviour yang dipengaruhi besarnya belanja sosial (social expenditures), seperti bantuan langsung tunai, pembagian beras miskin, dan bantuan sosial lainnya.
Pedoman kebenaran
Keputusan
hukum Mahkamah Konstitusi memiliki makna demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya tidak hanya secara transenden,
tanggung jawab langsung kepada Sang Pencipta. Kekuatan transenden ini
seharusnya dapat memperkuat posisi hakim Mahkamah Konstitusi mengambil
terobosan hukum berdasarkan keadilan sebagai sifat hakiki Tuhan.
Karena
itulah, hakim Mahkamah Konstitusi tidak hanya bertanggung jawab sebagai
penjaga konstitusi dan demokrasi, tetapi juga memiliki legalitas dan
legitimasi agar keadilan benar-benar menemukan bentuknya, terlebih
ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan.
Lalu, selain konstitusi, apa pedoman lain yang bisa memunculkan sikap kenegarawanan?
Saya
mencoba meramu dari pengalaman hidup saya yang sangat lengkap, baik
sebagai anak presiden; menjadi rakyat biasa akibat peristiwa politik
1965; menjadi ibu rumah tangga; maupun memenuhi tanggung jawab sejarah
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, wakil presiden, presiden, dan
kembali lagi memenuhi kodrat makna hidup ”Cakra Manggilingan” (roda
kehidupan yang berputar).
Saya sungguh beruntung dapat berdialog
langsung dengan Bung Karno, Bung Hatta, KH Agus Salim, Jenderal Achmad
Yani dan para jenderal Pahlawan Revolusi yang lain; juga Pak Hoegeng
sahabat saya; serta orang-orang pintar berhati nurani yang dipunyai oleh
Republik Indonesia waktu itu dan para tokoh bangsa lainnya.
Dari
situlah saya berkontemplasi, dan hasilnya menjadi pedoman kebenaran yang
saya rekomendasikan kepada hakim Mahkamah Konstitusi.
Pertama,
kebenaran tetaplah kebenaran. Ia tidak bisa dimanipulasi, sebab ia
menjadi hakikat. Kedua, kebenaran dalam pengambilan keputusan muncul
dari pikiran dan nurani yang jernih. Jernih seperti air. Air jernih
adalah pikiran dalam alam kebenaran.
Ketiga, qana’ah,
merasa cukup terhadap apa yang ada. Ketika konstitusi membatasi jabatan
masa presiden dua periode, itulah kebenaran yang harus ditaati, tidak
bisa diperpanjang, baik secara langsung maupun tak langsung.
Keempat, dalam bahasa Rusia disebut utrenja, yang artinya fajar. Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur.
Dengan
empat pedoman sederhana di atas, setiap pemimpin, termasuk hakim
Mahkamah Konstitusi, dapat mengasah hati nurani dan budi pekertinya agar
setiap tindakan dan keputusan politiknya selalu memperjuangkan
kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itulah, belajar dari putusan
Perkara Nomor 90 di Mahkamah Konstitusi yang sangat kontroversial, saya
mendorong dengan segala hormat kepada hakim Mahkamah Konstitusi agar
sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut.
Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan.
Ketukan
palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara
memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan
negara.
Tentu sebagai anak bangsa, saya berdoa semoga dengan izin
Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia akan melihat cahaya terang
demokrasi ketika ”Sembilan Dewa” di MK memberikan keputusan yang
berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya.
Ingat, nama-nama para hakim Mahkamah Konstitusi akan tertulis dalam sejarah Republik Indonesia, baik maupun buruk. Semoga!!
Rakyat
Indonesia, terutama yang mempunyai hati nurani, harus mendukung
pengadilan Mahkamah Konstitusi ini sebagai upaya berkeadilan secara
hukum. Semua pemikiran dan pendapat di atas, saya suarakan sebagai
bagian dari Amicus Curiae, atau Sahabat Pengadilan. Merdeka!
Megawati Soekarnoputri Seorang Warga Negara Indonesia
Disclaimers:
Sumber: kompas.id
Judul: Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi
Penulis: MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi
di halaman 6 dengan judul
"Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi".