Minggu

Riwayat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani










Written by Tim
Sarkub
| 03/03/2012 | 3


Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling
masyhur di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan
setiap tahun oleh umat Islam Indonesia.
Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih
dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran
spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi
(manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat
dengan sebutan manaqiban.


Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah
Janki Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di
belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini
disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.


NASAB

Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif,
Jailan, Iraq, pada bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama
Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu pertama
Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a., puteri tercinta
Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih
keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian,
Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin sekaligus Huseiniyin.


MASA MUDA

Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan
sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman
mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan
untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu
merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts
Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.


Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang
ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi
ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama’ besar di masa kini, telah
menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur’an bagi orang
semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi
pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.


Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad,
ibunya yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang
dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai
bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk
menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya
berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk
senantiasa mencamkan pesan tersebut.


Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan,
menghadanglah segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali
tak memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan
salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat
akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: “Ya, aku
punya delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.”
Tentu saja para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia
sejujur ini.


Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya,
dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah
delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok
terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada
saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna
upayanya menimba ilmu agama.


Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh
terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan.
Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini
menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian kukuh
semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.


BELAJAR DI BAGHDAD

Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur
dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan
kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri
sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang
lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala
tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).


Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari
seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering
menjumpai orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka.
Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang penjual
sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.


Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir.
Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya
sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima
semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.


LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH

Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras
terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan
hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an suci. Shalat
sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu
lagi, karena belum batal.


Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca
Al-Qur’an dalam satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya
berhubungan dengan manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan
seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya
ia tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari
Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini
menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya
kini telah digantikan oleh wujud mulianya.


DICOBA IBLIS

Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini,
yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan
kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah
tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu
peristiwa alamiah dalam kehidupan.


Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis,
yang membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya
kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila
ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau,
sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa
perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.


Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala
beliau kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan
musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta
dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: “Aku sama
sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah
sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada
kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di
akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara
kalian dan aku.”


Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat
kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang
Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis
menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa
Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.


Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain
adalah si Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi
selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya:
“Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.”
“Enyahlah!, bentak sang wali.” Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi
karena rahmat Allahlah aku selamat dari perangkapmu”.


Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada
di rimba belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan
menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya.
Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: “Akulah Tuhanmu, kini
Kuhalalkan bagimu segala yang haram.” Sang Syaikh berucap: “Aku berlindung
kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Sosok itu pun segera pergi
berubah menjadi awan, dan terdengar berkata: “Dengan ilmumu dan rahmat Allah,
engkau selamat dari tipuanku.”


Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam
mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang
haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari
Allah.


Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa
berlainan secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya
melawan kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan
ruhaniahnya.


Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan
merupakan kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan
setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak
menjadi pemimpin sejati manusia.


PANUTAN MASYARAKAT

Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian
tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar,
tetapi berasal dari ruhaninya.


Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri
ingin menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam
pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara
keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.


Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah
ini. Ia melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di
Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan,
menyalaminya.


Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu
memintanya untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk
dengan tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang
Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ” Akulah
agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku
kembali melalui bantuanmu.”


Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di
masjid, dan menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat
tercerahkan, menamainya Muhyiddin, ‘pembangkit keimanan’, gelar yang kemudian
dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia
tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum. Selama
sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan meneruskan
praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.


KEHIDUPAN RUMAH TANGGA

Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan
umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada
usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia
menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau
berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti
Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia
mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.


Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan
kepakarannya, al:


Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim
besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali
wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan
masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan
demikian termasyhur.


Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang
hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib
yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.


Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus
penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa
kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana
ayahnya.


Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia
hijrah ke Damaskus, hingga wafat.


Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada
kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat
terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada
wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir
nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz,
dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat
terakhirnya.


KESEHARIANNYA

Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh
tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan
malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata
pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum,
yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat
Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib,
ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia
menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk
makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia
mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan
beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai
pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk
mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk
mengabdi Penciptanya.


Pengaruh dan Karya


Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal
ini membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang.
Bahkan, bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap
disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan,
sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan
masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi
kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula
yang menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.


Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai
tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:


1.Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya
yang mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan
karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan
prinsip suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan
etika Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian
membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar,
tawakal, dan akhlak yang baik.


2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan
bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan
Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan
ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan
terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90
halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai
majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada
forum pengajian itu.


3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel
yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama
dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku
ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan
senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku
ini.


Kesaksian Ulama

Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum
kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan
kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi
sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata,
“Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”


Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa
maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan
bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang
bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan
mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”


Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa
Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon,
saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:


“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1)
Syekh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4)
Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7)
Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani.”


Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama
Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu,
tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir
Jailani?”


Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir
adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan
menetap di Baghdad.”


Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad
(1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal,
dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.


Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda.
Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua,
hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun
di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu
meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.


Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis,
tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya
sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul
Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya.
Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak
menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani
benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.


Ibnu Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al Jailani
memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir,
dan ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al
Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai
kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak
berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah
sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. “


Al-Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para
ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat,
selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu
yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”


Wafat

Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam
waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya
sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu
usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat
baik, mengajar, dan bertausiah.


Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama
‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:


“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan
jangan berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza
wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada
selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah!
Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”


Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah,
manfa,at, dan Ridho allah swt, syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah
khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga
dan anak turun kita semua Dunia – Akhirat. Amien


Diambil dari berbagai sumber


*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah
penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.


**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan.
Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita
gembira maupun ancaman.


Abdul Qadir Al-Jailani






Biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani termuat dalam kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Tetapi, buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Beliau adalah seorang ulama besar sehingga suatu kewajaran jika sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjungnya dan mencintainya. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau berada di atas Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah oleh manusia siapapun.

Ada juga sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.

Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara tidak ada syari'atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Allah melarang makhluknya berdo'a kepada selainNya. Allah berfirman, yang artinya:

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS. Al Jin:18)

Kelahirannya
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.

Pendidikannya
Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.

Pemahamannya
Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.

Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, "Dia (Allah) di arah atas, berada di atas 'ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. "Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, "Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' (Allah berada di atas 'ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah di atas 'Arsy.

Dakwahnya
Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.

Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.

Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, "Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.

Wafatnya
Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Pendapat ulama
Ketika ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."

Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."

Ibnu Rajab juga berkata, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. "

Imam Adz Dzahabi mengatakan, "intinya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau." (Syiar XX/451).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."

Syaikh Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.

