KrishnaVandanu

Puncak Ilmu Kejawen

<div style="text-align: justify;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjB6OC8dBNdtSujsG5RcsSSAKb0EP36fsri3jEx293u5Y0XZvEsRTGeTcS86HYdb5MlOVaUTjx-o7MeoDMzaVybOux2-CAYpMDtla76uArD8oy5lfGs7erWBc5b5BrO3Qdndtlzp4VaH3jr/s1600/puncak_ilmu_kejawen.jpeg" /></div><div style="text-align: justify;">Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya </div><div style="text-align: justify;">Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno.  Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26; </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut;</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni; </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.</div><div style="text-align: justify;">Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” </div><div style="text-align: justify;">Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan Wisrawa. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni; </div><div style="text-align: justify;">Dosomuko</div><div style="text-align: justify;">Kumbokarno</div><div style="text-align: justify;">Sarpokenoko</div><div style="text-align: justify;">Gunawan Wibisono </div><div style="text-align: justify;">Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni; </div><div style="text-align: justify;">Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.</div><div style="text-align: justify;">Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.</div><div style="text-align: justify;">Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).</div><div style="text-align: justify;">Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah). </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima (mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air kehidupan atau tirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudia bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu  (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.  </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat  Diyu.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sifat Manusia Terpilih </div><div style="text-align: justify;">Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.<br />
</div>

Puncak Ilmu Kejawen

Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejang...

Wedharing Ilmu Kabatosan kitab Primbon Atassadhur Adammakna

<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
Di dalam kepustakaan Jawa, dikenal kitab kuno, yakni <b>kitab Primbon Atassadhur Adammakna</b>, merupakan salah satu kitab terpenting dalam ajaran Kejawen. Di dalamnya memuat ajaran-ajaran utamanya yakni Wirid Maklumat Jati di mana mencakup delapan wiridan sebagai berikut ;</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Wirayat-Jati; ajaran yang mengungkap rahasia dan hakikatnya ilmu kasampurnan. Ilmu “pangracutan” sebagaimana yang ditempuh oleh Sinuhun Kanjeng Sultan Agung merupakan bentuk “laku” untuk menggapai ilmu kasampurnan ini.</li>
<li>Laksita-Jati; ajaran tentang langkah-langkah panglebur raga, agar supaya orang yang meninggal dunia, raganya dapat melebur ke dalam jiwa (warangka manjing curiga). Kamuksan, mokswa,  atau mosca, yakni mati secara sempurna, raga  hilang bersama sukma, yang lazim dilakukan para leluhur zaman dahulu merupakan wujud warangka manjing curiga.</li>
<li>Panunggal-Jati; ajaran tentang hakikat Tuhan dan manusia mahluk ciptaanNya. Atau hakikat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Meretas hakekat ajaran tentang “manunggaling kawula lan Gusti” atau “jumbuhing kawula-Gusti”. Panunggal-Jati berbeda dengan Aji Panunggal. Aji Panunggal membeberkan ke-ada-an jati diri manusia, yang meliputi adanya pancaindera. Aji Panunggal juga mengajarkan tata cara atau teknik untuk melakukan semedi/maladihening/mesu budi/yoga sebagai upaya jiwa dalam rangka menundukkan raga. </li>
<li>Karana-Jati; ajaran tentang hakikat dan asal muasalnya manusia, ajaran ini sebagai cikal bakal ilmu “sangkan-paraning dumadi”. Siapakah sejatinya manusia. Hendaknya apa yang dilakukan manusia. Akan kemana kah selanjutnya manusia. </li>
<li>Purba Jati; ajaran tentang hakikat Dzat, ke-Ada-an Dzat yang  sejati. Menjawab pertanyaan,”Tuhan ada di mana ? Dan membeberkan ilmu tentang sejatinya Tuhan. Seyogyanya Purba Jati dibaca oleh pembaca yang budiman dan bijaksana, dan bagi yang telah mencapai tingkatan pemahaman tasawuf agar supaya tidak terjadi kekeliruan pemahaman.</li>
<li>Saloka-Jati; ilmu tentang perlambang, sanepan, kiasan yang merupakan pengejawantahan dari bahasa alam, yang tidak lain adalah bahasa Tuhan. Supaya manusia menjadi lebih bijaksana dan mampu nggayuh kawicaksananing Gusti; mampu membaca dan memaknai bahasa (kehendak) Tuhan. Sebagai petunjuk dasar bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan.</li>
<li>Sasmita-Jati; ilmu yang mengajarkan ketajaman batin manusia supaya mengetahui kapan “datangnya janji” akan tiba. Semua manusia akan mati, tetapi tak pernah tahu kapan akan meninggal dunia. Sasmita Jati mengungkap tanda-tanda sebelum seseorang meninggal dunia. Tanda-tanda yang dapat dibaca apabila kurang tiga tahun hingga sehari seseorang akan meninggal dunia. Dan bagaimana manusia mempersiapkan diri untuk menyongsong hari kematiannya. </li>
<li>Wasana-Jati; ilmu yang menggambarkan apa yang terjadi pada waktu detik-detik terakhir seseorang meninggal dunia, dan apa yang terjadi dengan sukma atau ruh sesudah seseorang itu meninggal dunia.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tulisan di atas hanya bersifat pengenalan awal dan pemetaan secara global tentang referensi atau buku-buku khasanah ilmu Jawa. Pada kesempatan selanjutnya, Sabdalangit Insya Allah akan berusaha memaparkan masing-masing ilmu kajaten (Wirit Maklumat Jati) di atas. Mudah-mudahan pemaparan ini dapat memberikan arti dan manfaat.</div>
</div>

