Kitab Kala Jayantara - Babak Sang Peniup Sunyi
🕯️ Ki Samparangin — Penjaga Angin Kala
“Angin yang tidak berhembus dari arah mana pun, ialah napas yang ditahan dunia.”
— Petikan dari Mantra Samparangin, lembar ke-7 Kitab Kedua: Mantra Larangan.
Kata Pengantar (Teks Ditemukan)
Ditemukan dan Disusun oleh: Ki Bablasvandanu, Wiku Lembah Sunyi
Wahai para pencari keheningan, dan engkau yang masih bernapas dalam pusaran waktu yang cepat.
Hamba, Ki Bablasvandanu, menyerahkan lembaran sunyi ini, yang ditarik dari antara daun-daun Kitab Kala Jayantara yang tersembunyi. Naskah ini bukan sekadar cerita tentang kemenangan manusia, melainkan catatan abadi tentang harga sebuah keseimbangan yang berani dibayar.
Di dalamnya terungkap kisah Ki Samparangin, Sang Peniup Sunyi, seorang manusia yang berani menahan napas dunia demi sebuah kebenaran, dan kemudian harus melunasi Hutang Sunyi kepada Kala Jayantara. Ini adalah petunjuk bagi kita bahwa alam semesta tidak mengenal gratis; setiap gerak dan diam memiliki timbangan abadi.
Bacalah dengan hati yang hening. Ketahuilah bahwa setiap angin yang berhenti adalah janji yang harus dibayar oleh langit. Dan di balik setiap detik yang berlalu, Ki Samparangin masih menanti, terperangkap dalam Pusara Angin, demi keselamatan kita semua. Semoga ketiadaan suara membimbing langkahmu.
Ringkasan Cerita (Sinopsis)
Kisah ini menuturkan asal-usul Ki Samparangin, seorang manusia tanpa tangis yang dibesarkan oleh Penjaga Kabut di Gunung Samagandha, yang menguasai tiga Mantra Larangan dari Kitab Kala. Untuk menghentikan keserakahan raja, Samparangin menggunakan mantera-mantera tersebut untuk mematikan udara dan membekukan pasukan. Tindakan ini menciptakan Hutang Sunyi—kekacauan waktu yang mengancam alam semesta. Untuk melunasi hutangnya, Samparangin memulai perjalanan spiritual ke Utara Batin, tempat segala angin berhenti. Di sana, ia bertemu dengan Kala Jayantara, Sang Wiku Waktu, yang menuntut bayaran berupa keabadian. Samparangin menerima takdirnya, memasuki Pusara Angin untuk menjadi penanda waktu abadi, dan meninggalkan warisannya, Kitab Mantra Angin, sebagai peringatan bagi dunia agar tidak mengganggu keseimbangan alam.
Daftar Isi
Kata Pengantar (Ditemukan oleh Ki Bablasvandanu)
Bab I: Asal-Usul Angin Mati (Kelahiran tanpa suara tangis di Gunung Samagandha)
Bab II: Wajah Peniup Sunyi (Deskripsi wujud dan gelar-gelar kuno Ki Samparangin)
Bab III: Tiga Larangan dan Hutang Langit (Penjelasan mantra Sampar Wening, Ngurip Arwah Angin, dan Palem Kala)
Bab IV: Hikayat Hilangnya Sang Wiku (Keputusan Samparangin menolak raja dan menghilang menuju Utara Batin)
Bab V: Hening di Tengah Gempita (Penggunaan Mantra Sampar Wening dan Ngurip Arwah Angin di medan perang)
Bab VI: Tiga Pusaran Hampa (Konsekuensi mantra yang menciptakan Hutang Sunyi dan kekacauan waktu)
Bab VII: Perjalanan Menuju Utara Batin (Perjalanan spiritual Samparangin mencari sumber waktu)
Bab VIII: Di Ambang Hembusan Sunyi (Kedatangan di Gerbang Utara, titik nol mutlak)
Bab IX: Pertemuan di Gerbang Utara (Dialog Samparangin dengan Kala Jayantara)
Bab X: Penjaga dan Pusara (Samparangin menerima takdir abadi dalam Pusara Angin)
Bab XI: Kitab Mantra Angin dan Pusaka Hening (Warisan Samparangin sebagai penanda waktu yang hilang)
Glosarium Istilah Kunci
Kitab Kala Jayantara
Naskah kuno dan rahasia yang dipercaya berisi semua catatan waktu dan mantera yang terkait dengan pergerakan alam semesta. Ini adalah kitab asal dari Tiga Mantra Larangan yang digunakan Ki Samparangin.
