Rabu

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 14

Serat Darmagandhul 14

Pembaca: 1804
Kyai Kalamwadi meneruskan penuturannya : “Adapun menurut guruku Rahaden Budi Sukardi adalah seperti ini : Ibadah yang bisa diterima oleh Allah harus bersandarkan Dharudhemble. Kata DHAR maksudnya WUDHAR (TERURAI), RU maksudnya RUWET lan RUNGSIT (KUSUT dan MISTERIUS). Sedangkan DHEMBLE maksudnya DHEMBEL DADI SIJI (MENGUMPUL JADI SATU).Jikalau sudah menyadari kesatuan hukum, syari’at, thariqah, haqiqat dan ma’rifat, disanalah pepujian tanpa ucapan berlaku. Sarak (Syar’i : Hukum/Aturan) adalah syarat untuk hidup dimasyarakat, disana terletak aturan untuk tidak melakukan, apa yang harus dilakukan, bagaimana berusaha yang benar dan bagaimana memperoleh penghidupan yang benar. Syari’at itu lebih meningkat lagi, sebuah aturan untuk diri sendiri dan orang lain yang sudah menyentuh peningkatan kesadaran (saringane kawruh agal alus : alat penyaring segala hal yang bersifat kasar [badani] dan halus [rohani] ), Thariqat adalah sarana untuk menimbang hal yang benar dan salah serta sudah betul-betul dijalankan dalam pola perilaku sehari-hari, Haqiqat adalah keadaan manakala kita sudah menyadari wujud ini semua adalah atas kehendak Allah. Segalanya yang menggerakkan Kesadaran hanya Allah. Tingkatan Haqiqat adalah tingkatan seseorang yang sudah menyadari dan tidak khilaf bahwa semua ini hanya wujud Allah. Jikalau dirimu sudah memahami makna DHARUDHEMBLE, pasti akan puas dengan kesadaran yang bakal kamu dapatkan. Sudah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran sekaligus. Sembahmu bagaikan besi yang dibakar didalam bara api, setelah membara akan hancur dengan api dan menyatu. Yang Di sembah dan yang menyembah sudah manunggal dan menyatu, DHEMBLE (KUMPUL) menjadi satu. Jikalau dirimu sudah bisa memahami makna apa yang aku ucapkan, pasti segera kamu akan ber-munajad. Bagaikan orang yang mengincar burung dengan sumpit, jika tak tahu letaknya burung ada dimana, jelas tidak akan kena sasaran. Saat melepaskan sumpitan hanya ngawur belaka. Pengetahuan manusia yang cerdas tidak sulit dikenali, semua itu keluar dari otak. “(Maksudnya, pengetahuan rasional tidak sulit dipelajari, karena itu hasil oleh pikir. Tapi pengetahuan rohani, susah untuk dikenali, hanya bisa dijalani. : Damar Shashangka)
Darmagandhul berkata, mohon untuk dijelaskan tentang hal Nabi Adam dan Ibu Hawa yang telah dikutuk oleh Tuhan disebabkan karena memakan buah pohon Pengetahuan yang ditanam ditengah taman Firdaus. Ada juga kitab yang menerangkan, yang dimakan Nabi Adam dan Ibu Hawa adalah buah Khuldi, yang ditanam di Surga. Oleh karenanya mohon dijelaskan, jikalau menurut orang Jawa bagaimana, mengapa  yang mencatat hanya Kitab dari ‘Arab (Al-Qur’an) dan Kitab orang Srani (Orang Srani : Nashrani).

Kyai Kalamwadi lantas menjelaskan. Didalam kitab Jawa tidak diceritakan hal yang sedemikian itu. Kitab sejarah Jawa yang menghubungkan manusia Jawa keturunan Adam, hanya Kitab Manik Maya saja.

Kyai Kalamwadi lantas melanjutkan : “Setelah kitab-kitab agama Buda banyak yang dibakar dikarenakan takut menjadi penghalang perkembangan agama Rasul (Islam). Bahkan kitab-kitab yang disimpan oleh beberapa orang secara sembunyi-sembunyi, juga dipaksa untuk diambil dan dibakar. Hal itu terjadi setelah runtuhnya Majapahit. Siapa yang tidak mau memeluk agama Islam boleh dijarah harta bendanya, oleh karenanya banyak manusia Jawa yang ketakutan atas kebijakan Raja yang demikian ini. Sedangkan mereka yang mau memeluk Islam, kebanyakan diberi hadiah pangkat atau tanah bahkan ada juga yang dibebaskan dari pajak. Oleh karenanya masyarakat Majapahit banyak yang memeluk agama Islam, selaik takut juga karena tergiur iming-iming hadiah. Pada saat itu Sunan Kalijaga berinisiatif, kearifan leluhur agar jangan sampai terputus, lantas menciptakan kreasi wayang kulit, sebagai media pengganti catatan dalam kitab-kitab kuno yang sudah banyak dibakar. Pada saat jaman Mataram, banyak Raja-Raja-nya yang membuat cerita sejarah leluhur Jawa. Kitab-kitab yang selamat tersimpan, lantas dikumpulkan, walau sudah banyak yang rusak disana-sini. Seluruh masyarakat Mataram diperintahkan oleh Raja-Raja Mataram agar mengumpulkan kitab-kitab kuno yang mereka simpan. Namun ternyata banyak sejarah yang telah terputus dan tidak diketahui lagi. Semenjak jaman Kerajaan Gilingwesi hingga Mataram, banyak sudah yang tidak bisa diketahui lagi ceritanya. Buku-buku yang berasal dari Demak dan Pajang juga dikumpulkan. Tapi ternyata hanya didapati kitab-kitab bertuliskan huruf Arab , kitab Fiqh dan Taju Salatin. Semua terhenti pada cerita Surya Alam (Sultan Demak pertama). Raja Mataram mendapatkan kekecewaan karena keinginannya untuk menyusun sejarah leluhur Jawa menemui kesulitan mendapatkan sumber rujukan. Oleh karenanya, Raja Mataram lantas menitahkan para pujangga mengarang naskah Babad Tanah Jawa. Dikarenakan cerita yang diketahui hanya sebatas akhir Majapahit dan juga dikarenakan banyak para pujangga yang diperintahkan membuat, maka muncullah berbagai versi. (yang kebanyakan hanya berkisar seputar keruntuhan Majapahit hingga jaman Mataram). Sedangkan kisah sebelum Majapahit diambil dari kisah Lokapala (Jadi dihubungkan dengan cerita Mahabharata langsung). Dan hasilnya adalah sebagai berikut.”

Cucu Nabi Adam , yaitu putra Nabi Syits (Seth), bernama Sayyid Anwar. Sayyid Anwar mendapat marah dari ayah dan kakeknya dikarenakan telah bernai memakan buah pohon Budi (Kesadaran) yang tertanam di Surga. Keinginan Sayyid Anwar agar dirinya memiliki kuasa mirip dengan kuasa Tuhan. Bukan hanya terima memakan buah pohon Pengetahuan dan buah Khuldi semata, namun buah dari pohon Budi (Kesadaran) juga dimakannya. Sayyid Anwar lantas membuat Syari’at (aturan agama) sendiri, tidak mau memakai aturan yang dibuat oleh ayahnya maupun kakeknya. Oleh karenanya dia murtad dan menolak memakai agama leluhurnya. Serta tidak mau mengakui sebagai keturunan dari Nabi Adam dan Nabi Syits (Seth). Menurutnya, dirinya berwujud dengan sendirinya, hanya jasadnya saja yang berasal dari Adam dan Syits. Dirinya berasal dari Budi Hawa (Kesadaran dan Kehendak) Tuhan langsung. Pendapat yang demikian itu sangat dipegang teguh oleh Sayyid Anwar, alasan dia : Yang berasal dari kosong, kelak akan kembali kepada kekosongan tersebut. Oleh karenanya Sayyid Anwar lantas pergi dari kediamannya menuju ke timur, ke tanah Dewani. Disana lantas bertemu dengan Raja Jin Prabhu Nur Adi. Sayyid Anwar ditanya asal usulnya dan dia lantas menceritakan semuanya. Pada akhirnya Sayyid Anwar diambil menantu dan diberikan warisan tahta kerajaan, menjadi Raja Jin dengan gelar Prabhu Nur Cahya. Nama Dewani lantas diubah menjadi Jawa. Sudah terkenal diseluruh tempat, Raja Jawa memahami segala ilmu yang kasar hingga yang halus. Lantas Sang Prabhu (Nur Cahya) membuat sastra yang hanya berjumlah Dua Puluhsatu huruf, seluruh ucapan orang Jawa bisa diwakili oleh aksara ini. Aksara ini lantas diberi nama Satra Endra Prawata.  Kata Jawa lantas diartikan dari kata ngu-JA ha-WA (Menuruti Kehendak). Keinginan Sang Prabhu agar dirinya hingga seluruh keturunannya bisa menduduki tahta. Sang Prabhu mempunyai satu orang putra bernama Sang Hyang Nur Rasa. Juga menikahi seorang putri Jin. Memiliki satu orang putra bernama Sang Hyang Wenang.  Sang Hyang Wenang juga menikahi seorang putri Jin, juga memiliki satu orang putra bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal juga menikahi seorang putri Jin. Memiliki putra Sang Hyang Guru. Sang Hyang Guru merasa memiliki kuasa seperti Gusti Allah lantas membuat kerajaan diatas puncak Gunung Mahameru serta mengajarkan bahwa alas-usul kehidupan keluar dari BUDI HAWA NAFSU (KESADARAN dan KEHENDAK). Mengambil gelar sebagai Dewa dan beragama Buda Budi, menyembah kesaktiannya sendiri dan mengaku sebagai Gusti Allah. Kehendak yang demikian itu diijinkan oleh Yang Maha Kuasa, serta diijinkan untuk mengimbangi kuasa dari Yang Maha Kuasa sendiri. Dewa bisa dimaknai dua arti pertama bu-DI ha-WA (Kesadaran dan Kehendak) serta wa-DI da-WA (Rahasia Memanjang) dan menamai agamanya agama Buda. Sedangkan Dewi maksudnya : DE-ning W-ad-I-ning wadon iku bisa ngĂȘtokake ĂȘndhas bocah. (Melalui tempat rahasia seorang wanita bisa mengeluarkan kepala manusia).

Darmagandhul lantas diperintahkan untuk menimbang mana yang benar dan mana yang salah, memakan buah pohon Pengetahuan, atau memakan buah pohon Budi (Kesadaran) atau memakan buah pohon Khuldi?

Menurut Darmagandhul semua itu benar, mana yang disenangi harus di mantapkan dalam hati. Jika yang dimakan buah pohon Budi, maka menyebut Tuhan dengan nama Dewa. Jika yang dimakan buah pohon Pengetahuan, menyebut nama Kangjeng Nabi Isa, agamanya Srani (Nashrani). Jika yang dimakan buah pohon Khuldi, agamanya Islam. Memuji Nabi panutan, yaitu Kangjeng Nabi Rasul. Manakala menyukai daun Pengetahuan dan daun Budi, menyembah Pik-Kong, menuruti aturan agama Sisingbing dan Sicim. Semuanya sudah benar. Namun jika bisa, tiga macam buah tadi dimakan semua. Jika manusia tidak memakan ketiga-tiganya akan menjadi manusia bodoh. Hidupnya bagai batu, tidak memiliki tujuan serta tidak bisa membedakan baik dan buruk. Akan tetapi menurutku pribadi, manusia itu menuruti kondisi alam saja, jika Khalifah (Penguasa) memakan buah Budi, ikuti saja memakan buah Budi. Jika Khalifah (Penguasa) memakan buah Pengetahuan, ikuti saja memakan buah Pengetahuan. Jika Khalifah (Penguasa) memakan buah Khuldi, ikuti saja memakan buah Khuldi. Masalah benar atau salah, Khalifah juga yang bakal mempertangung jawabkannya. Sebab seorang Khalifah itu menjadi panutan banyak orang. Jika diibaratkan sebagai pohon, Khalifah seumpama batangnya. Jikalau ada bagian pohon yang tidak sesuai dengan batangnya,  ibarat ikan yang keluar dari dalam air. Jilalau buah tidak mau menempel pada pohon, akan terhampar tanpa tempat bersandar. Oleh karenanya, sebaiknya manusia mengikuti agama yang sudah diwariskan kepadanya. Seumpama salah, Gusti Allah pasti akan memberikan pengampunan-Nya. Darmagandhul lantas meminta kejelasan perbedaan antara agama Rasul dengan agama lainnya.

