Bab 2: Surat dari Selatan
Malam yang Membawa Pesan
Malam menjejak di tanah perbatasan dengan keheningan yang hampir magis. Langit kelam berhiaskan taburan bintang yang tampak seperti titik-titik cahaya dari masa lalu, memantulkan kilau tipis yang menari di permukaan daun basah. Angin malam berhembus membawa aroma asin dari laut selatan, menyusup lembut di antara daun kelapa dan bambu yang berdesir, seakan bersenandung lirih untuk menenangkan bumi yang terjaga. Suasana itu membuat waktu terasa beku — dunia menahan napas, menunggu sesuatu yang akan terungkap. Daun-daun bergesekan satu sama lain, menciptakan bunyi lirih yang menambah kesunyian malam, sementara bayangan candi-candi yang jauh terlihat samar di kaki langit.
Danang duduk di lantai bambu yang dingin, dikelilingi tumpukan daun lontar yang menua. Pelita minyak berayun pelan di dekatnya, menciptakan bayang-bayang menari di dinding yang menambah nuansa misteri. Ia menata ulang lembaran-lembaran naskah tua milik ibunya, membaca catatan-catatan rapuh yang tak tersentuh selama bertahun-tahun. Bau kertas kuno yang bercampur aroma minyak pelita memenuhi hidungnya, membangkitkan nostalgia akan masa lalu yang tak pernah ia saksikan, namun terasa hidup melalui kata-kata tertulis.
Di antara naskah-naskah tua itu, satu lembaran menarik perhatiannya. Terlipat rapi, hanya terdapat bekas cap lilin nyaris pudar. Dengan tangan gemetar, Danang membuka perlahan, jantungnya berdebar antara takut kehilangan, rindu membara, dan harap yang menuntunnya dari jauh. Matanya menelusuri setiap huruf, seolah kata-kata itu menyimpan denyut hidup dari masa lalu.
Tinta hitam menyapa matanya dengan tegas, bergaya bangsawan lama. Di bagian awal tertulis:
“Untuk darahku yang akan tumbuh di bawah bayang matahari selatan…”
Detak jantung Danang meningkat. Setiap kata terasa hidup, seakan suara ayahnya membisik di telinga, memanggilnya melalui ruang dan waktu. Ia membaca perlahan:
“Aku, Arya Brata, menulis ini sebelum matahari tenggelam di medan perang terakhir. Jika surat ini sampai kepadamu, berarti garis darah kita belum padam. Dengarlah, anakku — di bawah reruntuhan Candi Rawa Geni, tersimpan Kitab Kala Jayantara. Jangan biarkan siapapun menemukannya sebelum kau memahami arti waktu dan keseimbangan. Karena kitab itu bukan untuk berkuasa, melainkan untuk menebus kesalahan masa lalu.”
Tangan Danang gemetar, matanya berkaca-kaca. Ia belum pernah mendengar nama Kitab Kala Jayantara sebelumnya, namun kata-kata ayahnya terasa seperti panggilan jauh yang tak bisa diabaikan. Ia menunduk, membayangkan ayahnya di medan perang, menghadapi takdir dan keputusan yang berat. Bayangan medan perang muncul: debu, teriakan, pedang bertabrakan, dan bendera berkibar di bawah langit yang kelam. Pandangannya kemudian menatap jendela ke arah selatan, di mana bulan memantulkan cahaya perak di atas laut tenang namun penuh misteri.
Nyi Ratmi duduk di sudut ruangan, memperhatikan setiap gerak tubuh dan ekspresi putranya. Dengan suara lembut yang hampir seperti doa, ia berkata:
“Ada hal-hal yang lebih tua dari kerajaan, Nak. Dan ayahmu... ia mencoba memperbaikinya, tapi gagal. Tak semua yang hilang bisa ditemukan lagi, tapi beberapa hal harus kau jaga dengan sepenuh hati.”
Danang menatap ibunya, menyerap kata-kata itu. Ada ketakutan yang membayang di matanya, namun keberanian perlahan tumbuh. Rasa penasaran yang selama ini ia pendam kini berubah menjadi tekad yang nyata.
“Jika benar kitab itu ada, aku harus menemukannya. Bukan untuk kekuasaan, tapi untuk tahu kebenaran mengapa semuanya runtuh. Aku harus memahami, bukan sekadar memiliki.”
Nyi Ratmi menunduk, air mata jatuh perlahan di atas daun lontar yang terbuka, meninggalkan bekas samar. Ia menggenggam tangan Danang sebentar, memberikan kekuatan yang tak terlihat. Malam itu lebih dari sekadar penemuan surat — itu awal perjalanan yang tak bisa dihindari, perjalanan yang akan membawa Danang ke sisi lain sejarah dan rahasia kerajaan.