DIALOG SYEKH ABDUL QADIR JAILANI RA DAN MALAIKAT MAUT






Dalam ceramah di akhir bulan Rajab 546 H di Madrasah, Syekh Abdul Qadir Jailani menuturkan: Imam Junaid Al-Baghdadi rahimahullah sering kali mengatakan : “Apa yang dapat kuperbuat terhadap diriku? Aku ini hanya seorang hamba dan milik Majikanku.” Dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah, tidak memiliki pilihan lain selain terhadap-Nya dan tidak mengusik-Nya. Junaid telah rela dengan apa pun yang ditakdirkan kepadanya. Hatinya telah menjadi baik dan nafsunya telah tenang. Dia telah mengamalkan firman Allah Azza wa Jalla, “Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS Al-‘Araf: 196) Pada suatu malam, aku mengingat kematian, dan aku menangis dari awal malam hingga waktu sahur tiba. Aku berdoa, “Ya Tuhanku, aku mohon kepadamu agar malaikat mautt tidak mencabut nyawaku, tapi Engkau sendiri yang mencabutnya. ” Kemudian, aku tertidur, lalu aku bermimpi melihat seorang tua yang mengagumkan dan menawan. Dia kemudian masuk dari arah pintu, dan aku bertanya kepadanya: “Siapakah engkau?” Lalu, dia menjawab, “Aku malaikat maut.” Aku katakan kepadanya, “Aku telah meminta kepada Allah agar Dia sendiri yang mencabut nyawaku, bukan engkau yang akan mencabutnya.” Malaikat itu balik bertanya, “Lalu mengapa engkau meminta hal itu? Apa dosaku? Aku hanyalah hamba yang mengikuti perintah. Aku diperintahkan bersikap lemah lembut terhadap suatu kaum dan bersikap kasar kepada kaum yang lainnya.” Kemudian, dia memelukku dan menangis, maka aku pun menangis bersamanya. Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : “Betapa banyak hati yang terbakar oleh kecintaan kepada dunia, padahal di dadanya ada Al-Quran. Sementara, banyak orang saleh yang selalu bangun malam mendirikan shalat malam, beramar makruf nahi munkar. Tangan mereka itu terbelenggu oleh sikap wara’ sehingga meninggalkan dunia, dan keinginan mereka mencari Tuhan mereka begitu kuat. Maka, infakkan harta kalian kepada mereka itu. Sebab, di kemudian hari mereka itu akan mendapatkan kekuasaan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.” ---Dikutip dari kitab Fath Rabbani.


Kisah Syech Abdul Qodir Al Jaelani dan Iblis


Suatu hari Shaikh Abdul Qadir al Jaelani dan beberapa murid-muridnya sedang dalam perjalanan di padang pasir dengan telanjang kaki. Saat itu bulan Ramadhan dan padang pasirnya panas. Beliau mengatakan, "Aku sangat haus dan luar biasa lelahnya. Murid-muridku berjalan di depanku. Tiba-tiba awan muncul di atas kami, seperti sebuah payung yang melindungi kami dari panasnya matahari. Di depan kami muncul mata air yang memancar dan sebuah pohon kurma yang sarat dengan buah yang masak. Akhirnya datanglah sinar berbentuk bulat, lebih terang dari matahari dan berdiri berlawanan dengan arah matahari.



Dia berkata, "Wahai para murid Abdul Qadir, aku adalah Tuhan kalian. Makan dan minumlah karena telah aku halalkan bagi kalian apa yang aku haramkan bagi orang lain!" Murid-muridku yang berada di depanku berlari ke arah mata air itu untuk meminumnya, dan ke arah pohon kurma untuk dimakannya. Aku berteriak kepada mereka untuk berhenti, dan aku putar kepalaku ke arah suara itu dan berteriak, "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk!"

"Awan, sinar, mata air dan pohon kurma semuanya hilang. Iblis berdiri dihadapan kami dalam rupanya yang paling buruk. Dia bertanya, "Bagaimana kamu tahu bahwa itu aku?" Aku katakan pada Iblis yang terkutuk yang telah dikeluarkan Allah dari rahmatNya bahwa firman Allah bukan dalam bentuk suara yang dapat didengar oleh telinga ataupun datang dari luar. Lebih lagi aku tahu bahwa hukum Allah tetap dan ditujukan kepada semua. Allah tidak akan mengubahnya ataupun membuat yang haram menjadi halal bagi siapa yang dikasihiNya.



Mendengar ini, Iblis berusaha menggodanya lagi dengan memujinya, "Wahai Abdul Qadir," katanya, "Aku telah membodohi tujuh puluh nabi dengan tipuan ini. Pengetahuanmu begitu luar dan kebijakanmu lebih besar daripada nabi-nabi itu!" Kemudian menunjuk kepada murid-muridku dia melanjutkan, "Hanya sekian banyak orang-orang bodoh saja yang menjadi pengikutmu? Seluruh dunia harusnya mengikutimu, karena kamu sebaik seorang nabi."

Aku mengatakan, "Aku berlindung darimu kepada Tuhanku yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Karena bukanlah pengetahuanku ataupun kebijakanku yang menyelematkan aku darimu, tetapi hanya dengan rahmat dari Tuhanku."


Kumpulan Karomah Syaikh Abdul Qodir Jailani Ra




Syaikh Yahya at-Tikriti berkata, “Ketika Syaikh Musa bin Hamman az-Zuli singgah di baghdad dalam perjalanan hajinya, aku bersama ayahku menemani beliau bertemu Syaikh Abdul Qodir al-Jiili. Dihadapan sang Syaikh, Syaikh Musa menunjukkan penghormatan dan ada yg belum pernah aku lihat beliau lakukan kepada orang lain. Setelah kami selesai dan keluar, ayahku berkata kepada beliau, “Belum pernah aku melihat Anda memberikan penghormatan sedemikian besar sebagaimana yang Anda lakukan kepada Syaikh Abdul Qodir”. Beliau menjawab, “Syaikh Abdul Qodir adalah manusia terbaik pada saat ini. Saat ini beliau adalah sultan para wali dan pemimpin para aarif. Bagaimana mungkin aku tidak bersopan santun kepada orang yg disantuni oleh para malaikat langit””



Pemimpin para Syaikh, Syaikh Abdul Latif bin Syaikh Abil Barakat Ismail bin Ahmad an-Naisaburi berkata, “Tahun 590 H di damaskus, aku mendengar Syaikh Arsalan berkata, “Telah dikatakan bahwa Syaikh Abdul Qodir merupakan pancaran Ilahi dan salah seorang afrad. Beliau berbicara dengan hikmah dan diserahkan kepadanya otoritas atas semesta untuk mengambil, menolak, memberi, dan menerima. Beliau adalah wakil Rosulullah saw””



Syaikh sufi, Syaikh Syihabuddin Umar as-Sahrawardi berkata, “Pada tahun 506 H, aku bersama pamanku Syaikh Abi Najib Abdul Qahir as-Sahrawardi menghadap Syaikh Abdul Qodir Jailani. Aku melihat pamanku bersikap sangat santun dan penuh hormat, duduk diam dihadapannya tanpa suara. Ketika kami pulang, aku bertanya kepadanya tentang kelakuannya itu. Beliau berkata, “Bagaimana mungkin aku tidak bersikap seperti itu kepada orang yg sempurna, satu-satunya di semesta pada saat ini. Kemudian, bagaimana aku tidak bersikap seperti itu kepada dia yg diberikan otoritas untuk memegang dan melepaskan kalbu dan kondisi spiritualku serta kalbu dan kondisi spiritual para wali”



