LAPORAN ANALISIS EKSPERT: MANAJEMEN PARIWISATA HALAL DALAM PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH DAN KEBERLANJUTAN
BAB I: Kerangka Konseptual dan Landasan Filosofis Pariwisata Halal
1.1. Evolusi Pariwisata Halal Global dan Potensi Pasar Muslim
Sektor pariwisata telah lama diakui secara global sebagai salah satu mesin utama yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong kemakmuran suatu negara. Dalam dekade terakhir, industri ini menyaksikan pergeseran signifikan seiring dengan peningkatan populasi dan kesadaran beragama wisatawan Muslim di seluruh dunia. Fenomena ini telah memicu permintaan yang tinggi terhadap destinasi dan layanan yang ramah Muslim, yang secara kolektif dikenal sebagai Pariwisata Halal atau Pariwisata Syariah.1
Pengembangan pariwisata halal kini dilakukan secara aktif oleh berbagai negara, baik yang mayoritas penduduknya Muslim maupun non-Muslim. Respon terhadap tren ini telah menciptakan segmentasi pasar baru yang signifikan. Negara-negara yang mampu menawarkan layanan yang melampaui standar dasar, bergerak dari sekadar ketersediaan Makanan dan Minuman (F&B) Halal menuju ekosistem Syariah yang terintegrasi (mencakup akomodasi, etika pelayanan, hingga sistem keuangan), diperkirakan akan memenangkan persaingan global. Analisis menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di pasar ini, terutama didukung oleh potensi pasar wisatawan Muslim domestik (Wisnus) dan internasional (Wisman) yang terus tumbuh, citra positif, serta brand equity "Wonderful Indonesia".2 Sebagai contoh, Malaysia berhasil memanfaatkan pola belanja mewah wisatawan dari Timur Tengah dengan fokus pada peningkatan pelayanan dan standardisasi halal yang tinggi, menggarisbawahi pentingnya diferensiasi pasar dan keunggulan kompetitif berbasis kepatuhan syariah yang total.1
1.2. Definisi Terminologi Kunci: Halal Tourism, Muslim-Friendly, dan Pariwisata Syariah
Manajemen Pariwisata Halal didefinisikan sebagai pengelolaan dan pengaturan seluruh aspek industri pariwisata yang menerapkan prinsip-prinsip Islam. Tujuan fundamentalnya adalah menyediakan layanan dan pengalaman wisata yang sesuai dengan syariat, yang secara simultan menciptakan manfaat atau kemaslahatan yang seimbang, baik secara ekonomi maupun spiritual, bagi masyarakat dan lingkungan [User Framework].
Penting untuk dipahami bahwa terdapat perbedaan substansial antara layanan yang hanya Muslim-Friendly atau Halal-certified dengan layanan Syariah. Ketersediaan restoran yang bersertifikat halal (BPJPH/LPH LPPOM) hanya menjamin kehalalan bahan baku, proses pengolahan, dan peralatan F&B yang digunakan.3 Sementara itu, konsep Hotel Syariah menawarkan pendekatan yang jauh lebih luas dan komprehensif. Hotel Syariah mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mewajibkan akomodasi, makanan, minuman, dan semua fasilitas penunjang harus sesuai Syariat, mencakup aspek etika, fasilitas ibadah, hingga pemisahan fasilitas untuk tamu non-muhrim.3
Keberadaan ambiguitas terminologi, di mana sertifikasi F&B sering disamakan dengan hotel Syariah secara keseluruhan, berpotensi memicu risiko halal washing atau greenwashing Syariah. Apabila pelaku industri dan regulator hanya fokus pada sertifikasi produk F&B, mereka gagal memenuhi kebutuhan holistik wisatawan Muslim yang mencakup dimensi akhlakiyyah dan kenyamanan spiritual. Oleh karena itu, regulasi yang efektif harus secara eksplisit membedakan antara layanan yang berfokus pada kehalalan zat (Halal) dan layanan yang berfokus pada sistem, etika, dan nilai (Syariah).
