Berkah Dewi Sri

Bagian 1


Di tengah hamparan ladang padi yang menguning, di mana aroma padi segar berbaur dengan angin sepoi-sepoi, aku terdiam. Di hadapan Dewi Sri, sosok yang memancarkan keanggunan, hatiku dipenuhi rasa syukur yang tak terhingga. Senja mulai merangkak, memberikan warna keemasan yang menghiasi langit. Suasana ini terasa sakral, seolah waktu berhenti, memberi ruang bagi setiap detak jantungku yang berdoa.


Dewi Sri, dengan sinar lembutnya bak bulan purnama, menjelma di hadapanku. Di tangannya, ia memegang beras yang berkilau seperti permata, seolah menyimpan janji akan kehidupan yang damai dan makmur. Setiap butir beras yang berjatuhan menjadi lambang berkah bagi setiap insan yang merendahkan hati dan bersyukur. Saat aku mengamati ladang hijau subur di sekelilingku, ingatanku melayang kepada Arga—pria yang telah mencuri hatiku sejak pertama kali kami bertemu di ladang ini.


Kami sering bercanda dan berbagi mimpi tentang masa depan yang lebih baik. Dia adalah sahabat sekaligus cinta pertama yang selalu ada di setiap langkahku. Dalam doaku, aku tidak hanya meminta untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk kami berdua. “Ya, Yang Maha Agung, berikanlah berkah untukku dan untuk Arga. Semoga cinta kami selalu diberkahi dan hidup kami dipenuhi keindahan,” seruku dalam hati, seolah melawan batas-batas waktu dan ruang.


Kedua tangan kami saling menggenggam, menyatukan harapan dan impian. Dalam pelukan alam yang menakjubkan ini, aku merasakan cinta yang tak terbatas, hadir bersama rahmat yang dijanjikan Dewi Sri. Harapan kami menjadi kuat, seolah taburan beras di atas tanah yang subur, siap untuk ditanam agar menghasilkan panen melimpah.

Saat malam menjelang, suara gemerisik dedaunan dan kicau burung yang kembali ke sarang menambah suasana mistis. Dewi Sri, dalam keanggunannya, tampak menari mengikuti alunan angin. “Jangan takut, anakku,” katanya lembut, “Cinta yang tulus dan permohonan yang ikhlas akan selalu mendatangkan berkah.”

Aku menatapnya, merasa diselimuti oleh rasa damai. “Tapi bagaimana jika kami menghadapi rintangan?” tanyaku, mencemaskan berbagai tantangan yang mungkin menghalangi jalan cinta kami.

“Setiap tantangan adalah bagian dari perjalanan. Jika kau menjaga niatmu murni, maka jalan akan selalu terbuka,” jawab Dewi Sri. Kata-katanya menyentuh jiwaku, seolah memberiku kekuatan baru untuk menghadapi masa depan.

Dengan satu gerakan tangan, Dewi Sri menebarkan beras ke angin malam, dan butiran-butiran itu berkilau di bawah cahaya bintang. “Ingatlah, setiap biji yang jatuh adalah harapan yang baru. Jaga cinta ini dengan tulus dan penuh rasa syukur,” pesan Dewi Sri sebelum menghilang dalam cahaya bulan.

Setelah kehadiran Dewi Sri, aku merasa lebih kuat. Dengan semangat baru, aku kembali ke ladang, di mana Arga sedang menanti. Ia tersenyum, cahaya purnama menerangi wajahnya. “Kau tampak berbeda,” katanya. “Apa yang terjadi?”

Aku mengisahkan pengalaman itu—kehadiran Dewi Sri dan pesan yang kubawa. Matanya berbinar, dan saat aku menyelesaikan cerita, ia meraih tanganku. “Dengan cinta dan keikhlasan, kita akan menghadapi apa pun bersama. Aku berjanji untuk selalu bersamamu,” ucapnya.

Di bawah cahaya bulan yang bersinar cerah, kami saling berjanji untuk menjaga cinta ini, menjaga setiap harapan yang kami tanam. Saat padi menguning, begitu juga cinta kami—semakin kuat, berakar dalam, dan siap untuk dituai.

Hari-hari berlalu, setiap momen penuh dengan kebahagiaan dan tantangan. Kami belajar untuk menghadapi rintangan, dan setiap kali ada masalah, kami kembali ke ladang, mengingat janji kami kepada Dewi Sri. Setiap sujud dan doa selalu mengingatkan kami akan harapan dan berkah yang datang dari-Nya.

Akhirnya, saat panen tiba, ladang kami berbuah melimpah. Butir-butir padi yang berkilau di bawah sinar matahari seolah menjadi saksi perjalanan cinta kami—cinta yang dijaga dengan doa dan harapan. Dalam setiap butir beras, tersimpan berkah dari Dewi Sri, yang selalu mengawasi dan memberkati cinta yang tulus.