Syaikh Abu Muhammad (sumber lain menyatakan beliau adalah Syaikh Muhammad asy-Syambaki) berkata, “Syaikh kami Syaikh Abu Bakara al-Hawwar sering menyebut2 Syaikh Abdul Qodir dan berkata, “Akan muncul di iraq di pertengahan abad ke lima. Dan orang2 menceritakan keistimewaan2nya. Bukan berarti ilmuku mendahului apa yg aku dengar. Kemudian tersingkap di hadapanku maqam2 para wali dan beliau berada di tingkat pertama. Setelah itu disingkapkan kepadaku maqam2 para muqarrab (orang2 yg dekat) dan aku mendapati beliau berada di puncaknya. Akhirnya disingkapkan kepadaku tingkatan golongan kasyf dan mendapati beliau paling agung diantara mereka. ALLAH akan menampakkan kepadanya gambaran yg tidak akan ditampakkan kecuali kepada golongan shiddiq dan para ulama ALLAH. Beliaulah yg perkataan dan perbuatannya dijadikan panutan. Dengan berkahnya ALLAH berkenan mengangkat banyak hamba-NYA kederajad yg tinggi. Dialah yg akan dibanggakan oleh ALLAH kepada seluruh umat pada hari kiamat. Ridha ALLAH atas dirinya dan semoga berkahnya mendatangkan manfaat bagi kita semua di dunia dan di akhirat.



Mari Kita Hadiahkan Bacaan Surat Al-Fatihah Untuk Beliau.. ALFATIHAH... ------



TUNDUKKAN NAFSUMU SEBELUM ENGKAU DITUNDUKKANNYA








Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata :

Hai pemuda…! Nasihatilah dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum kamu menasihati orang lain. Janganlah engkau berlebih-lebihan dalam menasihati orang lain sedangkan dalam dirimu sendiri masih bersemayam sesuatu yang engkau perlu perbaiki Celakalah engkau…! Sekiranya engkau tahu bagaimana membersihkan orang lain, sedangkan engkau buta untuk membersihkan dirimu sendiri. Bagaimana seorang yang buta dapat memimpin orang lain.

Sebenarnya membaca penggalan Nasihat Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di atas, bikin merinding duluan. Untuk itu ini sebagai penegasan, kalo saya tidak mencoba meberi nasihat kepada anda sekalian, yang saya tulis ini adalah semata-mata Nasihat dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani untuk kita semua, khususnya saya pribadi yang masih banyak berbuat dosa dan salah. Semoga bermanfaat dan menjadi renungan kita semua untuk bisa menjadi orang yang lebih baik lagi...aamiin.

TUNDUKKAN NAFSUMU SEBELUM ENGKAU DITUNDUKKANNYA.
(disampaikan di Madrasah al-Ma’murah,hari Ahad pagi,3 Syawal 545 H)

Sesungguhnya, siapa yang ingin memperbaiki dirinya, maka hendaklah dia berlatih memerangi nafsunya, sehingga dirinya bebas daripada cengkaman nafsu kerana seluruh nafsu itu mengajak kepada kejahatan.

Hai pemuda…! Nasihatilah dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum kamu menasihati orang lain. Janganlah engkau berlebih-lebihan dalam menasihati orang lain sedangkan dalam dirimu sendiri masih bersemayam sesuatu yang engkau perlu perbaiki Celakalah engkau…! Sekiranya engkau tahu bagaimana membersihkan orang lain, sedangkan engkau buta untuk membersihkan dirimu sendiri. Bagaimana seorang yang buta dapat memimpin orang lain.

“Wahai hati…! Wahai roh…! Wahai manusia..! Wahai jin…! Wahai orang-orang yang berharap kepada Maha Raja..! Marilah kita ketuk pintu Maha Raja. Bersegeralah kamu kepada-NYA dengan tapak hatimu, dengan tapak takwa dan tauhid kamu, makrifat dan kewarakan kamu yang tinggi, kezuhudan kamu di dunia, di akhirat dan didalam sesuatu selain daripada yang berkaitan secara langsung dengan Tuhanmu”.


SEGERA MENCAPAI PINTU TAUBAT
(Ahad,10 Syawal 545 H)
Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, maka hendaklah dia mencapainya, kerana sesungguhnya ia tidak mengetahui, bila pintu itu akan tertutup baginya”
Wahai pemuda. “Bertaubatlah kamu. Bukankah kamu telah melihat, bahawa Allah akan menguji kamu dengan berbagai dugaan hingga kamu bertaubat…? Sementara engkau tidak berfikir, mlahan engkau bertahan dalam kederhakaanmu itu.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata : “Tetaplah engkau untuk sentiasa redha dengan Allah, dalam keadaan petaka atau sengsara, dalam keadaan miskin atau kaya, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan sihat atau sakit, dalam keadaan buruk atau baik, ketika memperoleh yang engkau kehendaki atau tidak. Aku tidak tahu ubat apa yang sesuai untukmu, selain daripada menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah yang Al-Haq. Jika dia menetapkan sesuatu yangmerugikan kamu, janganlah kamu benci kepada-NYA serta jangan pula kamu menjauhkan diri daripadanya.Kerana semua itu adalah ujian dan cubaan terhadapmu.

-jika sedar dan berubah,pasti Allah menukarkan kegelisahmu dengan ketenangan dan jiwamu akan menjadi tenang,tenteram dalam mentauhidkan-Nya.

Jika Al-Haq menghendaki agar hambanya menjadi baik, maka Dia akan memberikan Hidayah, mengajar mereka, mengawasi mereka, menerangi mereka, memberikan kesempatan kepada mereka, mendekatkan mereka kepada-Nya dan memberikan sinar kedalam hati mereka.

Celakalah kamu, kamu membaca dan menghafal sunnah Rasulullah, tetapi kamu tidak mengamalkannya. Engkau menyuruh manusia mengerjakan kebaikan sedangkan engkau sendiri tidak melakukannya.
Seperti Firman Allah SWT dalam surah Al-Shaf ayat 3 yang bermaksud :
“Sebesar-besar kebencian Allah, ialah bahawa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”

Sesiapa yang telah beramal sehingga kemudian mereka mencapai satu kedudukan(maqam) dimana tiada lagi perintah ataupun larangan. Tidak henti-henti mereka menyendiri(khalwat) bersama ALLAH. Kerana meninggalkan ibadah-ibadah wajib, bermakna seorang itu telah jatuh Zindiq. Tidak ada kewajipan yang gugur dari seseorang, walau dalam keadaan bagaimana juapun dia, atau apa pun tahap dan maqamnya.