1.3. Landasan Filosofis Ekonomi Syariah dan Maqashid Syariah
Pengelolaan pariwisata halal harus berakar kuat pada prinsip-prinsip fundamental Islam:
Prinsip Syariah: Mengedepankan nilai Tauhid (ketundukan kepada Allah), 'Adl (keadilan dalam pelayanan dan bisnis), Khilafah (tanggung jawab sebagai pemelihara lingkungan dan alam), Nubuwwah (meneladani etika kenabian dalam interaksi), dan Ma'ad (berorientasi pada keberlanjutan dan pertanggungjawaban di akhirat) [User Framework].
Penghindaran yang Dilarang (al-Ijtinab): Menjauhi segala bentuk kemusyrikan, kemaksiatan, serta praktik bisnis yang boros dan berlebihan (israf dan tabzir), termasuk praktik riba dan gharar (ketidakpastian yang merugikan) dalam transaksi keuangan [User Framework].
Penerapan prinsip-prinsip ini memastikan bahwa pariwisata halal berkontribusi pada pencapaian Maqashid Syariah (tujuan utama syariat), yang merupakan landasan bagi pembangunan berkelanjutan yang seimbang. Pencapaian Maslahah (kemaslahatan) harus menjadi tolok ukur utama. Sebagai contoh, Hifz al-Din (memelihara agama) dipenuhi melalui penyediaan fasilitas ibadah yang memadai dan layanan yang etis. Hifz al-Mal (memelihara harta) diwujudkan melalui penerapan akad yang adil dan penghindaran riba. Selain itu, dimensi Hifz al-Nafs (memelihara jiwa) diintegrasikan melalui standar Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan (K3), yang mana selaras dengan standar Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability (CHSE).5
Dengan demikian, manajemen pariwisata halal harus dievaluasi berdasarkan dampak holistiknya terhadap kemaslahatan komunitas lokal dan lingkungan (Khilafah dan Ma'ad), melampaui sekadar metrik profitabilitas ekonomi semata.
BAB II: Standardisasi dan Diferensiasi Produk Halal vs. Syariah
2.1. Membedah Cakupan Standardisasi Produk dan Pelayanan
Implementasi pariwisata halal membutuhkan kerangka standardisasi yang jelas. Di Indonesia, salah satu standar mutu yang digunakan adalah SNI CHSE 9042:2021 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sertifikasi CHSE ini mencakup berbagai fasilitas pariwisata, termasuk restoran, rumah makan, spa, taman rekreasi, dan kawasan pariwisata.5 Standar ini fokus pada dimensi kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan.
Meskipun SNI CHSE menyediakan kerangka dasar kualitas dan keamanan, sertifikasi ini bersifat sukarela (voluntary) 6 dan hanya menjadi prasyarat mutu umum. Agar suatu produk atau layanan dapat dikategorikan sebagai Syariah-compliant, standar CHSE harus diintegrasikan dengan persyaratan etika dan fasilitas yang diatur dalam prinsip Syariah, seperti yang diwajibkan dalam akomodasi Syariah (misalnya, penyediaan tempat wudhu yang bersih dan fasilitas ibadah yang memadai) [User Framework].
2.2. Analisis Kritis Perbedaan Sertifikasi: Hotel Syariah vs. Restoran Bersertifikat Halal
Salah satu tantangan regulasi terbesar dalam pariwisata halal adalah kesalahpahaman mengenai cakupan sertifikasi. Restoran hotel yang telah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH atau LPH LPPOM hanya menjamin bahwa rantai nilai makanan dan minuman yang disajikan—mulai dari pemilihan bahan baku, proses pengolahan, hingga peralatan yang digunakan—telah memenuhi standar Syariat Islam.3 Ini memberikan jaminan keamanan konsumsi bagi konsumen Muslim.
