KH Hasan Genggong Probolinggo
Kala berada di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul bersama saudaranya, Asmawi—yang langsung gembira karena bisa berkumpul bersama saudaranya. Keduanya pun bisa menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji bersama.

Namun hati kecil Asnawi mengatakan bahwa dirinya akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan dibanding Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah pun langsung mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar.

Setelah bertemu, ternyata Ahsan langsung diajak berkumpul bersama para pemburu ilmu untuk ber-mujadalah (debat). Tentu saja semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Semua lawan debat mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan.

Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya yang sekali lagi ingin menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah semata.

Setelah melihat mujadalah sebelumnya, Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang punya kemampuan luar biasa. Namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal itu. Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk ber-mujadalah.

Kali ini, Asnawi diadu dengan seorang keturunan Magrabi yang sudah bermukim di Mekkah selama 40 tahun dan dikenal sebagai seorang alim ulama terkemuka di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun, terlebih kepada Asmawi yang notabene sepupunya sendiri, menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut.

Dan seperti sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah.

Pertemuan itu bermula di waktu pagi menjelang Salat Duha, dan berlangsung berjam-jam hingga memasuki waktu Salat Duhur. Setelah salat, mujadalah kembali berlanjut. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu, dijawab dengan baik olehnya.

Dalam hatinya, ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya. Namun, sang alim ulama tak mampu menjawabnya.

Dengan mata kagum ulama tersebut berkata, "Sungguh engkau adalah pemuda yang benar-benar alim!"

Sadar dirinya selalu ditarik ke dalam mujadalah, Ahsan kemudian meminta saudaranya itu untuk tidak lagi mempertemukannya dengan orang-orang lagi jika tujuannya adalah mujadalah. Mengetahui kekecewaan saudara sepupunya itu, Asmawi kemudian meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.

Selama di Mekkah, Ahsan sempat belajar pada beberapa syekh terkemuka—disamping juga berguru pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim di Tanah Suci. Beberapa nama yang sempat jadi guru Asnawi di antaranya: KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi.

Selama berguru hingga ke tanah suci, Ahsan juga memiliki banyak sahabat. Selain saudara sepupunya sendiri, Asnawi, ia juga memiliki teman-teman dekat yang kelak di masa depan menjadi tokoh terkemuka.

Diantaranya adalah KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa’id Poncogati Bondowoso, Kyai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kyai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwi Besuki.

Sepulangnya dari menimba ilmu di Tanah Suci, Ahsan kemudian berganti nama Kyai Haji Mohammad Hasan. Ia kemudian menikah dengan putri KH. Zainul Abidin yang bernama Nyai Ruwaidah. Sejak pernikahan inilah, KH. Mohammad Hasan membantu mertuanya dalam membina pesantren.

Beliau mengembangkan sistem pendidikan pesantren salafiyah (tradisional) dengan metode pembelajaran dan pendidikan klasikal.

Selama hidupnya, Kiai Hasan selalu memberikan contoh pada orang di sekitarnya. Beliau selalu mengingatkan bahwa manusia hanyalah partikel debu di alam semesta. Lantas, apa yang bisa dibanggakan dari mahkluk yang begitu kecil di alam semesta milik Allah?

Apakah dengan sedikit keunggulan entah jabatan, kehormatan dan harta, ada yang patut dibanggakan?

Dalam menggapai ridho Allah, beliau senantiasa zuhud dan hidup sederhana. Tidak berlebihan, serta selalu menghindari sombongnya hati. Beliau yang tidak diragukan lagi keunggulan ilmunya, bahkan tak pernah merendahkan siapapun yang ada di depannya. Beliau juga senantiasa ramah bahkan dengan orang yang tidak dikenalnya sekalipun.

Kiai Hasan juga dikenal sebagai salah satu Mursyid Thariqah Tijaniyah, sebuah thariqah yang berasal dari daerah Tijani, Maroko. Sekalipun thariqah ini sempat diperdebatkan oleh sebagian ulama dan habaib di Jawa Timur karena keterkaitan sanadnya hanya melalui perjumpaan dengan Rasulullah Saw melalui mimpi saja.*

Sementara Asnawi, sepupu sekaligus sahabat Ahsan—yang sudah lebih dikenal sebagai Kiai Hasan—saat ini lebih dikenal sebagai KH. Rofii Sentong.

*Setelah melalui berbagai forum dan diskusi, Thariqat Tijaniah akhirnya disahkan sebagai salah satu Thariqah yang diakui dan menjadi thariqah yang muktabar dan sah mempunyai keterkaitan sanad yang bersambung sampai Rasulullah SAW. Saat ini Mursyid Thariqah Tijaniyah diampu oleh KH Soleh Basalamah, Pengasuh Ponpes Darussalam, Jatibarang, Brebes-Jawa Tengah.

Bersambung Bagian 3

0 comments:

Luncurkan toko Anda hanya dalam 4 detik dengan 
 
Top