Toolbar Atas

Senin

Menata Ruang Publik yang Berwibawa

Menata Ruang Publik yang Berwibawa

Bayangkan negara sebagai sebuah rumah makan. Ada yang menjual satu menu andalan dan memasang aturan makan ketat, ada pula yang menjadi restoran keluarga dengan banyak pilihan—kadang hangat, kadang gaduh karena selera yang berbeda-beda. Dalam perbincangan sehari-hari, istilah negara agama, negara beragama, dan negara sekuler sering dipakai bergantian. Padahal, seperti beda lauk di warung, perbedaannya berakibat langsung pada kehidupan warga. Memahami nuansa ini bukan sekadar soal terminologi akademik; ini adalah tentang bagaimana kekuasaan diatur dan bagaimana hak-hak warga dilindungi atau dibatasi.

Diskusi ini menjadi semakin relevan di era globalisasi, di mana pergerakan ide dan populasi mempertemukan berbagai sistem keyakinan dalam satu ruang publik. Pertanyaan tentang peran agama dalam pemerintahan tidak lagi menjadi isu teoretis semata, melainkan persoalan praktis yang menentukan segalanya, mulai dari kurikulum sekolah, kebijakan kesehatan, hingga hak waris. Mari kita bedah masing-masing konsep dan dampaknya, sebelum akhirnya menelaah konteks Indonesia dan jalan tengah yang berwibawa.

Tiga Model Hubungan Agama dan Negara

1. Negara Agama (Teokrasi)

Negara agama, yang secara teknis sering disebut teokrasi, adalah model di mana otoritas agama memegang peranan langsung dalam pemerintahan. Dalam sistem ini, hukum publik sering diinterpretasikan secara langsung dari teks-teks agama, dan para pemimpin agama dapat memiliki wewenang politik yang nyata, bahkan absolut. Bentuk ekstrem dari teokrasi menempatkan institusi agama sebagai pusat legitimasi kekuasaan, di mana legitimasi seorang pemimpin tidak berasal dari suara rakyat, melainkan dari status religius atau penafsiran mereka terhadap kehendak ilahi.

Dalam negara-negara ini, tidak ada pemisahan jelas antara tempat ibadah dan istana negara. Konsekuensinya, hukum yang mengatur masyarakat, mulai dari pidana hingga perdata, didasarkan pada ajaran agama yang dominan. Hal ini dapat menciptakan masyarakat yang sangat kohesif secara ideologis, namun juga berpotensi menantang bagi mereka yang memiliki keyakinan berbeda atau tidak beragama sama sekali. Kebebasan berkeyakinan dan berpendapat seringkali menjadi isu sensitif di bawah sistem ini.

2. Negara Beragama (Model Campuran)

Istilah "negara beragama" lebih longgar dan sering digunakan untuk menggambarkan negara yang tidak sepenuhnya teokratis maupun sekuler. Konsep ini mengacu pada negara yang mengakui agama sebagai bagian penting dari kehidupan publik. Negara semacam ini dapat secara formal mengakui hari raya agama sebagai libur nasional, memberikan dana untuk pembangunan fasilitas ibadah, atau bahkan memasukkan nilai-nilai religius ke dalam wacana dan simbolisme publik.

Perbedaan mendasarnya dengan teokrasi adalah bahwa dalam model ini, tafsir agama tunggal bukan menjadi sumber tunggal hukum negara. Meskipun ada pengakuan terhadap nilai-nilai agama, kekuasaan tertinggi dalam pembuatan hukum tetap berada di tangan lembaga-lembaga sipil, seperti parlemen atau pengadilan yang berlandaskan konstitusi. Indonesia sering dikategorikan dalam spektrum ini, di mana meskipun sila pertama Pancasila mengikat negara pada "Ketuhanan Yang Maha Esa," negara juga menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warganya dan hukumnya tidak secara eksklusif bersumber dari satu ajaran agama.

3. Negara Sekuler

Negara sekuler idealnya memisahkan urusan agama dan negara. Dalam model ini, agama menjadi ranah privat atau komunitas, sementara negara menjaga netralitas dan tidak mendukung atau memusuhi keyakinan tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa hukum dan kebijakan publik berlaku sama bagi semua warga, tanpa memandang afiliasi agama mereka. Dalam teori, negara sekuler seharusnya menjamin kebebasan beragama secara mutlak dan melindungi hak-hak individu untuk tidak beragama.

