Prolog: Bayang di Tanah Mataram
Angin fajar berhembus lembut di atas dataran tinggi Mataram, membawa aroma basah dari tanah yang baru disiram embun. Kabut pagi bergulung perlahan dari lembah-lembah, menyingkap bayang candi-candi batu yang tegak seolah menahan napas zaman. Di antara reruntuhan patung dewa yang retak dan lumut yang menua, terdengar kidung tua dari arah selatan — nyanyian yang telah berusia ratusan tahun, menggema di udara yang dingin dan suci, menembus setiap celah waktu.
Pada masa itu, Jawa belum bersatu. Tiga kerajaan besar berdiri dalam keseimbangan rapuh, masing-masing menyimpan sisa kejayaan masa lalu dan luka-luka dari perang saudara yang tak pernah benar-benar usai. Istana Mataram, pusat kebijaksanaan dan kebesaran lama, kini dibayangi oleh perebutan kuasa, intrik politik, dan bisikan rahasia dari para patih dan pendeta.
Namun di tengah kemelut itu, di sebuah dusun terpencil di perbatasan selatan, hiduplah seorang pemuda bernama Danang Aryasena. Anak seorang perempuan desa, Nyi Ratmi, yang dahulu pernah menjadi selir istana. Di rumah bambu yang dikelilingi sawah kering dan pohon siwalan, Danang tumbuh sebagai anak yang tekun, berakal jernih, dan memiliki pandangan jauh melampaui usianya.
Sejak kecil, ia gemar membaca naskah-naskah tua yang disimpan ibunya dalam peti kayu — lembaran lontar yang menuturkan kisah raja-raja terdahulu, mantra rahasia, dan kitab-kitab kuno yang dipercaya dapat mengubah nasib dunia. Bagi rakyat, semua itu hanyalah legenda; bagi Danang, itu adalah panggilan masa depan yang membara dalam hatinya.
Setiap malam, ketika angin selatan membawa aroma laut, ia duduk di depan pelita minyak yang berayun perlahan, menatap langit penuh bintang. Rasa ingin tahunya membara: siapakah ayahnya yang hilang dalam perang, dan mengapa ibunya selalu menatap ke arah utara setiap kali nama Mataram disebut. Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab, namun memupuk tekad Danang untuk menemukan kebenaran sendiri.
Suatu pagi yang sunyi, sebelum matahari naik sepenuhnya, seekor burung gagak jatuh mati di depan rumahnya. Di paruhnya tergenggam sehelai daun lontar dengan tulisan tinta pudar:
“Bayang masa lalu belum selesai. Yang lahir dari abu akan menyalakan fajar baru.”
Danang menatap daun lontar itu dengan mata terbelalak. Rasa takut, penasaran, dan harap bercampur menjadi satu. Ia merasakan denyut sejarah yang memanggilnya, sebuah janji yang harus ia tepati. Hari itu, tanpa disadari, perjalanan panjang untuk mengungkap rahasia Kitab Kala Jayantara telah dimulai — sebuah perjalanan yang akan membawanya menembus reruntuhan masa lalu, menghadapi intrik kerajaan, dan menemukan takdir yang menanti di cakrawala tanah Jawa.
Sentuhan Akhir: Awal dari Takdir
Danang menarik napas panjang, merasakan angin fajar yang menyejukkan pipinya. Di kejauhan, bayang candi-candi seakan mengangguk menyambut langkah pertama pemuda itu. Ia menutup mata sejenak, meresapi pesan dari daun lontar, dan merasakan getaran takdir yang kini menjadi bagian dari dirinya. Fajar baru bukan hanya cahaya di langit, tetapi juga semangat yang lahir dari keberanian seorang anak desa untuk menapaki jalan yang belum pernah dilalui — jalan yang akan menuntunnya pada sejarah dan misteri Kitab Kala Jayantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.