Sebaliknya, Hotel Syariah mengacu pada Fatwa DSN-MUI dan menerapkan pendekatan yang lebih komprehensif, mencakup seluruh ekosistem akomodasi. Persyaratan Hotel Syariah tidak hanya mencakup F&B (bebas minuman keras dan babi), tetapi juga fasilitas pendukung (misalnya, pemisahan area kolam renang atau gym untuk tamu non-muhrim), fasilitas ibadah, dan etika pelayanan yang menjunjung tinggi akhlakul karimah.3
Perbedaan cakupan ini menimbulkan isu signifikan di tingkat kebijakan. Meskipun Fatwa DSN-MUI telah ada, Peraturan Menteri Pariwisata tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah di tingkat pusat pernah dicabut tanpa adanya pengganti yang jelas.7 Kekosongan hukum ini memperburuk kebingungan di kalangan pelaku industri dan investor mengenai standar operasional yang wajib dipenuhi oleh sebuah akomodasi Syariah komprehensif. Jika industri terus bergantung pada regulasi yang terfragmentasi (F&B oleh BPJPH, mutu oleh CHSE, dan akomodasi hanya oleh Fatwa DSN-MUI), standarisasi nasional yang terpadu akan sulit tercapai.
Perbedaan cakupan ini diringkas dalam tabel berikut:
Perbandingan Cakupan Sertifikasi Halal F&B dan Akomodasi Syariah
2.3. Implementasi Fasilitas Akomodasi Syariah
Implementasi standar Syariah dalam akomodasi berakar pada prinsip etika dan Hifz al-Din (pemeliharaan agama). Akomodasi Syariah harus menyediakan fasilitas ibadah yang lengkap, termasuk mushala, Al-Qur'an, arah kiblat, dan perlengkapan salat yang memadai. Toilet juga harus dilengkapi dengan fasilitas berwudhu yang bersih dan air yang mengalir [User Framework].
Selain itu, manajemen operasional harus memastikan bahwa desain dan tata kelola akomodasi menjauhi unsur yang dilarang, seperti minuman keras dan judi. Diperlukan pula opsi pemisahan gender di fasilitas tertentu seperti kolam renang atau gym [User Framework]. Meskipun penerapan standar yang ketat ini, terutama terkait pemisahan fasilitas, mungkin memerlukan biaya investasi infrastruktur yang lebih tinggi dan berpotensi menjadi hambatan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pengalaman global menunjukkan bahwa segmen pasar premium bersedia membayar lebih untuk jaminan kepatuhan Syariah yang total. Contohnya adalah resort di Malaysia dan Indonesia yang menawarkan lingkungan bebas alkohol.8 Oleh karena itu, strategi pengembangan harus mencakup insentif pembiayaan syariah untuk membantu pelaku usaha memenuhi standar infrastruktur yang ketat.
BAB III: Dimensi Ekonomi Syariah dalam Rantai Nilai Pariwisata
3.1. Model Pembiayaan Syariah untuk Industri Pariwisata
Pariwisata halal harus diimbangi dengan sistem pembiayaan dan transaksi yang sesuai dengan prinsip Syariah. Ini berarti menghindari praktik riba (bunga) dalam semua transaksi keuangan dan pembiayaan, serta mengedepankan sistem bagi hasil (mudharabah, musyarakah) dan jual beli yang adil (bai') [User Framework].
Penerapan ekonomi syariah dalam pariwisata sangat krusial karena memastikan seluruh aktivitas bisnis selaras dengan prinsip keadilan ('Adl) dan menghindari gharar (ketidakpastian yang merugikan) [User Framework]. Hal ini membuka peluang bagi lembaga keuangan Syariah untuk berperan aktif dalam pengembangan infrastruktur dan modal kerja bagi UMKM pariwisata.
3.2. Aplikasi Akad dalam Operasional Jasa
Sistem keuangan Syariah menawarkan berbagai akad yang fleksibel dan dapat diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan industri pariwisata yang beragam:
3.2.1. Kontrak Sewa-Menyewa (Ijarah) dalam Akomodasi Hotel Syariah
Akad ijarah (sewa-menyewa) merupakan kontrak yang paling umum digunakan dalam transaksi sewa kamar hotel syariah. Dalam kasus Hotel Syariah Al-Badar Makassar, penerapan akad ijarah pada sewa kamar dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak hotel (mu'ajir) dan penyewa (musta'jir), dan hasilnya dianggap telah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI tentang Ijarah.9 Penggunaan akad ijarah memvalidasi model bisnis hotel Syariah dari aspek kontrak, memastikan transaksi sewa-menyewa tersebut sah secara syariah dan bebas dari riba.