Danang duduk diam, membiarkan setiap kata meresap ke dalam jiwanya. Ia membayangkan reruntuhan candi, arca yang retak, dan gema masa lalu yang tersembunyi di setiap sudut tanah Jawa. Angin selatan semakin kencang, menyingkap bau hujan jauh di laut. Dari kejauhan, terdengar gemuruh samar, seakan bumi memperingatkan: setiap kebenaran selalu menuntut harga yang harus dibayar.
Ia teringat kisah-kisah yang pernah diceritakan ibunya tentang leluhur dan perang yang memecah kerajaan. Setiap kisah terasa hidup malam itu, menyatu dengan bisikan angin dan bayangan di lantai bambu. Danang merasa menapak jejak ayahnya, seakan langkahnya membentuk gelombang menembus waktu.
Dengan napas dalam, Danang menutup surat sejenak dan menatap langit malam. Ia merasakan tanggung jawab menumpuk di pundaknya, menyadari surat itu bukan sekadar pesan ayah, tetapi amanah yang harus dibawa sendiri. Malam itu, tanah perbatasan menjadi saksi awal fajar baru yang akan menyinari nasibnya, dan nasib tanah Jawa.
Kesadaran Takdir
Danang menarik napas panjang, membiarkan suasana malam menyelimuti dirinya sepenuhnya. Ia menutup mata, membayangkan perjalanan panjang: reruntuhan yang harus ditelusuri, rahasia yang harus dijaga, dan keputusan yang akan menentukan nasib banyak jiwa. Ia membayangkan pertemuan-pertemuan yang mungkin ia hadapi, orang-orang yang membantunya, dan bahaya yang mengintai di balik bayangan. Dalam diam, ia menaruh surat itu di dekat hatinya, seakan merasakan kehadiran ayahnya yang membimbing dari jauh. Malam itu, bukan hanya tanah perbatasan yang bersaksi, tetapi juga jiwa seorang pemuda yang mulai menapaki jalan takdirnya.
Fajar dan Janji Baru
Seiring malam berganti fajar, cahaya lembut matahari menyapu ruangan. Pelita minyak yang tadi menari kini redup, digantikan sinar pagi yang hangat. Danang berdiri, wajahnya masih memerah karena tangisan dan kegembiraan yang campur aduk. Angin selatan membawa aroma laut dan tanah basah, memeluknya seolah memberi restu. Ia menatap langit yang perlahan terang, merasakan janji baru di setiap hembusan udara. Di dadanya, rasa takut, rindu, dan harap bercampur menjadi tekad yang membara. Ia menyadari bahwa perjalanan ini bukan sekadar mencari kitab, tetapi memahami kebenaran masa lalu, dan menjaga warisan yang kelak menjadi penuntun bagi generasi baru. Setiap langkahnya kini terasa lebih berat, namun juga lebih bermakna — karena fajar ini bukan hanya menyinari langit, tetapi juga hati seorang pemuda yang siap menulis sejarahnya sendiri di tanah Jawa.
Akhir Bab: Janji Takdir
Danang menarik napas panjang, menatap horizon yang mulai terang. Rasa takut dan rindu bergabung menjadi tekad yang membara, membentuk janji pada dirinya sendiri: untuk menjaga warisan, menemukan kebenaran, dan melangkah ke masa depan yang belum ditulis. Di tanah perbatasan yang sunyi, fajar baru bukan hanya datang dari cahaya, tetapi dari hati seorang pemuda yang siap menapaki takdirnya. Setiap desiran angin, setiap cahaya pagi, dan setiap bisikan masa lalu menjadi saksi janji itu — janji yang akan menuntunnya pada perjalanan panjang menuju sejarah yang menanti di Candi Rawa Geni dan di seluruh tanah Jawa.
Sinopsis Bab 2: Surat dari Selatan
Bab ini menceritakan ketika Danang Aryasena menemukan surat lama dari ayahnya, Arya Brata, yang hilang dalam perang. Surat tersebut memuat petunjuk penting tentang rahasia besar kerajaan: keberadaan Kitab Kala Jayantara, kitab kuno yang diyakini mampu mengubah nasib negeri.
Dalam bab ini, pembaca melihat campuran emosi Danang—rasa rindu pada ayahnya, kekaguman terhadap warisan leluhur, dan dorongan untuk menemukan kebenaran. Bab ini memperkuat rasa ingin tahu Danang dan memulai motivasinya untuk menjelajahi sejarah tersembunyi kerajaan.
Selain itu, interaksi Danang dengan Nyi Ratmi menegaskan ikatan keluarga, memberikan konteks batin dan dukungan emosional saat ia menghadapi misteri yang baru terungkap. Bab ini menutup dengan ketegangan dan harapan, menandai awal perjalanan Danang menuju takdir yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.