Bab 6: Api di Selatan
Setelah tuduhan sebagai dalang perpecahan tersebar luas, Danang mendapati dirinya menjadi buronan kerajaan. Patih Wiradipa menggerakkan pasukan khusus untuk mengejarnya, dan setiap jalan di Mataram seolah dipenuhi mata-mata yang mengintai setiap langkahnya. Aroma asap dupa, debu jalan, dan bisikan orang-orang menambah ketegangan yang menekan. Kadipaten Wirabhumi, tujuan pelarian mereka, memiliki sejarah panjang sebagai wilayah otonom selatan Mataram. Dikenal karena strategi politik yang cerdik, tradisi pertahanan rakyat yang tangguh, dan jaringan diplomat yang lihai, kadipaten ini menjadi tempat aman sekaligus pusat potensi dukungan politik yang penting bagi upaya Danang.
Bersama Larasati, sahabat setia sejak masa kecil, mereka meninggalkan kota dengan hati-hati, menyusuri jalan setapak di tepi hutan lebat. Setiap langkah menghadirkan tantangan: sungai deras harus diseberangi dengan hati-hati, lembah curam menjadi ujian keberanian, dan hembusan angin malam membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur, menciptakan suasana hutan yang misterius dan menegangkan. Mereka bergerak senyap, memanfaatkan bayangan pepohonan dan celah di pepohonan untuk menyembunyikan diri dari patroli pasukan yang terus mengintai.
Di tengah perjalanan, Danang membuka Kitab Kala Jayantara yang telah ia bawa. Ia membaca dengan tekun, menelaah simbol, mantra, dan catatan leluhur yang tersimpan rapi di halaman kuno. Larasati, dengan ketajaman inderanya terhadap alam, membantu menafsirkan petunjuk-petunjuk tersirat dalam kitab tersebut. Mereka menemukan bahwa Kitab Jayantara bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi panduan kompleks tentang keseimbangan kekuasaan, rakyat, dan alam. Ada nasihat strategis, ajaran spiritual, dan mantra-mantra kuno yang bisa membentuk masa depan, mengarahkan mereka pada jalur yang tepat dalam menghadapi tantangan yang akan datang.
Malam menjelang, mereka beristirahat di bawah rimbunnya pepohonan. Suara gemerisik daun, desir angin, dan gemericik air di kejauhan menjadi simfoni alam yang menenangkan sekaligus menegangkan. Di saat-saat hening itu, Danang merenung. Pelarian ini bukan sekadar untuk keselamatan, tetapi juga merupakan kesempatan untuk mempersiapkan diri menghadapi takdir yang lebih besar. Beban tanggung jawab terasa berat, namun ada pula semangat untuk menata kembali masa depan Mataram.
Perjalanan mereka membawa melalui desa-desa kecil yang tersebar di sepanjang jalan. Dari kejauhan, terlihat cahaya api unggun yang menandakan kehidupan dan perlawanan rakyat yang terus berjalan. Danang merasakan semangat itu sebagai dorongan, seakan rakyat memberi kekuatan untuk terus maju. Langit malam yang bertabur bintang menatap mereka diam-diam, sementara udara malam yang sejuk menyelimuti tubuh yang lelah. Setiap langkah menuntut ketekunan, keberanian, dan ketahanan mental, tetapi tekad mereka semakin kuat.
Mendekati perbatasan Kadipaten Wirabhumi, mereka bertemu dengan beberapa penduduk lokal yang mengenal ayah Danang. Mereka menawarkan perlindungan, makanan, dan informasi tentang situasi politik di selatan, termasuk strategi pertahanan kadipaten dan jaringan mata-mata yang dapat dimanfaatkan untuk melawan Patih Wiradipa. Danang menyadari bahwa kedatangan mereka bukan hanya untuk berlindung, tetapi juga untuk merajut jaringan dukungan strategis yang kelak akan membantu perjuangan mereka.
Larasati menepuk bahu Danang, memberikan dorongan tanpa kata-kata. Mereka menatap cakrawala malam yang luas, di mana fajar baru tampak di ujung langit. Dalam hati, Danang memahami bahwa perjalanan ini adalah awal dari perubahan besar, dan setiap keputusan yang mereka buat akan menentukan nasib Mataram.
Di tengah hutan dan lembah, diiringi suara alam—gemericik air, desir angin, kicau burung malam, dan aroma tanah basah—Danang mulai merancang langkah berikutnya. Ia membuka kembali Kitab Jayantara, membaca dan merenungkan mantra-mantra yang bisa menjadi pedoman. Api dalam hatinya menyala, menyinari jalannya di kegelapan malam, sebagai simbol tekad dan harapan yang tidak akan padam.
Sepanjang malam, mereka berdiskusi singkat tentang rute yang harus ditempuh, bahaya yang mungkin menghadang, dan cara menggunakan pengetahuan dari kitab untuk memprediksi langkah musuh. Mereka juga memerhatikan tanda-tanda alam—burung yang tiba-tiba terbang, perubahan angin, atau suara-suara aneh—sebagai petunjuk arah dan peringatan bahaya, memperkaya pengalaman pelarian mereka.
Dengan kesadaran penuh terhadap tanggung jawab, Danang dan Larasati melanjutkan perjalanan, menyadari bahwa setiap keputusan tidak hanya menyangkut keselamatan mereka sendiri, tetapi juga nasib seluruh Mataram. Ketekunan, keberanian, dan kecerdasan mereka menjadi senjata utama untuk menghadapi tantangan yang semakin berat, menyiapkan mereka untuk menghadapi takdir besar yang menanti di Kadipaten Wirabhumi.
Penutup Bab 6
Perjalanan mereka ke selatan bukan sekadar pelarian, melainkan langkah awal untuk memahami sejarah dan takdir yang lebih besar. Setiap rintangan mengajarkan Danang dan Larasati keteguhan, kecerdikan, dan pentingnya membaca tanda-tanda alam serta strategi politik. Bab ini menekankan keseimbangan antara kekuatan, pengetahuan, dan hati nurani sebagai fondasi untuk menghadapi masa depan Mataram. Dengan semangat yang menyala, mereka siap menapaki tantangan berikutnya.
Sinopsis Bab 6:
Danang dan Larasati menjadi buronan setelah tuduhan perpecahan dan melarikan diri ke Kadipaten Wirabhumi, sebuah wilayah selatan Mataram yang memiliki sejarah politik dan pertahanan rakyat yang kuat. Dalam perjalanan yang penuh rintangan dan pembelajaran, Danang menelaah Kitab Kala Jayantara, menyingkap rahasia leluhur tentang keseimbangan kekuasaan, rakyat, dan alam. Bab ini menekankan tema pelarian, pembelajaran spiritual, keteguhan menghadapi tantangan, strategi politik, pengamatan tanda-tanda alam, serta persiapan untuk takdir besar yang akan menentukan masa depan Mataram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.