HAM Pancasila: Jalan Tengah antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Sosial
Oleh: Sahudin Krishna
Pendahuluan: HAM yang Membumi
Di tengah gelombang globalisasi nilai dan liberalisme hak individu, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam merumuskan pendekatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Demokrasi Pancasila menawarkan pendekatan yang khas: HAM sebagai hak kodrati manusia, namun tetap dibingkai dalam tanggung jawab sosial, norma agama, dan budaya lokal. HAM bukanlah kebebasan absolut, tetapi kebebasan yang beradab.
Paradigma HAM Pancasila: Hak dan Kewajiban Seimbang
Dalam demokrasi liberal, HAM sering dimaknai sebagai kebebasan individu yang tidak boleh diganggu. Namun dalam Demokrasi Pancasila, hak selalu diimbangi dengan kewajiban. Pasal 28J UUD 1945 menegaskan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tidak boleh mengganggu hak orang lain, dan harus tunduk pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Pendekatan ini menolak absolutisme hak. HAM harus dilaksanakan secara proporsional, menghormati nilai Ketuhanan (Sila 1), keadaban (Sila 2), dan solidaritas (Sila 3). Kebebasan tidak berarti bebas dari norma sosial, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Tantangan Nyata di Lapangan
Tantangan utama dalam implementasi HAM berbasis Pancasila saat ini antara lain:
-
Politik Identitas: Masih banyak kasus kriminalisasi atas nama agama dan budaya.
-
Diskriminasi Sistemik: Penghayat kepercayaan dan kelompok minoritas seksual sering kali tidak mendapatkan akses pelayanan publik setara.
-
Dampak Globalisasi: Meningkatnya individualisme mulai melemahkan nilai gotong royong, yang merupakan inti kohesi sosial Indonesia.
Menurut survei Komnas HAM (2023), 65% masyarakat Indonesia percaya bahwa HAM harus disesuaikan dengan nilai agama dan budaya lokal. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sejatinya tidak menolak HAM, tetapi menghendaki pelaksanaan yang kontekstual.
Menuju Implementasi yang Berkeadaban
Model HAM berbasis Pancasila dapat menjadi solusi atas krisis moral dan sosial yang terjadi di era digital. Ada tiga langkah strategis yang dapat ditempuh:
-
Revisi UU HAM
Legislator perlu menambahkan klausul etika sosial dan religio-kultural sebagai pagar moral dalam pelaksanaan HAM, tanpa menabrak prinsip-prinsip dasar universal. -
Pendidikan HAM Kontekstual
Dunia pendidikan harus menyusun modul HAM berbasis kasus lokal (misal: konflik Kendeng, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan) untuk mengajarkan nilai HAM dalam konteks Indonesia. -
Penguatan Masyarakat Sipil
Sistem pemantauan HAM berbasis komunitas (community-based human rights watch) yang melibatkan tokoh adat, agama, dan pemuda lokal perlu diperluas.
Penutup: HAM yang Relevan dan Berakar
HAM Pancasila adalah jalan tengah antara hak dan tanggung jawab, antara universalitas dan kekhasan lokal. Ini bukan jalan mundur dari nilai-nilai global, tetapi bentuk adaptasi cerdas agar HAM benar-benar relevan, membumi, dan tidak menimbulkan kegaduhan sosial.
Demokrasi Pancasila bukan menolak HAM, tapi menyempurnakannya dengan kearifan lokal dan keadaban sosial.
Jika Indonesia berhasil mengembangkan model ini secara konsisten, maka kita tidak hanya membangun sistem HAM yang kuat, tetapi juga menawarkan alternatif segar bagi dunia tentang bagaimana hak dan tanggung jawab bisa bersinergi untuk peradaban yang lebih adil dan bermartabat.
This paper, "Pancasila Human Rights: A Middle Ground Between Freedom and Social Responsibility" by Sahudin Krishna, argues for a distinctive Indonesian approach to human rights (HAM) rooted in Pancasila, the nation's foundational philosophy. It posits that HAM in Indonesia is not an absolute individual freedom, as often interpreted in liberal democracies, but rather a "civilized freedom" balanced with social responsibility, religious norms, and local culture.
Key Arguments:
Balanced Rights and Obligations: Unlike liberal democracies where individual freedom is paramount, Pancasila HAM emphasizes a balance between rights and obligations. Article 28J of the 1945 Indonesian Constitution supports this by stating that the exercise of human rights must not infringe upon the rights of others and must adhere to societal values. This rejects the idea of absolute rights, advocating for proportional implementation that respects the principles of divinity (Sila 1), civility (Sila 2), and solidarity (Sila 3).
Contextual Implementation: The paper highlights that 65% of Indonesians believe human rights should align with local religious and cultural values (Komnas HAM survey, 2023). This indicates a societal desire for contextual HAM implementation, not a rejection of human rights themselves.
Addressing Current Challenges: The author identifies several challenges in implementing Pancasila-based HAM:
Identity Politics: Criminalization in the name of religion and culture.
Systemic Discrimination: Unequal access to public services for religious adherents and sexual minorities.
Impact of Globalization: Increasing individualism undermining the spirit of gotong royong (mutual cooperation).
Proposed Strategic Steps:
To achieve "civilized implementation," the paper suggests three strategic steps:
Revise the Human Rights Law: Legislators should incorporate clauses on social and religio-cultural ethics as moral safeguards for HAM implementation, without compromising universal principles.
Contextual Human Rights Education: Educational institutions should develop HAM modules based on local cases (e.g., Kendeng conflict, discrimination against religious adherents) to teach human rights within the Indonesian context.
Strengthen Civil Society: Expand community-based human rights watch systems involving local customary figures, religious leaders, and youth.
Conclusion:
The paper concludes that Pancasila Human Rights represents a middle ground between rights and responsibilities, universality and local distinctiveness. It's presented not as a regression from global values, but as a smart adaptation to make human rights relevant, grounded, and prevent social unrest. Ultimately, Pancasila Democracy is seen as not rejecting HAM, but perfecting it with local wisdom and social civility, potentially offering a fresh alternative to the world on how rights and responsibilities can synergize for a more just and dignified civilization.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.