Bolehkah Muslim Masuk ke Gereja? Jangan Emosi, Kita Ngaji Kitab Fiqh Yuk!
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga Pengasuh PonPes Ma'had Aly Raudhatul Muhibbin, Caringin Bogor pimpinan DR KH M Luqman Hakim.
Sahabat dan guru saya, Ustaz Yusuf Mansur meminta
saya menjelaskan bagaimana hukumnya seorang Muslim memasuki gereja.
Belakangan ini ada tokoh yang mengatakan, “murtad bagi Muslim yang masuk
gereja.” Ada lagi yang mengatakan, “haram menurut mazhab Syafi’i”.
Bagaimana status hukumnya yang sebenarnya? Ada baiknya penjelasan ini
saya tuliskan dan bagikan untuk yang lain.
Sebenarnya tidak ada larangan dalam nash al-Qur’an dan Hadits yang secara tegas melarang Muslim masuk gereja atau rumah ibadah lain. Karena itu, perkara ini masuk ke wilayah interpretasi, atau penafsiran para ulama. Itulah sebabnya para ulama berbeda pandangan mengenai status hukumnya.
Saya kutip keterangan dari kitab Mausu’ah Fiqh Kuwait. Kitab ini ensiklopedia persoalan fiqh dari berbagai mazhab. Begini penjelasannya:
Dari penjelasan di atas, paling tidak ada 4 perbedaan pendapat ulama.
Pertama, Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa MAKRUH bagi seorang Muslim memasuki sinagog dan gereja.
Kedua, Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa TIDAK BOLEH bagi orang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim KECUALI ada izin dari mereka. Sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain berpendapat bahwa TIDAK HARAM memasuki tempat ibadah non-Muslim meski tanpa ada izin dari mereka.
Ketiga, Ulama mazhab Hanbali berpendapat BOLEH bahwa memasuki sinagog dan gereja, dan rumah ibadah lainnya, serta melalukan shalat di dalamnya, tapi hukumnya MAKRUH menurut Imam Ahmad, jika di dalamnya ada gambar.
Keempat, Ibn Tamim berpendapat tidak mengapa masuk sinagog dan gereja jika tidak ada gambar di dalamnya, begitu juga shalat di dalamnya. Ibn Aqil berpendapat makruh karena ada gambar. Masalah ini ada dua pendapat: ada yang bilang tidak mengapa shalat di dalam gereja berdasarkan riwayat dari sahabat Nabi, Ibnu Umar dan Abu Musa, sebagaimana dikisahkan oleh banyak ulama, dan ada juga riwayat dari Ibn Abbas dan Malik bahwa shalat di gereja makruh karena ada gambarnya.
Penjelasan di atas terdapat dalam juz 20, halaman 245.
Adapun dalam juz 38, halaman 155, masih di kitab yang sama, ada tambahan keterangan:
“Ulama mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa BOLEH bagi orang Muslim memasuki sinagog, gereja dan rumah ibadah lainnya.”
Bayangkan, kita masih berdebat soal boleh memasuki gereja atau tidak, para ulama bahkan sudah membahas bolehkah shalat di dalam gereja. Seperti tercantum di atas, mereka mengatakan sholatnya sah, dan ada yang membolehkan secara mutlak, namun ada yang memgatakan sah, namun makruh karena ada gambar di dalam gereja.
Kita tambahkan dengan mengutip satu kitab fiqh perbandingan mazhab lainnya, yaitu kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah.
Dalam juz 2, halaman 57:
Ibn Qudamah menjelaskan al-Hasan, Umar bin Abdul Azis, Sya’bi, Awza’i dan Sa’id bin Abdul Azis, serta riwayat dari Umar bin Khattab dan Abu Musa, mengatakan tidak mengapa shalat di dalam gereja yang bersih. Namun Ibn Abbas dan Malik memakruhkannya karena ada gambar di dalam gereja. Namun bagi kami (Ibn Qudamah dan ulama yang sepaham dengannya) Nabi Saw pernah shalat di dalam Ka’bah dan di dalamnya ada gambar. Ini juga termasuk dalam sabda Nabi: “jika waktu shalat telah tiba, kerjakan shalat di manapun, karena di manapun bumi Allah adalah masjid (tempat sujud).”
Ibn Qudamah juga mengutip kisah menarik dalam juz 7, halaman 283:
Ketika Umar bin Khattab memasuki negeri Syam dan itu diketahui oleh kaum Nasrani negeri tersebut, mereka berinisiatif untuk menyambut Umar dengan menyajikannya makanan. Namun jamuannya itu disajikan di dalam gereja mereka. Lalu Umar menolak hadir dan memrintahkan ‘Ali untuk menggantikannya. Datanglah ‘Ali ke undangan tersebut lalu masuk ke dalamnya dan menyantap hidangan yang disediakan. Kemudian Ali berkata: “aku tidak tahu kenapa Umar menolak datang?” Kata Ibn Qudamah, ini bukti kesepakatan mereka para sahabat bahwa memasuki gereja/sinagog tidaklah haram.