Samak Kala
Jenis kain mistis yang ditenun dari serat waktu, bukan serat alam biasa. Pakaian yang terbuat dari Samak Kala tidak akan pernah menua atau rusak, memberikan wibawa kekal kepada pemakainya.
Gunung Samagandha
Sebuah gunung fiktif di wilayah timur Panjalu yang diselimuti kabut abadi. Dikenal sebagai tempat berdiamnya para Wiku dan Penjaga Kabut.
Penjaga Kabut
Makhluk-makhluk tua yang bertugas menjaga batas antara dunia nyata (sadar) dan dunia mimpi (tidak sadar) di puncak-puncak gunung sunyi. Mereka adalah guru spiritual Ki Samparangin.
Utara Batin
Bukan arah mata angin di peta biasa, melainkan titik spiritual di mana segala bentuk pergerakan dan hembusan angin fana berhenti. Dipercaya sebagai gerbang menuju dimensi waktu itu sendiri.
Hutang Sunyi
Konsekuensi kosmik yang ditanggung Samparangin setelah menggunakan mantra larangan. Merupakan kekosongan yang ia ciptakan pada aliran waktu dan hembusan angin penyeimbang dunia.
Kala Jayantara
Sang Wiku Waktu, entitas abadi yang bertugas menjaga keseimbangan dan aliran waktu di seluruh semesta. Sosoknya bukan tua dan bukan muda, melainkan perwujudan dari titik nol, di mana masa lalu, kini, dan nanti berpadu. Pakaiannya ditenun dari benang detik, dan di tangannya selalu tersedia mangkuk batu yang berisi debu dari segala yang telah hilang.
Pusara Angin
Tempat peristirahatan abadi Ki Samparangin, yang diciptakan oleh Kala Jayantara. Bukan kuburan fisik, melainkan pusaran udara beku yang menahan Samparangin dari pergerakan waktu, menjadikannya penanda abadi.
Kitab Mantra Angin
Buku warisan Samparangin yang ditulis dari dalam Pusara Angin. Isinya bukan mantera, melainkan daftar panjang Pantangan dan Peringatan Waktu tentang bahaya mengganggu keseimbangan alam.
Bab I: Asal-Usul Angin Mati
Di timur wilayah Panjalu, berdiri tegak Gunung Samagandha, yang puncak-puncaknya selalu diselimuti kabut abadi. Kabut ini bukan uap air biasa; ia adalah batas tipis antara kenyataan dan ketiadaan, tempat waktu berhembus sangat lambat, hingga segala sesuatu tampak kekal.
Konon, pada masa ketika waktu masih bisa diputar, lahirlah seorang bayi tanpa suara tangis di lereng timur Samagandha. Bayi itu diberi nama Samparangin, karena pada malam kelahirannya, angin berhenti bertiup selama tiga puluh enam jam, dan semua unggas jatuh diam seperti patung, seolah dunia menahan napas untuk kehadirannya.
Fenomena kelahirannya adalah duka dan misteri: Ibunya mati tanpa luka, ayahnya hilang tanpa jejak, seolah ditarik oleh kehampaan yang baru lahir.