Wahai kaumku, Ambillah nasihat dari Al-Quran itu dengan mengamalkannya, bukan dengan mendiskusi, memperdebat, atau menseminarkannya.

“Tidak akan ada kebahagiaan di hatimu, apabila disana bersemayam sesuatu selain Allah, bahkan seandainya kamu sujud selama seribu tahun diatas bara api sekalipun, sementara hatimu kepada selain Allah, maka hal itu tidak bermanfaat kepadamu.

Hati..! Hatilah yang beriman…! Hatilah yang mengesakan Allah…! Hatilah yang memurnikan aqidah..! Hatilah yang ikhlas…! Hatilah yang bertakwa…! Hatilah yang memelihara diri daripada yang Haram dan Syubhat…! Hatilah yang yakin…! Hatilah yang zuhud…! Hatilah yang arif…! Hatilah yang beramal…! Hatilah yang memimpin seluruh tubuh manusia, sementara seluruh anggota adalah anggota pasukan dan pengikutnya. Oleh itu, jika kamu ingin menyucapkan LAILA HAILLALLAH, maka lebih dulu hendaklah kamu ucapkan dengan hatimu, kemudian kamu iringinya dengan lidah.

Jihad Batin – Lebih berat dari jihad zahir kerana jihad batin adalah satu jihad yang berterusan. Bermaksud memutuskan semua kehendak dan dorongan hawa nafsu untuk melakukan perkara-perkara yang terlarang serta mengekang keinginan terhadapnya.

Wahai hamba…! Setiap yang engkau pandang sebagai kebaikan dan engkau mencintainya, maka cintamu itu adalah bukan cinta yang sejati. Engkau sedang terpedaya. Cinta yang hakiki adalah cinta yang tidak berubah, iaitu cinta kepada Allah, yakni cinta yang engkau lihat dengan dua mata hatimu, iaitu cinta para Al-Shiddiqin Ruhaniyyin. Mereka tidam menyintai dengan keimanan mereka, tetapi dengan keyakinan dan mata hati mereka. Terbukalah hijab yang menyelubungi mata hati mereka, sehingga mereka mampu melihat apa yang ada di alam ghaib, melihat sesuatu yang tidak mungkin bagi mereka untuk menjelaskannya.

Seorang yang berzuhud dan berada pada tahap permulaan, mesti menghindarkan diri daripada semua manusia dan orang-orang fasiq yang melakukan maksiat. Tetapi setelah mencapai tahap kesempurnaan, dia tidak akan menghindarkan,diri bahkan dia akan mencari mereka kerana penawar mereka itu ada padanya. Kerana apabila seseorang itu telah mengenal Allah, dia tidak akan menghindar dari sesuatu apapun dan tidak akan takut selain daripada Allah. Barangsiapa yang sudah sempurna ma’rifatnya kepada Allah, maka ma’rifat itulah yang akan menjadi pemandu baginya.

Seseorang bertanya kepada Syeikh bagaimana untuk mengeluarkan cinta kepada dunia.
“Hendaklah engkau melihat dengan kedua-dua mata hatimu kepada cacat-cela dunia ini. Perangilah hawa nafsumu hingga ia menjadi tenang. Jika nafsumu telah tenang, maka engkau akan mampu melihat cacat-cela dunia ini dan kamu akan bersikap zuhud terhadap dunia ini. Ketenangan itu akan wujud jika engkau memandang dari hati dan menyesuaikannya dengan bisikan batinmu.

“Jika engkau menginginkan kema’rifatan kepada Allah, maka engkau redhalah dengan qada dan qadar-Nya, dan janganlah engkau jadikan nafsu, syahwat, perangai, dan keinginanmu sebagai sekutu bagi-Nya dalam kedua-dua hal tersebut.”

Ketahuilah bahawa para guru amal dan guru ilmu akan menunjukkan engkau jalan menuju Allah. Langkah tahap pertama ialah dengan perkataan, dan pada tahap kedua ialah dengan mengamalkannya. Dengan cara ini, engkau akan bertemu dengan Allah.

Beramallah engkau kepadanya dan janganlah engkau mengharapkan pahala yang banyak. Beramallah dengan tujuan untuk mencapai dan meraih keredhaannya serta kedekata kepadanya. Pahala adalah keredhaan-Nya kepadamu dan kedekatanmu kepada-Nya dunia dan akhirat.

Peringkat pertama ialah engkau belajar kepada makhluk berkenaan hokum. Kemudian pada peringkat kedua hendaklah engkau belajar dari Khaliq mengenai ilmu Ladunni, Yakni ilmu-ilmu yang khusus untuk hati dan batin. Oleh itu carilah guru yang mursyid, kerana engkau tidak dapat belajar tanpa guru.

Barangsiapa di antara kamu yang ingin menghidupkan hatinya, maka hendaklah dia membiasakan berzikir kepada Allah didalam hatinya itu dan hendaklah dia merasakan ketenteraman bersama-Nya.Wahai hamba…! Berzikirlah engkau kepada Allah dengan hatimu sebanyak seribu kali dan dengan lisanmu sekali.

Berzikir yang dilakukan hanya dengan lisan tanpa menggunakan hati, tidak memberikan kemuliaan kepadamu. Zikir adalah zikir hati dan zikir batin, kemudian zikir lisan. Berzikirlah kamu kepada-Nya, sehingga zikir itu melebur dosa-dosamu, dengan demikian engkau tidak menanggung dosa sama sekali.


Ketahuilah…! Bahawa taubat itu adalah pusat kekuasaan dan menyesali segala perbuatan. Tanggalkanlah baju kederhakaanmu itu dengan taubat yang tulus ikhlas. Jika engkau bertaubat, hendaklah taubat itu lahir dari hatimu, bertaubatlah engkau zahir dan batin.
Ikutilah (Sunnah Rasul) dengan penuh keimanan, jangan membuat bid'ah, patuhilah selalu kepada Allah dan Rasul- Nya, jangan melanggar. Junjung tinggilah tauhid dan jangan menyekutukan Dia. Sucikanlah Dia senantiasa dan jangan menisbahkan sesuatu keburukan pun kepada-Nya.


Pertahankan Kebenaran-Nya dan jangan ragu sedikit pun. Bersabarlah selalu dan jangan menunjukkan ketidaksabaran. Beristiqomahlah. Berharaplah kepada-Nya, jangan kesal, tetapi bersabarlah. Bekerjasamalah dalam ketaatan dan jangan berpecah-belah. Saling mencintailah dan jangan saling mendendam. Jauhilah kejahatan dan jangan ternoda olehnya.Percantiklah dirimu dengan ketaatan kepada Tuhanmu, jangan menjauh dari pintu-pintu Tuhanmu, jangan berpaling dari- Nya.
Segeralah bertaubat dan kembali kepada-Nya. Jangan merasa jemu dalam memohon ampunan kepada Khaliqmu, baik siang mahupun malam, (jika kamu berlaku begini) niscaya rahmat dinampakkan kepadamu, maka kamu bahagia, terjauhkan dari api neraka dan hidup bahagia di syurga, bertemu Allah, menikmati rahmat-Nya, bersama-sama bidadari di syurga dan tinggal di dalamnya untuk selamanya, mengendarai kuda-kuda putih, bersuka ria dengan hurhur bermata putih dan aneka aroma, dan melodi-melodi hamba-hamba sahaya wanita, dengan kurnia-kurnia lainnya, termuliakan bersama para nabi, para shiddiq, para syahid, dan para shaleh di syurga yang tinggi.