Nah, mungkin ada yang bertanya: mengapa Umar menolak datang? Kalau haram, mengapa Umar mengutus Ali? Kelihatannya alasan Umar tidak mau masuk dan menghadiri jamuan di gereja adalah karena khawatir umat Islam akan memahami bahwa boleh merebut gereja itu dan mengubahnya dijadikan masjid. Ini juga yang dilakukan Umar saat menolak masuk ke gereja di Palestina. Umar menghindari kerusakan dan kekerasan. Namun, jelas bahwa Imam Ali dan para sahabat memasuki gereja dan menghadiri jamuan di dalamnya.
Demikianlah penjelasan dari kitab klasik yang otoritatif agar kita tidak memahami persoalan ini dengan emosi dan mudah mengkafirkan atau memurtadkan suadara kita yang masuk ke dalam gereja. Ini bukan jawaban orang liberal, syi’ah, orientalis, sekuler atau sebagainya. Ini murni jawaban dari kitab fiqh berdasarkan pendapat para ulama, dan praktek Nabi Saw dan para sahabat. Mari kita hormati keragaman pendapat ulama.
Nadirsyah HosenSebenarnya tidak ada larangan dalam nash al-Qur’an dan Hadits yang secara tegas melarang Muslim masuk gereja atau rumah ibadah lain. Karena itu, perkara ini masuk ke wilayah interpretasi, atau penafsiran para ulama. Itulah sebabnya para ulama berbeda pandangan mengenai status hukumnya.
Saya kutip keterangan dari kitab Mausu’ah Fiqh Kuwait. Kitab ini ensiklopedia persoalan fiqh dari berbagai mazhab. Begini penjelasannya:
يَرَى الْحَنَفِيَّةُ أَنَّهُ يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ دُخُول الْبِيعَةِ
وَالْكَنِيسَةِ، لأَِنَّهُ مَجْمَعُ الشَّيَاطِينِ، لاَ مِنْ حَيْثُ
إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَقُّ الدُّخُول. وَذَهَبَ بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ فِي
رَأْيٍ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ دُخُولُهَا
إِلاَّ بِإِذْنِهِمْ، وَذَهَبَ الْبَعْضُ الآْخَرُ فِي رَأْيٍ آخَرَ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ دُخُولُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ. وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ لِلْمُسْلِمِ دُخُول بِيعَةٍ وَكَنِيسَةٍ وَنَحْوِهِمَا وَالصَّلاَةَ فِي ذَلِكَ، وَعَنْ أَحْمَدَ يُكْرَهُ إِنْ كَانَ ثَمَّ صُورَةٌ، وَقِيل مُطْلَقًا، ذَكَرَ ذَلِكَ فِي الرِّعَايَةِ، وَقَال فِي الْمُسْتَوْعِبِ: وَتَصِحُّ صَلاَةُ الْفَرْضِ فِي الْكَنَائِسِ وَالْبِيَعِ مَعَ الْكَرَاهَةِ، وَقَال ابْنُ تَمِيمٍ. لاَ بَأْسَ بِدُخُول الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ الَّتِي لاَ صُوَرَ فِيهَا، وَالصَّلاَةِ فِيهَا. وَقَال ابْنُ عَقِيلٍ: يُكْرَهُ كَالَّتِي فِيهَا صُوَرٌ، وَحَكَى فِي الْكَرَاهَةِ رِوَايَتَيْنِ. وَقَال فِي الشَّرْحِ. لاَ بَأْسَ بِالصَّلاَةِ فِي الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَةِ رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَأَبِي مُوسَى وَحَكَاهُ عَنْ جَمَاعَةٍ، وَكَرِهَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمَالِكٌ الصَّلاَةَ فِي الْكَنَائِسِ لأَِجْل الصُّوَرِ،
إِلاَّ بِإِذْنِهِمْ، وَذَهَبَ الْبَعْضُ الآْخَرُ فِي رَأْيٍ آخَرَ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ دُخُولُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ. وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ لِلْمُسْلِمِ دُخُول بِيعَةٍ وَكَنِيسَةٍ وَنَحْوِهِمَا وَالصَّلاَةَ فِي ذَلِكَ، وَعَنْ أَحْمَدَ يُكْرَهُ إِنْ كَانَ ثَمَّ صُورَةٌ، وَقِيل مُطْلَقًا، ذَكَرَ ذَلِكَ فِي الرِّعَايَةِ، وَقَال فِي الْمُسْتَوْعِبِ: وَتَصِحُّ صَلاَةُ الْفَرْضِ فِي الْكَنَائِسِ وَالْبِيَعِ مَعَ الْكَرَاهَةِ، وَقَال ابْنُ تَمِيمٍ. لاَ بَأْسَ بِدُخُول الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ الَّتِي لاَ صُوَرَ فِيهَا، وَالصَّلاَةِ فِيهَا. وَقَال ابْنُ عَقِيلٍ: يُكْرَهُ كَالَّتِي فِيهَا صُوَرٌ، وَحَكَى فِي الْكَرَاهَةِ رِوَايَتَيْنِ. وَقَال فِي الشَّرْحِ. لاَ بَأْسَ بِالصَّلاَةِ فِي الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَةِ رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَأَبِي مُوسَى وَحَكَاهُ عَنْ جَمَاعَةٍ، وَكَرِهَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمَالِكٌ الصَّلاَةَ فِي الْكَنَائِسِ لأَِجْل الصُّوَرِ،
Dari penjelasan di atas, paling tidak ada 4 perbedaan pendapat ulama.