Didikan Para Penjaga Kabut
Samparangin dibesarkan oleh Penjaga Kabut. Mereka adalah Wiku kuno yang wujudnya samar, hidup di antara batas mimpi dan sadar (sadar-mimpi). Mereka tidak berbicara dengan lidah manusia, tetapi berkomunikasi melalui getaran hening dan kilasan memori masa depan.
Dari mereka, Samparangin menerima didikan yang tidak pernah diterima manusia:
Mendengar Bahasa Angin: Belajar memahami arah angin bukan sebagai tiupan, tetapi sebagai kehendak kosmik yang membawa takdir.
Membaca Arah Kematian: Mengetahui bahwa kematian adalah perpindahan, bukan akhir. Ia belajar melacak jiwa yang larut dalam hembusan udara.
Menulis Embun Pagi: Mencatat rahasia alam dengan tinta dari embun pagi yang mengembun, yang hanya akan terlihat saat matahari menolak untuk bersinar.
Samparangin tumbuh menjadi anak manusia yang pertama kali bernapas dalam keheningan total, menjadikannya Wiku yang paling berbahaya, sebab ia mengenal ketiadaan sebelum ia mengenal keberadaan.
Bab II: Wajah Peniup Sunyi
Ki Samparangin dikenal sebagai lelaki berwajah pucat, seolah darahnya telah diserap oleh kabut pegunungan. Matanya laksana retakan kaca, dingin dan tanpa emosi. Rambutnya panjang, hitam legam, selalu bergerak meski udara di sekitarnya tenang—seperti ada angin pribadi yang hanya mengelilingi dirinya. Bila ia berjalan, dedaunan di sekitarnya berputar tanpa arah, menolak hukum gravitasi bumi.
Pakaiannya adalah jubah dari anyaman serat Samak Kala — kain yang konon tak tersentuh oleh pergerakan waktu, memberinya wibawa yang melampaui usia.
Dalam kitab para pujangga Panjalu, ia dijuluki:
Sang Peniup Sunyi
Wiku Angin Mati
Penjaga Timur Kala
Bab III: Tiga Larangan dan Hutang Langit
Ki Samparangin menguasai tiga mantra larangan dari Kitab Kala, yang ia curi bukan untuk kesenangan, melainkan untuk menegakkan keadilan yang ia yakini. Ketiga mantra ini bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga penolakan terhadap hukum alam semesta. Setiap hembusan darinya adalah perampasan hak waktu itu sendiri.
1. Mantra Sampar Wening (Angin Keheningan Total)
Kekuatan ini adalah larangan yang paling mematikan. Sampar Wening ('Angin yang Menjernihkan') bukan sekadar menghentikan gerak udara, melainkan menciptakan Ruang Hampa Batin dalam radius luas. Ketika mantra diucapkan, koneksi antara tubuh dan prana (napas kehidupan yang dibawa oleh angin) akan terputus.
Dampak: Memadamkan napas dan suara secara serentak. Korban tidak mati oleh kekurangan oksigen, tetapi karena ruh mereka ditahan oleh keheningan mutlak. Mereka menjadi patung dari daging yang kaku, abadi dalam detik kematiannya.
2. Mantra Ngurip Arwah Angin (Pembangkit Sunyi)
Mantra kedua ini adalah konsekuensi dari yang pertama. Ngurip Arwah Angin ('Menghidupkan Roh Angin') digunakan untuk mengikat roh-roh yang baru saja lepas karena Sampar Wening. Karena roh-roh tersebut masih terperangkap dalam udara yang mati, Ki Samparangin dapat memanggil kembali mereka.
3. Mantra Palem Kala (Jeda Waktu)
Mantra ini adalah larangan terhadap Sang Pencatat Takdir. Palem Kala ('Menyembunyikan dari Waktu') memungkinkan pengguna untuk memasuki Dimensi Jeda, sebuah ruang semu di mana waktu tidak berjalan.