Dengan penuh rasa syukur, kami berdua berdiri di tengah ladang, memandang keindahan hasil panen yang melimpah. “Inilah berkah kita,” bisikku, memandang Arga dengan penuh cinta. Ia menggenggam tanganku lebih erat, dan dalam sekejap, aku tahu bahwa cinta kami adalah berkah yang tak ternilai, seperti ladang padi yang subur, yang akan selalu tumbuh dan berbuah.

 

Bagian 2 

Hari-hari panen membawa kesibukan yang menyenangkan. Setiap pagi, aku dan Arga memulai aktivitas di ladang. Butir-butir padi yang telah menguning dipanen dengan hati-hati, dikumpulkan menjadi tumpukan besar yang kemudian diangkut ke lumbung. Setiap gerakan tangan, setiap langkah kaki kami di atas tanah, dipenuhi dengan rasa syukur yang mendalam. Kami bekerja bersama di bawah terik matahari, tapi rasa lelah sirna oleh semangat dan kebahagiaan yang kami rasakan.


Di suatu sore yang cerah, setelah menyelesaikan pekerjaan, kami duduk di tepi ladang, memandang hamparan padi yang telah terpotong rapi. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan semburat warna keemasan yang menghangatkan hati. Arga meraih segenggam padi dan menatapnya dalam-dalam. “Aku ingat, ketika kita pertama kali bekerja bersama di ladang ini, rasanya begitu berat. Tapi sekarang, lihatlah hasilnya. Semua yang kita tanam telah berbuah,” katanya sambil tersenyum.


Aku mengangguk dan memandang ke arah langit yang perlahan berubah menjadi oranye dan ungu. “Aku juga bersyukur atas semua ini, Arga. Aku bersyukur telah bertemu denganmu, menjalani setiap tantangan bersama. Dewi Sri tidak hanya memberi kita berkah pada padi ini, tapi juga pada cinta yang kita miliki.”

Arga menoleh padaku dan menggenggam tanganku erat. “Dewi Sri memang memberi berkah, tapi lebih dari itu, kamu adalah berkah terindah dalam hidupku,” ujarnya pelan. Kata-katanya membuat jantungku berdebar lebih cepat, dan dalam momen itu, aku merasakan betapa dalamnya perasaannya padaku.


Namun, di balik kebahagiaan itu, aku tidak bisa menyingkirkan bayang-bayang kekhawatiran yang perlahan datang. Desa kami, yang dulu begitu damai, kini mulai terganggu oleh datangnya para saudagar asing yang membawa tawaran besar. Mereka ingin membeli tanah kami, menawarkan harga tinggi yang menggiurkan bagi sebagian orang. Banyak tetangga mulai tergoda, menjual lahan-lahan mereka dan meninggalkan desa untuk mengejar kehidupan yang dianggap lebih baik di kota.

Aku dan Arga tetap bertahan. Kami percaya bahwa tanah ini bukan hanya soal uang, melainkan soal kehormatan, kebanggaan, dan warisan dari nenek moyang kami. Di setiap jengkal tanah ini, ada cerita, ada doa yang diucapkan para leluhur, dan ada berkah Dewi Sri yang tidak bisa kami abaikan. Tapi tekanan semakin besar, terutama saat salah satu saudagar mendatangi kami secara langsung.


Di sebuah malam yang gelap, ketika bintang-bintang terlihat terang di langit, saudagar itu datang ke rumah kami. Ia membawa sejumlah uang dalam kantong besar, memamerkannya di hadapan kami. “Kalian bisa hidup lebih makmur di kota dengan uang ini. Tidak perlu lagi bekerja keras di ladang. Tanah ini bisa kami kelola dengan lebih modern, dan kalian bisa menikmati hasilnya tanpa harus bersusah payah,” kata saudagar itu dengan nada yang memikat.

Arga menatapku dengan ragu, dan aku merasakan ketegangan di udara. “Terima kasih atas tawaranmu, tapi tanah ini lebih dari sekadar ladang bagi kami. Ini adalah rumah, tempat kami berdoa dan mengharapkan berkah. Kami tidak bisa menjualnya,” jawabku tegas, mencoba menutupi kegugupanku.

Wajah saudagar itu berubah serius. “Kalian akan menyesal. Dunia terus bergerak maju, dan kalian akan tertinggal jika tetap di sini. Pikirkanlah, mungkin suatu hari nanti, kalian akan berubah pikiran.”

Setelah kepergian saudagar itu, Arga tampak gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di halaman rumah, sementara aku duduk di beranda, memandangi padi yang tersisa di lumbung. “Apakah kita mengambil keputusan yang tepat?” tanya Arga akhirnya, suaranya terdengar ragu. “Bagaimana jika benar, kehidupan di kota lebih baik bagi kita?”