Nasihat Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani

Bila kau melihat dunia ini, berada di tangan mereka, dengan segala hiasan, dan tipuannya, dengan segala bisa mematikannya, yang tampak lembut sentuhannya, padahal, sebenarnya mematikan bagi yang menyentuhnya, mengecoh mereka, dan membuat mereka mengabaikan kemudharatan tipu daya dan janji-janji palsunya - bila kau lihat semua ini - berlakulah bagai orang yang melihat seseorang menuruti nalurinya, menonjolkan diri, dan kerananya, mengeluarkan bau busuk.
Bila (dalam situasi semacam itu) kau enggan memerhatikan kebusukannya, dan menutup hidung dari bau busuk itu, begitu pula kau berlaku terhadap dunia, bila kau melihatnya, palingkan penglihatanmu dari segala kepalsuan, dan tutuplah hidungmu dari kebusukan hawa nafsu, agar kau aman darinya dan segala tipu-dayanya, sedang bahagianmu menghampirimu segera, dan kau menikmatinya.

Allah telah berfirman kepada Nabi pilihan-Nya:
"Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya, dan kurnia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal." (QS.20 -Thaaha :131)


Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata :
Apabila timbul di dalam benakmu keinginan untuk kahwin, padahal kau fakir dan miskin, dan kau tak mampu memenuhinya, maka bersabarlah dan berharaplah senantiasa akan kemudahan dari-Nya, yang membuatmu berkeinginan seperti itu, atau yang mendapati keinginan semacam itu di dalam hatimu, niscaya Ia akan menolongmu, (entah dengan menghilangkan keinginan itu darimu) atau dengan memudahkanmu menanggung beban hidupmu itu, dengan mengurniaimu kecukupan, mencerahkanmu dan memudahkanmu di dunia dan akhirat.
Lalu Allah akan menyebutmu sabar dan mahu bersyukur, kerana kesabaranmu dan keredhaanmu atas ketentuan-Nya. Maka ditingkatkan-Nya kesucian dan kekuatanmu.
Dan Allah berjanji untuk senantiasa menambah kurnia-Nya atas orang-orang yang bersyukur, sebagaimana firman-Nya :
"Se- sungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS.Ibrahim: 7)

Maka bersabarlah, tentanglah hawa nafsumu, dan berpegang teguhlah pada
perintah-perintah-Nya. Redhalah atas takdir Yang Maha Kuasa, dan berharaplah akan redha dan kurnia-Nya.
Sungguh Allah sendiri telah berfirman:
"Hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan menerima ganjaran mereka tanpa batas." (QS. Az Zumar : 10)



Assalamaualaikum Wr. Wb.
Pada kesempatan sebelumnya saya pernah menulis tentang 6 Wasiat Sayyidina Umar bin Khattab ra. Jika belum membaca silahkan dibaca terlebih dahulu.

Pada kesempatan ini saya ingin berbagi sebuah kisah yang cukup mengharukan Umar bin Khattab dengan salah satu putranya Abu Syahamah. Umar bin Khattab ra. adalah salah seorang khalifah yang terkenal dengan ketegasannya dalam memimpin, Beliau tidak pernah memandang bulu ketika hukum-hukum Allah haru dijalankan, termasuk keluarganya sendiri.
Sayyidina Umar mempunyai beberapa orang anak laki-laki, di antaranya ialah Abdul Rahman bin Umar. Ia juga terkenal dengan panggilan Abu Syahamah.
Untuk mengetahui biografi lengkap dari sayyidina Umar silahkan lihat biografi lengkapnya di wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Khattab

Suatu hari Abu Syahamah diuji oleh Allah dengan satu penyakit yang dideritainya selama kira-kira setahun. Berkat kesabaran dan usahanya akhirnya penyakit tersebut dapat disembuhkan. Sebagai rasa syukur dan tanda gembira terlepas dari ujian Allah ini, Abu Syahamah yang sudah lama tidak keluar rumah itu, menghadiri majlis jamuan besar-besaran di sebuah rumah perkampungan Yahudi atas jemputan kawan-kawannya yang juga terdiri daripada kaum Yahudi. Abu Syahamah dan kawan-kawannya berpesta sehingga lupa kepada larangan Allah dengan meminum arak sehingga mabuk.

Dalam keadaan mabuk itu, Abu Syahamah pulang melintasi pagar kaum Bani Najjar. Dia melihat seorang perempuan Bani Najjar sedang berbaring, lalu mendekatinya dengan maksud untuk memperkosanya. Ketika perempuan itu mengetahui maksud buruk dari Abu Syahamah tersebut, dia berusaha untuk melarikan diri sehingga berhasil mencakar muka dan merobek baju Abu Syahamah. Malangnya dia tetap saja tidak berdaya menahan Abu Syahamah yang sudah dikuasai oleh syaitan. Akhirnya terjadilah pemerkosaan tersebut.

Akibat pemerkosaan tersebut perempuan itu hamil. Setelah sampai masanya anak yang dikandung oleh perempuan itu pun lahir, lalu anak tersebut dibawa ke Masjid Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam untuk mengadap Amirul Mukminin untuk mengadukan hal kejadian yang menimpa dirinya. Kebetulan yang menjabat sebagai khalifah pada waktu itu ialah Sayyidina Umar ibnu Khattab.

"Wahai Amirul Mukminin, ambillah anak ini kerana engkaulah yang lebih bertanggungjawab untuk memeliharanya daripada aku."

Mendengar kenyataan tersebut, Sayyidina Umar bin Khattab ra. merasa terkejut dan heran. Perempuan itu berkata lagi: "Anak kecil ini adalah keturunan darah daging anak tuan yang bernama Abu Syahamah." Sayyidina Umar bertanya: "Dengan jalan halal atau haram?"

Perempuan itu dengan berani menjawab: "Ya Amirul Mukminin, Demi Allah yang nyawaku di tanganNya, dari pihak aku anak ini adalah halal dan dari pihak Abu Syahamah, anak ini haram." Sayyidina Umar semakin kebingungan dan tidak mengerti maksud perempuan Bani Najjar ini lalu menyuruh perempuan ini berterus terang.

Perempuan itu pun menceritakan kepada Sayyidina Umar peristiwa yang menimpa dirinya sehingga melahirkan anak itu. Sayyidina Umar mendengar pengakuan perempuan itu sehingga meneteskan air mata. Kemudian Sayyidina Umar menegaskan: "Wahai perempuan jariyah (jariyah adalah panggilan budak perempuan bagi orang Arab), ceritakanlah perkara yang sebenarnya supaya aku dapat menghukum perkara kamu ini dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya."