3.2.2. Kontrak Kemitraan (Mudharabah dan Musyarakah) dalam Biro Perjalanan dan Investasi
Untuk layanan yang melibatkan kerja sama modal dan manajemen, seperti biro perjalanan atau pengembangan destinasi, akad Mudharabah (bagi hasil) dan Musyarakah (kemitraan modal) sering digunakan. Misalnya, akad Mudharabah diterapkan dalam program pengelolaan biaya ibadah Haji dan Umrah, di mana pihak bank atau manajemen bertindak sebagai pengelola dana.10
Sementara itu, akad Musyarakah—di mana kedua belah pihak berkontribusi modal dan manajemen serta menanggung risiko bersama—dianggap lebih tepat untuk bisnis waralaba agen wisata, karena memungkinkan para pihak menjadi mitra usaha untuk mengembangkan bisnis bersama.11 Penggunaan kedua akad kemitraan ini menunjukkan adaptabilitas sistem keuangan Islam terhadap kebutuhan industri pariwisata, menyediakan alternatif pembiayaan yang berkelanjutan dan berbasis risiko bersama, selaras dengan prinsip keadilan.
Aplikasi Kontrak Keuangan Syariah dalam Industri Pariwisata Halal
3.3. Integrasi Fintech Syariah dan Platform Digital
Perkembangan teknologi digital, khususnya Fintech Syariah, memainkan peran penting sebagai akselerator dalam ekosistem pariwisata halal. Sektor Fintech Syariah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang pesat, didukung oleh kerangka regulasi yang kondusif yang melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan DSN-MUI.12
Teknologi menjadi kunci dalam memecahkan masalah aksesibilitas dan transparansi dalam rantai nilai halal. Platform digital seperti "Halal Tripnesian," misalnya, telah dikembangkan untuk memfasilitasi akses informasi pariwisata halal (informasi masjid, restoran halal, dan hotel syariah terdekat), berkontribusi pada pemulihan ekonomi pasca-pandemi.13
Integrasi Fintech Syariah tidak hanya terbatas pada pembiayaan; ia juga menciptakan ekosistem pembayaran digital yang aman (bebas riba dan gharar) bagi wisatawan dan UMKM pariwisata.12 Platform travel digital meningkatkan transparansi layanan (menghindari gharar dalam informasi paket wisata) dan mendukung inklusi keuangan UMKM di daerah wisata. Pemerintah dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) perlu mendorong kolaborasi strategis antara penyedia layanan Halal dengan penyedia Fintech Syariah untuk menciptakan pengalaman yang mulus (seamless) dan sepenuhnya sesuai Syariah, mulai dari pemesanan hingga transaksi pembayaran.14
BAB IV: Perbandingan Model Pengembangan dan Tata Kelola Global (Benchmarking)
Untuk mencapai status sebagai pusat pariwisata halal global, Indonesia perlu melakukan benchmarking terhadap negara-negara yang telah sukses dalam mengembangkan model tata kelola yang terstruktur.