Dampak: Menyembunyikan seseorang dari perhitungan waktu, sehingga orang itu tidak tua, tidak muda, dan tidak dapat ditemukan oleh takdir. Namun, tindakan ini menciptakan kekosongan besar dalam catatan kosmik, dan inilah yang menghasilkan Hutang Sunyi—Samparangin melarikan diri dari takdir, menjadikannya debitur abadi kepada Alam Semesta.
Setiap kali ia memakai satu mantra, satu arah angin dunia akan mati selama seratus hari. Karena itulah, langit selalu berhutang padanya atas kekosongan yang diciptakannya.
Bab IV: Hikayat Hilangnya Sang Wiku
Dikisahkan, Ki Samparangin menolak menjadi pelayan para raja yang haus kuasa dan senang menumpahkan darah. Ia memilih jalan sunyi untuk menegakkan keseimbangan alam, yang ia yakini telah rusak oleh ambisi manusia.
Setelah melakukan perlawanan terakhir dengan Mantra Palem Kala, ia menghilang menuju utara, tempat angin bertemu dirinya sendiri, tempat yang disebut Utara Batin.
Pendeta-pendeta tua mengatakan:
“Bila dunia tak lagi bergerak, bila detik terasa berat dan udara tak masuk ke dada—itu tanda Ki Samparangin berjalan kembali.”
Beberapa naskah menyebut ia masih hidup, tersimpan dalam Pusara Angin, tempat di mana waktu hanya berhembus searah doa.
Bab V: Hening di Tengah Gempita
Kisah kepergian Samparangin bermula dari kemarahan seorang raja di wilayah timur Panjalu, yang ingin menguasai takdir dengan mengorbankan ribuan nyawa tak berdosa. Raja tersebut menggerakkan pasukan gempita yang membawa kematian di setiap langkah.
Melihat ketidakadilan ini, Ki Samparangin turun dari lereng Samagandha. Ia berdiri di tengah medan perang yang riuh. Debu terangkat, darah memercik, teriakan pedih dan raungan kemenangan menjadi irama gila di lembah. Samparangin menutup matanya, mengambil napas, dan menahan napasnya sendiri.
Saat Samparangin mengucapkan Mantra Sampar Wening—yang diucapkan tanpa suara, hanya kehendak yang mematikan—gempita tiba-tiba berhenti.
Udara, medium semua suara dan pergerakan, membeku menjadi kaca tak terlihat. Mata para prajurit yang sedang berteriak terbelalak, beku dalam momen kegilaan. Pedang berhenti di tengah ayunan, percikan darah yang baru terlepas dari tubuh beku menggantung seperti permata merah di udara. Bahkan debu yang berterbangan pun terhenti. Lembah yang sebelumnya adalah neraka suara kini menjadi galeri patung kematian yang sempurna dan sunyi. Waktu di tempat itu, untuk sesaat, menjadi nihil.
Namun, raga yang mati tidak serta serta merta menjadi tenang. Melihat ribuan roh korban yang masih bergentayangan dalam udara yang mati, terikat pada kekosongan yang ia ciptakan, Samparangin membuka matanya yang seperti retakan kaca. Ia membentangkan tangannya, mengalirkan Mantra Ngurip Arwah Angin. Ia tidak menghidupkan mereka, tetapi ia mengikat mereka.
Ia mengubah roh-roh tersebut menjadi penjaga sunyi, yang tugasnya hanyalah memastikan tidak ada suara atau pergerakan yang mengganggu lembah tempat mereka gugur. Dengan dua mantra ini, ia membalikkan kekuasaan raja dan menciptakan kedamaian yang mengerikan, namun ia telah merampas hembusan alam.
Bab VI: Tiga Pusaran Hampa
Setelah dua mantra larangan diucapkan, kosmos bereaksi. Tiga arah angin utama dunia—angin timur yang membawa kehidupan, angin selatan yang membawa kehangatan, dan angin barat yang membawa hujan—semuanya merasakan kekosongan. Tiga arah tersebut seolah memiliki lubang di jubahnya.