Dalam praktiknya, "sekuler" mempunyai banyak varian. Sebagian negara tetap menyimpan simbol-simbol agama karena sejarah—seperti monarki Inggris yang juga merupakan kepala Gereja Inggris—yang tidak secara otomatis menjadikannya teokrasi. Ada pula negara-negara sekuler yang sangat ketat dalam memisahkan agama dari ruang publik, misalnya dengan melarang penggunaan simbol-simbol agama di sekolah atau kantor pemerintahan. Varian-varian ini menunjukkan bahwa bahkan dalam model sekuler, ada perbedaan signifikan dalam bagaimana hubungan antara agama dan negara dijalankan.

Dampak Nyata pada Kehidupan Sehari-hari

Tidak semua kebijakan terasa saat debat panjang di televisi—banyak yang berujung di meja keluarga, di mana seseorang mengurus akta nikah, waris, atau gugatan nafkah. Di sinilah model negara benar-benar menunjukkan pengaruhnya.

Hukum Keluarga dan Hak Individu

Di banyak negara, termasuk yang mempraktikkan unsur-unsur hukum agama, urusan perkawinan, perceraian, dan waris sering berangkat dari pengadilan agama atau sistem hukum yang merujuk pada norma keagamaan. Di Indonesia, misalnya, Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi atas perkara-perkara ini bagi umat Muslim. Dalam sistem ini, putusan hakim sangat bergantung pada interpretasi teks-teks agama, yang terkadang dapat memengaruhi hak-hak perempuan dan anak.

Bandingkan dengan negara yang menyediakan jalur hukum sipil. Warga dapat memilih atau dipaksa untuk menggunakan jalur hukum sipil yang umumnya didesain agar lebih netral dan setara gender. Perbedaan ini bukan sekadar teknis—ia menyentuh kehidupan sehari-hari dan kewenangan keluarga atas harta, hak asuh, dan lain-lain. Memiliki pilihan antara jalur hukum agama dan sipil adalah sebuah jaminan kebebasan bagi banyak orang, memungkinkan mereka untuk menjalani hidup sesuai keyakinan tanpa mengorbankan hak-hak hukum yang setara.

Kebebasan Berkeyakinan dan Hak Minoritas

Negara yang kuat campur tangannya ke ranah agama cenderung membatasi kebebasan kelompok agama minoritas. Pembatasan ini dapat berbentuk izin pendirian rumah ibadah yang sulit, kurikulum pendidikan agama di sekolah yang eksklusif, atau bahkan diskriminasi dalam pelayanan publik. Di negara-negara ini, toleransi seringkali hanya berarti "membiarkan" minoritas ada, bukan mengakui mereka setara dalam hak-hak sipil. Seringkali, aturan ketat ini bertujuan untuk menjaga "harmoni" sosial, tetapi ironisnya, ia justru menciptakan ketegangan laten dan rasa terasing di kalangan minoritas.

Di sisi lain, negara yang menjamin kebebasan beragama dan menegakkan ini secara konsisten memberi ruang bagi pluralitas untuk hidup berdampingan. Negara-negara ini tidak hanya mengizinkan keberadaan agama minoritas, tetapi juga melindungi hak-hak mereka untuk beribadah dan berekspresi secara bebas. Tantangan utamanya adalah bagaimana menyeimbangkan hak kelompok mayoritas untuk mempraktikkan keyakinan mereka dengan perlindungan hak-hak minoritas dari diskriminasi.

Kebebasan Berekspresi dan Aturan Blasfemi

Beberapa negara mempidanakan penghinaan terhadap agama, atau yang dikenal dengan istilah "blasfemi." Tindakan ini kadang dilindungi demi menjaga kehormatan kelompok tertentu, namun bisa pula menjadi instrumen politik untuk membungkam kritik, perbedaan pendapat, atau bahkan ekspresi artistik. Hukum blasfemi seringkali digunakan secara selektif dan berdampak paling besar pada minoritas atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Ini menciptakan iklim ketakutan di mana masyarakat takut untuk mendiskusikan topik-topik sensitif terkait agama, yang pada gilirannya menghambat dialog dan pemahaman lintas keyakinan.

Menemukan titik tengah antara melindungi kehormatan beragama dan mempertahankan kebebasan berekspresi adalah salah satu tantangan hukum modern yang paling kompleks. Solusinya seringkali bukan pada pelarangan ekspresi, melainkan pada pendidikan publik, dialog, dan penegakan hukum yang kuat terhadap ujaran kebencian tanpa membatasi kritik atau diskusi yang sah.

