KH Hasan Genggong Probolinggo |
mengamalkan ilmunya dengan hidup sederhana. Beliau juga selalu menghormati lawan bicaranya, tak peduli siapa dan apa kedudukannya.
Berkat sikap itulah, Kiai Hasan banyak memiliki karomah. Salah satunya adalah karomah yang pernah diceritakan oleh KH Akhmad Mudzhar Situbondo.
Suatu hari selepas sholat Jumat, Kiai Hasan keluar dari Masjid Jami’ Al-Barokah Genggong menuju rumah beliau. Dalam perjalanan, beliau berkali-kali mengucap, “Innalillah, Innalillah,” sambil menghentak-hentakkan tangannya yang kelihatan basah.
Hari pun berlalu sampai pada Senin pagi, ketika Kiai Hasan menemui tamunya, KH Akhmad Mudzhar yang pernah jadi santrinya. KH Mudzhar datang bersama dua orang tamu yang menghadap Kiai Hasan dengan muka yang sangat kelelahan—seakan-akan baru mengalami musibah yang begitu hebat.
Tatkala dua orang tersebut bertemu dan melihat wajah Kiai Hasan, terlontarlah ucapan dari salah seorang dari keduanya.
“Ini orang yang menolong kita tiga hari yang lalu,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, Kiai Hasan mengucap hamdalah sebanyak tiga kali dengan wajah berseri.
Melihat kejadian tersebut, KH Mudzhar sebagai satu-satunya orang yang tidak paham kejadian tersebut, menanyakan kepada dua orang tersebut terkait apa yang terjadi.
“Tiga hari yang lalu, kami berdua dan beberapa teman yang lain menaiki perahu menuju Banjarmasin. Tiba-tiba perahu oleng akibat angin topan dan perahu kami pun mengalami kecelakaan. Namun, kami sempat diselamatkan oleh seorang bapak-bapak tua.
“Waktu itu jam masih menunjukkan pukul 13.00 atau Ba’da Jumat. Setelah itu, kami sudah tidak sadar lagi apa yang terjadi hingga kami terdampar di tepi pantai Kraksaan (Kalibuntu),” ujarnya.
Salah satu orang tersebut melanjutkan cerita.
"Setelah kami sadar, kami sangat bersyukur karena diselamatkan oleh Allah dari bencana itu. Kemudian kami ingat bahwa yang menolong kami dari malapetaka tiga hari yang lalu itu adalah orang tua yang sangat alim.
“Kami merasa berhutang budi dan mencari-cari informasi tentang orang tua tersebut, setelah terus mencari hingga ke Tanah Genggong, benar saja, beliau adalah Kiai Hasan yang dekat dengan tempat kami terdampar," jelas orang tersebut sembari izin pamit.
Ada pula kisah lain yang diceritakan Alm. Habib Mukhsin Bin Ali As-Segaf Pasuruan—yang kemudian disampaikan kembali oleh cucunya, Al Habib Muhammad Pasuruan.
Pada suatu hari, Habib Mukhsin sowan pada Kiai Hasan. Saat keduanya asyik berbincang di ruang tamu, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
Orang berpakaian hitam tersebut tanpa diduga langsung bersalaman dan memberikan sejumlah uang pada Habib Mukhsin. Uang tersebut berjumlah sekitar tujuh gulden Belanda.
Setelah uang diterima, habib Mukhsin lantas men-sodaqahkan kembali uangnya kepada pemberi tadi. Dan orang langsung menerimanya seraya mengucapkan terima kasih lalu pergi.
Setelah itu, Habib Mukhsin bertanya pada Kiai Hasan, “Siapakah tamu itu Kiai?”
Kiai Hasan tidak menjawab.
”Kiai, tamu itu siapa?” tanya Habib Mukhsin lagi.
Dan Kiai Hasan masih bungkam seribu bahasa.
”Kiai siapa gerangan tamu tadi?” Habib Mukhsin bertanya untuk ketiga kalinya. Setelah itu, barulah Kiai Hasan menjawab dengan tenang dan singkat.
”Nabiyullah Khidir.”
Mendapat jawaban tu, Habib Mukhsin sejenak terdiam kemudian menangis sembari bersimpuh di hadapan Kiai Hasan.
Cerita diatas seringkali diceritakan Habib Mukhsin pada masyarakat ramai. Baik keluarganya sendiri, maupun tamu-tamu yang sowan padanya. Jadilah cerita ini masyhur di berbagai kalangan, bahkan setelah Kiai Hasan wafat pada 1 Juni 1955.
Saat ini, kiai yang penuh suri tauladan ini dimakamkan di komplek Ponpes Genggong, Probolinggo, Jawa Timur. Perjuangan Kiai Hasan dikenang hingga kini. Bahkan, setiap tahun, haulnya selalu didatangi tokoh-tokoh terkemuka.
Sementara itu, Ponpes Genggong sekarang diasuh oleh KH Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah, yang juga dikenal sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.
*TAMAT* Bagian 1 disini
0 comments:
Posting Komentar