Perempuan itu menjawab: "Ya Amirul Mukminin, penjelasan apa yang tuan kehendaki daripadaku? Demi Allah!, Sesungguhnya aku tidak berdusta dan aku sanggup bersumpah di hadapan mushaf al-Qur'an."

Lalu Sayyidina Umar mengambil mushaf al-Qur'an dan perempuan itu pun bersumpah dari surah al-Baqarah hingga surah Yassiin. Kemudian bertegas lagi: "Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya anak ini adalah dari darah daging anakmu Abu Syahamah." Kemudian Sayyidina Umar berkata: "Wahai jariyah! Demi Allah engkau telah berkata benar." Kemudian beliau berpaling kepada para sahabat, katanya "Wahai sekalian sahabat Rasulullah, aku berharap kamu semua tetap di sini sehingga aku kembali."

Tak lama kemudian Sayyidina Umar datang lagi sambil membawa uang dan kain untuk diberikan kepada perempuan malang itu: "Wahai jariyah, ambillah uang sebanyak tiga puluh dinar dan sepuluh helai kain ini dan halalkanlah perbuatan anakku terhadapmu di dunia ini dan jika masih ada yang kurang, maka ambillah sewaktu berhadapan dengan Allah nanti." Perempuan itu pun mengambil uang dan kain yang diberikan oleh Sayyidina Umar lalu pulang ke rumah bersama-sama dengan anaknya.

Setelah perempuan itu pulang Sayyidina Umar bin Khattab ra. berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Wahai sekalian sahabat Rasulullah, tetaplah kamu di sini sehingga aku kembali."

Sayyidina Umar terus pergi menemui anaknya Abu Syahamah yang ketika itu sedang menghadapi hidangan makanan. Setelah mengucap salam dia pun berkata: "Wahai anakku, kesinilah dan marilah kita makan sama-sama. Tidakku sangka inilah hari terakhirmu untuk kehidupan dunia."

Mendengar perkataan ayahnya itu, Abu Syahamah terkejut seraya berkata, "Wahai ayahku, siapakah yang memberitahu bahawa inilah hari terakhir bekalanku untuk kehidupan dunia? Bukankah wahyu itu telah putus setelah wafatnya Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam."

Kata Sayyidina Umar: "Wahai anakku, berkata benarlah sesungguhnya Allah Maha Melihat dan Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata dan Dialah Maha Luas Penglihatannya." Sambung Sayyidina Umar lagi: "Masih ingatkah engkau, hari dimana engkau pergi ke satu majlis di perkampungan Yahudi dan mereka telah memberikan kamu minum arak sehingga kamu mabuk? Kemudian dalam keadaan mabuk kamu pulang melintasi perkampungan Bani Najjar di mana engkau bertemu dengan seorang perempuan lalu memperkosanya? Berkata benarlah anakku, kalau tidak engkau akan binasa."

Abu Syahamah mendengar kenyataan ayahnya itu dengan perasaan malu sambil diam membisu. Dengan perlahan beliau membuat pengakuan: "Memang benar aku lakukan hal itu, tapi aku telah menyesal di atas perbuatanku itu."

Sayyidina Umar menegaskan: "Tiada guna bagimu menyesal setelah berbuat suatu kerugian. Sesungguhnya engkau adalah anak Amirul Mukminin tiada seorang pun yang berkuasa mengambil tindakan ke atas dirimu, tetapi engkau telah memalukan aku di hadapan sahabat Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam."

Kemudian Sayyidina Umar memegang tangan Abu Syahamah lalu membawa ke tempat para sahabat yang sudah sekian lama menunggu.

"Mengapa ayahanda melakukan ini?" Tanya Abu Syahamah.

"Kerana aku mau tunaikan hak Allah semasa di dunia supaya aku dapat lepas daripada dituntut di akhirat kelak," jawab Sayyidina Umar bin Khattab ra. dengan tegas.

Abu Syahamah dengan cemas merayu: "Wahai ayahandaku, aku mohon dengan nama Allah, tunaikanlah hak Allah itu di tempat ini, jangan malukan aku di hadapan sahabat Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam."

Jawab Sayyidina Umar: "Engkau telah membuat malu dirimu sendiri dan engkau telah menjatuhkan nama baik ayahmu."

Ketika sampai di hadapan para sahabat mereka pun bertanya: "Siapakah di belakangmu wahai Amirul Mukminin?" Jawab Sayyidina Umar: "Wahai sahabatku, sesungguhnya di belakang aku ini adalah anakku sendiri dan dia telah mengaku segala perbuatannya, benarlah perempuan yang menyampaikan khabar tadi."

Kemudian Sayyidina Umar memerintah budaknya (hambanya): "Wahai Muflih, pukullah anakku Abu Syahamah, pukulah dia dengan rotan dia sehingga dia merasa sakit, jangan kasihani dia, setelah itu kamu aku merdekakan kerana Allah."

Muflih agak keberatan untuk melakukannya kerana khuatir tindakannya itu akan memberi mudharat kepada Abu Syahamah, tetapi terpaksa mengalah apabila diperintah oleh Sayyidina Umar. Tatkala dia memukul Abu Syahamah sebanyak sepuluh kali, kedengaranlah Abu Syahamah dalam kesakitan: "Wahai ayahandaku, rasanya seperti api yang menyala pada jasadku."

Jawab Sayyidina Umar: "Wahai anakku, jasad ayahmu ini terasa lebih panas dari jasadmu."

Kemudian Sayyidina Umar memerintah Muflih memukul sebanyak sepuluh rotan lagi. Berkata Abu Syahamah: "Wahai ayahandaku, tinggalkanlah aku supaya aku dapat mengambil sedikit kesenangan."

Jawab sayyidina Umar: "Seandainya ahli neraka dapat menuntut kesenangan, maka aku pasti akan berikan kepadamu kesenangan."

Setelah itu Sayyidina Umar menyuruh Muflih memukul Abu Syahamah sebanyak sepuluh rotan lagi. Abu Syahamah merayu: "Wahai ayahandaku aku mohon kepadamu dengan nama Allah, tinggalkanlah aku supaya aku dapat bertaubat."

Jawab Sayyidina Umar dengan pilu: "Wahai anakandaku, apabila selesai aku menjalankan hak Allah, jika engkau hendak bertaubat pun maka bertaubatlah dan jika engkau hendak melakukan dosa itu lagi pun maka lakukanlah dan engkau akan dipukul seperti ini lagi."

Selanjutnya Sayyidina Umar menyuruh Muflih memukul Abu Syahamah sebanyak sepuluh kali lagi.

Abu Syahamah terus merayu: "Wahai ayahandaku, dengan nama Allah aku mohon kepadamu berilah aku minum seteguk air."