Kala Jayantara mencatat peristiwa ini sebagai Tiga Pusaran Hampa, lubang-lubang yang menyebabkan waktu di wilayah itu menjadi liar; membusukkan makanan dalam hitungan jam dan mempercepat penderitaan yang masih hidup. Ini adalah harga dari mantra Samparangin.
Mengetahui bahwa alam akan menuntut bayaran yang jauh lebih mahal dari nyawanya, Ki Samparangin mengucapkan mantra terakhir: Mantra Palem Kala. Ia menyembunyikan keberadaannya dari perhitungan takdir, melepaskan dirinya dari rantai waktu. Dengan demikian, ia menciptakan Hutang Sunyi—ia melarikan diri dari takdir, tetapi menjadi debitur abadi kepada Alam Semesta. Ia hilang, meninggalkan kekosongan udara yang melumpuhkan dunia.
Bab VII: Perjalanan Menuju Utara Batin
Samparangin tidak lagi bepergian dengan kaki, tetapi dengan kehendak. Ia bergerak melalui jalur-jalur yang diciptakan oleh ketiadaan angin. Setelah melepaskan diri dari waktu, ia menyadari bahwa satu-satunya entitas yang dapat menuntut hutang darinya adalah sumber waktu itu sendiri.
Ia mulai berjalan menuju Utara Batin, arah yang tidak ada di peta manusia. Perjalanannya adalah perjalanan spiritual, hanya mengandalkan suara hening yang ia ciptakan di dalam dirinya. Matanya yang laksana retakan kaca kini menjadi penunjuk arah; setiap retakan mencerminkan garis yang menghubungkan kehampaan di dalam dirinya dengan kehampaan yang menanti di utara. Ia tidak mencari kehidupan, ia mencari keseimbangan.
Selama perjalanan ini, ia melewati kerajaan-kerajaan yang telah hancur oleh waktu yang dipercepat, menguatkan keyakinannya bahwa hutangnya harus dibayar, bukan oleh kematian, tetapi oleh keabadian pengawasan.
Bab VIII: Di Ambang Hembusan Sunyi
Setelah menempuh perjalanan yang tak terhitung lamanya, yang mungkin hanya sedetik di dunia luar, Samparangin akhirnya tiba. Ia mencapai batas terakhir dari semesta yang dapat dicapai oleh angin fana, sebuah titik yang disebut Gerbang Utara.
Di sana, udara tidak hanya diam; udara tidak pernah ada. Suhu di tempat itu adalah nol mutlak, tempat segala konsep kecepatan dan gerakan melebur. Langit dan bumi tidak terpisah, membentuk horizon tunggal berwarna perak buram.
Ki Samparangin berdiri di atas permukaan yang terasa seperti ketiadaan. Dengan wawasannya yang telah terasah oleh keheningan, ia merasakan kehadiran yang menunggu. Bukan kehadiran fisik, melainkan pusat dari segala kepastian. Di balik kabut perak, ia merasakan tarikan napas kosmik yang sangat lambat, yang ia tahu hanya milik satu entitas: Kala Jayantara, Sang Wiku Waktu, siap untuk menagih hutang sunyi yang telah dibebankan pada dunia.
Bab IX: Pertemuan di Gerbang Utara
Dikisahkan dalam Lembar Sunyi, Ki Samparangin berjalan menuju utara, bukan berdasarkan arah mata angin dunia, melainkan menuju Utara Batin, tempat di mana peta manusia tidak berlaku. Ia berjalan tanpa jejak, tanpa bayangan, hingga mencapai batas terakhir dari Hembusan Sunyi.
Di tengah ketiadaan itu, duduklah sosok yang bukan tua dan bukan pula muda, berwajah seperti kabut yang menyimpan seribu musim. Inilah Kala Jayantara, Sang Wiku Waktu. Wajahnya seolah mencerminkan jutaan wajah manusia dari setiap zaman; ia adalah segala sesuatu, namun tidak ada apa-apa.