Wedharing Ilmu Kabatosan kitab Primbon Atassadhur Adammakna

Di dalam kepustakaan Jawa, dikenal kitab kuno, yakni kitab Primbon Atassadhur Adammakna , merupakan salah satu kitab terpenting dalam ajar...

Kidung Sedulur Papat Sunan Kalijogo

<div style="text-align: justify;">Siang dan malam keempat pendekar gaib ini setia menunggu kita. Saat <br />
genting dan bahaya, dia menyeret kita ke tempat yang aman. Saudara <br />
penjaga gaib ini bukan jin bukan pula gendruwo.<br /><br />
<br /><br />
Semakin lama belajar ajaran-ajaran leluhur Jawa, kita akan semakin <br />
terkagum-kagum pada para nenek moyang. Ilmu yang mereka ajarkan tidak <br />
bertentangan dengan agama, bahkan sesuai dan memperkaya pemahaman agama <br />
yang kita anut.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1kgRhXXtV5jNQlMCZKLaPY5EUyMTlEAJPksMjqbnjNWeQArP36XSebeuAe4lnAEXIRMLZowm1tUdmX2vAVYZBaFAnZ4v1zY_oQ2xq550Wcra_UU_Idnq7IbeALErg1dd2w3pmuanaCcof/s1600/kidung_sedulur_papat.jpeg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1kgRhXXtV5jNQlMCZKLaPY5EUyMTlEAJPksMjqbnjNWeQArP36XSebeuAe4lnAEXIRMLZowm1tUdmX2vAVYZBaFAnZ4v1zY_oQ2xq550Wcra_UU_Idnq7IbeALErg1dd2w3pmuanaCcof/s1600/kidung_sedulur_papat.jpeg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Sayangnya banyak yang masih memandang sebelah mata ajaran para leluhur <br />
Jawa ini. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai syirik, khurofat dan <br />
takhayul. Para penuduh ini mungkin lupa, bahwa ajaran Jawa disampaikan <br />
secara sederhana agar mudah dipahami orang Jawa. Memang, para leluhur <br />
kita kadang tidak fasih melafalkan kata-kata Arab. Para leluhur ini juga<br />
 orang yang masih gagap iptek. Namun, jangan salah sangka dulu.<br /><br />
<br /><br />
Dari segi kebijaksanaan, ngelmu batin dan olah rasa para nenek moyang <br />
kita dulu bisa diandalkan. Mereka adalah para waskita yang mampu <br />
membangun candi Borobudur, Prambanan dan mampu membuat sebuah bangunan <br />
dengan ketepatan geometris dan geologis. Tidak kalah oleh nenek moyang <br />
bangsa Mesir yang mampu membangun piramida, atau nenek moyang suku Inca,<br />
 bangsa Peru yang bisa membangun Manchu Picchu.<br /><br />
<br /><br />
Saat agama Islam masuk ke nusantara, sementara di Jawa saat itu sudah <br />
berkembang agama Hindu, Budha dan berbagai kepercayaan animisme, <br />
dinamisme, politeisme. Islam melebur secara pelan dan damai, <br />
berasimilasi serta berosmosis tanpa pertumpahan darah. Islam agama damai<br />
 dan tidak memaksa. Orang Jawa bersifat pasrah, sumeleh, sumarah, ikhlas<br />
 dan mengandalkan rasa pangrasa. Jadi? Klop sudah!<br /><br />
<br /><br />
Bagi orang Jawa, masuknya Agama Islam yang kaya dengan aspek kebatinan <br />
(tasawuf) sangatlah tepat. Orang Jawa pun tidak kebingungan dengan <br />
ajaran-ajaran mistik yang ada di dalamnya. Namun orang Jawa berhasil <br />
menyederhanakan ajaran-ajaran mistik ini dengan terminologi dan <br />
kalimat-kalimat sederhana dan mudah dimengerti. Harap maklum saja, orang<br />
 Jawa dulu mayoritas hidup di pedesaan yang sederhana dan tidak banyak <br />
