KH Hasan Genggong Probolinggo |
Kiai Hasan memiliki nama kecil Ahsan bin Syamsuddin. Lahir
pada 27 Rajab 1259 atau kira-kira 23 Agustus 1840 di Desa Sentong, sekitar 4 km
ke arah selatan Kraksan, Probolinggo. Bagaimana riwayat ulama pengarang
Safinatun Najah ini? Berikut kisah selengkapnya.
Dikisahkan, ada sepasang suami istri yang biasa saja, bukan
saudagar maupun tuan tanah. Sang suami, bernama Kyai Syamsuddin, sehari-hari
bekerja mencetak genteng yang dijual guna mencukupi kebutuhan keluarga.
Istrinya bernama Khadijah, sehari-hari hanyalah menjadi ibu
rumah tangga meski beberapa kali ikut membantu sang suami. Malam itu Kyai
Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya, beliau melihat istrinya menggapai
bulan purnama, kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun.
Ketika terbangun, Kyai Syamsuddin mencoba merangkai apa arti
dari mimpinya. Bersama istri, Kiai Syamsuddin hanya bisa bermunajat kepada
Allah, berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi keluarga kecil
mereka.
Waktu bergulir, dari rahim seorang istri yang begitu
sederhana, lahirlah jabang bayi yang dinanti-nantikan. Anak itu diberi nama
Ahsan bin Syamsuddin. Sang anak tumbuh di bawah bimbingan ayah dan ibunya.
Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama karena sang ayah meninggal dunia ketika
Ahsan masih amat muda.
Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan
tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman sebayanya. Ahsan kecil
memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada
siapapun yang dijumpai. Dalam bertutur kata, Ahsan juga diajarkan untuk selalu
berkomunikasi dengan Bahasa Madura yang halus dan santun, disertai dengan sikap
yang lemah lembut.
Ahsan kecil belajar mengaji Al-Quran dan pengetahuan
keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi (Sepupu) serta teman masa
kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kyai Syamsuddin—pamannya sendiri.
Menginjak usia 14 tahun, sekitar tahun 1857, Ahsan dan
Asmawi berangkat menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara
Sentong ke pondok tersebut sekitar 70 km. Keduanya menempuh jarak tersebut
dengan berjalan kaki.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok yang diasuh
KH. Mohammad Tamim itu. Keduanya hidup sederhana di pesantren dan rajin
menabung. Tabungan keduanya ditempatkan di atas loteng tanpa takut dimakan
tikus. Atas izin Allah, uang keduanya utuh.
Suatu ketika, Kyai Tamim berencana merenovasi bangunan
pondok. Biaya yang dibutuhkan tak sedikit. Mengetahui itu, Kyai Tamim akhirnya
mengutarakan niat tersebut pada para santri. Beliau bermaksud mengutarakan
perihal biaya pembangunan pondok pesantren.
Setelah majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar.
Simpanan uang yang diletakkan di loteng kamar mereka ambil tanpa dihitung
terlebih dahulu. Mereka menghadap Kyai Tamim untuk menyerahkan semua uang
simpanan itu.
Melihat kedua santrinya yang begitu ikhlas, Kiai Tamim
terharu dan memanjatkan do'a kepada Allah untuk keduanya.
Belajar ke Bangkalan
Selepas menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi
melanjutkan ngaji di pondok Bangkalan Madura. Keduanya kembali menempuh
perjalanan tersebut dengan berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut.
Mereka mengaji kepada Syaikhona KH. Mohammad Kholil. Selama berada di Madura, Ahsan juga sempat
berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan KH. Jazuli Madura.
Suatu ketika, Asmawi tiba-tiba ingin lebih memperdalam lagi
ilmunya. Asmawi selalu bertanya-tanya, mengapa Ahsan selalu lebih cepat
menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya, Asmawi
menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannyanya.
Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja
terlebih dahulu paham. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dan tempat
tujuan untuk memperdalamnya hanya satu: Makkah Al Mukarromah.
Tahun 1863, berangkatlah Asmawi sendirian menuju Mekkah
untuk menunaikan Ibadah Haji dan memperdalam ilmunya. Sementara di Bangkalan,
Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga.
Di hati kecilnya, muncul pula keinginan untuk menyusul
saudaranya itu ke Mekkah. Namun Ahsan paham benar bahwa keinginan itu sulit
terpenuhi. Ahsan pun bermunajat pada Allah,memohon agar dapat menyusul
saudaranya.
Tak lama setelah keberangkatan Asmawi, Ahsan dipanggil
pulang ke Sentong oleh Sang Ibunda. Ahsan kemudian dinasehati, jika hendak ke
Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke
Bangkalan.
Pilihan yang sulit bagi Ahsan muda. Ahsan memutuskan untuk
sholat istikharah kepada Allah, mengharap petunjuk dari-Nya. Dari istikharah
itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada
Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa
Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa
bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama
saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika
Allah menghendaki. Atas pemikirannya tersebut, Ahsan memilih untuk meneruskan
mondok. Akhirnya ia kembali ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kyai
Kholil untuk mengadukan hal tersebut, sekaligus memohon doa kepada Kyai Kholil,
supaya Allah memudahkan keberangkatannya ke Tanah Suci. Kyai Kholil pun mendoakan
niat dan harapan itu.
Selang beberapa waktu, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk
pulang lagi. Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia,
meskipun yang siap hanya ongkos perjalanan saja.
Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad, maka Ahsan tetap
berangkat dengan biaya tersebut. Akhirnya, Ahsan pun berangkat ke Mekkah
sekitar tahun 1864.
0 comments:
Posting Komentar