Ia tidak bergerak, namun setiap tarikan napasnya adalah perjalanan ribuan tahun. Kain yang membungkusnya terbuat dari anyaman benang detik, dan di telapak tangannya terdapat mangkuk batu yang berisi debu dari segala yang telah hilang.
Ki Samparangin berdiri diam.
“Aku tahu kedatanganmu, Samparangin,” suara Jayantara berbisik, tetapi gema suaranya seolah datang dari masa depan dan masa lalu. “Kau datang dengan membawa Hutang Sunyi.”
“Hutang ini kuambil demi menolak kuasa raja-raja yang membusuk,” jawab Samparangin, suaranya kering seperti dedaunan di musim kemarau. “Tiga mantra larangan telah kuhembuskan. Tiga arah angin telah mati seratus hari.”
Kala Jayantara tersenyum, senyumnya adalah pergerakan jarum jam yang tak terlihat. “Angin yang kau matikan adalah Napas Penyeimbang. Tanpa ia berhembus, maka waktu di lembah-lembah itu akan berputar lebih cepat, membusukkan segala yang hidup. Itulah harga dari Mantra Larangan.”
Bab X: Penjaga dan Pusara
Jayantara tidak meminta nyawa Ki Samparangin sebagai bayaran. Ia meminta sesuatu yang lebih berharga daripada kehidupan: Keabadian tanpa Pembeda.
“Anginmu adalah ketidakpastian. Waktuku adalah kepastian. Untuk melunasi hutang ini, kau harus menjadi penyeimbang abadi,” titah Kala Jayantara.
Ia kemudian membuka telapak tangan satunya, dan di sana tampaklah sebuah pusara kecil, terbuat dari pusaran udara yang membeku.
“Masuklah ke dalam Pusara Angin ini. Kau akan terlepas dari perhitungan waktu, namun kau akan tetap hidup sebagai penanda. Bila ada yang mencuri dari waktu, atau membengkokkan arah angin alam, Pusara ini akan bergetar dan kau akan bangkit kembali.”
Ki Samparangin mengangguk, menerima takdir yang bukan lagi miliknya. Ia tidak akan mati, tetapi ia juga tidak akan hidup. Ia akan menjadi jeda, sebuah hening di antara dua tarikan napas semesta.
Sebelum Samparangin memasuki pusara, Kala Jayantara memberinya satu titah terakhir:
“Tuliskan semua yang kau tahu. Jadikan semua mantra larangan itu Peringatan, bukan Senjata. Sebab, Kitab Kala Jayantara tidak boleh memiliki kelanjutan yang merusak.”
Bab XI: Kitab Mantra Angin dan Pusaka Hening
Dari dalam Pusara Angin, jari-jari Ki Samparangin yang abadi mulai menulis di atas lembaran-lembaran yang terbuat dari keheningan. Kitab ini, yang disebut Kitab Mantra Angin, bukanlah kumpulan mantera, melainkan daftar panjang dari Pantangan dan Peringatan Waktu.
Kitab ini tidak memiliki wujud fisik, melainkan terukir pada lapisan kabut di Utara Batin. Konon, isinya hanya dapat dibaca oleh mereka yang napasnya telah berhenti sesaat, mereka yang telah mencapai tahap hening sempurna.
Di dalamnya tertulis Hukum Nol:
"Bila manusia membangkitkan Angin Mati (Mantra Sampar Wening), maka yang tertinggal adalah waktu yang tak dapat diulang."
Setelah selesai menulis, Pusara Angin itu tidak diam. Ia menjadi Pusaka Hening, sebuah Penanda Waktu yang Hilang. Bila sebuah bencana besar terjadi, atau bila seorang penguasa terlalu lama menindas, sehelai debu dari mangkuk Kala Jayantara akan jatuh ke bumi—debu itu adalah pesan dari Samparangin, yang berbisik: "Aku masih menunggu waktu kembali berhembus."