(Bersambung)
(11 November 2010, by Damar Shashangka)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 13

Serat Darmagandhul 13

Pembaca: 1468
Tersebutlah Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) yaitu Adipati Andayaningrat IV di Pengging dan Adipati Bathara Katong di Ponorogo, sudah mendengar bahwasanya negara Majapahit berhasil dijebol oleh Adipati Demak dengan cara berpura-pura hendak memperingati hari raya Islam di Ampel. Sang Prabhu beserta Raden Gugur konon berhasil meloloskan diri dari istana. Tidak diketahui kemana kepergiannya.. Kemarahan Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) tak terbendungkan lagi. Oleh karenanya, mereka masing-masing telah mengumpulkan kekuatan untuk menggempuir Demak. Berkehendak untuk berbakti kepada Ayahhanda Prabhu sekaligus hendak merebut tahta. Seluruh prajurid sudah siap sedia dengan persenjataan tempur lengkap, tinggal diberangkatkan. Akan tetapi, utusan Sang Prabhu Brawijaya datang. Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo), begitu selesai membaca isi surat, segera disembahnya surat tersebut dengan hati yang benar-benar teriris dan perih. Mereka hanya bisa menggeram marah dengan gigi bergemeretakan! Wajah mereka memerah bagai api! Hingga keluarlah ucapan sumpah dari mereka, bahwasanya semoga mereka tidak hidup lebih lama lagi agar tidak menanggung malu berkepanjangan.
Kedua Adipati tidak bersedia menghadap ke Demak. Dikarenakan sangat sedih hatinya, sehingga keduanya jatuh sakit. Tidak berapa lama kemudian mereka meninggal dunia. Menurut kabar berita, kematian Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) dikarenakan karena telah ditenung oleh Sunan Giri. Hal ini dilakukan agar kelak tidak menjadi penghalang dikemudian hari.
Kedua Adipati tidak bersedia menghadap ke Demak. Dikarenakan sangat sedih hatinya, sehingga keduanya jatuh sakit. Tidak berapa lama kemudian mereka meninggal dunia. Menurut kabar berita, kematian Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga (Ponorogo) dikarenakan karena telah ditenung oleh Sunan Giri. Hal ini dilakukan agar kelak tidak menjadi penghalang dikemudian hari.
Cerita kehancuran Majapahit sesungguhnya penuh dengan perlambang (simbolisme). Sungguh tidak masuk diakal sehat manakala negara sebesar itu, yang luas jajahannya hancur dikarenakan kekuatan-kekuatan mukjijat Wali. Simbolisme dibuat juga dikarenakan para pujangga malu menceritakan kejadian permusuhan antara anak melawan ayahnya sendiri. Beberapa perlambang (simbolisme) kehancuran Majapahit yang dibuat oleh para bijak adalah sebagai berikut :
  1. Dikartenakan kekeramatan para Wali, keris milik Sunan Giri manakala dihunus keluarlah berjuta-juta tawon yang menyengat prajurid Majapahit sehingga menimbulkan kekalahan.
  2. Badhong (penutup kemaluan) milik Sunan Cirebon (Sunan Gunungjati) manakala dikibaskan keluar beribu-ribu tikus yang memakan perbekalan serta makanan kuda prajurid Majapahit, sehingga menimbulkan bubarnya mereka karena melihat begitu banyaknya tikus.
  3. Peti yang dibawa dari Palembang (ceritanya konon diberikan oleh Adipati Arya Damar) manakala dibuka ditengah pertempuran keluar demit (mnakhluk halus)-nya. Prajurid Majapahit geger tewas karena diteluh oleh para demit (makhluk halus).
  4. Konon Sang Prabhu Brawijaya meninggal secara MEKRAD/MEKRAT (Wafat tanpa meninggalkan jasad di Gunung Lawu)
Kyai Kalamwadi selanjutnya menjelaskan beberpa simbolisme diatas kepada muridnya yang bernama Darmagandhul seperti dibawah ini :
Itu semua hanyalah cerita simbolik semata, sesungguhnya jatuhnya Majapahit ceritanya seperti yang sudah aku paparkan diatas. Nagara Majapahit itu bukanlah sebuah barang remeh temeh yang mudah dihancurkan dan dirusak, tidaklah mungkin hancur hanya karena dikeroyok sepasukan tikus. Yang masuk akal adalah, tawon bisa bubar manakala kayu-kayu tempat bersarang mereka dirusak oleh manusia. Para demit (makhluk halus) bisa pula bubar manakala hutan-hutan dijarah oleh manusia. Akan tetapi jika Majapahit bisa rusak hanya karena tawon, tikus dan demit (makhluk halus), siapa yang bisa percaya? Mereka yang mempercayainya berarti manusia yang pendek nalarnya, sebab cerita yang sedemikian itu tidaklah masuk diakal dan tidaklah sesuai dengan nalar manusia. Semua cerita itu hanya sekedar simbolis belaka. Jika diceritakan apa adanya berarti bisa membuka rahasia kehancuran Majapahit itu sendiri. Tetapi, sedikit dari simbol-simbil itu akan aku jelaskan disini.
Binatang yang bernama tikus itu berwatak suka memakan segala, jika dibiarkan saja lama-lama akan menjadi-jadi, maksudnya : para ulama pada jaman dahulu, pertama kali datang meminta perlindungan kepada sang Prabhu Majapahit, akan tetapi manakala sudah diberi perlindungan, balasannya malah merusak. Sedangkan tawon adalah binatang yang membawa madu yang manis, senjatanya ada dipantat, kediamannya ada dilobang pohon atau tempat bercelah yang tinggi, maksudnya : pertama kali datang dengan ucapan yang manis, akan tetapi ujung-ujungnya menyengat dari belakang, kediaman tawon diberi nama tala, bisa diartikan ‘MEN-TALA (TEGA)’ merusak Majapahit, siapapun yang mendengar hal ini akan keheranan.
Sedangkan demit (makhluk halus) yang berada didalam peti yang dibawa dari Palembang, setelah peti dibuka menimbulkan bunyi menggelegar, maksudnya : Palembang itu berarti bisa diartikan ‘MLEMBANG (GOYAH)’, dimana orang-orangnya gampang berpindah agama. Peti sendiri berarti tempat yang tertutup untuk menutupi benda yang samar, demit (makhluk halus)-pun berarti samar, rahasia, tersembunyi, demit juga cenderung suka meneluh. Maksudnya adalah sebagai berikut : Kehancuran Majapahit akibat diteluh dengan rapi dan tersembunyi, jelasnya saast hendak melakukan penyerangan tidak ada tersiar berita apapun, berpura-pura hendak mengadakan perayaan gerebeg maulid, mengejutkan kedatangannya. Prrajurid Majapahit tidak melakukan persiapan sama sekali, tahu-tahu Adipati Terung telah membantu Adipati Demak.
Tidak ada kerajaan besar semacam Majapahit yang kehancurannya hanya karena disengat oleh tawon serta diserang oleh tikus, apalagi bubarnya prajurid hanya karena diteluh oleh demit (makhluk halus) semata.
Kehancuran Majapahit menimbulkan suara menggelegar, hingga terdengar sampai kemana-mana. Terdengar jikalau hancur dikarenakan dijebol oleh putra sang Prabhu sendiri dengan dibantu oleh delapan Wali, semua berkhianat kepada sang Raja.
Dan lantas Kyai Kalamwadi menjelaskan : Menurut guruku Raden Budi Sukardi, sebelum Majapahit runtuh, burung bangau tidak ada yang berbulu kuncir dikepalanya. Manakala negara sudah berpindah ke Demak, keadaan berubah, muncul burung bangau dengan bulu kepala berkuncir.
Ini adalah sindiran dari Sang Maha Gaib bagi Prabhu Brawijaya, kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir (kerbau kumbang hatinya habis dikakan kutu-kutu babi hutan). Kerbau melambangkan Raja yang kaya raya, kumbang melambangkan suaranya hanya bisa berdengung saja, suara Prabhu Bnrawijaya menyaksikan kehancuran Majapahit dengan hati yang habis terkikis dan hanya bisa menggeram tak mampu berbuat apa-apa, tidak melakukan perlawanan. Sedangkan kutu babi hutan (tuma kinjir : kutu yang biasa menempel dibulu babi hutan : Damar Shashangka), TUMA (KUTU) artinya TUMAN (KETERLALUAN), CELENG (BABI HUTAN) artinya berada dibawah, menggambarkan manakala Raden Patah saat datang pertama kali ke Majapahit menghaturkan sembah bakti kepada ayahandanya, lantas diberikan kedudukan, mendapatkan hati dari Sang Prtabhu, akan tetapi pada akhirnya mengobarkan peperangan merebut tahta, tidak menimbang salah dan benar, membuat habis hati Sang Prabhu.
Sedangkan burung bangau yang berkuncir adalah sindiran bagi Sultan Demak yang telah menyia-nyiakan ayahanda Prabhu sendiri, mentang-mentang beliau beragama Buda totok kafir kufur, oleh karenanya Gusti Allah menyindir dengan munculnya burung bangau yang berkucir bulu kepalanya. Sindiran itu bermaksud, lihatlah leher belakangmu sendiri, ibumu sendiri berasal dari China, tidak sepatutnya berlaku sia-sia kepada orang lain bangsa. Sang Prabhu Jimbun itu memiliki benih dari tiga orang, yang pertama benih Jawa, tak lain benih dari Sang Prabhu Brawijaya, oleh karenanya Sang Prabhu Jimbun mempunyai kecenderungan ingin menjadi Raja yang berkuasa. Cenderung pada kekayaan karena mempunyai benih dari China, sedangkan cenderung berani tapi tanpa perasaan akibat mempunyai benih dari Sang Arya Damar, sebab Arya Damar ibunya adalah seorang raksasa (penganut ajaran Tantra Bhairawa : Damar Shashangka), suka menghisap darah, kelakuannya suka menyakiti. Oleh karenanya muncul burung bangau berkuncir itu semua atas kehendak Allah. Bukan hanya Sultan Demak saja yang disindir agar menyadari kesalahannya, akan tetapi seluruh para Wali yang lain juga disindir agar menyadari kesalahannya. Jikalau tidak juga segera menyadari kesalahan yang telah dibuat, akan menangung dosa lahir batin. Oleh karenanya sebutan Wali bagi orang Jawa juga bisa diartikan WALIKAN (BERBALIK), diberi kebaikan balasannya malah membalas dengan kejahatan.
Sedangkan adanya orang China datang ke Jawa itu dikarenakan, dahulu kala, saat para orang-orang bijak di Jawa belum begitu banyak pengetahuannya, saat mereka meninggal dunia, suksma mereka banyak yang terbawa angin dan lahir kembali di tanah China. Oleh karenanya lantas rindu untuk pulang kembali ke tanah Jawa. Dengan demikian, orang-orang China yang datang ke Jawa sesungguhnya dulu suksma mereka pernah hidup di Jawa.

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 12

Serat Darmagandhul 12

Pembaca: 1289

Terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Saat sore menjelang, sampailah di daerah Besuki. Sang Prabhu beserta rombongan bermalam disana. Keesokan paginya, bumbungan air dibuka lantas dicium, baunya malah semakin  bertambah wangi. Sang Prabhu melanjutkan perjalanan hingga matahari hampir tenggelam diufuk barat dan sampai didaerah Prabalingga (Probolinggo). Disana Sang Prabhu beserta rombongan bermalam, keesokan paginya air diperiksa kembali. Air tawar dalam bumbungan yang satu masih terasa segar untuk diminum, namun nampak berbusa. Dan busanya-pun berbau harum. Air tawar dalam bumbungan tersebut hanya tinggal sedikit, karena kerap  kali diminum disepanjang perjalanan. Akan tetapi bumbungan yang berisi air danau, manakala diperiksa airnya berubah berbau tidak enak sama sekali. Mendapati perubahan itu, air danau dalam bumbungan seketika langsung dibuang. Sang Prabhu lantas berkata kepasa Sunan Kalijaga : “Didaerah Prabalingga (Probolinggo) ini kelak akan dikenal dengan dua nama, yaitu Prabalingga (Probolinggo) dan Bangerwarih. Tempat ini kelak akan menjadi tempat berkumpulnya manusia-manusia yang suka mencari  ilmu kepintaran dan ilmu kebatinan. Kata Prabalingga bisa diartikan pula ‘PRABA-wane wong Jawa ka-LING-an prabawane tang-GA’ (Kharisma manusia-manusia Jawa terhalang oleh kharisma yang berasal dari tetangga diseberang).” Sang Prabhu beserta rombongan lantas melanjutkan perjalanannya. Tujuh hari kemudian telah sampai di Ampelgadhing (Ampeldhenta ~ Surabaya). Nyai Ageng Ampelgadhing segera menyambut kedatangan Sang Prabhu. Nyai Ampelgadhing lantas memberikan sembah bakti sembari meratapi segala hal yang telah terjadi.

Sang Prabhu lantas berkata : “Sudahlah jangan menangis, ngger (anakku), anggaplah semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Diriku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua hal yang telah terjadi sudah tertulis didalam Lokhilmakpul (Laukhil Makhfudz) sebelumnya. Keberuntungan dan celaka sungguh tidak bisa dihindari. Sudah kewajiban manusia untuk melakukan usaha.”

Nyi Ageng Ampel lantas menuturkan kepada Sang Prabhu tentang kelakuan Prabhu Jimbun seperti yang sudah diterangkan didepan. Sang Prabhu lantas memerintahkan agar memanggil Prabhu Jimbun. Nyi Ampel lantas mengirimkan utusan ke Demak sembari membawa surat undangan. Sesampainya di Demak, surat segera dihaturkan kepada Sang Prabhu Jimbun. Tidak menunggu waktu lama Prabhu Jimbun segera berangkat menghadap ke Ampel.