4.1. Model Pengembangan Terpadu Malaysia
Malaysia merupakan contoh utama yang menggunakan pendekatan proaktif dan terstruktur dalam pariwisata halal. Sejak tahun 2001, Malaysia telah menunjukkan pertumbuhan wisatawan Muslim, terutama dari Timur Tengah, didorong oleh promosi aktif pemerintah.1
Malaysia menyusun The Halal Master Plan yang terstruktur dalam tiga fase, dari tahun 2008 hingga 2020, dengan tujuan ambisius untuk menjadi pusat halal dunia. Kerangka master plan ini memberikan arah kebijakan yang jelas, terukur, dan mengintegrasikan regulasi, infrastruktur, dan pemasaran. Upaya mereka mencakup peningkatan pelayanan seperti penyediaan hidangan Timur Tengah, papan nama bertuliskan Arab, serta staf berbahasa Arab di hotel.1 Meskipun diakui masih terdapat tantangan (seperti ketersediaan alkohol dan perjudian di beberapa tempat), komitmen Malaysia untuk menetapkan standar halal yang tinggi di restoran dan hotel, serta regulasi anti-alkohol dan anti-babi di kawasan wisata tertentu, telah diakui secara global, menempatkan mereka pada peringkat tertinggi dalam Indeks Crescent Rating.1
4.2. Model Pengembangan di Turki
Turki telah berhasil memosisikan diri sebagai destinasi wisata ramah Muslim terkemuka di dunia, bahkan menempati posisi pertama dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2023/24.15 Turki menggunakan terminologi "Halal Holiday" dan menawarkan perpaduan yang kaya antara wisata alam, sejarah, dan budaya Islam, didukung oleh ketersediaan kuliner halal yang meluas.1 Keberhasilan Turki terletak pada kemampuannya mengintegrasikan aset budaya dan sejarah Islam yang kuat dengan pelayanan modern yang ramah Muslim (fasilitas ibadah, makanan halal yang mudah diakses).
4.3. Strategi Pengaturan Dubai dan Uni Emirat Arab
Strategi pengembangan pariwisata halal di Uni Emirat Arab, khususnya Dubai, berfokus pada kerangka ekonomi Islam yang lebih luas. Melalui inisiatif seperti yang pernah dijalankan oleh Dubai Islamic Economy Development Centre (DIEDC) (yang kemudian dilebur menjadi bagian dari struktur yang lebih besar), Dubai berupaya memperkuat statusnya sebagai referensi global untuk standar perdagangan halal, industri, dan keuangan Islam.16
Dalam konteks pariwisata, strategi ini memosisikan family tourism dan standar halal yang ketat sebagai pilar utama, menjadikan pariwisata halal sebagai bagian integral dari kerangka ekonomi Islam yang komprehensif, bukan sebagai sektor yang berdiri sendiri.
4.4. Pembelajaran Kunci dan Benchmarking untuk Indonesia
Untuk mencapai daya saing global, Indonesia perlu mentransisikan pendekatannya dari konsep sektoral menjadi Ekosistem Terstruktur. Indonesia memiliki modal demografis dan spiritual yang besar, serta potensi pasar Wisman dan Wisnus Muslim yang terus tumbuh.2 Namun, untuk menyaingi struktur Malaysia dan branding Turki, Indonesia harus memperkuat arsitektur regulasi dan strategi jangka panjangnya.
Perbandingan Model Tata Kelola Pariwisata Halal Global
Pembelajaran utama adalah bahwa strategi akselerasi Indonesia harus mengatasi fragmentasi regulasi domestik dan mengintegrasikan standardisasi, pembiayaan syariah, dan pengembangan SDM di bawah payung kebijakan yang kuat, untuk menciptakan ekosistem yang dapat diprediksi dan stabil bagi investor.
BAB V: Tantangan, Sinergi, dan Strategi Keberlanjutan
5.1. Analisis Kesenjangan dalam Pengembangan Pariwisata Halal di Indonesia
Pengembangan pariwisata halal di Indonesia, meskipun memiliki potensi pasar yang besar, menghadapi sejumlah tantangan operasional dan regulasi. Tantangan utamanya mencakup kurangnya pemahaman mendalam pelaku industri pariwisata terhadap standar Syariah komprehensif, serta isu koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta.19
Kondisi kebijakan saat ini menunjukkan adanya risiko heterogenitas kebijakan. Di satu sisi, otonomi daerah memungkinkan penegakan sanksi administrasi (misalnya teguran lisan hingga denda) di tingkat daerah, seperti yang diatur dalam Peraturan Walikota Pekanbaru.18 Namun, di sisi lain, pencabutan Peraturan Menteri Pariwisata mengenai Hotel Syariah di tingkat pusat menciptakan kekosongan standar nasional yang baku.7 Hal ini mengakibatkan standar operasional di berbagai daerah dapat berbeda-beda, membingungkan investor, dan menghambat penciptaan brand pariwisata halal Indonesia yang seragam dan tepercaya. Penting untuk dicatat bahwa regulasi daerah harus tetap responsif terhadap pluralitas dan kearifan lokal, sesuai dengan hasil penelitian tentang pembangunan pariwisata halal yang berkelanjutan.20
5.2. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor penentu keberhasilan pariwisata halal. Terdapat kebutuhan mendesak untuk melatih tenaga kerja agar tidak hanya terampil secara teknis (misalnya, penyusunan rencana perjalanan atau pertolongan pertama 21) tetapi juga memahami dan menguasai standar pelayanan pariwisata Syariah.