Pertama, Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa MAKRUH bagi seorang Muslim memasuki sinagog dan gereja.
Kedua, Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa TIDAK BOLEH bagi orang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim KECUALI ada izin dari mereka. Sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain berpendapat bahwa TIDAK HARAM memasuki tempat ibadah non-Muslim meski tanpa ada izin dari mereka.
Ketiga, Ulama mazhab Hanbali berpendapat BOLEH bahwa memasuki sinagog dan gereja, dan rumah ibadah lainnya, serta melalukan shalat di dalamnya, tapi hukumnya MAKRUH menurut Imam Ahmad, jika di dalamnya ada gambar.
Keempat, Ibn Tamim berpendapat tidak mengapa masuk sinagog dan gereja jika tidak ada gambar di dalamnya, begitu juga shalat di dalamnya. Ibn Aqil berpendapat makruh karena ada gambar. Masalah ini ada dua pendapat: ada yang bilang tidak mengapa shalat di dalam gereja berdasarkan riwayat dari sahabat Nabi, Ibnu Umar dan Abu Musa, sebagaimana dikisahkan oleh banyak ulama, dan ada juga riwayat dari Ibn Abbas dan Malik bahwa shalat di gereja makruh karena ada gambarnya.
Penjelasan di atas terdapat dalam juz 20, halaman 245.
Adapun dalam juz 38, halaman 155, masih di kitab yang sama, ada tambahan keterangan:
وَيَرَى الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَبَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ أَنَّ لِلْمُسْلِمِ دُخُول بِيعَةٍ وَكَنِيسَةٍ وَنَحْوِهِمَا
“Ulama mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa BOLEH bagi orang Muslim memasuki sinagog, gereja dan rumah ibadah lainnya.”
Bayangkan, kita masih berdebat soal boleh memasuki gereja atau tidak, para ulama bahkan sudah membahas bolehkah shalat di dalam gereja. Seperti tercantum di atas, mereka mengatakan sholatnya sah, dan ada yang membolehkan secara mutlak, namun ada yang memgatakan sah, namun makruh karena ada gambar di dalam gereja.
Kita tambahkan dengan mengutip satu kitab fiqh perbandingan mazhab lainnya, yaitu kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah.
Dalam juz 2, halaman 57:
[فَصْلٌ الصَّلَاةِ فِي الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَة]
(٩٦٩) فَصْلٌ: وَلَا بَأْسَ بِالصَّلَاةِ فِي الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَةِ، رَخَّصَ فِيهَا الْحَسَنُ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالشَّعْبِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَرُوِيَ أَيْضًا عَنْ عُمَرَ وَأَبِي مُوسَى، وَكَرِهَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمَالِكٌ الْكَنَائِسَ؛ مِنْ أَجْلِ الصُّوَرِ. وَلَنَا «، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَفِيهَا صُوَرٌ» ، ثُمَّ هِيَ دَاخِلَةٌ فِي قَوْلِهِ – عَلَيْهِ السَّلَامُ -: «فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ فَصَلِّ، فَإِنَّهُ مَسْجِدٌ»
(٩٦٩) فَصْلٌ: وَلَا بَأْسَ بِالصَّلَاةِ فِي الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَةِ، رَخَّصَ فِيهَا الْحَسَنُ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالشَّعْبِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَرُوِيَ أَيْضًا عَنْ عُمَرَ وَأَبِي مُوسَى، وَكَرِهَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمَالِكٌ الْكَنَائِسَ؛ مِنْ أَجْلِ الصُّوَرِ. وَلَنَا «، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَفِيهَا صُوَرٌ» ، ثُمَّ هِيَ دَاخِلَةٌ فِي قَوْلِهِ – عَلَيْهِ السَّلَامُ -: «فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ فَصَلِّ، فَإِنَّهُ مَسْجِدٌ»
Ibn Qudamah menjelaskan al-Hasan, Umar bin Abdul Azis, Sya’bi, Awza’i dan Sa’id bin Abdul Azis, serta riwayat dari Umar bin Khattab dan Abu Musa, mengatakan tidak mengapa shalat di dalam gereja yang bersih. Namun Ibn Abbas dan Malik memakruhkannya karena ada gambar di dalam gereja. Namun bagi kami (Ibn Qudamah dan ulama yang sepaham dengannya) Nabi Saw pernah shalat di dalam Ka’bah dan di dalamnya ada gambar. Ini juga termasuk dalam sabda Nabi: “jika waktu shalat telah tiba, kerjakan shalat di manapun, karena di manapun bumi Allah adalah masjid (tempat sujud).”