Tersebutlah putra Raja Majapahit, yang bernama Raden Bondhan Kajawan yang tinggal di Tarub. Dia mendengar kabar jikalau Majapahit telah dijebol oleh Adipati Demak. Sang Prabhu konon berhasil lolos dari dalam istanadan tidak diketahui lagi kemana perginya. (Raden Bondhan Kajawan) merasa tidak tenang hatinya, lantas berangkat ke Majapahit. Disepanjang perjalanan, Raden Bondhan Kajawan senantiasa bertanya dan mencari-cari kabar dimanakah kira-kira Prabhu Brawijaya sekarang berada. Sesampainya di Surabaya, mendapat berita bahwasanya ayahanda Prabhu tengah berada di Ampel, akan tetapi jatuh sakit. Raden Bondhan Kajawan lantas menghadap dan memberikan sembah baktinya.

Sang Prabhu bertanya : “Yang memberikan sembah ini siapa?”

Raden Bondhan Kajawan menjawab bahwasanya dirinyalah yang tengah menghadap.

Sang Prabhu lantas merangkul putranya. Sakit Sang Prabhu semakin parah, merasa kalau dirinya sudah dekat hendak berpulang ke jaman keabadian, Sang Prabhu berpesan kepada Sunan Kalijaga : “Sahid, mendekatlah kemari. Diriku sudah merasa hendak berpulang ke jaman keabadian. Tulislah surat untuk dikirimkan ke Penging dan Pranaraga (Ponorogo). Nanti akan aku bubuhkan tanda tangan disana. Tulislah bahwasanya agar mereka menerima kehancuran Majapahit, jangan saling berebut tahta, semua ini sudah menjadi kehendak Yang Maha Suci. Jangan saling memerangi, hanya akan membuat kerusakan semata. Sayangkanlah kerusakan dan kerugian yang akan diderita oleh para pengikut. Menghadaplah ke Demak. Sepeninggalku, agar supaya rukun dengan saudara. Siapa saja yang memulai membuat kejahatan, aku benar-benar memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar kalah perangnya!”
Sunan Kalijaga lantas menulis surat seperti yang diperintahkan, setelah surat selesai ditulis, kemudian diberi tanda tangan oleh Sang Prabhu. Surat dikirimkan ke Pengging dan Pranaraga (Ponorogo).

Sang Prabhu lantas berkata : “Sahid, sepeninggalku dirimu harus bisa momong anak cucuku. Terutama aku titipkan anak ini. Momonglah hingga seluruh keturunannya. Jika memang nanti ada keberuntungan bagi dirinya, kelak anak inilah yang akan menurunkan ‘LAJERE TANAH JAWA’ (Tokoh-tokoh kuat di Tanah Jawa sesudah Majapahit). Dan lagi pesanku kepada kamu, jikalau nanti aku sudah berpulang ke jaman keabadian, makamkan aku di Majapahit, buatkanlah aku makam di sebelah utara timur kolam segaran. Namailah makamku Sastrawulan. Dan sebarkanlah berita bahwasanya yang dimakamkan disitu adalah istriku Putri Champa. Pesanku lagi, bagi keturunanku kelak jangan sampai menikahi orang berbeda bangsa, dan juga jangan mempercayakan jabatan senopati kepada lain bangsa.”

Sunan Kalijaga setelah mendapatkan pesan semacam itu lantas bertanya : “Apakah Sang Prabhu tidak memberikan restu kepada putra paduka Prabhu Jimbun untuk bertahta sebagai Raja ditanah Jawa ini?”

Sang Prabhu menjawab : “Aku memberikan restu, akan tetapi restuku hanya berhenti sampai pada keturunannya yang ketiga!”

Sunan Kalijaga meminta penjelasan mengapakah makam sang Prabhu kelak harus diberinama Sastrawulan.

Sang Prabhu menjawab : “Sastra maksudnya adalah Tulisan, Wulan artinya pelita dunia, ini melambangkan keutamaanku hanya seperti cahaya bulan (tidak stabil seperti matahari). Jikalau masih ada cahaya bulan, kelak, biar semua orang Jawa tahu bahwa saat aku meningal dunia, diriku telah memeluk agama Islam. Dan aku meminta padamu agar kelak dikabarkan bahwa yang dimakamkan disana adalah Putri Champa, bukan diriku, sebab diriku telah dianggap bagaikan seorang wanita (disepelekan) oleh si Patah, tidak lagi dianggap sebagai seorang lelaki, hingga sedemikian teganya Patah menyia-nyiakan ayahandanya sendiri. Diriku hanya memberikan restu kepada Raja Demak hanya sampai keturunan ketiga, sebab Patah berasal dari tiga benih, yaitu Jawa (Sang Prabhu Brawijaya), China (ibu Raden Patah Eng Kian) dan Raksasa (Adipati Arya Damar ~ Adipati Arya Damar adalah keturunan Ni Endang Sasmitapura, penganut ajaran Tantra Bhairawa yang dalam ritualnya menyertakan memakan daging mayat dan meminum darah manusia, sehingga disebut Raksasa : Damar Shashangka), oleh karenanya tega kepada ayahnya sendiri serta kotor tingkah lakunya. Pesanku, jangan sampai keturunanku mendapatkan jodoh lain bangsa, sebab dengan menikahi bangsa lain, disetiap kesempatan pastinya sedikit demi sedikit akan memberikan pengaruh dan menggoyahkan keyakinan yang sudah dipegangnya, hal ini akan menciptakan kesengsaraan hidup. Dan pesanku yang terakhir agar jangan sampai mempercayakan jabatan senopati kepada lain bangsa, sebab pastinya kurang kesetiaannya kepada Raja. Dikala tengah menghadapi pertempuran, pasti akan terbagi kesetiaannya. Sudahlah Sahid, semua pesanku tulislah!”

Selesai memberikan wasiat, Sang Prabhu segera bersendekap, dan meninggal dunia. Jenasahnya lantas dimakamkan di Astana Sastrawulan, Majapahit. Hingga hari ini, terkenal bahwasanya yang dimakamkan disana adalah Putri Champa, padahal sesungguhnya Putri Champa wafat di Tuban, makamnya berada di Karang Kumuning.

Tiga hari kemudian, Sang Sultan Bintara baru hadir ke Ampelgadhing serta bertemu dengan Nyai Ageng.
Nyai Ageng berkata :”Sudah menjadi nasibmu Prabhu Jimbun, dirimu tidak bisa melihat detik-detik terakhir ayahandamu meninggal sehingga tidak sempat memberikan sembah bakti serta meminta restu untuk bertahta sebagai Raja. Dirimu juga tidak sempat memohon maaf atas segala kesalahan yang telah kamu lakukan.”
Prabhu Jimbun mengatakan kepada Nyai Ageng, dirinya sudah pasrah kepada nasib, semua sudah terjadi dan semua harus dijalani.
Sultan Demak berada di Ampel selama tiga hari lantas pulang.


(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 11

Serat Darmagandhul 11

Pembaca: 1422

Tersebut dalam Serat Tapak Hyang, yang juga disebut dengan Sastrajendrayuningrat, Serat yang tercipta dari Sabda Kun (maksudnya berasal dari wahyu juga), yang dinamakan JITHOK (KUDUK MANUSIA) sesungguhnya bermakna pu-JI THOK (Hanya Pujian semata). Dewa Yang Agung, yang telah menciptakan cahaya menyala yang menyelimuti sekujur tubuh manusia sesungguhnya ada dekat, sedekat dengan kuduk manusia. (Kuduk manusia sangat dekat, namun sulit manusia melihat kuduknya sendiri kalau tidak bercermin). JILING (KENING) sesungguhnya bermakna pu-JI e-LING (Memuji dan Ingat) kepada Gusti. PUNUK (BAHU) sesungguhnya bermakna PANAKNA (TEMPATKANLAH ~ maksudnya Tempatkanlah Kesadaran kamu pada posisi yang sesungguhnya). TIMBANGAN (TULANG BAHU YANG MENONJOL) sesungguhnya bermakna SALANG (Terhubung ~ maksudnya Terhubung dengan Gusti). PUNDHAK (PUNDAK) sesungguhnya bermakna PANDUK (Mencari), hidup dialam dunia ini hanya mencari dua hal, Buah Pengetahuan dan Buah Kuldi (Keduniawian), jika mendapatkan banyak Buah Kuldi, hasilnya akan gemuk, jika mendapatkan Buah Pengetahuan yang banyak, bisa dibuat bekal untuk hidup, HIDUP YANG KEKAL ABADI YANG TIDAK TERKENA MATI. TEPAK (DADA) sesungguhnya bermakna TEPA TAPANIRA (Tetapkan Tapa-mu). WALIKAT (BELIKAT) sesungguhnya bermakna WALIKANE GESANG (Dibalik Hidup). ULA-ULA (TULANG BELAKANG MANUSIA) sesungguhnya bermakna ULATANA (Perhatikanlah dengan seksama), amatilah punggungmu dengan seksama (maksudnya amatilah sesuatu yang dekat denganmu tapi sulit untuk dilihat secara langsung seperti halnya punggung kita). SUNGSUM (SUMSUM TULANG) sesungguhnya bermakna SUNGSUNGEN (Persembahkanlah ~ maksudnya, Persembahkanlah kehidupanmu bagi Gusti ). LAMBUNG sesungguhnya bermakna, Dewa Yang Maha Agung yang menciptakan alam ini secara bersambungan, bersambungan antara INGAT-LUPA, HIDUP-MATI (maksudnya Rwabhineda atau Dualitas duniawi). LEMPENG (BAGIAN PINGGIR PERUT) kiri dan kanan, maksudnya Kuatkan tekad dan  LEMPENG (LURUS)-kanlah tekadmu lahir batin, luruskanlah  agar bisa membedakan mana benar dan mana salah, mana baik dan mana buruk. MATA maksudnya lihatlah semuanya ini dengan kesatuan batin yang utuh, lihatlah kiblat yang benar, banyak kiblat namun yang benar hanyalah satu saja. TENGEN (KANAN) maksudnya TENGENEN (Benar-benar utamakan) hingga jelas dan terang, bahwasanya didunia ini hanya sekedar memakai Raga fana semata, Raga yang tidak susah-susah membuat sendiri dan tidak juga beli. KIWA (KIRI) maksudnya Raga ini berisi HAWA keinginan, dan sulit untuk dimatikan segala keinginan tersebut. Begitulah apa yang tertulis dalam Serat.
Manakala paduka meragukan siapakah yang membuat Raga? Siapakah yang telah memberikan nama? Sesungguhnya tak lain hanya Lata wal Huzza (sekali lagi Sabda Palon memakai istilah Tuhan dengan nama Latta wal Huzza). Manakala paduka tetap meragukan, jelas paduka bisa disebut kafir, kapiran (sia-sia) kelak jika paduka meninggal. Tidak mempercayai tulisan Gusti (yang ada didalam tubuh paduka sendiri), serta telah murtad kepada para leluhur Jawa semua. Kelak saat mati, Roh paduka akan menempel pada besi (pusaka), kayu, batu, menjadi demit yang menjaga tanah. Itu akan terjadi jika paduka tidak bisa membaca serat/wahyu yang ada didalam tubuh paduka sendiri, jelas kelak jika meninggal akan menjelma/lahir kembali menjadi kuwuk (binatang laut). Akan tetapi jika mampu membaca sastra yang tertulis didalam tubuh paduka, berasalnya manusia akan lahir kembali menjadi manusia. (Sungguh kelahiran kembali ini juga diceritakan dalam ajaran Timur Tengah), salah satu contohnya konon dulu saat Kangjeng Nabi Musa hidup, ada orang yang telah meninggal dan telah berada didalam kuburan, bisa hidup kembali, hidupnya bahkan bisa berganti menjadi Roh yang murni, bahkan bisa mencapai kedudukan (evolusi jiwa) yang baru.

Jika paduka memeluk agama Islam, seluruh masyarakat Jawa pasti akan ikut memeluk agama Islam semua. Kalau hamba ini, Badan Kasar berikut Badan Halus hamba sudah hamba gengam dan hamba kuasai, sudah mampu hamba jadikan satu, tak ada beda mana yang disebut dalam dan mana yang disebut luar lagi. Jadi hanya sesuai dengan keinginan hamba semata, menghilang dalam wujud gaib (berbadan halus) maupun mewujud (berbadan kasar seperti sekarang) bisa hamba lakukan seketika dan kapanpun juga. Jika hamba tengah berkeinginan mewujud, inilah wujud yang hamba pilih. Jikalau hamba berkeinginan untuk berwujud gaib, bisa terjadi seketika, jikalau hamba berkeinginan untuk berwujud wadag, bisa terlihat seketika juga. Raga hamba ini sudah bersifat Illahi, seluruh Raga hamba ini satu persatu memiliki nama sendiri-sendiri. Silakan ditunjuk, mana yang disebut Sabda Palon, sudah hamba halangi dengan wujud ragawi. Begitu mewujudnya hingga tidak bisa diketahui lagi mana sesungguhnya Sabda Palon. Hanya nama yang bisa dikenali. Sabda Palon sesungguhnya tidak tua juga tidak muda, tidak mati juga tidak hidup, hidupnya meliputi matinya dan matinya meliputi hidupnya, abadi selama-lamanya.”

Sang Prabhu bertanya :”Dimanakah Tuhan Yang Sejati?”