Pantangan Waktu dari Pusara Angin
Berikut adalah petikan dari tiga belas Pantangan Waktu yang diyakini ditulis oleh Ki Samparangin, yang ditujukan kepada para Wiku yang kelak membaca naskah ini:
Dilarang Menghitung Tetes Air Mata: Barang siapa menghitung kesedihan orang lain untuk diukir menjadi sejarah, ia telah mencuri waktu penyembuhan. Air mata yang dihitung akan menjadi racun yang mempercepat pembusukan batin.
Dilarang Mengikat Angin Selatan: Angin Selatan membawa kehangatan dan kebaikan. Barang siapa mengikatnya demi kekuasaan, akan menemukan bahwa semua janji manisnya akan membusuk dalam tujuh hari.
Dilarang Berhenti di Tengah Jembatan Kabut: Jembatan kabut adalah peralihan antara niat dan tindakan. Berhenti di tengahnya berarti menolak takdir, dan akan dibayar dengan hilangnya semua kenangan indah masa lalu.
Dilarang Memanggil Nama Kala Dua Kali: Nama Kala Jayantara hanya boleh disebut sekali dalam hidup. Menyebutnya dua kali sama dengan menantang waktu, dan nyawa akan ditukar dengan ketiadaan suara.
Dilarang Mengingat Angin yang Hilang: Siapa pun yang terlalu meratapi hilangnya Angin Mati (angin yang dimatikan Samparangin), maka ia akan dipaksa hidup mengulang hari yang sama, abadi dalam kebosanan.
Dilarang Mengucapkan Janji di Bawah Pohon Tiga Cabang: Pohon itu adalah penanda tiga Pusaran Hampa. Janji yang diucapkan di sana akan diserap oleh kekosongan dan akan kembali sebagai kutukan di generasi ketujuh.
Dilarang Menyimpan Air Mata Leluhur: Air mata leluhur adalah penyesalan yang telah berlalu. Menyimpannya berarti menunda pengampunan alam, dan waktu akan berputar mundur hanya untuk menunjukkan kesalahan yang sama.
Dilarang Mengubur Harapan di Tanah Kering: Harapan adalah benih waktu. Menguburnya di tanah yang menolak kehidupan sama dengan mengundang kelaparan abadi.
Dilarang Menatap Bayangan di Samak Kala: Kain mistis itu hanya untuk dipakai, bukan ditatap. Bayangan di Samak Kala adalah refleksi dari diri yang abadi tanpa tujuan, yang akan menelan kehendak yang menatapnya.
Dilarang Menolak Bisikan Kabut: Kabut Gunung Samagandha adalah napas para Penjaga. Menolak bisikannya adalah menolak petunjuk kebenaran, dan ia akan tersesat dalam Utara Batin saat masih berjalan di selatan.
Dilarang Menghukum Anak Tanpa Tangis: Anak tanpa tangis (seperti Ki Samparangin) adalah cermin kehampaan. Menghukumnya berarti menghukum takdirmu sendiri.
Dilarang Mencari Kitab Kedua: Kitab yang kedua adalah kehampaan. Pencarian itu adalah tindakan sia-sia yang akan menguapkan jiwamu menjadi debu ringan di mangkuk Kala Jayantara.
Dilarang Beristirahat di Tempat Angin Berputar: Tempat itu adalah batas Pusara Angin. Beristirahat di sana akan mengikatmu pada waktu abadi Ki Samparangin, tanpa pernah bisa bergerak maju atau mundur.
Sejak saat itu, setiap pujangga dan wiku yang mencapai tingkat tertinggi ilmu angin akan tahu, bahwa mereka tidak boleh mencari Kitab Mantra Angin, melainkan harus mendengarkan hembusan yang hilang di dalam diri mereka sendiri. Ki Samparangin, Sang Peniup Sunyi, telah menyelesaikan takdirnya sebagai pelunas hutang, terperangkap abadi di antara dua detik.