berwacana ilmiah.<br /><br />
<br /><br />
Salah satu ajaran Kejawen yang membahas tentang adanya malaikat <br />
pendamping hidup manusia adalah SEDULUR PAPAT LIMO PANCER. Pancer adalah<br />
 tonggak hidup manusia yaitu dirinya sendiri. Diri kita dikelilingi oleh<br />
 empat makhluk gaib yang tidak kasat mata (metafisik). Mereka adalah <br />
saudara yang setia menemani hidup kita. Mulai dilahirkan di dunia hingga<br />
 kita nanti meninggal dunia menuju alam barzakh (alam kelanggengan).<br /><br />
<br /><br />
Sebelum hadirnya agama Islam, orang Jawa tidak memahami konsep malaikat.<br />
 Maka mereka menyebut malaikat penjaga manusia dengan sedulur papat. <br />
Konsep “sedulur papat” ini oleh orang Jawa ditamsilkan melalui sebuah <br />
pengamatan/niteni.<br /><br />
<br /><br />
Mulai saat janin tumbuh di perut ibu, janin dilindungi di dalam rahim <br />
oleh ketuban. Selanjutnya adalah ari-ari, darah dan pusar. Itulah <br />
saudara manusia sejak awal dia hidup dan selanjutnya “empat saudara” ini<br />
 kemudian dikubur. Namun orang Jawa Percaya bahwa “empat saudara” ini <br />
tetap menemani diri manusia hingga ke liang lahat.<br /><br />
<br /><br />
Karena Air Ketuban adalah yang pertama kali keluar saat ibu melahirkan, <br />
orang Jawa menyebutnya SAUDARA TUA. Saudara ini melindungi jasad fisik <br />
dari bahaya. Maka ia adalah SANG PELINDUNG FISIK.<br /><br />
<br /><br />
Selanjutnya yang lebih MUDA adalah ari-ari, tembuni atau plasenta. <br />
Pembungkus janin dalam rahim. Ia melingkupi tindakan janin dalam rahim <br />
yang kemudian mengantarkan kita ke tujuan. Maka ia adalah SANG<br /><br />
<br /><br />
Saudara kita selanjutnya adalah DARAH. Darah ini membantu janin kecil <br />
untuk tumbuh berkembang menjadi bayi lengkap. Darah adalah SARANA DAN <br />
WAHANA IRADAT-NYA pada manusia. Darah bisa disebut nyawa bagi janin. <br />
Maka, darah disebut dengan PEMBANTU SETIA MANUSIA MENEMUKAN JATI DIRINYA<br />
 SEBAGAI HAMBA TUHAN, CERMIN TUHAN (Imago Dei).<br /><br />
<br /><br />
Saudara gaib kita terakhir adalah pusar. Menurut pemahaman Kejawen, <br />
pusar adalah NABI. Pusar secara biologis adalah tali yang menghubungkan <br />
perut bayi dalam rahim dan ari-ari. Pusar mendistribusikan makanan yang <br />
dikonsumsi ibu ke bayi. Pusar dengan demikian MENDISTRIBUSIKAN WAHYU <br />
“IBU” MANUSIA yaitu Gusti Allah SWT kepada diri kita.<br /><br />
<br /><br />
Keempat saudara gaib ini sesungguhnya adalah EMPAT MALAIKAT PENJAGA <br />
manusia. Yang berada di kanan-kiri, depan-belakang kita. Maka, tidak <br />
salah bila Anda menyapa dan bersahabat akrab dengan mereka. Secara gaib,<br />
 Tuhan mmeberikan pengajaran tidak langsung kepada hati kita. Namun <br />
melalui mereka pengajaran itu disampaikan.<br /><br />
<br /><br />
Keempat penjaga (malaikat) itu adalah:<br /><br />
JIBRIL (Penerus informasi Tuhan untuk kita),<br /><br />
IZRAFIL (Pembaca Buku Rencana Tuhan untuk kita),<br /><br />
MIKAIL (Pembagi Rezeki untuk kita) dan<br /><br />
IZRAIL (Penunggu berakhirnya nyawa untuk kita).<br /><br />
<br /><br />
