Tribuana (Bagian 1, Manikmaya Jadi Raja)

Senja
berganti malam dan malam sirna berganti siang, waktu berputar menutup
hari dan kemudian berganti hari. Kini putra-putra Sang Hyang Tunggal
telah tumbuh dewasa. Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya, dan Sang
Hyang Manikmaya, mereka sama-sama mewarisi berbagai ilmu pengetahuan
dan kesaktian dari ayahnya sehingga mereka benar-benar menjadi kesatria
dewa yang pilih tanding.



Alkisah di istana Jonggring Salaka, Kahyangan Suralaya. Sang Hyang
Tunggal yang didampingi kedua permaisurinya memanggil ketiga putranya,
Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Ia
bermaksud ingin menyerahkan tahta Suralaya kepada salah putranya, namun
sebelumnya Sang Hyang Tunggal mengisahkan perihal kelahiran mereka
yang berasal dari sebutir telur hingga tercipta menjadi sosok manusia
dewa. Dan yang membuat Sang Hyang Tunggal belum bisa menentukan siapa
diantara putranya yang berhak mewarisi Kahyangan Suralaya, adalah
karena dulu Sang Hyang Tunggal menyirami tiga bagian pecahan telur itu
secara bersamaan sehingga tidak ada yang tercipta lebih dahulu dari
bagian lainnya, tidak ada istilah ter-tua diantara yang lainnya,
besarnya pun bersamaan.



Sebelum Sang Hyang Tunggal selesai bersabda, tiba-tiba Sang Hyang
Antaga berkata kepada Sang Hyang Tunggal. Ia mengatakan bahwa kulit
telur tentunya lebih awal dilahirkan, sebab kulit berada diluar isi dan
telah ditakdirkan menjadi pelindung, yaitu melindungi isi telur yang
lemah. Maka menurut Sang Hyang Antaga, kulit telurlah yang dianggap
lebih tua dibandingkan dengan isinya.

Sang Hyang Ismaya menepis perkataan Sang Hyang Antaga. Menurutnya,
bahwa kulit dan isi telur adalah satu kesatuan yang terlahir bersamaan.
Tanpa adanya putih dan merah telur yang menjadi isi, maka kulit telur
pun tidak akan ada. Tidaklah mungkin telur terlahir hanya kulitnya saja
tanpa ada isi yang telah ikut menyempurnakan keadaannya. Dan Sang
Hyang Ismaya mengingatkan kepada Sang Hyang Antaga, bahwa putih dan
merah telur yang menjadi isi adalah cikal bakal yang menjadi adanya
tanda-tanda kehidupan. Kulit hanya ragangannya saja, tetapi isilah yang
menjadi sumber dan keutamanya.



Sang Hyang Antaga tersinggung mendengar kata-kata Sang Hyang Ismaya. Ia
yang tercipta dari kulit telur merasa dihina, tidak dianggap memiliki
keutamaan, hanya ragangan yang berarti benda kosong yang tidak memiliki
arti. Sang Hyang Antaga pun berjumawa, ia menganggap kulit telur
adalah yang terkuat dengan wujud keras dibandingkan isi. Sang Hyang
Ismaya membantah, bagaimana bisa disebut kuat kalau kulit telur bisa
retak dan pecah. Adu mulut antara Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang
Ismaya kian memanas, mereka berdua sama-sama telah terbakar amarah.



Kita adu kesaktian! Siapa yang kuat diantara kita!



Adigang, adigung, adiguna. Sang Hyang Antaga menunjukan perwatakannya
yang secara lahir tercipta dari kulit telur, keras, jumawa dan selalu
merasa dirinya yang paling hebat.

Sang Hyang Ismaya yang sudah merasa jengah dengan segala perkataan dan
sikap saudaranya, menanggapi tantangan. Bagi Sang Hyang Ismaya menolak
tantangan adalah tindakan seorang pengecut. Sekaligus akan memberi
pelajaran kepada Hyang Antaga bahwa “girilusi jalmo tan keno ing ngino”
di atas langit masih ada langit, jangan menganggap diri paling sakti
di atas muka bumi.



Melihat perselisihan yang kian memanas diantara kedua putranya, Sang
Hyang Tunggal segera melerai. Ia menasehati putra-putranya agar bisa
lebih berpikir secara jernih dan terbuka, sebab semua masalah akan ada
jalan keluarnya bila tanggapi dengan jiwa yang bersih. Tapi sudah
terlanjur, keduanya sudah merasa saling dihinakan satu sama lainnya,
maka keduanya pun sudah tidak menghiraukan lagi nasehat ayahandanya.