Sabda Palon menjawab: “Tiada jauh juga tiada dekat, paduka adalah perwujudan-Nya, dinyatakan telah menyatu, Budi (Kesadaran), Hawa (Keinginan) dan Badan (Jasad Fisik), ketiganya adalah sarana-Nya mewujud. Tiada terpisah, akan tetapi tidak juga menyatu. Sesungguhnya paduka adalah Raja Yang Utama, pastilah akan memahami apa yang hamba ucapkan!”Sabda Palon menjawab sedih : “Hamba menuruti aturan agama yang lama, kepada agama yang baru hamba tidak menuruti. Apa sebabnya paduka memutuskan berpindah agama akan tetapi tidak meminta pertimbangan kepada hamba? Apakah paduka lupa akan arti nama hamba Sabda Palon? Sabda artinya Ucapan, Palon : artinya Ketetapan. Naya artinya Wajah, Genggong : Langgeng tak berubah. Jadi ucapan hamba ini, adalah ketetapan bagi wajah/bentuk dari tanah Jawa, langgeng selamanya!”Sang Prabhu berkata : “Bagaimana ini, aku sudah terlanjur memeluk agama Islam, sudah disaksikan oleh Sahid, aku tidak boleh kembali memeluk agama Buda lagi. Akan memalukan dan ditertawakan bumi serta langit (jika aku tidak konsekwen)!”

Sabda Palon berkata : “Sudah terlanjur, silakan paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikut.”

Sunan Kalijaga lantas berkata kepada Sang Prabhu, yang isinya menyarankan agar tidak perlu berfikir macam-macam, sebab agama Islam itu adalah agama yang mulia. Sunan Kalijaga memohon ijin untuk menjadikan air didalam danau sebagai tanda bukti, bagaimanakah nanti baunya. Jika air danau nantinya bisa berbau wangi, itu berarti Sang Prabhu sudah mantap memeluk agama Rasul. Sunan Kalijaga lantas menyabda air danau dan seketika berbau wangi dan harum. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabhu, sebagaimana sudah terbukti, jikalau Sang Prabhu nyata telah mantap memeluk agama Rasul, tandanya air danau berbau harum.

Berkata Sabda Palon kepada Sang Prabhu : “Ini hanya kesaktian belaka. Kesaktian kecil yang hanya seimbang dengan air kencing hamba. Kesaktian seperti ini dipamerkan didepan hamba. Jikalau saya imbangi, sama saja sama melawan air kencing hamba sendiri, apa yang hendak saya perebutkan? Paduka sudah terlanjur terkecoh, sudah berkehendak menjadi manusia yang sekedar menumpang, tidak memiliki ketetapan hati, sukanya hanya ikut-ikutan. Sungguh tiada guna hamba momong paduka selama ini, hamba malu kepada bumi dan langit, telah momong manusia bodoh, HAMBA HENDAK MENCARI MOMONGAN LAIN YANG HANYA BERMATA SATU, hamba sudah tidak akan momong paduka lagi. Jikalau hamba mau, air danau ini akan hamba jadikan minyak wangi dengan lantaran kentut hamba saja. Ketahuilah, yang disebut MANIKMAYA oleh masyarakat Jawa itu tak lain adalah hamba ini! Yang menciptakan kawah diatas gunung Mahameru dulu adalah hamba. Adi Guru (Bathara Shiwa) yang memberikan ijin-Nya. Pada waktu itu tanah dipulau Jawa masih belum stabil. Didalam tanah mengeram api yang siap keluar setiap saat. Oleh karenanya, hamba kentuti setiap puncak gunung agar supaya api tersebut bisa mengalir dari sana saja. Oleh karenanya, tanah Jawa lantas menjadi stabil dan banyak gunung di Jawa yang aktif memiliki kawah berapi, berisi air panas dan air tawar. Hamba yang membuat sedemikian itu dulu. Semua atas kehendak Lata wal Huzza, yang telah menciptakan bumi dan langit. Apa kurangnya agama Buda? Setiap pemeluknya bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Percayalah, jikalau paduka berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan paduka akan senantiasa dalam kesusahan, Jawa hanya tinggal nama, Jawa-nya hilang dan sukanya akan mengikut bangsa lain. Tapi kelak suatu saat akan diperintah oleh orang Jawa yang memahami (ajaran leluhur lagi)!”

“Silakan paduka buktikan, kelak sebelum menjelang purnama jarang diikuti tampaknya bulan mulai tanggal pertama, biji padi banyak yang susah tumbuh, ditolak oleh para Dewa, dipaksa untuk ditanampun akan tumbuh menghasilkan biji Mriyi (padi kecil), hanya bisa dibuat makanan burung. Mriyi itu padi yang tidak enak rasanya, hal ini dikarenakan paduka telah berbuat kurang tepat, mengikut menyembah batu. Buktikanlah, kelak tanah Jawa berubah hawa-nya, terasa lebih panas dan kurang hujan, berkurang hasil pertanian, banyak manusia yang suka berbohong, suka berbuat nista dan mudah mengucap janji. Hujan tiba tapi salah waktu, membuat kebingungan para petani. Mulai hari ini, hujan akan berkurang, sebab merupakan hukuman bagi manusia Jawa yang berani berpindah keyakinan. Kelak jika sudah kembali Kesadaran-nya, sudah ingat kepada agama Buda lagi, serta manusia Jawa sudah gemar mencari buah Pengetahuan lagi, Tuhan akan memberikan ampunan, suasana Jawa akan makmur tenteram kembali seperti jaman Buda lagi!”

Mendengar ucapan Sabda Palon, Sang Prabhu dalam hati merasa menyesal telah berpindah agama. Hingga lama tak bersuara, lantas berkata, mengapa dirinya tertarik kepada agama Islam karena terpikat ucapan putri Champa, yang mengatakan bahwasanya kelak manusia yang memeluk agama Islam jika meninggal akan mendapatkan surga yang melebihi surga orang kafir.

Sabda Palon menjawab, sudah semenjak dahulu, jika suami terlalu menuruti istri, pasti akan menemukan kesengsaraan. Karena wanita ibaratnya adalah tempat rasa (penuh emosi), jarang yang bisa menggunakan penalaran tanpa terbalut emosinya, Sabda Palon menasehati banyak hal kepada Sang Prabhu.

Sang Prabhu berkata :”Kamu nasehati bagaimanapun juga sudah tiada guna lagi, semua terlanjur. Sekarang, sekali lagi aku hendak menanyakan ketetapan hatimu. Diriku sudah terlanjur masuk agama Islam dan telah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak mungkin lagi kembali ke Buda lagi.”

Sabda Palon mengatakan hendak berpisah. Manakala ditanya hendak pergi kemana, menjawab tidak hendak pergi jauh tapi sudah tidak bertempat di Jawa lagi. Karena bagaimanapun untuk memegang tugasnya sebagai Semar, tetap juga akan meliputi Jawa walau tiada terlihat nyata. Sang Prabhu diberikan janji, JIKA KELAK ADA MANUSIA JAWA BERNAMA TUA, BERSENJATAKAN KAWRUH (PENGETAHUAN KESADARAN) DIALAH YANG DI MOMONG SABDA PALON, MANUSIA JAWA YANG SUDAH KEHILANGAN JAWANYA AKAN DIAJARI AJARAN BENAR DAN SALAH LAGI!

Sang Prabhu berkehendak ingin merangkul Sanda Palon dan Naya Genggong, akan tetapi keduanya sirna seketika itu juga. Sang Prabhu terkejut dan tak terasa keluarlah buliran air bening dari matanya, lantas kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Kelak dikemudian hari, negara Blambangan akan berganti nama Banyuwangi. Akan menjadi pengingat bahwasanya kelak Sabda Palon akan pulang ke Jawa sembari membawa momongannya. Sekarang dia ada ditanah seberang!” Sunan Kalijaga lantas disuruh mengamati air danau, jikalau bau wangi akibat disabdakan oleh Sunan Kalijaga tadi hilang , maka itu pertanda, kelak orang Jawa aka
Sunan Kalijaga lantas membuat bumbungan dari bambu dua buah, yang satu diisi air tawar dan yang satu diisi air danau. Air danau nanti akan dijadikan pertanda, jikalau bau wanginya hilang, maka orang Jawa kelak akan berpindah agama Kawruh (Pengetahuan). Bumbungan setelah diisi air, lantas ditutup menggunakan daun Pandhan Sili, lantas dibawa oleh dua orang murid Sunan Kalijaga.
Sang Prabhu berikut rombongan lantas berangkat diikuti oleh Sunan Kalijaga dan muridnya. Perjalanan terhalang malam, lantas bermalam di daerah Sumberwaru. Waktu pagi bumbungan dibuka, air dicium masih berbau wangi, perjalanan lantas dilanjutkan. Sore menjelang, telah sampai di Panarukan, Sang Prabhu berikut rombongan bermalam disana. Pagi harinya, air didalam bumbungan dibaui masih wangi, Sang Prabhu lantas melanjutkan perjalanannya.

(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 10

Serat Darmagandhul 9

Pembaca: 1675
 Terjemahan kedalam bahasa Indonesia.
Semesta ini adalah perwujudan dari Dewa yang mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah menjadi kewajiban manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan Kesadaran diri untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri supaya tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam, makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk. Gejolak batin yang liar dan seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan dari segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur tanah ini. (Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat badani, sifat yang hanya ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan sifat yang tidak merenungkan bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya (jika sudah meninggal).
Benarlah jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur dari segala macam kecenderungan liar manusia. Muhammad juga (bisa dilambangkan) sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi oleh segala kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan sirna kembali ke asalnya lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam segala gejolak batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah kesucian yang terlapisi kekotoran : Damar Shashangka). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebenarnya sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan Sejati), Sekarang saya bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana? (Dengarkanlah lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim (Ibrahim ~ Adam leluhur manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama ‘kebrahen’ (berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih hidup dulu. Merekalah yang memperbanyak makhluk-makhluk fana, makhluk fana yang sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung terjebak rasa badani belaka. Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh yang terlapisi kekotoran duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam bentuk manusia yang memiliki segala rasa ini. (Bukankah sama juga dengan kisah Manu leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala yang fana ini (yaitu badan halus yang memiliki kecenderungan liar dan badan kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha Kuasa, diri paduka yang berwujud manusia akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati). Untuk bisa terlepas dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala kecenderungan buruk.
Ayah dan Ibu tidak membuat wujud Sejati ini, makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek : ada dengan sendirinya :Damar Shashangka), mewujud dengan sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak Lattawalhuzza (penyebutan nama ini demi menyindir Sunan Kalijaga, dimana umat Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan Hyang Widdhi atau Brahman. Lattawalhuzza adalah nama berhala yang disembah orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia. Maksud Sabda Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak Tergambarkan, diri kita adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : Damar Shashangka). Dia-lah yang meliputi segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah wujud-Nya juga. Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada wujud-Nya, (sesunguhnya kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini 'ada' dan berwujud sendiri diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru yang kita bawa kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian itu, maka pada saat kematian tiba, akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas tanah, menunggui jasadnya sendiri yang sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia. Itulah salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan dan buah pohon Kesadaran, sama saja memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi setan (Roh Penasaran). Memakan tanah atau mengharap-harap manusia lain memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya (karena hanya sesajian dan doa waktu upacara selamatan yang dilakukan keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : Damar Shashangka), dan sebagai ucapan terima kasih, Roh semacam ini akan berusaha memenuhi permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi mereka.
Manusia yang meninggal dunia, selamat atau tidaknya tidak berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya dulu penuh kebaikan, tentu akan mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau hukum dari penguasa duniawi). (Maksud Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini tak ada. Kemudian harus melakukan perbuatan yang baik selama hidup. Kesejatian bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : Damar Shashangka). Sekarang jawablah jika telah meninggal anda hendak pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda terima)?”
Sang Prabhu menjawab, “Kembali ke asal mulaku, berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).” Sabda Palon berkata lagi : “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki pemahaman akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah kematian yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS (Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih kembali). Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati Roh Idhafi. Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang terpisahkan dari kita. Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud kita kembali menjadi bagian Roh Idhafi. Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula tempat kita sebelum menjadi manusia. Kata SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah) awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah pengembara yang waspada, jangan sampai salah saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA (Pikiran) ini.”

Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan kepada manusia yang lebih/mulia.” Sabda Palon berkata : “Itu sikap dari seorang manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada pohon-pohon besar. Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan orang dan menurut apa yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan dapat menemukan kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian nista. Semenjak hidup sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri, kelak jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang kesana-menari menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh penasaran, dan mencari tempat menempel lainnya!” Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari kosong akan kembali kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi kelak aku juga akan menuju kepada kosong tersebut!” Sabda Palon menjawab, “Itu kematian manusia yang tersesat, tidak memakai iman dan ilmu (keyakinan dan pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan istilah-istilah Arab demi menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar Shashangja). Hidup hanya seperti binatang, hanya sekedar mencari makan dan minum serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum air kencing saja sudah puas. Mereka menganggap kelak jika meninggal sirna juga dirinya.” Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah luluh jadi debu!” Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah. Tidak memahami bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh, maaf paduka!” Sang Prabhu menjawab lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!” Sabda Palon tertawa, “
Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih moksha. Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan golongan mereka terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha beserta raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud menjadi Roh Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit (Jin).” Jawaban Sang Prabhu : “Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan berusaha, sudahlah terserah Yang Maha Kuasa saja!” Sabda Palon : “Paduka melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka lupa bahwa manusia dijadikan sebagai titah yang mulia. Paduka telah meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia memiliki hak untuk memilih dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi tidak perlu mencari ilmu kemuliaan untuk meraih kesempurnan kematian!” Sang Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang Maha Kuasa.” (Bersambung) (6 September 2010, by DamarShashangka)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 9

Serat Darmagandhul 9

Pembaca: 1675
 Terjemahan kedalam bahasa Indonesia.
Semesta ini adalah perwujudan dari Dewa yang mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah menjadi kewajiban manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan Kesadaran diri untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri supaya tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam, makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk. Gejolak batin yang liar dan seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan dari segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur tanah ini. (Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat badani, sifat yang hanya ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan sifat yang tidak merenungkan bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya (jika sudah meninggal).
Benarlah jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur dari segala macam kecenderungan liar manusia. Muhammad juga (bisa dilambangkan) sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi oleh segala kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan sirna kembali ke asalnya lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam segala gejolak batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah kesucian yang terlapisi kekotoran : Damar Shashangka). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebenarnya sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan Sejati), Sekarang saya bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana? (Dengarkanlah lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim (Ibrahim ~ Adam leluhur manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama ‘kebrahen’ (berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih hidup dulu. Merekalah yang memperbanyak makhluk-makhluk fana, makhluk fana yang sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung terjebak rasa badani belaka. Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh yang terlapisi kekotoran duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam bentuk manusia yang memiliki segala rasa ini. (Bukankah sama juga dengan kisah Manu leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala yang fana ini (yaitu badan halus yang memiliki kecenderungan liar dan badan kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha Kuasa, diri paduka yang berwujud manusia akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati). Untuk bisa terlepas dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala kecenderungan buruk.
Ayah dan Ibu tidak membuat wujud Sejati ini, makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek : ada dengan sendirinya :Damar Shashangka), mewujud dengan sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak Lattawalhuzza (penyebutan nama ini demi menyindir Sunan Kalijaga, dimana umat Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan Hyang Widdhi atau Brahman. Lattawalhuzza adalah nama berhala yang disembah orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia. Maksud Sabda Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak Tergambarkan, diri kita adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : Damar Shashangka). Dia-lah yang meliputi segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah wujud-Nya juga. Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada wujud-Nya, (sesunguhnya kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini 'ada' dan berwujud sendiri diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru yang kita bawa kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian itu, maka pada saat kematian tiba, akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas tanah, menunggui jasadnya sendiri yang sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia. Itulah salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan dan buah pohon Kesadaran, sama saja memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi setan (Roh Penasaran). Memakan tanah atau mengharap-harap manusia lain memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya (karena hanya sesajian dan doa waktu upacara selamatan yang dilakukan keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : Damar Shashangka), dan sebagai ucapan terima kasih, Roh semacam ini akan berusaha memenuhi permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi mereka.
Manusia yang meninggal dunia, selamat atau tidaknya tidak berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya dulu penuh kebaikan, tentu akan mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau hukum dari penguasa duniawi). (Maksud Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini tak ada. Kemudian harus melakukan perbuatan yang baik selama hidup. Kesejatian bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : Damar Shashangka). Sekarang jawablah jika telah meninggal anda hendak pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda terima)?”
Sang Prabhu menjawab, “Kembali ke asal mulaku, berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).” Sabda Palon berkata lagi : “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki pemahaman akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah kematian yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS (Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih kembali). Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati Roh Idhafi. Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang terpisahkan dari kita. Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud kita kembali menjadi bagian Roh Idhafi. Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula tempat kita sebelum menjadi manusia. Kata SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah) awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah pengembara yang waspada, jangan sampai salah saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA (Pikiran) ini.”

Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan kepada manusia yang lebih/mulia.” Sabda Palon berkata : “Itu sikap dari seorang manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada pohon-pohon besar. Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan orang dan menurut apa yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan dapat menemukan kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian nista. Semenjak hidup sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri, kelak jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang kesana-menari menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh penasaran, dan mencari tempat menempel lainnya!” Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari kosong akan kembali kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi kelak aku juga akan menuju kepada kosong tersebut!” Sabda Palon menjawab, “Itu kematian manusia yang tersesat, tidak memakai iman dan ilmu (keyakinan dan pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan istilah-istilah Arab demi menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar Shashangja). Hidup hanya seperti binatang, hanya sekedar mencari makan dan minum serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum air kencing saja sudah puas. Mereka menganggap kelak jika meninggal sirna juga dirinya.” Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah luluh jadi debu!” Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah. Tidak memahami bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh, maaf paduka!” Sang Prabhu menjawab lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!” Sabda Palon tertawa, “
Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih moksha. Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan golongan mereka terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha beserta raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud menjadi Roh Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit (Jin).” Jawaban Sang Prabhu : “Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan berusaha, sudahlah terserah Yang Maha Kuasa saja!” Sabda Palon : “Paduka melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka lupa bahwa manusia dijadikan sebagai titah yang mulia. Paduka telah meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia memiliki hak untuk memilih dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi tidak perlu mencari ilmu kemuliaan untuk meraih kesempurnan kematian!” Sang Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang Maha Kuasa.” (Bersambung) (6 September 2010, by DamarShashangka)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 8

Damar Shashangka: Serat Darmagandhul 8

Pembaca: 1722
 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia

Mendengar kata-kata Sang Prabhu yang demikian, Sunan Kalijaga tercenung dan berkata dalam hati, “Benarlah apa yang dikatakan oleh Nyi Ageng Ngampelgadhing, bahwasanya eyang wungkuk (Prabhu Brawijaya) masih mempunyai nama besar dan masih punya kuasa. Sungguh tidak melihat diri sendiri, kulit yang sudah keriput punggung yang sudah bungkuk. Jikalau sampai menyeberang ke pulau Bali, pastilah akan terjadi perang besar dan dapat dipastikan kekuatan Demak tidak akan bisa menang. Sebab jelas-jelas Demak melakukan kesalahan yang tidak akan menarik simpati Negara manapun. Kesalahan pertama berani melawan ayahanda sendiri. Kesalahahn kedua berani melawan Raja tanpa ada masalah yang jelas dan kesalahan ketiga berani membalas kebaikan dengan kejahatan. Pastilah semua penduduk Jawa (Majapahit) yang belum masuk Islam akan membela Raja tua, mereka akan ikut memperkuat barisan, dan pastilah akan kalah orang Islam, habis binasa dalam peperangan yang bakal terjadi.”
 Akhirnya Sunan Kalijaga pelan berkata,” Duh paduka yang mulia Kangjeng Sang Prabhu. Jikalau seandainya paduka terlaksana menyeberang ke Bali, terlaksana menggalang kekuatan para Raja bawahan Majapahit diluar Jawa, pastilah bakal terjadi perang besar. Apakah paduka tidak sayang akan kerusakan tanah Jawa kelak ? Sudah dapat dipastikan putra paduka (Raden Patah) yang akan menemui kekalahan. Paduka lantas kembali naik tahta, tak lama kemudian akan turun tahta karena jelas paduka sudah sepuh. Tahta Jawa lantas dikuasai oleh yang bukan keturunan darah paduka. Bagaikan anjing yang berebut bangkai, anjing yang bertengkar tak ada yang mengalah dan binasa kedua-duanya, sedangkan daging yang diperebutkan akhirnya dimiliki oleh anjing yang lain.”

Sang Prabhu Brawijaya menjawab, “Jikalau memang harus seperti itu kejadiannya nanti, semua aku pasrahkan kepada kehendak Dewa Yang Maha Lebih. Diriku ini Raja Besar, setia pada satu mata, tidak mempergunakan dua mata, hanya satu mata melihat kebenaran, kebenaran yang sudah ditetapkan turun temurun oleh leluhur tanah Jawa. Seandainya si Patah mengakui aku ayahnya, jika hanya ingin menjadi Raja, seharusnya mintalah tahta secara baik-baik. Tahta tanah Jawa pasti akan aku berikan dengan baik-baik pula. Diriku sudah tua, sudah bosan menjadi Raja, dan sudah saatnya menjadi Pandhita, menyepi dilereng gunung. Akan tetapi sekarang kenyataannya si Patah tega menyia-nyiakan diriku, demi Dewata Yang Agung pastilah sekarang diriku tidak akan rela jika tanah Jawa dikuasainya, begitu pula seluruh abdi-abdiku, tak ada yang rela jika tanah Jawa dikuasai Patah!”

Sunan Kalijaga, begitu mendengar kata-kata Sang Prabhu merasa sudah tidak bisa mencegah lagi. Sontak dia menyembah kaki Sang Prabhu. Kemudian melepas keris yang terselip dipinggang belakang serta disodorkan kepada Sang Prabhu sembari menyatakan, jikalau Sang Prabhu tidak mendengarkan kata-kata Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga memohon agar Sang Prabhu berkenan membunuhnya saat itu juga. Sunan Kalijaga merasa malu jika kelak harus melihat peperangan besar terjadi di Jawa antara ayah dan anaknya.

Melihat apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga sedemikian itu, hati Sang Prabu beku dan teriris, lama tak mampu bersuara. Dada beliau seketika sesak dan tak terasa menetes air mata Prabhu Brawijaya. Bergetar suara Sang Prabhu, “Sahid, duduklah kembali, sudah akan aku pikirkan kembali kata-kataku, akan aku renungkan lagi semua ucapanmu, benar atau tidaknya, jujur atau bohong. Sebab aku khawatir apa yang kamu ucapkan semua tadi hanya bohong belaka. Ketahuilah Sahid, jika seandainya aku benar pulang kembali ke Majapahit, lantas si Patah menghadap dihadapanku. Kebenciannya tak mungkin bisa hilang, sebab merasa memiliki ayah orang Buda totok kafir kufur. Hanya sesaat dia bisa menghargaiku. Lain hari pasti akan lupa lagi. Mungkin aku nanti bisa juga dikebiri (sunat) olehnya, atau mungkin bisa juga disuruh menjaga pintu gerbang belakang. Pagi sore dipaksa melaksanakan sembahyang. Jika tidak bisa-bisa diguyur air dikolam dan dikosok tubuhku mengunakan daun alang-alang kering!”

Sang Prabhu melanjutkan ucapannya kepada Sunan Kalijaga, “Renungkanlah, Sahid. Bagaimana sedihnya hatiku, sudah tua, bungkuk, diperlakukan bagai anak kecil direndam di kolam sedemikian rupa.”

Sunan Kalijaga tersenyum sembari berkata,”Tak mungkin hingga sedemikian itu perlakuan putra paduka. Sungguh kelak saya yang akan bertanggung jawab. Saya pastikan putra paduka tidak akan berani berlaku sia-sia kepada paduka. Jika masalah agama, semua tergantung kepada pribadi pasuka sendiri. Akan tetapi akan lebih baik jika paduka memang berkenan berganti agama Buda dengan syari’at Rasul. Menyebut asma Allah. Jikalau memang tidak berkenan, tidak juga menjadi masalah. Agama bukan jaminan (menemukan kesejatian). Keyakinan orang Islam yang utama hanyalah sahadat. Walaupun shalat jempalitan, manakala belum memahami sahadat, tetap saja dinamakan kafir.”

Sang Prabhu berkata,”Apa Sahadat itu? Aku kok belum tahu, jelaskanlah akan aku dengarkan!”