Aku menatapnya, mencoba menemukan jawaban di balik wajahnya yang dipenuhi keraguan. “Kita punya sesuatu yang lebih berharga di sini, Arga. Setiap butir padi yang kita panen, setiap doa yang kita ucapkan di ladang ini, memiliki makna yang lebih dalam daripada uang. Dewi Sri telah memberikan kita berkah, dan aku percaya, jika kita menjaga tanah ini, berkah itu tidak akan pernah hilang.”

Arga terdiam, merenungi kata-kataku. Perlahan, kekhawatiran di wajahnya mulai memudar, digantikan oleh tekad yang kuat. “Kamu benar. Kita tidak boleh tergoda. Ladang ini adalah kehidupan kita, cinta kita, dan harapan yang selalu kita tanam. Aku akan selalu berdiri di sisimu, menjaga tanah ini, apa pun yang terjadi.”

Malam itu, kami kembali ke ladang, memandang bintang-bintang yang bersinar terang di langit. Di antara rintik-rintik embun yang mulai turun, kami menanam kembali benih-benih padi dengan harapan baru. Kami yakin, berkah Dewi Sri akan terus menjaga kami, selagi kami menjaga warisan tanah ini.

Meskipun tekanan dari luar semakin kuat, kami belajar bahwa berkah tidak selalu datang dalam bentuk kemewahan atau kenyamanan. Bagi kami, berkah adalah kemampuan untuk tetap setia pada apa yang kami percaya, menjaga cinta dan harapan, serta menghormati setiap doa yang diucapkan para leluhur kami.

Musim demi musim berganti, dan ladang kami tetap hijau, menguning setiap kali panen tiba. Di bawah naungan cahaya rembulan, kami tahu bahwa cinta kami, seperti padi yang menguning, akan terus tumbuh, berkembang, dan memberikan kehidupan bagi kami dan generasi yang akan datang.

Di tengah segala perubahan yang terjadi di dunia, kami menemukan bahwa berkah Dewi Sri tidak pernah berakhir. Ia tetap hadir di setiap helai daun yang menari bersama angin, di setiap butir padi yang mengisi lumbung, dan di dalam hati kami yang selalu penuh syukur.

 

Bagian 3 

Waktu berlalu, dan musim panen terus bergulir seperti roda waktu yang tak pernah berhenti. Ladang kami tetap menjadi tempat di mana impian kami berakar dan tumbuh. Desa kami, meski banyak yang telah meninggalkan tanahnya, tetap hidup dengan harmoni di antara mereka yang memilih untuk bertahan. Ladang-ladang yang masih tersisa menandakan jejak masa lalu yang terus kami jaga.


Namun, di balik keteguhan kami, awan kelabu mulai menyelimuti desa. Kehadiran para saudagar itu tidak berhenti. Mereka kembali dengan taktik baru, menggunakan pengaruh dan uang untuk menekan para penduduk yang bertahan. Kali ini, mereka membawa izin dari pemerintah daerah untuk membangun sebuah pabrik di tanah desa kami. Janji-janji tentang lapangan kerja dan kemajuan terus digaungkan, seolah-olah itulah satu-satunya masa depan yang layak diperjuangkan.

Di sebuah pertemuan desa, para saudagar itu kembali berbicara di depan penduduk, mencoba membujuk mereka agar menyerahkan tanah-tanah yang tersisa. “Ini adalah kesempatan untuk masa depan yang lebih cerah. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Desa ini bisa menjadi pusat kemajuan, dan kalian semua akan menjadi bagian dari perubahan itu,” kata salah seorang saudagar dengan suara lantang.


Sebagian penduduk mulai ragu. Mereka terpengaruh oleh tawaran itu, apalagi dengan desakan kebutuhan hidup yang semakin hari semakin sulit. Aku melihat wajah-wajah yang biasanya teguh kini mulai melemah, dan kekhawatiran kembali menghantui hatiku. Tapi Arga berdiri di sampingku, memberikan dukungan dengan tatapannya yang penuh keyakinan.

Akhirnya, aku mengangkat tangan, meminta untuk berbicara. “Tanah ini adalah warisan leluhur kita, warisan dari nenek moyang yang telah menjaga desa ini selama berabad-abad. Apakah kita akan mengorbankannya hanya demi janji kemajuan yang belum tentu membawa kebaikan? Aku percaya bahwa kehidupan kita bisa tetap sejahtera tanpa harus menjual tanah ini. Ladang-ladang kita, pohon-pohon, sungai yang mengalir di tengah desa—semua ini adalah sumber kehidupan yang sudah cukup bagi kita.”


Beberapa penduduk tampak tergerak, tetapi saudagar itu tak tinggal diam. “Kalian berbicara tentang warisan, tapi warisan tidak bisa memberi kalian kesejahteraan. Apa kalian ingin anak-anak kalian hidup dalam kesulitan?”