Pelatihan yang efektif harus melampaui konsep service excellence menuju akhlakul karimah (etika mulia), yang merupakan inti dari prinsip Syariah. Ini mencakup aspek integritas, kejujuran, keramahan, dan kesopanan dalam setiap interaksi, mulai dari etika berpenampilan hingga bersikap kepada wisatawan [User Framework]. Kolaborasi antara lembaga akademik, seperti Institut Pariwisata Trisakti, dengan pusat-pusat komunitas Muslim, seperti Jakarta Islamic Centre (JIC), menjadi model yang strategis untuk menyusun proposal Halal Tourism berstandar internasional dan memberikan pelatihan yang memadukan kompetensi teknis pariwisata dengan pemahaman Syariah.22 Kurikulum pariwisata Syariah harus secara eksplisit mengintegrasikan Fatwa DSN-MUI dan meneladani prinsip Nubuwwah dalam pelayanan [User Framework].
5.3. Pentingnya Sinergi Kuadran: Pemerintah, Pelaku Usaha, Akademisi, dan Komunitas
Mengatasi tantangan koordinasi dan fragmentasi memerlukan sinergi kolektif yang kuat. Kolaborasi antara pemerintah (yang menyediakan kebijakan dan payung hukum yang jelas) dan sektor swasta (yang melakukan investasi fasilitas Syariah) adalah hal mendasar.19 Pemerintah perlu memberikan dukungan berupa kebijakan yang terkoordinasi dengan baik, sementara sektor swasta, termasuk hotel, restoran, dan agen perjalanan, harus berkomitmen untuk berinvestasi dalam layanan yang memenuhi standar pariwisata halal.
Sinergi yang efektif melibatkan kuadran yang lebih luas, termasuk akademisi (yang menyediakan riset dan kurikulum pelatihan) dan komunitas setempat (yang bertindak sebagai tuan rumah dan penjaga nilai-nilai lokal). Upaya ini memastikan bahwa semua pemangku kepentingan, dari pemerintah pusat hingga pengelola destinasi wisata, bekerja dalam visi yang sama, yaitu mengembangkan destinasi pariwisata halal kelas dunia dan ekosistem industri yang berdaya saing tinggi.2
5.4. Strategi Konservasi dan Khilafah Lingkungan dalam Destinasi Halal Berkelanjutan
Prinsip Khilafah (tanggung jawab sebagai pemelihara, termasuk dalam regulasi) dan Ma'ad (orientasi keberlanjutan) memberikan landasan filosofis bagi pariwisata halal berkelanjutan [User Framework]. Konsep pariwisata halal secara intrinsik bersifat berkelanjutan karena secara tegas melarang israf (pemborosan) dan tabzir (perilaku berlebihan) [User Framework].
Manajemen destinasi harus menerapkan strategi konservasi dan restorasi yang aktif terhadap alam, budaya, dan lingkungan sekitar destinasi wisata. Hal ini merupakan perwujudan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang melekat pada operasional bisnis Syariah, memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak merusak aset spiritual dan fisik masa depan.