Sunan Kalijaga lantas mengucapkan kalimat Sahadat: “Ashadualla illa haillallah, wa ashadu anna Muhammadarrasulullah. Artinya Aku bersaksi, tidak ada Tuhan yang sejati kecuali Allah. Dan aku bersaksi, Kangjeng Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

Lantas Sunan Kalijaga mengatakan lagi,”Manusia yang melakukan penyembahan kearah kiblat semata, akan tetapi tidak juga memahami maksudnya, tetaplah dinamakan kafir. Dan lagi manusia yang menyembah sesuatu yang berwujud dan berwarna, itu disebut menyembah berhala. Maka oleh karenanya, manusia wajib memahami dirinya dari lahir hingga batin. Manusia mengucapkan sesuatu harus tahu apa yang diucapkan. Sesungguhnya yang disebut Nabi Muhammad Rasulullah, Muhamad itu sejatinya adalah bagaikan makam atau kuburan. Badan sejati manusia ini (Ruh) ibarat tempat tertanamnya/melekatnya segala gejolak batin. Sesungguhnya yang mengucapan sahadat adalah menyaksikan Diri-nya sendiri (Ruhnya sendiri sebagai utusan Allah), bukan naik saksi kepada Muhammad yang ada di Arab. Badan (sejati) manusia ini adalah Percikan Dzat Tuhan. Diibaratkan sebagai kubur atau makam segala rasa dan gejolak batin. (Diri sejati sebagai) Rasul (utusan) akan dapat di-Rasa-kan (oleh Ruh). Bukan dirasakan bagai merasakan Rasa makanan (dan segala rasa pancaindriya, akan tetapi Rasa sadar  bahwa diri ini adalah utusan Tuhan). Rasul (utusan/Ruh) ini murni illahi. Lullah (dari Allah) bisa juga diartikan bagaikan luluh. Seperti lumpur yang luluh. Rasulullah (Utusan Allah/Ruh ini) sesungguhnya adalah illlahi yang diselimuti oleh rasa negative dan segala yang jelek. Muhammad Rasulullah (Ruh adalah utusan Allah). Untuk menyadarinya pertama-tama harus memahami apa badan (kasar) ini, kedua memahami segala keinginan (gejolak batin/badan halus). Sudah wajib semua manusia mencermati segala rasa (gejolak batin yang ditimbulkan oleh badan halus). Rasa dan Tedhi (semua gejolak batin yang halus) itulah yang melekati Muhammad Rasulullah (Ruh utusan Allah). Oleh karenanya setiap melakukan shalat orang Islam harus mengawali dengan ucapan ‘Usholi’ artinya berniat sungguh-sungguh untuk mengetahui asal-usul (Ruh ini). Raga manusia ini berasal dari bayangan Ruh Idhofi, yaitu Muhammad Rasulullah itu sendiri. Yang dimaksud Rasul adalah utusan yang harus bisa di Rasa (disadari) bahwsanya kita ini utusan sejati. Dari sanalah benih segala kehidupan. Akan bisa dicapai dengan kesadaran terbuka. Diawali memahami ashadualla (sahadat). Jika tidak memahami apa arti sahadat sesungguhnya, maka tidak sempurna rukun Islam dan tidak akan mengetahui awal asal usul kehidupan kita!”

Banyak yang dihaturkan oleh Sunan Kalijaga sehingga Prabhu Brawijaya akhirnya tertarik dan berkenan memeluk agama Islam. Lantas kemudian Sunan Kalijaga memohon agar diperkenankan memotong rambut panjang Sang Prabhu akan tetapi tidak bisa terpotong saat digunting. Oleh karenanya Sunan Kalijaga lantas menyarankan agar Sang Prabhu benar-benar sungguh-sungguh masuk Islam lahir batin. Sebab jika hanya lahir saja, rambut tidak akan mempan digunting. Sang Prabhu lantas berkata bahwa dirinya sudah lahir batin, oleh karenanya rambut lantas bisa dipotong.

Selesai dipotong rambutnya Sang Prabhu lantas berkata kepada Sabda Palon dan Naya Genggong, “Kalian semua aku jadikan saksi, bahwa mulai hari ini aku meninggalkan agama Buda dan memeluk agama Islam. Menyebut asma Allah Yang Sejati. Keinginanku, kalian berdua aku harapkan ikut berganti memeluk agama Rasul dan meninggalkan agama Buda!”

Sedih Sabda Palon menjawab, “ Hamba ini adalah Raja Dang Hyang (makhluk gaib) yang menjaga tanah Jawa. Siapapun yang menjadi Raja, adalah momongan hamba. Mulai dari leluhur paduka dulu, yaitu Wiku Manumanasa, Raden Sakutrem hingga Bambang Sakri, turun temurun hingga sekarang ini, semua menjadi momongan hamba dan hamba ajari ajaran Jawa sejati. Jika hamba tidur, mampu tidur selama 200 tahun. Selama saya tidur di Jawa akan banyak terjadi peperangan antar saudara. Yang   kuat akan memangsa sesame manusia, menghancurkan sesame bangsanya sendiri. Hingga sat ini usia hamba 2003 tahun. Hamba telah momong ajaran Jawa, semua yang hamba momong selama ini tak ada yang berubah agamanya. Memegang teguh agama Buda. Hanya paduka sekarang saja yang berani meninggalkan ajaran leluhur Jawa. Jawa artinya paham , yang sudah paham disebut Jawan (Sadar). Sadar bahwa badan sejati ini hanya sementara tinggal didunia, tujuannya adalah meraih moksha!”

Ucapan Wiku Utama dibarengi seketika oleh suara gemuruh guntur!

Sang Prabhu Brawijaya oleh para Dewa disindir karena telah memeluk agama Rasul. Tiga sindiran yang muncul di bhumi Jawa mulai sat itu adalah 1. Suket Jawan (Rumput Jawan), 2. Pari Randhanunut (Padi Randhanunut, Randha : Janda, Nunut : ikut tinggal/Numpang Randhanunut ~ Seorang jandha yang ikut tinggal/numpang hidup) dan 3. Pari Mriyi (Padi Mriyi).

(Konon mulai saat itulah muncul Padi dan Rumput dengan nama seperti diatas. Rumput Jawan, maksudnya Kesadaran yang telah rendah serendah rumput yang bisa diinjak-injak. Padi Randhanunut, maksudnya padi/makanan batin/ajaran agama milik seorang janda yang tinggal numpang dirumah seseorang, alias kebenaran yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang kehilangan pasangan sejati/Tuhan yang numpang di Jawa dan Padi Mriyi adalah Padi yang kecil-kecil, maksudnya makanan batin/ajaran yang masih berupa jenis yang kecil : Damar Shashangka)

Sang Prabhu berkata lagi, “Aku Tanya lagi bagaimana niatanmu, mau atau tidak meninggalkan agama Buda berganti memeluk agama Rasul. Menyebut nama Nabi Muhammad Rasulullah, panutan para Nabi dan menyebut asma Allah Yang Sejati?”

Sabda Palon sedih berkata,”Silakan paduka sendiri saja yang masuk, hamba tidak tega melihat kelakuan sia-sia mereka, seperti watak orang Arab. Sia-sia artinya suka menghukum (menghakimi), menghakimi semua yang berbadan. Jikalau hamba berganti agama, jelas akan membuat tak berguna tujuan moksha hamba kelak. Yang mengaku paling mulia itu hanya orang Arab saja dan diikuti oleh orang Islam semua. Memuji dan meninggikan kelompoknya sendiri. Menurut hamba lebih baik tidak usah mengurusi (menghakimi) tetangga (agama lain). Perbuatan semacam itu (suka menghakimi agama lain) hanya akan menunjukkan rendahnya pemahaman diri. Saya tetap menyukai agama lama, tetap suka menyebut Tuhan dengan nama Dewa Yang Maha Lebih!”




(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 7

Serat Darmagandhul 7

Pembaca: 1268

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
Lantas Nyi Ageng Ngampel berkata lagi, “ Cucuku, dengarkanlah aku akan menceritakan empat kisah lama yang bisa dijadikan suri tauladan. Dalam sebuah kitab hikayat telah diceritakan, di tanah Mesir (yang benar  cerita ditanah Israel atau Isroil, penulis Darmagandhul membuat kesalahan disini. Ini membuktikan sang penulis bukan misionaris Kristiani seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan akhir-akhir ini. Jika benar sang penulis adalah misionaris Kristiani, mana mungkin melakukan sebuah kesalahan semacam ini, dimana kisah Nabi Daud dikatakan cerita dari Mesir. Dalam Kitab Perjanjian Lama sudah jelas diketahui Daud adalah orang Israel dan Raja Israel, dan seorang Kristiani tak mungkin akan salah jika bertutur tentang Daud dan Israel-nya. : Damar Shashangka) bahwa pernah suatu ketika putra Kangjeng Nabi Daud pernah merebut tahta ayahnya. Nabi Daud sampai harus meloloskan diri dari kerajaan dan sang putra mengukuhkan diri sebagai Raja. Tidak berapa lama Nabi daud berhasil merebut kerajaannya. Sang putra lari dengan menunggang kuda ke hutan, kuda berlari tak bisa dikendalikan hingga sang putra tersangkut pohon dan batu, dan tewas dengan tubuh tersangkut pada sebatang pohon. Itulah yang disebut hukum Allah. Ada lagi cerita dari Prabhu Dewatacengkar, dia juga merebut tahta ayahandanya, dikutuk oleh sang ayah menjadi raksasa, setiap hari harus memakan daging manusia, tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang Brahmana dari tanah seberang (India) ke Jawa, bernama Aji Saka, membawa kesaktian ditanah Jawa. Seluruh masyarakat Jawa mengasihi Aji Saka, dan membenci Dewatacengkar. Aji Saka diangkat menjadi Raja, Dewatacengkar dilawan hingga lari menceburkan diri ke samudera, berubah menjadi buaya, tidak berapa lama kemudian meninggal. Ada lagi cerita dari negara Lokapala, Sang Prabhu Danaraja berani melawan ayahandanya, hukuman yang diterima juga tak jauh beda dengan cerita sebelumnya, semua menemui kesengsaraan. Dan sedangkan kamu, melawan ayah tanpa dosa, pastilah kamu menemui kesengsaraan, jika kelak meninggal pasti akan masuk neraka, itulah hukum Allah bagimu!”
Mendengar penuturan sang nenek, Sang Prabhu Jimbun dalam hati merasa menyesal, akan tetapi semua sudah terlanjur.
 Nyi Ageng Ngampel masih meneruskan penuturannya,”Ketahuilah dirimu itu diperalat oleh para Ulama dan para Bupati, mengapa kamu menurut saja? Yang akan menerima kesengsaraan pastilah hanya dirimu seorang, sudah kehilangan ayah, seumur hidup namamu akan tercemar. Kebanggaan apa yang kamu dapatkan unggul berperang dengan ayah sendiri yang patut dihormati? Walau kamu bertaubatl kepada Yang Maha Kuasa, menurutku tidak akan diterima taubatmu. Kesalahan pertama kamu berani melawan ayahanda sendiri, kesalahan kedua berani menentang Raja, kesalahan ketiga membalas kebaikan dengan kejahatan serta melakukan perusakan dan pembunuhan tanpa ada dosa. Ingat, Adipati Pranaraga (Bathara Katong) dan dipati Pengging (Adipati Andayaningrat) tidak akan mungkin bisa menerima kehancuran Majapahit, pasti mereka akan membela ayah mereka, menghadapi hal itu saja sudah sangat berat buatmu.” Banyak lagi penuturan Nyi Ageng kepada Prabhu Jimbun. Sesudah Sang Prabhu selesai dinasehati, lantas disuruh pulang ke Demak serta disuruh mencari kemana perginya ayahandanya. Jika sudah ditemukan supaya diminta pulang kembali ke Majapahit, sebelumnya diminta mampir ke Ngampelgadhing. Akan tetapi jika tidak berkenan, tidak boleh dipaksa, sebab jikalau sampai membuat kemarahan beliau lagi dan sampai mengeluarkan kutuk, pasti akan terjadi kutukan itu.

Sesampainya di Demak, Sang Prabhu Jimbun melihat seluruh prajuridnya tengah bersuka cita dan bersenang-senang merayakan kemenangan, sedangkan para santri semua memukur rebana sembari berdzikir, mengucapkan syukur dan suka dihati melihat Sang Prabhu pulang sembari membawa kemenangan.

Sunan Benang menyambut kedatangan Sang Prabhu Jimbun, Sang Raja lantas melaporkan kepada Sunan Benang bahwa Majapahit sudah bisa dijebol, seluruh kitab-kitab Buda sudah dibakar semua, serta melaporkan bahwasanya ayahandanya berikut Raden Gugur lolos dari istana, sedangkan Patih Majapahit tewas ditengah medan peperangan. Putri Cempa dibawa mengungsi ke Benang, semua prajurid Majapahit yang menyerah dipaksa masuk Islam.
Mendengar laporan Sang Prabhu Jimbun, Sunan Benang tertawa sembari mengangguk-angguk dan berkata kalau sudah sesuai dengan apa yang sudah dilihatnya secara gaib.

Sang Prabhu berkata lagi, sebelum pulang ke Demak menyempatkan mampir ke Ngampeldhenta, sowan kepada eyang Nyi Ageng Ngampel, melaporkan kepada beliau jika baru saja berhasil menjebol Majapahit dan meminta restu untuk menjadi Raja. Akan tetapi di Ngampel malah dimarahi habis-habisan karena menurut beliau dirinya tidak bisa melihat kebaikan Sang Prabhu Brawijaya. Sesudah itu, diutus oleh beliau agar mencari jejak kepergian ayahandanya, semua yang diucapkan Nyi Ageng Ngampel dihaturkan semua kepada Sunan Benang.

Sesudah mendengar penuturan Sang Raja, didalam hati Sunan Benang merasa menyesal, menyadari kesalahannya, dimana dirinya tidak mengingat semua kebaikan Sang Prabhu Brawijaya yang telah diberikan kepadanya. Akan tetapi perasaan sesal itu segera ditepis dengan ucapan bahwasanya tindakan menjebol Majapahit itu sudah benar karena Sang Prabhu Brawijaya dan Patih tidak mau memeluk agama islam.

Sunan Benang lantas berkata bahwasanya seluruh penuturan Nyi Ageng Ngampel tidak perlu dirisaukan, sebab akal seorang wanita itu pasti kurang sempurna dibandingkan dengan akal pria, lebih baik usaha menjebol Majapahit terus dilanjutkan. Jikalau Prabhu Jimbun menuruti nasehat Nyi Ageng Ngampeldhenta, Sunan Benang memutuskn hendak pulang ke Arab. Prabhu Jimbun berkata kepada Sunan Benang, bahwasanya jikalau tidak menuruti perintah Nyi Ngampel, pastinya akan mendapatkan kutuk yang tidak baik, oleh karenanya dirinya merasa takut.