Aku menghela napas, mencoba menahan emosi yang menggelegak di dada. “Tidak ada yang lebih berharga dari rasa syukur dan keberkahan yang kita dapatkan dari tanah ini. Ladang ini adalah rumah, tempat kita berdoa dan menanam harapan. Jika kita merawatnya dengan sepenuh hati, aku yakin Dewi Sri akan selalu menjaga kita.”

Kata-kataku menggema di antara penduduk yang terdiam. Saudagar itu hanya mendengus, kemudian meninggalkan pertemuan dengan kesan kecewa. Tapi aku tahu, perlawanan mereka tidak akan berhenti di sini.


Malam itu, setelah pertemuan desa yang penuh ketegangan, aku dan Arga kembali ke rumah dengan hati yang berdebar. Kami duduk di depan tungku, menghangatkan diri dari hawa malam yang menusuk. Arga menggenggam tanganku, mencoba memberikan kekuatan di tengah kecemasan yang mendera. “Kita telah memilih jalan ini, dan kita akan menjalaninya sampai akhir. Apapun yang terjadi, kita tidak boleh menyerah,” katanya pelan, namun penuh ketegasan.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. Di tengah segala ancaman, aku tetap merasa bahwa ada kekuatan tak terlihat yang melindungi kami, seolah-olah Dewi Sri selalu hadir, mengawasi dan menjaga.

Beberapa minggu kemudian, malam-malam desa dipenuhi desas-desus bahwa para saudagar akan menggunakan cara-cara kasar untuk memaksa kami menyerah. Desas-desus itu terbukti saat sekelompok orang asing muncul di ladang kami pada suatu malam. Mereka membawa alat-alat berat, siap untuk meratakan tanah yang kami jaga dengan susah payah. Arga dan beberapa penduduk yang bertahan mencoba menghadang mereka, tetapi jumlah mereka lebih banyak, dan mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan.

Di tengah ketegangan itu, aku berlari ke sebuah pohon besar di tepi ladang, tempat aku biasa berdoa. Aku merapalkan doa-doa yang telah kuingat sejak kecil, memohon agar Dewi Sri membantu kami, agar tanah ini tidak diambil begitu saja. Dalam keputusasaan, aku memejamkan mata dan merasakan angin dingin menyentuh wajahku.

Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, seolah-olah datang dari segala penjuru. Daun-daun kering berputar di udara, menciptakan suara gemerisik yang memekakkan telinga. Para saudagar dan orang-orang yang mereka bawa tertegun, melihat fenomena aneh yang terjadi di sekitar mereka. Seorang pria tua dari desa mendekatiku, wajahnya penuh keterkejutan. “Ini tanda dari Dewi Sri,” bisiknya.

Orang-orang mulai percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kekuasaan dan uang. Mereka yang semula ragu, kini berdiri bersama kami, melawan dengan hati yang penuh keberanian. Para saudagar itu mundur perlahan, merasa gentar oleh kekuatan alam yang tidak bisa mereka kuasai.

Setelah kejadian malam itu, para saudagar tidak pernah kembali lagi ke desa kami. Mereka meninggalkan ambisi mereka untuk menguasai tanah ini, dan desa kembali tenang. Arga dan aku, bersama penduduk yang tersisa, kembali mengolah ladang-ladang yang tersisa dengan rasa syukur yang semakin mendalam. Setiap kali kami memanen, kami selalu mengingat malam ketika angin kencang datang, sebagai simbol perlindungan dari Dewi Sri.

Malam-malam yang tenang kini diisi dengan doa dan syukur yang tak putus-putus. Kami tahu bahwa menjaga ladang ini bukan sekadar menjaga tanah, tetapi juga menjaga harapan, cinta, dan warisan yang telah diberikan oleh Dewi Sri. Aku dan Arga berdiri di tengah ladang, melihat ke sekeliling dengan hati yang damai.

“Seperti yang kau bilang dulu, kita akan menjaga tanah ini bersama. Dan kita berhasil melakukannya,” ucap Arga dengan senyuman.

Aku memandangnya dengan penuh rasa cinta. “Dan selamanya, berkah Dewi Sri akan terus bersama kita.”

Dalam dekapan malam yang penuh bintang, kami berdua memandang hamparan ladang yang subur. Kami tahu, ini bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru—perjalanan menjaga warisan leluhur, merawat tanah ini dengan cinta yang abadi. Di dalam setiap hembusan angin dan setiap butir padi yang menguning, kami merasakan kehadiran Dewi Sri yang selalu memberi berkah pada tanah ini dan pada cinta yang kami jaga dengan setia.

Tamat.

 

0 comments:

Luncurkan toko Anda hanya dalam 4 detik dengan 
 
Top