Sayyidina Umar menjawab dengan tegas: "Wahai anakandaku, seandainya ahli neraka dapat meminta air untuk diminum, maka aku akan berikan padamu air minum."

Perintah Sayyidina Umar diteruskan dengan meminta Muflih memukul lagi sebanyak sepuluh rotan. Abu Syahamah mohon dia dikasihani: "Wahai ayahandaku, dengan nama Allah aku mohon kepadamu kasihanilah aku." Sayyid

ina Umar dengan sayu menjawab: "Wahai anakandaku, kalau aku kasihankan kamu di dunia, maka engkau tidak akan dikasihani di akhirat."

Sayyidina Umar selanjutnya memerintahkan Muflih memukul lagi sebanyak sepuluh kali sabetan. Abu Syahamah dengan nada yang lemah berkata: "Wahai ayahandaku, tak kasihankah ayahanda melihat keadaan aku begini sebelum aku mati?"

Sayyidina Umar menjawab: "Wahai anakandaku, aku akan heran kepadamu sekiranya engkau masih hidup dan jika engkau mati kita akan berjumpa di akhirat nanti." Sayyidina Umar terus memerintahkan Muflih memukul lagi sebanyak sepuluh rotan. Dalam keadan semakin lemah Abu Syahamah berkata; "Wahai ayahandaku, rasanya seperti sudah sampai ajalku....."

Sayyidina Umar dengan perasaan sedih berkata: "Wahai anakandaku, jika engkau bertemu Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, sampaikan salamku kepadanya, katakan bahawa ayahandamu memukul dirimu sehingga kau mati."

Di saat yang semakin hiba ini Sayyidina Umar terus menyuruh Abu Muflih memukul lagi sebanyak sepuluh kali rotan. Setelah itu Abu Syahamah dengan kudrat yang semakin lemah berusaha memohon simpati kepada para hadirin: "Wahai sekalian sahabat Rasulullah, mengapa kamu tidak meminta pada ayahandaku supaya memaafkan aku saja?"

Kemudian salah seorang sahabat pun menghampiri Sayyidina Umar dan berkata: "Wahai Amirul Mukminin, hentikanlah pukulan atas anakmu itu dan kasihanilah dia." Sayyidina Umar dengan tegas berkata: "Wahai sekalian sahabat Rasulullah, apakah kamu tidak membaca ayat Allah dalam surah an-Nuur ayat 2 yang tafsirnya: "Jangan kamu dipengaruhi kasihan belas pada keduanya dalam menjalankan hukum Allah." Mendengar penjelasan Sayyidina Umar itu, sahabat Rasulullah pun diam tidak membantah, sementara itu Sayyidina Umar terus memerintah Muflih memukul sepuluh sebatan lagi. Akhirnya Abu Syahamah mengangkat kepala dan mengucapkan salam dengan suara yang sangat kuat sebagai salam perpisahan yang tidak akan berjumpa lagi sehingga hari kiamat.

Kemudian berkata Sayyidina Umar: "Wahai Muflih, pukullah lagi sebagai menunaikan hak Allah." Muflih pun meneruskan pukulan untuk ke seratus kalinya.

"Wahai Muflih, cukuplah pukulanmu itu," perintah Sayyidina Umar apabila melihat anaknya tidak bergerak lagi. Setelah itu Sayyidina Umar mengisytiharkan: "Wahai sekalian umat Islam, bahawasanya anakku Abu Syahamah telah pergi menemui Allah." Mendengar pengumuman itu ramailah umat Islam datang ke masjid sehingga masjid menjadi sesak. Ada di antara mereka sedih dan terharu, malah ramai yang menangis melihat peristiwa tersebut.

Menurut sumber lain, daripada Kitab Sirah Umar bin al-Khattab al-Khalifatul Rasyid umumnya masyarakat berpendapat kematian Abu Syahamah adalah disebabkan oleh pukulan rotan ayahnya sendiri Sayyidina Umar Radhiallah 'Anhu. Setelah selesai jenazah Abu Syahamah dikebumikan, pada malamnya Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma bermimpi bertemu dengan Rasulullah Sallalllahu 'Alaihi Wasallam yang wajah baginda seperti bulan purnama, berpakaian putih dan Abu Syahamah duduk di hadapan baginda dengan berpakaian hijau. Setelah itu Rasululah Sallallahu 'Alaihi Wasallam berkata: "Wahai anak bapa saudaraku, sampaikan salamku pada Umar dan beritahu kerpadanya bahawa Allah telah membalas setiap kebajikannya kerana tidak menyepelekan hak Allah dan suatu kebahagiaan baginya sebab Allah telah menyediakan baginya beberapa mahligai dan beberapa bilik di dalam Jannatun Na'im. Bahawa sesungguhnya Abu Syahamah telah sampai pada tingkatan orang-orang yang benar di sisi Allah Yang Maha Kuasa.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
MAAF gangu Bentar, Minta Tolong PLUSnya Untuk Blog ini, sebelum beranjak pergi



Sumber: http://ruangfana.blogspot.com/2012/09/kisah-mengharukan-sayyidana-umar-bin.


Sayyid Abdul Qadir dilahirkan di Naif, di kawasan daerah Jailan, Persia. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 470 H, kurang lebih bertepatan dengan tahun 1077. Ayahnya bernama Abi Shalih Abd Allah Janki Dusti, seorang yang taat kepada Allah dan mempunyai garis keturunan dengan Hasan RA. Ibunya adalah Umm al-Khayr Fatimah binti Abi Abd Allah al-Sawma’i yangbergaris keturunan dengan Husain RA.

Tidak mengherankan jika bayi calon sufi ini sejak lahir sudah memiliki keunikan tersendiri. Menurut penuturan ibunya, bayi Abdul Qadir selama bulan suci Ramadhan tidak pernah menyusu pada siang hari. Ia baru menyusu bila waktu maghrib telah tiba. Tumbuh dan menetap di kota kelahirannya hingga berusia delapan belas tahun, ia kemudian menimba ilmu di Baghdad dan menetap di kota ini hingga wafat. Selanjutnya Jailan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nama atau jati diri tokoh sufi ini, yakni Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani.

Pendidikan agama yang pertama digoreskan pada diri syaikh sufi ini adalah kecintaan pada Al-Qur’an. Belajar membaca Al-Qur’an dan mendalami kandungannya pada Abu al-Wafa Ali ibn Aqli dan Abu al-Khattab Mahfuz al-Kalwadzani. Kedua ulama ini berasal dari kalangan Mazhab Hambali.

Syaikh Abdul Qadir mempelajari hadits Nabi dari beberapa ulama hadits terkenal pada zamannya. Salah satunya adalah Abu Ghalib Muhammad ibn al-Hasan al-Balaqalani. Adapun pendalaman ilmu fiqihnya dilakukan pada ulama fiqih Mazhab Hambali, seperti Abu Sa’d al-Mukharrami. Sedangkan bidang bahasa dan sastra dipelajari dari Abu Zakarya ibn Ali al-Tibrizi. Sementara itu, di bidang tasawuf diambilnya dari Hammad al-Dabbas.