Bertikai dengan saudara sendiri, apakah kalian tidak akan menyesal nantinya?



Guntur menggelegar dan kilat menyambar. Awan hitam berarak berkejaran
menutupi langit, bumi pun bergetar. Candradimuka bergolak menyemburkan
lahar api yang sangat panas. Sabda Sang Hyang Tunggal telah menjadi
kutukan bagi mereka, namun karena keduanya sudah sama dirasuki nafsu
angkara murka, maka keduanya sudah tidak mampu berfikir dengan hati
nuraninya. Hyang Antaga segera melesat meninggalkan Jonggring Salaka,
dan kemudian disusul oleh Sang Hyang Ismaya.



Dilain pihak Sang Hyang Manikmaya hanya diam membisu. Dia tidak mau
melibatkan diri dalam pertikaian kedua saudaranya, terkesan tidak ingin
ikut campur. Akan tetapi ‘diam’ yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya
bukanlah sebab halus budi pekertinya. Disinilah perbedaan perwatakan
diantara mereka. Sang Hyang Manikmaya lebih cerdik dibandingkan kedua
saudaranya, ia licik dan otaknya mampu bekerja dengan baik dibandingkan
nafsunya. Sang Hyang Manikmaya akan membiarkan kedua saudaranya yang
bertikai. Ia tahu bahwa diantara mereka mempunyai kesaktian yang
berimbang, jadi untuk apa harus membuang tenaga ikut mengadu kesaktian
dengan mereka. Yang terlintas dalam pikirannya adalah, ini kesempatan
baik untuk bisa merebut hati ayahandanya dan mengincar singgasana
Suralaya.



Sementara itu, jauh di luar gerbang gaib Selamatangkep, dua kesatria
dewa telah saling beradu kesaktian. Masing-masing dari keduanya
menunjukan keluhuran ilmunya. Saling mengeluarkan aji jaya kawijaya dan
saling menghunus pusaka kadewatan. Mereka saling serang, saling pukul,
saling tusuk dan saling banting hingga mengakibatkan guncangan hebat
bagi bumi tempat mereka bertarung. Gunung longsor, bukit rug-rug.
Candradimuka tidak henti-hentinya mengeluarkan semburan api panas yang
menyala, asap hitamnya menggumpal melingkupi puncak Himalaya (Kahyangan
Suralaya).

Tidak disangsikan lagi kehebatan dari kedua putra Sang Hyang Tunggal
itu, keduanya sama-sama sakti, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang. Palagan yuda tempat bertarung mereka tidak hanya di atas
lapisan bumi, tapi juga masuk ke dalam perut bumi, bertarung di dasar
samudera dan bahkan berdirgantara di angkasa.

Pertempuran dua kesatria dewa yang berlangsung dahsyat ini mengundang
rasa keprihatinan bagi kakek-kakek mereka, baik Sang Hyang Wenang yang
bersemayam di alam ‘sunyaruri’, ataupun Sah Hyang Rekatama (Sang Hyang
Yuyut) yang bersemayam di Samudralaya. Telah banyak yang menjadi korban
karena dampak dari pertarungan kedua cucunya. Rusaknya gunung, hutan
dan lautan, juga mahluk-mahluk lain baik yang berada di alam maya
ataupun di alam nyata.



Pertarungan antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga telah
memakan waktu yang cukup lama, tanpa berhenti dan tanpa mengenal rasa
lelah. Dan saat pertarungan menginjak waktu yang ke-empat puluh hari,
Sang Hyang Tunggal memutuskan untuk menyelesaikan pertarungan dengan
mengajukan syarat sayembara kepada kedua putranya. Barang siapa yang
mampu menelan gunung Jamurdipa dan lalu memuntahkannya kembali, maka
dialah yang akan diakui sebagai yang tertua dan dinobatkan sebagai Raja
Tribuana, mewarisi seluruh Kahyangan Suralaya.



Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya menyanggupi sayembara tersebut.
Keduanya lalu mempersiapkan diri. Didahului oleh Sang Hyang Antaga, ia
bertiwikrama menjadi berhala sewu yang besarnya melebihi gunung. Dan
lalu gunung Jamurdipa dicabut dan dimasukan ke dalam mulutnya. Ia
memaksa untuk menelan, namun ia merasa sangat kesusahan untuk
menelannya, Gunung Jamurdipa itu masih berukuran lebih besar dari
mulutnya, tapi karena nafsunya yang besar, maka ia terus mencoba
memasukan gunung itu ke dalam mulutnya hingga mulutnya robek besar.
‘Kegedhen empyak kurang cagak’, besar keinginannya namun kurang
mempunyai perhitungan.



Melihat
Sang Hayang Antaga yang sedang bersusah payah ingin menelan gunung,
Sang Hyang Ismaya segera melakukan tiwikrama. Tubuhnya seketika
meninggi dan membesar, wujudnya seketika itu juga berubah menjadi
berhala sewu. Akan tetapi wujud reksa denawa Sang Hyang Ismaya lebih
tinggi besar dibandingkan dengan wujud raksasa jelmaan Sang Hyang
Antaga. Tingginya melebihi tujuh kali puncak Himalaya. Kemudian Berhala
Sewu perwujudan dari Sang Hyang Ismaya dengan cepat merebut gunung
yang hendak ditelan oleh Sang Hyang Antaga. Dalam keadaan seperti itu
Sang Hyang Antaga menjadi limbung, pandangan matanyapun dengan serta
merta menjadi gelap, tidak sadarkan diri. Tubuhnya sekejap berubah
kembali menjadi kecil dan luruh ambruk di atas bumi.



Kini gilliran Sang Hyang Ismaya, dengan kekuatan luar biasa Sang Hyang
Ismaya memaksakan gunung Jamurdipa masuk ke dalam mulutnya. Oleh sebab
tubuhnya lebih besar dari reksa denawa jelmaan Sang Hyang Antaga, maka
dengan kekuatannya Sang Hyang Ismaya berhasil memasukan gunung
Jamurdipa ke dalam mulutnya, dan lalu ditelan. Sang Hyang Ismaya sempat
tercekat, ia merasa seperti tercekik dan sulit bernafas saat gunung
Jamurdipa tertelan masuk di kerongkongannya. Ia mengerahkan seluruh
tenaga dan kesaktiannya hingga gunung itu pun langsung amblas ke dalam
perutnya.



Seperi juga Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya sudah kehabisan seluruh
tenaganya, ia merasa sudah tidak mampu lagi untuk mencoba memuntahkan
kembali gunung Jamurdipa. Tubuhnya dingin dan lunglai, lalu seketika
berubah kembali menjadi kecil, jatuh terkapar tidak sadarkan diri.



Sementara di Jonggring Salaka, Sang Hyang Tunggal yang sudah mengetahui
peristiwa yang telah dialami kedua putranya hanya merenung. Ia pun
menyesali atas kesalahannya waktu dulu, saat menyempurnakan wujud telur
yang menjadi asal muasal mereka. Seharusnya mereka tidak disempurnakan
secara bersamaan, sehingga bisa dibedakan mana yang lebih awal
tercipta dan untuk dituakan. Namun yang lebih disesalkan lagi adalah
mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatnya sebagai orang tua, apa
mau dikata, semuanya sudah terlanjur, dan mereka telah memilih jalannya
masing-masing.



Alam kembali menjadi tenang, burung-burung berkicau dikegelapan pagi,
dan angin berhembus semilir meniupkan nafasnya yang gemulai. Diantara
basahnya embun pagi di atas dedaunan, dua sosok mahluk yang terkapar di
atas tanah kini mulai bergerak hidup, menunjukan bahwa keberadaan
mereka masih memiliki nafas.



Mereka yang tidak lain adalah Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya
yang telah tidak sadarkan diri untuk beberapa saat lamanya, dan kini
mulai terbangun dari sadarnya. Keduanya masih terlihat bingung dan
seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Baik Sang Hyang Antaga maunpun
Sang Hyang Ismaya belum pulih total kesadarannya, mereka sama
terkejutnya saat saling berhadapan. Dan Salah satu dari mereka lalu
bertanya.



Siapa andika?