Sunan Benang memberikan jalan keluar kepada Sang Prabhu, jikalau memang Sang Prabhu Brawijaya diusahakan kembali ke Majapahit, maka Sang Prabu Jimbun harus menghadap dan memohon maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Namun jika hendak diangkat kembali menjadi Raja, jangan diangkat di Jawa, sebab pastinya akan menjadi penghalang bagi mereka yang hendak memeluk agama Islam. Seyogyanya dikukuhkan sebagai Raja diluar pulau Jawa, dimana saja diwilayah Majapahit asal tidak di pulau Jawa!

Sunan Giri lantas menyambung, dia berpendapat jalan yang terbaik agar tidak sampai terjadi pertumpahan darah yang berkelanjutan, Sang Prabhu Brawijaya beserta para putra-putra yang masih memiliki kuasa dibeberapa daerah seyogyanya ditenung (di santet) saja, membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya!

Sunan Benang dan Prabhu Jimbun akhirnya menyetujui pendapat Sunan Giri tersebut.

Berganti cerita, perjalanan Sunan Kalijaga yang tengah berusaha melacak jejak Sang Prabhu Brawijaya, hanya didampingi dua orang murid. Perjalanan mereka terlunta-lunta. Setiap desa dimasuki hanya demi mencari kabar berita. Perjalanan Sunan Kalijaga sampai dipesisir timur pulau Jawa, dimana disanalah Sang Prabhu Brawijaya tengah berada.
Perjalanan dari Prabhu Brawijaya sendiri sudah sampai di Blambangan. Karena rombongan merasa lelah lantas beristirahat disamping danau. Pada saat itu suasana hati Sang Prabhu sangat gelap. Yang menghadap didepan beliau hanya dua orang abdi terkasih, tak lain adalah Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi ini terus mengcoba menghibur hati Sang Prabhu agar tidak terus larut dalam kesedihan karena kejadian yang baru dialami. Tidak berapa lama datanglah Sunan Kalijaga, menghaturkan sembah dibawah kaki Sang Prabhu.

Sang Prabhu lantas bertanya kepada Sunan Kalijaga,” Sahid, mengapa kamu ada disini? Ada perlu apa menguntit perjalananku?”

Sunan Kalijaga menjawab, “Sowan hamba ini diutus oleh putra paduka untuk mencari keberadaan paduka. Jika bertemu dimanapun, agar supaya sembah sujud sang putra dihaturkan kepada paduka. Memonon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat yang telah berani merebut tahta. Disebabkan kebodohan hati seorang muda, yang belum memahami tata krama, terlalu lancang menuruti keinginan hati agar bisa menjadi seorang Raja yang mempunyai banyak wadyabala dan dihadap oleh banyak Bupati. Dan saat ini, putra paduka telah menyadari segala kekeliruannya. Dimana dia yang telah memiliki seorang ayah Raja Besar, yang telah mengangkat derajatnya dari orang rendah menjadi seorang Adipati Demak, akan tetapi balasannya seperti ini. Saat ini putra paduka telah menyadari, setelah paduka lolos dari istana dan tidak diketahui lagi keberadaannya, putra paduka merasa menyesal dan takut mendapatkan hukuman Tuhan. Oleh karenanya hamba diutus untuk melacak keberadaan paduka, pesannya jika bertemu dimana saja diharapkan sudilah kiranya kembali ke Majapahit, kembali bertahta seperti sediakala, mennguasai para prajurid dan dihadap para punggawa, lestari menjadi sesepuh yang dihormati oleh para putra dan cucu serta para kawula alit. Dihormati dan dimintai restunya. Jikalau paduka berkenan pulang, putra paduka rela menyerahkan tahta kembali kepada paduka, putra paduka berserah diri hidup dan matinya kepada paduka. Namun jika diperkenankan, putra paduka hanya memohon agar dimaafkan segala kesalahannya yang telah dibuat dan agar diperkenankan tetap menjabat sebagai Adipati Demak, seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan menerima tahta kembali, jika menginginkan mendirikan istana di mana saja, walaupun dilereng gunung-pun, dimanapun yang paduka senangi, putra paduka akan membuatkan dan akan menjamin sandang dan pangan paduka, akan tetapi memohon agar berkenan memberikan pusaka (tahta) tanah Jawa. Tahta diminta dengan segala kerendahan dan kerelaan hati.”

Sang Prabhu Brawijaya berkata,”Telah ku dengar semua penuturanmu, Sahid! Akan tetapi tidak aku pedulikan lagi, sebab diriku sudah kapok mendengarkan ucapan para santri yang mempunyai mata tujuh buah (maksudnya banyak akalnya), dan semua mata tersebut mata yang dilapisi, sehingga tidak terang dan jelas penglihatannya. Baik dimuka tapi memukul dari belakang. Kata-katanya hanya manis dibibir, akan tetapi hatinya penuh dengan debu kotoran yang dilemparkan ke wajahku sehingga butalah mataku ini. Sudah aku berikan kebaikan, balasannya bagaikan tingkah makhluk yang berekor. Apa salahku sehingga dirusak tanpa dosa, meninggalkan segala tata cara dan etika manusia, mengobarkan peperangan tanpa tantangan, apakah memakai cara babi, sehingga tidak memakai etika manusia?”

Mendengar jawaban Sang Prabhu, Sunan Kalijaga merasa ikut bersalah karena secara tidak langsung ikut membiarkan kehancuran Majapahit, dalam batin sangat-sangat menyesal, semua sudah terlanjur, sehingga akhirnya keluarlah keluhannya, “Apapun kemarahan yang paduka ungkapkan, tetap akan hamba jadikan jimat utama, hamba junjung dan hamba ikat diatas rambut kepala, hamba letakkan diubun-ubun, semoga bisa menambahi cahaya nurbuat yang bening sehingga membuat keselamatan bagi hamba dan semua putra dan cucu paduka. Karena hamba sudah menyadari kesalahan ini, apalagi yang hendak hamba minta, kecuali hanya kerelaan paduka untuk memberikan maaf. Lantas kalau boleh hamba bertanya, selanjutnya paduka hendak pergi kemanakah?”

Sang Prabhu Brawijaya menjawab, “Sekarang aku memutuskan hendak ke pulau Bali, menemui adikku Prabhu Dewa Agung di Klungkung. Aku hendak memberitahu segala tindakan Patah, menganiaya orang tuanya sendiri yang tanpa dosa. Aku hendak meminta adikku Prabhu Dewa Agung untuk menghubungi seluruh Raja bawahan Majapahit diluar pulau Jawa, agar mempersiapkan diri dengan persenjataan perang lengkap! Serta aku hendak meminta tolong kepada adikku Prabhu Dewa Agung agar Adipati Palembang diberitahu, jikalau kedua anaknya sesampainya di Jawa sudah aku angkat sebagai Bupati, akan tetapi tidak tahu jalan yang benar, dan berani melawan ayah dan Raja-nya sendiri, aku hendak meminta kerelaan Adipati Palembang untuk merelakan anaknya (Raden Kusen/Kin Shan ~ Adipati Terung Pecattandha) aku bunuh. Bahkan melalui adikku Prabhu Dewa Agung aku hendak meminta tolong menghubungi Hong Te di China, untuk mengabarkan bahwasanya putrinya yang menjadi istriku telah melahirkan seorang cucu baginya (Raden Patah ~ Adipati Demak), tapi tidak tahu jalan yang benar, berani melawan ayah dan Raja-nya, aku juga hendak meminta kerelaan Hong Te untuk merelakan cucunya aku  bunuh. Tidak hanya itu, aku juga akan mengutus Prabhu Dewa Agung untuk menghubungi  Keraton China, meminta bantuan prajurid dengan persenjataan lengkap dan segera  datang ke Bali bersiap menggempur Jawa! Pasti Raja China masih memperhatikan nama besarku, pasti Raja China tidak tega melihat Raja yang sudah bungkuk terlunta-lunta seperti aku. Nama besarku pasti akan membuat prajurid China bakal dikirimkan ke Bali. Akan aku kerahkan semua pasukan tadi menyerang tanah Jawa, merebut tahtaku kembali. Sekarang, jika memang harus terjadi perang besar antara ayah melawan anak, aku sudah tidak peduli lagi! Sebab diriku selama ini tidak pernah memulai membuat kesalahan, diriku selama ini tidak pernah meninggalkan tata cara seorang Raja bijak!”




(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 6

Serat Darmagandhul 6

Pembaca: 1858





Terjemahan dalam bahasa Indonesia :




Sang Prabhu lantas berkata kepada sang Patih, segala kejadian yang telah terlanjur ini sebenarnya juga akibat kesalahan sang Raja sendiri, meremehkan agama yang sudah dipeluk secara turun temurun oleh orang Jawa, serta terpikat oleh kata-kata Putri Champa, memberikan ijin kepada para ulama untuk menyebarkan agama Islam secara mudah di Majapahit. Begitu gelap batin Sang Raja sehingga keluarlah ucapan kutuk dari bibir beliau : Aku memohon kepada Dewa Yang Maha Agung (Dewa segala dewa/Tuhan), semoga terbalaskan kesedihan yang aku alamiini, semoga orang Islam Jawa kelak terbalik dalam menjalankan agamanya, berubah menjadi orang berkuncir, karena tak mengerti kebaikan, aku beri kebaikan balasannya malah keburukan!" (orang berkucir maksudnya : manusia yang gampang mendua, gampang terpengaruh duniawi, meremehkan spiritualitas, spiritualitas hanya dipakai kedok belaka. Spiritualitas diperdagangkan, ditukar dengan materi. Berkucir adalah rambut yang dikepang kekiri dan kekanan. Orang Islam Jawa kelak disisi lain bisa kelihatan alim tapi disisi lain sangat materialistik. Seorang haji diam-diam merangkap rentenir, seorang kyai bisa berkorupsi, tak ada rasa bersalah dan risih, semua dianggap wajar dan bisa ditebus dengan tobat jika sudah puas dengan materi kelak). Sabda Raja Besar yang tengah bersusah hati, diterima oleh Bathara (Tuhan), disaksikan oleh jagad semesta, dengan tanda tiba-tiba terdengar suara bergemuruh diangkasa bagaikan suara guntur. Semenjak itulah di Jawa mulai muncul beberapa jenis burung bangau yang berkuncir bulu kepalanya. Para ulama dan Sunan semua mempunyai nama rangkap bertolak belakang (maksudnya disatu sisi dia tampil sebagai sosok penuntun, disisi lain diam-diam menimbun kekayaan dari spiritualitas yang diajarkan. Nama rangkap bertolak belakang, disisi lain alim disisi lain masih terjerat kenikmatan duniawi), hingga sekarang banyak contoh para ulama yang demikian itu (nama rangkap bertolak belakang dan berkucir rambutnya).

Sang Prabhu meminta pendapat Sang Patih, mengenai datangnya musuh, yaitu para santriyang hendak merebut kekuasaan, baiknya dilawan atau tidak? Sang Raja merasakecewa dan heran bercampur satu, kecewa dan heran mengapa hanya karena ingin memegang kekuasaan Majapahit, Adipati Demak memilih jalan pertumpahan darah? Seandainya diminta dengan baik-baik, pasti juga akan diberikan karena Sang Rajasudah sepuh.

Sang Patih menyarankan agar melawan musuh yang datang. Sang Prabhu ragu karena merasa sangat malu jika terdengar kabar beliau berperang memperebutkan tahta dengan putra sendiri, oleh karenanya Sang Prabhu memerintahkan agar menghadang musuh tapi hindari pertumpahan darah yang besar. Lantas Sang Prabhu memerintahkanjuga agar memangil Adipati Pengging (Adipati Handayaningrat) dan Adipati Pranaraga (Ponorogo ~ Adipati Bathara Katong) untuk memimpin pasukan, sebab Raden Gugur belum saatnya untuk maju berperang. Selesai memberikan perintah Sang Prabhu berkehendak meloloskan diri dari keraton menuju Bali, diiringkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong. Saat Sang Prabhu tengah memberikan perintah, pasukan Demak sudah tiba dan mengepung kota. Kepergian Sang Prabhu sangat tergesa-gesa sekali.