Syaikh mulai memimpin majelis ilmu di Madrasah Abu Sa’d al-Mukharrami di Baghdad sejak Syawal 521 H. Sejak itu namanya harum sebagai seorang sufi yang zuhud. Majelis yang diselenggarakan di madrasah ini penuh sesak dengan pengunjung yang haus mencari ilmu dan pencerahan ruhani. Madrasah itu pun diperluas, namun tetap tidak dapat menampung hadirin. Akhirnya majelis atau forum ilmiah itu diadakan di beberapa masjid di luar kota Baghdad. Setiap Syaikh datang memberikan nasihat, yang hadir bisa mencapai tujuh puluh ribu orang. Syaikh menjadi sufi yang menyejukkan umat dan menjadi sumber mata air ruhani yang terus memancarkan kehidupan batin.

Murid-murid Syaikh dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan. Pertama, mereka yang hanya datang untuk mengikuti forum pengajian yang dibimbingnya. Golongan ini tidak terusmenerus hidup bersama Syaikh. Kedua, mereka yang hidup bersama Syaikh dalam waktu yang cukup lama. Golongan ini menjalani kehidupan intelektual dan keruhanian di bawah bimbingan Syaikh.


Syaikh mendapat beberapa gelar kehormatan. Pertama, di belakang namanya sering dilengkapi dengan sebutan Muhyl al-Din wa al-Sunnah. Sebutan ini secara bahasa berarti tokoh yang menghidupkan agama dan Sunnah Nabi. Melekat dengan gelar tersebut beliau juga mendapat gelar kehormatan Mumit al-Bid’ah, yakni tokoh yang gigih menghapuskan bid’ah atau penyimpangan di dalam agama dari berbagai perbuatan yang tidak sejalan dengan Sunnah Nabi.

Syaikh mendapat gelar kehormatan al-Imam al-Zahid, pemimpin yang bersikap zuhud dalam kehidupan dunia. Gelar ini mencerminkan reputasinya sebagai tokoh sufi yang memandang dunia dan kehidupan ini sebagai modal untuk meningkatkan kualitas ruhani, meraih nilai keabadian, dan mendapatkan kehidupan ukhrawi. Dunia bukan tujuan pokok dalam hidup, bukan ujung dalam perjalanan dan bukan pula segalanya. Syaikh berkata, “layanilah Tuhanmu dengan sepenuh hati, dunia akan melayanimu.”

Syaikh sering dipanggil dengan gelar kehormatan al-Arif al-Qudwah. Secara bahasa gelar ini berarti seorang yang patut menjadi teladan. Gelar ini mencerminkan tingkat kesufian Syaikh yang sudah mencapai maqam Arif bi Allah, yakni posisi sangat mengenal Tuhannya. Syaikh juga mendapatkan gelar kehormatan Sultan al-Awliya’, pemimpin para wali.

Sebelum tahun 521 H, atau sebelum beliau berusia 51 tahun, beliau belum menampakkan dirinya kepada khalayak ramai dan tidak perpikir untuk menikah, karena menurutnya berkeluarga akan menghambat seseorang dalam perjalanan menuju Allah. Setelah berusia 51 tahun beliau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW menikah dengan empat orang wanita yang baik dan taat kepadanya. Dari perkawinan tersebut beliau dikaruniai anak sebanyak empat puluh sembilan orang; laki-laki sebanyak dua puluh tujuh dan lainnya wanita.

Empat orang putranya menjadi orang-orang yang terkenal karena pelajaran dan ilmunya. Mereka itu adalah: Syaikh Abdul Wahhab, putra sulung. Ia mempunyai ilmu yang luas dan dalam. Ia diberi kewenangan menjaga madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Setelah ayahnya wafat, dialah yang memberikan ajaran dan fatwa tentang syariat Islam. Ia memegang suatu jabatan di dalam negara dan menjadi seorang yang sangat terkenal. Putra berikutnya adalah Syaikh Isa, seorang guru hadits dan ahli fiqih yang agung. Ia adalah seorang pengarang puisi dan juru penerang yang baik, di samping seorang penulis buku-buku sufisme. Ia tinggal dan wafat di Mesir. Berikutnya, Syaikh Abdul Razzaq, seorang alim dan hafizh hadist. Seperti halnya ayahnya, ia juga terkenal dengan kejujuran dan kebenaran serta di dalam kesufian dan popularitasnya di Baghdad.

Keempat adalah Syaikh Musa, seorang alim ulama yang ulung. Ia pindah ke Damaskus dan meninggal dunia di sana. Melalui Syaikh Isa, tujuh puluh ajaran ayahnya dalam buku Futuhul Ghaib sampai kepada kita. Sedangkan Abdul Wahab adalah sumber dua ajaran terakhir dalam buku itu. Ia hadir ketika ayahnya terbaring sakit, sebelum kembali ke Rahmatullah.

Adapun Syaikh Musa, ada dinyatakan di akhir buku itu, di dalam ajaran ketujuhpuluh sembilan dan kedelapan puluh. Dalam dua ajaran terakhir, ada disebutkan dua putranya yang hadir ketika ayahnya akan berpulang, yaitu Abdul Razzaq (nomor tiga) dan Abdul Aziz.

Setelah Wali Allah ini tutup usia pada 10 Rabiul Akhir 561 H dalam usia 91 tahun, anak-anak dan murid-muridnya mendirikan suatu organisasi yang bertujuan menanamkan ruh ke-Islaman yang sejati dan membetulkan ajaran-ajaran Islam di tengahtengah umat manusia. Organisasi ini disebut ‘Thariqah Qadiriyyah’, yang hingga hari ini terkenal dengan keteguhannya di dalam memegang syariat Islam. Thariqah inipun telah memberikan andil yang besar kepada Islam. Ada tiga ajaran dan nasehatnya yang terkenal di seluruh dunia, yang paling agung adalah Futuhul Ghaib, yang kedua Fathul Rabbani, yaitu kumpulan enam puluh delapan ajaran yang disusun pada 545-546 H. Sedangkan, yang ketiga adalah qashidah atau puisi yang menceritakan peranan dan keberadaan Aulia Allah, yang menurut istilah sufisme dinamakan Qasidatul Ghautsiyyah.

Sumber: • Syaikh Abdul Qadir Jailani, Kunci Tasawuf Menyingkap Rahasia Kegaiban Hati (Terjemahan dari buku asli Futuhul Ghaib), Penerbit Husaini, Bandung (1985) ; • Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Penerbit Angkasa, Bandung (2008)

HAM Pancasila: Jalan Tengah antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Sosial

HAM Pancasila: Jalan Tengah antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Sosial   I. Pendahuluan: Mengontekstualisasikan Hak Asasi Manusia di Indones...