Yang ditanya menjawab sebagai Sang Hyang Antaga. Yang bertanya sontak
terkejut seperti mendengar petir disiang bolong.Betapa tidak, yang
mengaku sebagai Sang Hyang Antaga itu berpenampilan buruk rupa.
Penampilan dan mukanya sangat jauh dari Sang Hyang Antaga yang sangat
ia kenal. Sang Hyang Antaga yang sangat ia kenali adalah sosok kesatria
perkasa, sedangkan yang dihadapinya bisa dibilang lebih mirip dengan
mahluk jadi-jadian sebangsa Jin atau Dedemit. Tubuhnya pendek buncit,
mukanya tidak seimbang dengan mulutnya yang sangat lebar menyerupai
mulut angsa. Belum lagi habis rasa herannya, yang tadi mengaku bernama
Sang Hyang Antaga balik bertanya.



Lah! Andika sendiri siapa?



Kini giliran dia menjawab dan mengaku bernama Sang Hyang Ismaya.
Seperti juga Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga pun terkejut bukan
kepalang. Sang Hyang Ismaya seharusnya berwajah elok dan bersinar
seperti matahari, tapi yang mengaku Ismaya ini bertubuh gemuk berpantat
besar, wajahnya pun sama sekali tidak mirip, sangat lebih tua.



Mereka berdua saling meyakinkan siapa mereka, dan baru tersadar saat
mereka mencoba untuk mengenali bentuk tubuh masing-masing, merabai
seluruh wajah dan tubuhnya. Mereka sama-sama terkejut dan menjadi sadar
bahwa mereka berdua telah terkena kutukan orang tua mereka, Sang Hyang
Tunggal. Lalu mereka berdua menangis sejadi-jadinya sambil berangkulan
seperti anak kecil. Dan kemudian memutuskan untuk kembali pulang ke
Kahyangan Suralaya, menghadap Sang Hyang Tunggal.



Di Jonggring Salaka, di hadapan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Ismaya
dan Sang Hyang Antaga masih terus menangis memohon ampunan, mereka
memohon ayahandanya untuk merubah kembali wujud mereka seperti semula.
Namun Sang Hyang Tunggal tidak dapat mengabulkan permohonan mereka.
Menurutnya ini sudah takdir dan kehendak Yang Maha Kuasa.



Sang Hyang Tunggal bersabda kepada para putranya bahwa dirinya akan
segera mokswa ke alam sunyaruri, namun sebelumnya ia akan menunjuk
salah satu dari putranya untuk menggantikannya menjadi Raja Tribuana di
Kahyangan Suralaya. Lalu Sang Hyang Tunggal menunjuk dan menobatkan
Sang Hyang Manikmaya menjadi Raja Tribuana, dan kepada Sang Hyang
Antaga juga Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Tunggal menyarankan mereka
untuk turun ke marcapada apabila Sang Hyang Manikmaya kelak menurunkan
keturunannya di Marcapada.



Sebagai Raja Tribuana, Sang Hyang Manikmaya diberi tugas untuk
menentramkan marcapada. Sedangkan Sang Hyang Antaga bila saatnya nanti
turun ke marcapada harus merubah namanya menjadi Togog (Togog
Wijomantri). Ia ditugaskan untuk mengasuh, mendidik dan memberi nasehat
budi pekerti yang baik kepada para raja keturunan Sang Hyang Manikmaya
yang berwujud raksasa. Kelak dikehidupannya nanti Togog akan menghamba
dan ikut kepada para raja raksasa seperti raja-raja Lokapala hingga
Alengka yang berasal dari keturunan Batara Sambu, putra sulung Sang
Hyang Manikmaya.

Dan kepada Sang Hyang Ismaya, bila saatnya turun ke marcapada harus
berganti nama menjadi Semar (Semar Badranaya). Ia ditugaskan untuk
mengasuh para raja, brahmana, dan kesatria yang masih keturunan Sang
Hyang Manikmaya.



Sebenarnya yang paling berat adalah tugas Sang Hyang Antaga, sebab ia
disuruh memberi pelajaran budi pekerti, menasehati serta meluruskan
para raja raksasa yang kebanyakan sifat dan perwatakannya penuh dengan
angkara murka.


Kumpulan Cerita Wayang: Tribuana (Bagian 1, Manikmaya Jadi Raja): Senja berganti malam dan malam sirna berganti siang, waktu berputar menutup hari dan kemudian berganti hari. Kini putra-putra Sang Hyang T...

0 comments:

Luncurkan toko Anda hanya dalam 4 detik dengan 
 
Top