BAB VI: Kesimpulan, Rekomendasi Kebijakan, dan Visi Masa Depan
6.1. Integrasi Nilai Syariah Sebagai Kekuatan Pembeda Kompetitif
Pariwisata halal lebih dari sekadar tren bisnis; ia adalah implementasi komprehensif dari manajemen pariwisata yang berlandaskan prinsip Syariah dan Ekonomi Syariah. Untuk mewujudkan potensi maksimalnya, pariwisata halal tidak boleh berhenti pada aspek simbolis (seperti label halal pada F&B) tetapi harus menjadi ekosistem yang terintegrasi. Keberhasilan manajemen pariwisata halal di Indonesia ditentukan oleh seberapa baik prinsip Tauhid, 'Adl, Khilafah, dan Ma'ad diinternalisasi ke dalam seluruh rantai nilai, mulai dari pembiayaan (Mudharabah, Musyarakah) hingga etika pelayanan (Akhlakul Karimah).
6.2. Rekomendasi Kebijakan (Policy Recommendations) untuk Akselerasi
Berdasarkan analisis kesenjangan regulasi dan benchmarking model global, berikut adalah rekomendasi kebijakan strategis untuk mengakselerasi pengembangan pariwisata halal Indonesia:
Rekomendasi 1: Harmonisasi dan Penguatan Regulasi Akomodasi Syariah.
Pemerintah pusat perlu segera mengisi kekosongan hukum akibat pencabutan Peraturan Menteri Pariwisata tentang Hotel Syariah.7 Peraturan pengganti harus menciptakan single, unified standar Akomodasi Syariah Nasional yang mengintegrasikan secara penuh Fatwa DSN-MUI (aspek etika dan fasilitas komprehensif) dan berharmonisasi dengan standar mutu SNI CHSE 9042:2021. Standar ini harus menjadi payung hukum yang kuat untuk menjamin kepastian investasi dan kualitas layanan.
Rekomendasi 2: Mendorong Adopsi Fintech Syariah dan Digitalisasi Layanan.
Pemerintah dan otoritas terkait harus memberikan insentif regulasi dan fiskal bagi platform travel digital dan UMKM pariwisata untuk mengadopsi sistem pembayaran dan pembiayaan Syariah. Kolaborasi strategis dengan Fintech Syariah akan mempercepat inklusi keuangan, meningkatkan transparansi transaksi (menghindari gharar), dan memudahkan aksesibilitas informasi halal bagi wisatawan.12
Rekomendasi 3: Revitalisasi Master Plan Pariwisata Halal Jangka Panjang.
Indonesia harus mengembangkan Master Plan Pariwisata Halal 2024-2045 yang terperinci dan terstruktur, meniru pendekatan bertahap yang digunakan Malaysia.1 Master Plan ini harus berorientasi pada pencapaian Maqashid Syariah, dengan fokus kuat pada pengembangan destinasi pariwisata halal kelas dunia yang berkelanjutan.2
Rekomendasi 4: Integrasi Kurikulum Akhlakul Karimah dalam Pelatihan SDM.
Lembaga pendidikan dan pelatihan harus diwajibkan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum pariwisata Syariah yang menggabungkan kompetensi teknis dengan pengetahuan Fatwa DSN-MUI dan prinsip akhlakul karimah.22 Peningkatan kapasitas SDM ini krusial untuk memastikan bahwa pelayanan yang diberikan mencerminkan integritas dan etika Syariah.
6.3. Visi Indonesia sebagai Pusat Pariwisata Halal Global (2045)
Indonesia, dengan modal spiritual dan demografis yang tak tertandingi, memiliki kesempatan unik untuk menjadi pusat pariwisata halal global. Untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, pengembangan pariwisata halal harus didukung oleh komitmen kolektif dari semua pemangku kepentingan, didorong oleh integritas operasional, dan ditegakkan oleh regulasi yang berbasis pada keadilan ('Adl) dan keberlanjutan (Ma'ad). Dengan demikian, pariwisata halal dapat berkontribusi tidak hanya pada peningkatan ekonomi nasional, tetapi juga pada kesejahteraan sosial dan spiritual yang otentik.