Pasukan Demak lantas bertempur dengan pasukan Majapahit, para Sunan sendiri yang memimpin peperangan. Patih Majapahit mengamuk hebat dimedan tempur. Begitu juga delapan orang pejabat Nayaka Bupati ikut terjun ke peperangan. Peperangan berjalan sengit, pasukan Demak berjumlah tiga juta prajurid sedangkan pasukan Majapahit yang ada di ibu kota hanya terkumpul tiga ribu prajurid. Majapahit telah diserang musuh secara besar-besaran, banyak prajurid yang gugur, Patih dan para pejabat Nayaka Bupati terus bertempur tanpa kenal mundur. Prajurid Demak yang terkena amukan mereka pasti tewas. Putra selir sang Prabhu yang bernama Lembu Pangarsa juga mengamuk dimedan laga, berhadapan dengan Sunan Kudus. Ditengah pertempuran, Patih Demak Mangkurat melemparkan tombak kearah putra selir Majapahit, gugurlah dia! Melihat putra selir gugur secara licik,sang Patih semakin mengamuk bagai banteng ketaton, tak lagi ada yang ditakuti,segala senjata tak mampu melukai tubuhnya, bagaikan tugu terbuat dari baja,segala besi tak ada yang mempan ditubuhnya! Ditempat mana yang diterjang pasti bubar semburat, yang nekat melawan pasti tewas mengenaskan. Mayat bertumpang tindih. Sang patih ditembak pelor dari kejauhan, bagaikan hujan datangnya mimis, akan tetapi mental bagai mengenai batu cadas! Sunan Ngundhung (ayah Sunan Kudus) maju kedepan menghadapi amukan sang Patih, ditikam tapi tak terluka, ganti terkena tikaman, Sunan Ngundhung tewas seketika! (makam Sunan Ngundhung masih ada di pemakaman Troloyo, Trowulan Mojokerto sampai sekarang : DamarShashangka). Begitu Sunan Ngundhung tewas, sang Patih dikeroyok begitu banyak prajurid Demak, sedangkan para prajurid Majapahit sudah banyak yang tewas.Seberapa kuatnya satu orang melawan begitu banyak orang, akhirnya sang Patih gugur.  Akan tetapi jasadnya hilang dan meninggalkan suara : " Ingat-ingatlah kalian semua orang Islam, diberikan kebaikan oleh Raja-ku malah membalas dengan keburukan, tega merebut negara Majaphit dan membuat pembunuhan sedemikian besar, ingatlah kelak akan aku balas, akan aku hajar kesadaranmu agar tahu mana yang benar dan mana yang salah, akan aku potong bersih rambutmu (maksudnya segala kebodohan mereka) dan akan aku tiup kepalamu (maksudnya akan diberikan pengetahuan yang benar)!"

Setelah sang Patih gugur, para Sunan lantas masuk kedalam keraton. Akan tetapi sang Prabhu sudah tidak ada, yang tinggal hanya Ratu Mas, yaitu Putri Champa. Sang putri diminta untuk menyingkir ke Benang dan menurut.

Para prajurid Demak masuk kedalam keraton tanpa dkomando, didalam istana mereka menjarah dan mengambil segala yang ada hingga bersih, para penduduk tidak ada yang berani melawan.Raden Gugur yang masih kecil berhasil meloloskan diri. Adipati Terung ikut masuk kedalam istana, membakar seluruh buku-buku ajaran Buda (Shiwa Buddha), pasukan yang tersisa kocar kacir melarikan diri, padahal seluruh pintu benteng dijaga pasukan Terung (coba diteruskan apa yang terjadi jika demikian? Dalam Serat Darmogandhul tidak dilanjutkan). Masyarakat Majapahit yang tidak mau tunduk lantas mengungsi besar-besaran ke gunung dan ke hutan-hutan (salah satunya pengikut Raden Jaka Seger dan Dewi Rara Anteng yang mengungsi ke daerah pegunungan Bromo. Menurunkan suku Tengger sampai sekarang. Nama Tengger diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden Jaka Se-GER : Damar Shashangka).Sedangkan masyarakat yang tunduk dikumpulkan semua, lantas di Islam kan secara massal. Jasad para pejabat berikut putra-putra selir yang gugur dikumpulkan dan dikubur (tidak dibakar secara Shiwa Buddha) disebelah tenggara istana.Pemakaman tadi lantas dinamakan Bratalaya, konon katanya disanalah makam RadenLembu Pangarsa juga berada.

Tiga hari kemudian, Sultan Demak berangkat ke Ngampel, yang dipercaya menjaga di istana Majapahit adalah Patih Mangkurat dan Adipati Terung, untuk menjaga keamanan istana dari serangan-serangan pasukan Majapahit yang mungkin masih tersisa.Sunan Kudus juga ikut menjaga istana, seolah-olah menjadi pengganti Sang Prabhu. Wilayah Terung dijaga ulama tiga ratus, setiap malam melaksanakan shalat hajat serta membaca Kur'an. Separuh pasukan dan beberapa sunan mengiringi Sultan Demak menuju Ngampeldhenta.

Sunan Ngampel sudah wafat, hanya tinggal sang istri yang ada di Ngampel. Sang istri berasal dari Tuban, putri Adipati Arya Teja. Sepeninggal Sunan Ngampel, Nyi Ageng (istri Sunan Ngampel) dituakan oleh masyarakat Ngampel. Sang Prabhu Jimbuningrat (Raden Patah/Sultan Demak) sesampainya di Ngampel, segera memberikan sembah bakti kepada Nyi Ageng. Bergiliran, para sunan juga menghaturkan sembah baktinya. Prabhu Jimbuningrat lantas melaporkan bahwa telah berhasil menjebol Majapahit, melaporkan lolosnya Sang Ayahanda dan Raden Gugur,serta tewasnya Patih Majapahit serta mengabarkan bahwa dirinya sudah mengukuhkan diri sebagai Raja yang menguasai tanah Jawa, berjuluk :  Senopati Jimbun atau Panembahan Palembang. Maksud kedatangannya ke Ngampel hendak meminta restu agar lestari menjadi Raja hingga keturunanya kelak.

Usai mendengar laporan Prabhu Jimbun, Nyi Ageng seketika menangis dan merangkul Sang Prabhu (Jimbuningrat). Hatinya bagai diiris-iris, beginilah ucapan yang keluardari bibir beliau :"Cucuku, kamu telah melakukan tiga buah dosa. Berani melawan Raja-mu sekaligus Orang tua-mu, orang yang telah memberikan kemuliaan duniawi, namun kamu hancurkan tanpa dosa. Jika mengingat kebaikan paman Prabhu Brawijaya,dimana para ulama diberikan tempat tinggal sehingga bisa mencari makan ditempat masing-masing, serta diberi kebebasan untuk menyebarkan agama, seharusnya sebagai manusia patut mengucapkan terima kasih. Tetapi mengapa akhirnya dibalas dengan kejahatan, sekarang beliau wafat atau masih hidup tidak diketahui lagi bagaimana nasibnya!"

Nyi Ageng berkata lagi kepada Sang Prabhu : "Ngger, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah sejujurnya, siapakah ayahmu yang sesungguhnya? Siapakah yang mengukuhkan kamu menjadi Raja tanah Jawa dan siapa yang merestui? Apa sebabnya kamu melakukan pembunuhan kepada orang Majapahit sedangkan mereka tanpa memiliki kesalahan kepadamu?"

Sang Prabhu menjawab, konon Prabhu Brawijaya memang ayahandanya yang sesungguhnya.Yang mengangkat dirinya menjadi Raja tanah Jaya tak lain para Bupati pesisir utara. Yang merestui para Sunan. Majapahit diserang, sebab Sang Prabhu Brawijaya tidak mau masuk Islam, tetap bersikukuh memeluk agama kafir kufur,agama Buda (Shiwa Buddha) totok yang sudah keras bagai kerasnya kuwuk (batu laut).

Mendengar penuturan Prabhu Jimbun, Nyi Ageng menjerit seketika dan merangkul sambilberkata : "Ngger!  Ketahuilah! Kamu telah berbuat dosa tiga macam. Pasti akan mendapatkan hukuman Gusti Allah.  Kamu telah berani melawan Raja-mu dan Orangtuamu sendiri, yang telah memberikan kemuliaan duniawi bagimu, kamu tega telah melakukan kekerasan kepada orang yang tanpa salah. Adanya manusia Islam dan Kafir siapa yang menciptakan, kecuali hanya satu Gusti Allah sendiri.Manusia berganti agama itu tidak bisa dipaksa, jika bukan kehendak pribadinya sendiri. Ketahuilah manusia yang gugur karena memegang teguh keyakinannya termasuk manusia yang utama! Jika Gusti Allah menghendaki, pastinya tak usah disuruh, pasti akan memeluk agama Islam sendiri. Gusti Allah yang bersifat Rahman (Kasih) tidak memerintahkan untuk memaksa orang masuk agama tertentu,semua sesuai kehendak manusia sendiri-sendiri. GUSTI ALLAH TIDAK AKAN MENYIKSA MANUSIA KAFIR YANG TAK BERSALAH DAN TIDAK AKAN MEMBERIKAN PAHALA KEPADA ORANG ISLAM YANG PERBUATANNYA TIDAK BENAR! HANYA PERBUATANNYA YANG AKAN DIADILI SECARA ADIL, BUKAN KARENA AGAMANYA APA! Ibumu China menyembah Pek-Kong, yang diwujudkan dalam kertas bergambar atau arca dari batu. Tidak benar membenci orang Buda. Itu tandanya matamu masih terlapisi, sehingga tidak terang penglihatanmu, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah! Konon kamu putra Sang Prabhu, tapi mana ada putra yang tega menghancurkan ayahandanya sendiri, menghancurkan tanpa ada kesalahannya. Beda dengan mata orang Jawa asli, Jawa atau Jawi  ( Jawa maksudnya paham atau sadar, orang Jawa yang tidak paham etika atau sadar sopan santun lumrah disebut ORA JAWA! : DamarShashangka), penglihatannya satu, paham mana yang benar dan mana yang salah, sadar mana yang baik dan mana yang buruk! Pasti takut berbakti kepada orangtua, kedua berbakti kepada Raja yang telah memberikan anugerah kemuliaan duniawi, orang tua maupun Raja wajib diberikan dharma bakti. Niatnya berbakti kepada orang tua, bukan melihat kafirnya! Kamu aku beritahu, Agung Kuparman beragama Islam dan mempunyai mertua kafir. Mertuanya benci kepadanya karena beda agama, senantiasa mencari jalan agar menantunya mati. Akan tetapi Agung Kuparman senantiasa berbakti dan menghormati karena mengingat dia adalah mertuanya yang bagaikan orangtua sendiri, tidak melihat kafirnya! Itulah contoh manusia utama, tidak seperti perbuatanmu, menganiaya orang tua hanya karena beliau beragama Buda dan tidak mau berganti agama Islam. Perbuatanmu tidak patut. Dan lagi aku hendak bertanya, apakah kamu pernah meminta secara pribadi kepada ayahandamu agar bersedia berganti agama? Lantas apa yang menyebabkan kamu nekad merusak negara Majapahit?"

Prabhu Jimbun menjawab, belum pernah meminta kesediaan ayahandanya agar berganti agama, datang ke Majapahit langsung menyerang.

Nyi Ageng Ngampel tertawa dan berkata, "Perbuatanmu semakin terlihat salah! Para Nabi pada jaman dulu, berani menentang orang tuanya, sebab sudah setiap hari meminta kesediaan orang tua mereka agar berganti agama, akan tetapi tidak mau juga,bahkan hingga diberi bukti mukjijat segala, mukjijat sudah saatnya berganti agama Islam, akan tetapi permintaan itu tidak digubris, orang tua mereka masih tetap memegang teguh agama lama, lantas mereka dimusuhi oleh orang tua mereka.Jika begitu kejadiannya, kalaupun harus bermusuhan dengan orang tua, mereka tidak salah. Sedangkan dirimu, apa mukjijatmu? Jika memang nyata Khalifatullah(Wakil Allah) yang berhak mengganti agama lama sekarang perlihatkan mukjijadmu aku ingin menyaksikannya!"

Prabhu Jimbun menjawab jika tidak memiliki mukjikat apapun, hanya menuruti bunyi kitab, katanya jika meng-Islam-kan orang kafir kelak mendapat anugerah surga.

Nyi Ageng Nganpel tertawa dan semakin marah, " Hanya katanya kok dituruti, bahkan bukan ujar leluhur. Kata-kata orang pengembara kok dituruti, akhirnya yang rusak dirimu sendiri. Itu tanda masih mentah pengetahuan agamamu! Berani kepada orang tua, hanya karena ingin menjadi Raja, kesengsaraan masyarakat banyak tidak kamu fikirkan. Dirimu bukan santri ahli Budi (Kesadaran), hanya manusia yang berikat kepala putih, bagaikan putihnya burung bangau, yang putih hanya kulitnya saja,didalamnya masih merah menyala! Saat kakekmu (Sunan Ngampel) masih hidup,dirimu pernah meminta ijin untuk menyerang Majapahit, kakekmu tidak memberikan ijin, bahkan wanti wanti jangan sampai bermusuhan dengan orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, larangannya kamu langgar, kamu tidak takut melanggar wasiatnya. Jikalau dirimu sekarang meminta restu padaku untuk menjadi Raja tanah Jawa, diriku tidak berwenang memberikan ijin, diriku orang kecil, seorang wanita lagi. Nanti terbalik akhirnya. Sebab seharusnya dirimu yang berwenang memberikan restu kepadaku, sebab dirimu adalah Khalifatullah di tanah Jawa.Dirimu adalah orang tua, apa yang kamu ucapkan bagaikan ludah berisi api (maksudnya bakal dituruti banyak orang), diriku hanya tua tanpa arti, dirimulah yang tua karena kamu sekarang Raja!"






(Bersambung)

Demokrasi Pancasila Berdasarkan Agama dan Relevansinya terhadap Perilaku Sosial

  Demokrasi Pancasila Berdasarkan Agama dan Relevansinya terhadap Perilaku Sosial   BAB I PENDAHULUAN   Demokrasi Pancasila bukan...