Indonesia: Mencari Jalan Tengah yang Berwibawa

Indonesia sering disebut “bukan negara agama, juga bukan negara sekuler penuh.” Ucapan itu bukan sekadar retorika—ia berakar pada teks konstitusi, sejarah, dan praktik sosial yang unik. Sejak kelahirannya, Indonesia telah berupaya menavigasi hubungan yang kompleks antara agama dan negara, menghasilkan model yang khas. Model ini mencoba menyeimbangkan komitmen terhadap pluralitas dengan pengakuan bahwa agama adalah bagian tak terpisahkan dari identitas banyak warganya.

Fondasi Konstitusional dan Praktik di Lapangan

UUD 1945 menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dasar negara, sebuah pengakuan fundamental terhadap peran spiritualitas. Pada saat yang sama, konstitusi secara tegas menjamin kemerdekaan setiap warga untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Kombinasi dua pasal ini adalah cara konstitusional untuk menyatakan bahwa negara menghormati agama, tetapi juga memberi ruang bagi kebebasan beragama. Negara tidak memihak satu agama pun, tetapi mengafirmasi bahwa kepercayaan spiritual adalah pondasi moral bangsa.

Meskipun prinsip-prinsip konstitusional sudah jelas, pelaksanaannya di lapangan seringkali menghadapi tantangan. Peraturan daerah (perda) yang mengatur moralitas publik, persyaratan pendirian rumah ibadah, atau praktik pendidikan agama di sekolah negeri bisa berbeda-beda dan, dalam beberapa kasus, menimbulkan diskriminasi. Ketika norma tradisional, interpretasi agama lokal, dan prinsip hak asasi bertemu, sering muncul ketegangan—terutama jika tidak ada mekanisme penanganan sengketa yang efektif dan adil.

Peran Pancasila, Tradisi, dan Teknologi

Di tengah tantangan tersebut, Pancasila menjadi payung normatif yang kuat. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa," mengingatkan kita bahwa keberagamaan adalah bagian dari identitas bangsa, sementara sila ketiga, "Persatuan Indonesia," dan sila kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," menggarisbawahi pentingnya persatuan dan keadilan. Nilai-nilai tradisional seperti gotong royong dan musyawarah adalah modal sosial yang tak ternilai, yang bila diolah dalam kebijakan publik, bisa meredam konflik dan meningkatkan kohesi sosial.

Selain itu, teknologi dan AI juga memainkan peran krusial. Di era digital, layanan publik semakin banyak menggunakan algoritme. Tanpa pengawasan, algoritme dapat memperkuat bias—misalnya dalam moderasi konten agama atau alokasi bantuan sosial yang dipengaruhi oleh profil demografis agama. Oleh karena itu, penting untuk melakukan audit independen terhadap algoritme yang berdampak pada kebebasan beragama, memastikan transparansi, dan melatih para pembuat kebijakan tentang etika data.

Jalan ke Depan: Roadmap dan Dialog

Jalan tengah yang berwibawa bukanlah jalan yang lemah, melainkan jalan yang menghormati nilai tradisi sambil tegas melindungi hak-hak warga. Ini adalah jalan yang membutuhkan keberanian dan visi jangka panjang.

Sebagai langkah konkret, pemerintah dapat menyusun sebuah roadmap yang mencakup:

  • Tahun 1: Lakukan review komprehensif terhadap undang-undang dan perda yang berpotensi konflik dengan kebebasan beragama. Bentuk lembaga pengawas independen dan jalankan program pilot literasi agama di beberapa daerah.

  • Tahun 2: Perluas kurikulum literasi agama, lakukan audit sistem digital pemerintah, dan bentuk jaringan mediator adat-hukum.

  • Tahun 3: Lakukan evaluasi, skalakan program yang sukses, dan susun pedoman nasional untuk praktik terbaik.

Selain hukum dan teknologi, dialog antar-agama adalah obat sosial jangka panjang. Pemerintah dapat mensponsori forum antar-pemuka agama, program residensi budaya, atau hibah komunitas untuk proyek yang memupuk kolaborasi lintas keyakinan. Dialog ini harus melampaui formalitas dan menciptakan ruang di mana individu dapat bertemu, berinteraksi, dan menemukan kesamaan di balik perbedaan.

Jalan tengah yang berwibawa membutuhkan keberanian—berani menegakkan hak minoritas, berani merestorasi tradisi yang sehat, dan berani mengakui kompleksitas masa kini. Seperti memasak rendang: hormati resep lama, namun sesuaikan api dan bumbu supaya semua yang duduk di meja bisa menikmati hidangan tanpa sakit perut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.

Menata Ruang Publik yang Berwibawa

Menata Ruang Publik yang Berwibawa Bayangkan negara sebagai sebuah rumah makan. Ada yang menjual satu menu andalan dan memasang aturan makan...