Keempat malaikat itu oleh orang Jawa dianggap sebagai SEDULUR karib <br />
hidup manusia. Bila kita paham bahwa perjalanan hidup untuk bertemu <br />
dengan Tuhan hakikatnya adalah perjalanan menuju “ke dalam” bukan “ke <br />
luar”. Perjalanan menembus langit ketujuh hakikatnya adalah perjalanan <br />
“diri palsu” menuju “diri sejati” dan menemukan SANG AKU SEJATI, YAITU <br />
DIRI PRIBADI/ TUHAN.<br /><br />
<br /><br />
Untuk menemukan SANG AKU SEJATI (limo pancer) itulah kita ditemani oleh <br />
EMPAT SAUDARA GAIB/MALAIKAT PENUNGGU (sedulur papat). Lantas dimana <br />
mereka sekarang? Mereka sekarang sedang mengawasi Anda. Berdzikir <br />
mengagungkan asma-Nya. Kita bisa menjadikan mereka sedulur paling akrab <br />
bila paham bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka. Caranya? Pejamkan<br />
 mata, matikan seluruh aktivitas listrik di otak kiri dan kanan dan <br />
hidupkan sang AKU SEJATI yang ada di dalam diri Anda. Ya, hanya diri <br />
sendirilah yang mampu untuk berkomunikasi dengan para sedulur gaib nan <br />
setia ini.<br /><br />
<br /><br />
Bagaimana tidak setia, bila kemanapun kita berada disitu keempatnya <br />
berada. Bila kita berjalan, mereka terbang. Bila jasad kita tidur, <br />
mereka akan tetap melek ngobrol dengan ruh kita. Maka, saat bangun tidur<br />
 di siang hari pikiran kita akan merasa fresh sebab ruh kita akan <br />
kembali menjejerkan diri kita dengan iradat-Nya. Sayang, saat waktu <br />
beranjak siang polusi nafsu/ego lebih dominan sehingga kebeningan akal <br />
pikiran semakin tenggelam.<br /><br />
<br /><br />
Bagaimana agar hidup kita selalu ingat oleh kehadiran sedulur papat ini <br />
yang setia menjaga kita? Sunan Kalijaga memiliki kidung bagus:<br /><br />
<br /><br />
Ana kidung akadang premati<br /><br />
Among tuwuh ing kuwasanira<br /><br />
Nganakaken saciptane<br /><br />
Kakang kawah puniku<br /><br />
Kang rumeksa ing awak mami<br /><br />
Anekakaken sedya<br /><br />
Pan kuwasanipun adhi ari-ari ika<br /><br />
Kang mayungi ing laku kuwasaneki<br /><br />
Anekaken pangarah<br /><br />
<br /><br />
Ponang getih ing rahina wengi<br /><br />
Angrowangi Allah kang kuwasa<br /><br />
Andadekaken karsane<br /><br />
Puser kuwasanipun<br /><br />
Nguyu uyu sambawa mami<br /><br />
Nuruti ing panedha<br /><br />
Kuwasanireku<br /><br />
Jangkep kadang ingsun papat<br /><br />
Kalimane pancer wus dadi sawiji<br /><br />
Nunggal sawujudingwang</div><div style="text-align: justify;">Ada nyanyian tentang saudara kita yang merawat dengan hati-hati. <br />
Memelihara berdasarkan kekuasaannya. Apa yang dicipta terwujud. Ketuban <br />
itu menjaga badan saya. Menyampaikan kehendak dengan kuasanya. Adik <br />
ari-ari tersebut memayungi perilaku berdasar arahannya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Darah siang malam membantu Allah Yang Kuasa. Mewujudkan kehendak-Nya. <br />
Pusar kekuasaannya memberi perhatian dengan kesungguhan untuk saya. <br />
Memenuhi permintaan saya. Maka, lengkaplah empat saudara itu. Kelimanya <br />
seagai pusat sudah jadi satu. Manunggal dalam perwujudan saya saat ini.</div>