Ibn Qudamah juga mengutip kisah menarik dalam juz 7, halaman 283:
وَرَوَى ابْنُ عَائِذٍ فِي ” فُتُوحِ الشَّامِ “، أَنَّ النَّصَارَى
صَنَعُوا لَعُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، حِينَ قَدِمَ الشَّامَ،
طَعَامًا، فَدَعَوْهُ، فَقَالَ: أَيْنَ هُوَ؟ قَالُوا: فِي الْكَنِيسَةِ،
فَأَبَى أَنْ يَذْهَبَ، وَقَالَ لَعَلِيٍّ: امْضِ بِالنَّاسِ،
فَلِيَتَغَدَّوْا. فَذَهَبَ عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بِالنَّاسِ،
فَدَخَلَ الْكَنِيسَةَ، وَتَغَدَّى هُوَ وَالْمُسْلِمُونَ، وَجَعَلَ
عَلِيٌّ يَنْظُرُ إلَى الصُّوَرِ، وَقَالَ: مَا عَلَى أَمِيرِ
الْمُؤْمِنِينَ لَوْ دَخَلَ فَأَكَلَ،
وَهَذَا اتِّفَاقٌ مِنْهُمْ عَلَى إبَاحَةِ دُخُولِهَا وَفِيهَا الصُّورُ، وَلِأَنَّ دُخُولَ الْكَنَائِسِ وَالْبِيَعِ غَيْرُ مُحَرَّمٍ
وَهَذَا اتِّفَاقٌ مِنْهُمْ عَلَى إبَاحَةِ دُخُولِهَا وَفِيهَا الصُّورُ، وَلِأَنَّ دُخُولَ الْكَنَائِسِ وَالْبِيَعِ غَيْرُ مُحَرَّمٍ
Ketika Umar bin Khattab memasuki negeri Syam dan itu diketahui oleh kaum Nasrani negeri tersebut, mereka berinisiatif untuk menyambut Umar dengan menyajikannya makanan. Namun jamuannya itu disajikan di dalam gereja mereka. Lalu Umar menolak hadir dan memrintahkan ‘Ali untuk menggantikannya. Datanglah ‘Ali ke undangan tersebut lalu masuk ke dalamnya dan menyantap hidangan yang disediakan. Kemudian Ali berkata: “aku tidak tahu kenapa Umar menolak datang?” Kata Ibn Qudamah, ini bukti kesepakatan mereka para sahabat bahwa memasuki gereja/sinagog tidaklah haram.
Nah, mungkin ada yang bertanya: mengapa Umar menolak datang? Kalau haram, mengapa Umar mengutus Ali? Kelihatannya alasan Umar tidak mau masuk dan menghadiri jamuan di gereja adalah karena khawatir umat Islam akan memahami bahwa boleh merebut gereja itu dan mengubahnya dijadikan masjid. Ini juga yang dilakukan Umar saat menolak masuk ke gereja di Palestina. Umar menghindari kerusakan dan kekerasan. Namun, jelas bahwa Imam Ali dan para sahabat memasuki gereja dan menghadiri jamuan di dalamnya.
Demikianlah penjelasan dari kitab klasik yang otoritatif agar kita tidak memahami persoalan ini dengan emosi dan mudah mengkafirkan atau memurtadkan suadara kita yang masuk ke dalam gereja. Ini bukan jawaban orang liberal, syi’ah, orientalis, sekuler atau sebagainya. Ini murni jawaban dari kitab fiqh berdasarkan pendapat para ulama, dan praktek Nabi Saw dan para sahabat. Mari kita hormati keragaman pendapat ulama.
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School. Juga Pengasuh PonPes Ma'had Aly Raudhatul Muhibbin, Caringin Bogor pimpinan DR KH M Luqman Hakim.
0 comments:
Posting Komentar