Pertemuan Para Makhluk Gaib Nusantara
Di sebuah dunia tak kasat mata, di mana batas antara alam manusia dan gaib menjadi tipis, pertemuan para makhluk halus Nusantara berlangsung. Tempat itu adalah sebuah hutan tua yang penuh misteri, terletak jauh dari peradaban manusia. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, dikelilingi kabut yang berputar-putar seperti selendang magis. Suara serangga malam bersahut-sahutan, sesekali terhenti oleh bisikan gaib yang entah datang dari mana.
Di tengah hutan, sebuah lingkaran batu purba bercahaya redup. Batu-batu itu dihiasi aksara kuno yang memancarkan cahaya hijau temaram. Satu per satu, makhluk gaib dari seluruh penjuru Nusantara muncul, seperti terpanggil oleh energi gaib yang menyelimuti tempat itu.
Kuntilanak adalah yang pertama tiba. Gaun putih panjangnya melambai-lambai tertiup angin dingin, rambut hitam legamnya menutupi wajah pucat dengan senyum menyeramkan. Tawa melengkingnya mengisi udara, membuat burung-burung hutan terbang ketakutan. “Apakah semuanya sudah datang?” tanyanya dengan suara serak yang menggema.
Tak lama kemudian, Pocong melompat-lompat memasuki lingkaran. Matanya yang kosong menatap sekitar dengan penuh kehati-hatian. “Aku tidak suka pertemuan ini. Kenapa harus diadakan di hutan yang jauh dari makamku?” keluhnya, meski suaranya terdengar teredam oleh kain kafan yang membungkus tubuhnya.
Genderuwo muncul dari balik pohon besar, tubuhnya yang berbulu dan raksasa membuat tanah bergetar setiap kali ia melangkah. Ia menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya. “Hentikan keluhanmu, Pocong. Kita di sini untuk mendiskusikan sesuatu yang penting,” ucapnya sambil duduk di atas batu besar yang retak.
Tak jauh dari sana, Wewe Gombel muncul dengan rambutnya yang menjuntai panjang hingga menyentuh tanah. Di tangannya, ia membawa lentera yang memancarkan cahaya keemasan. Matanya memandang Kuntilanak dengan tajam. “Jangan terlalu berisik. Anak-anak di sekitar sini mungkin terbangun.”
Dari sudut gelap lainnya, terdengar suara tawa kecil. Tuyul keluar sambil membawa sekantong kecil koin emas. “Aku hanya ingin tahu, apakah kita akan mendapatkan sesuatu yang menguntungkan dari pertemuan ini?” tanyanya sambil memainkan koin di tangannya.
Dari arah hutan bambu, sesosok makhluk tinggi besar dengan api yang menyala di tubuhnya—Banaspati—datang dengan langkah pelan. Nyala apinya memberikan cahaya tambahan pada lingkaran pertemuan itu. “Aku di sini karena ini adalah panggilan penting,” ucapnya tegas.
Kemudian, keheningan memecah saat terdengar bunyi melayang di udara. Sosok tanpa tubuh dengan organ-organ dalam yang terlihat jelas, Kuyang, muncul. Ia melayang di atas lingkaran batu, rambut panjangnya berderai, dan matanya merah menyala. “Jika ini tidak penting, aku akan segera pergi,” katanya dengan nada dingin.
Nyi Roro Kidul adalah yang terakhir datang. Sosoknya memancarkan aura kebangsawanan, mengenakan kebaya hijau zamrud yang mempesona. Angin laut yang tak wajar menyertai kedatangannya, membawa aroma garam yang segar. “Semua sudah berkumpul, kan?” suaranya lembut namun penuh kewibawaan.
Mereka semua berkumpul, saling bertukar pandang dengan penuh waspada. Nyi Roro Kidul maju ke tengah lingkaran. “Dunia manusia semakin melupakan keberadaan kita. Mereka lebih percaya pada teknologi dan melupakan cerita-cerita lama yang membuat kita tetap hidup di hati mereka,” katanya.
Kuntilanak mengangguk. “Mereka tak lagi takut pada kita. Bahkan tawa kita dianggap bahan lelucon.”
“Benar,” sahut Genderuwo dengan suara bergemuruh. “Mereka hanya peduli pada layar kecil di tangan mereka. Dunia kita perlahan memudar.”
Pocong melompat sekali, mendesah. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”
Nyi Roro Kidul tersenyum tipis. “Kita harus menunjukkan bahwa kita masih ada. Bukan dengan menakuti, tapi dengan cara yang baru. Kita perlu menyusup ke dalam teknologi mereka, membuat mereka mengingat cerita-cerita kita melalui cara yang mereka pahami.”
Semua makhluk saling berpandangan. Sebuah ide baru lahir malam itu, di tengah kabut hutan yang menyelimuti mereka. Mereka tak lagi hanya menjadi bayang-bayang di sudut malam, tetapi legenda yang siap bangkit kembali di dunia modern, membawa pesan lama dengan cara yang baru.
Dan malam itu, kabut semakin tebal, membawa pergi para makhluk gaib ke dunia mereka masing-masing, sementara hutan tua itu kembali sunyi, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
0 comments:
Posting Komentar