Kidung Sedulur Papat Sunan Kalijogo

Siang dan malam keempat pendekar gaib ini setia menunggu kita. Saat genting dan bahaya, dia menyeret kita ke tempat yang aman. Saudara pen...

ISIM SURYANI

Begini bunyi isim nya. BISMILLAHIRAHMANIRAHIM. MII HIIN RUULIN, NAMHIIN RULIN, AHLALEN, ANSUBIIN, WAHA UPEN, NAKIRIIN, MALUDIN, LAYAMLUDI...

MELIHAT ALAM BARZAH - PADEPOKAN GUNUNG WILIS|MUSTIKA BERTUAH | BENDA PUSAKA ALAM GHAIB| KHODAM SAKTI

BISMILLAHROHMANIROHIM 3 KALI TAHAN NAFAS ………. SAHADAT …………………… 21 KALI ………. SALAWAT NABI……………… 33 KALI TERUS ULUK SALAM………. ASSALAM SALA...

SYARAT MEMINTA REZEKI,DAN WIRIDANNYA,BAGI YANG BELUM PUNYA PEKERJAAN/DAN YANG SUDAH PUNYA USAHA

SYARAT MEMINTA REZEKI,DAN WIRIDANNYA,BAGI YANG BELUM PUNYA PEKERJAAN/DAN YANG SUDAH PUNYA USAHA… SHALAT SUNAH 2 RAKAAT BISMILLAHROHMANIROH...

BUAT UANG BALIK

siapkan lampu sentir 1 buah,golok, terus coba kekebun pisang, tebas pohon setengah aja dipotongnya terus hidupkan lampu sentir nya.taruh...

PEMANGGIL KUNTILANAK

Sapkan daun nangka yg jatuh ketanah,ambil dua lembar…..yg satu ketutup,dan yang satunya kebuka,siapkan minyak mambo 76,harganya minyakny...

Aji Tirta Kanoman

Aji Tirta Kanoman hampir sama khasiatnya dengan Aji Panji Anom Sumunar. <br />
Artinya, ajian ini pun berguna untuk awet muda dan tampil lebih menawan.<br />
 Cara-cara mengamalkannya pun hampir sama dengan Aji Panji Anom Sumunar.<br /><br />
Berikut ini mantranya :<br /><br />
“Bismillahi rokhmani rokhiem,<br /><br />
Telogo manik tirta Kanoman,<br /><br />
Asung tirta sejati,<br /><br />
Kinclong-kinclong wening gandawangi,<br /><br />
Sun siramake saliraku,<br /><br />
Guwayaku mencorong resik,<br /><br />
Sun Siramake kepindo,<br /><br />
Mencorong guwayaku pindo rembulan purnomo,<br /><br />
Byar cahyaku mencorong pindha lintang panjer rino,<br /><br />
Badan saliraku awet enom salawase,<br /><br />
Katresnan wong sabuwono,<br /><br />
Asih saking kersaning Allah,<br /><br />
Laillaha illallah Muhammadu Rasulullah”.<br /><br />
Syarat lelakunya:<br /><br />
Puasa mutih 3 hari 3 malam, dimulai Selasa Kliwon. Selama laku, setiap <br />
hari mandi kramas 7 kali. Setiap mau mandi sebelumnya membaca mantranya 3<br />
 kali.<br /><br />
Cara mengamalkannya:<br /><br />
Selesai lelaku, setiap hari hendak mandi membaca mantra tersebut satu <br />
kali saja. Tetapi usahakan mandinya pagi sebelum matahari terbit. Dan <br />
sorenya mandi sebelum matahari terbenam.<br /><br />
Biasanya sebelum melakukan puasa macam apa saja kita diwajibkan untuk <br />
mandi kramas terlebih dahulu. Doa mandi kramas adalah sebagai berikut:<br /><br />
“Niatingsun adus resik angresiki kotoraning awak saha batin krana Allah Ta’ala.”<br /><br />
Setelah mandi kramas dan membaca doanya, baru membaca mantra puasa mutih sebagai berikut :<br /><br />
“Niatingsun puasa mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahir, dipun ijabahi Gusti Allah.”<br />

Aji Tirta Kanoman

Aji Tirta Kanoman hampir sama khasiatnya dengan Aji Panji Anom Sumunar. Artinya, ajian ini pun berguna untuk awet muda dan tampil lebih men...

Top