Tampilkan postingan dengan label Ma'rifat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ma'rifat. Tampilkan semua postingan

Senin

Jalan Menuju Ma’rifatullah

Ada Tiga Jalan Rohani Menuju Ma’rifatullah

1. Cita Rasa (Dzauq)

Cita rasa adalah pengalaman spiritual langsung. Dzauq merupakan tahapan atau lebih tepatnya, haal (kondisi spiritual) pertama dalam pengalaman pengungkapan diri Allah (tajalli). Rasa ini diperoleh dari perjalanan rohani dalam berbagai maqamat, serta berbagai perilaku dzikir dari seorang sufi.

Dari dzauq, perjalanan seorang sufi terus diarahkan pada kemenyatuan (larut dalam Keesaan) yang sering disebut juga sebagai “syurb” (minuman dari hidangan rohani Illahi). Sehingga dahaga spiritual yang dirasakan menjadi terpuaskan. Terkadang proses ini juga diikuti dengan tahapan sukr (kemabukan spiritual), yang secara tidak sadar, atau diluar kendali diri kemanusiaannya sering memunculkan pertanyaan dan kata-kata serta ungkapan spiritual (syathahat). Hal ini terjadi karena rasa keterkuasaan oleh wujud Tuhan dalam rohaninya.


Kelanjutan proses dzauq dan bagaimana kondisi rohani seseorang yang larut didalamnya, tidak dapat ditangkap melalui kata-kata. “Orang-orang yang merasakannya pasti tahu. Dan mereka yang belum merasakannya pasti belum tahu”. Tanpa secara langsung merasakannya, seseorang tidak akan mungkin mampu mendapatkan gambaran yang paling pas atas fenomena ini. Dan yang jelas, dzauq merupakan gerbang utama untuk memperoleh pengetahuan langsung tentang Allah dan dari Allah. Jadi seorang sufi yang belum bisa merasakan cita rasa spiritual, tidak mungkin akan dapat melampaui tahapan ma’rifatullah. Mungkin kalau sebatas pengetahuan tentang Allah, secara minimal sudah bisa didapatkan. Namn pengetahuan langsung dari Allah sebagai inti ma’rifat belum mampu akan diperolehnya kecuali dengan perasaan dzauq. Dimana seorang hamba larut dalam kemanunggalan dengan Tuhan.

2. Penyingkapan (Kasyf)

Kasyf adalah penyingkapan atau wahyu atau pengetahuan langsung yang diperoleh dari Allah setelah seorang sufi berhasil melampaui tahapan dzauq. Kasyf merupakan salah satu jenis pengetahuan langsung, yang dengan itu pengetahuan tentang Hakikat diungkapkan pada hati seorang sufi dan kekasih yang mencintai Allah.

Dengan sifat rahmat-Nya, Allah memberikan kepadanya sebuah Pengungkapan diri Allah. Tidak hanya menambah pengetahuannya tentang Allah, melainkan juga menambahkannya kerinduannya yang menggelora dalam lautan cintanya kepada Allah. Disinilah seorang sufi sampai pada sebutan ahl al-kasyf wa al-wujud (Kaum Penyingkap dan Penemu). Dalam penyingkapan itulah mereka “menemukan” dan “bertemu” Allah.

Terdapat lima jenis penyingkapan yang terjadi pada para sufi:
  1. Kasyf ‘aqli. Penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif yang paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal (al-‘aql), karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahapan akhir kenaikannya menuju Allah. “Bumi dan langit-Ku tidak sanggup memuat-Ku, hanyalah hamba-Ku yang beriman yang sanggup memuat-Ku “ (hadits qudsi)
  2. Kasyf-i arwah. Adalah bentuk penyingkapan ruh-ruh. Diawali tentang pengetahuan atas ruh diri sendiri, kemudian tentang ruh-ruh manusia dan makhluk lain, lalu meningkat ke ruh dalam seluruh dimensi “alam al-ghaib. Puncaknya adalah pada pengetahuan langsung ruh al-idhafi, dan diarahkannya kepada al-Ruh al-Haqq.
  3. Kasyf bashari atau juga Kasyf kauni. Merupakan penyingkapan pada tataran makhluk. Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang dilakukan Allah. Dalam suatu peristiwa-tempat, tindakan, atau ucapan manusia-seorang yang suci bisa menjadi tempat bagi penyingkapan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan (jamal) dan Keagungan (jalal). Melalui makhlukNya, Allah bisa mengungkapkan diri-Nya pada hambaNya lewat salah satu Nama KeindahanNya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan. Atau lewat salah satu Nama KeagunganNya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan. Disinilah peranan al-asma’ al-husna serta al-asma’ al nabi sangat strategis untuk mengantarkan dan membawa seorang sufi kedalam samudera penghayatan rohaniah.
  4. Kasyf Imani. Penyingkapan melalui keimanan. Penyingkapan ini terjadi melalui ketulusan iman seorang muslim. Kadar intensitas penyingkapan ini bisa berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang Mukmin untuk lebih banyak lagi mencari ilmu dan pengetahuan spiritual.
  5. Al-Kasyf al-Ilahi. Penyingkapan Illahi. Penyingkapan ini merupakan buah manis dari ibadah terus menerus dan menghiasi hati dengan mengingat Allah (dzikrullah). Prosesnya bisa melalui dzikir, wirid, atau mujahadah dan sejenisnya. Penyingkapan Illahi ini bisa terjadi secara langsung dalam hati, tanpa bantuan visual apapun, yakni ketika Keindahan Allah masuk kedalam hati seorang sufi dan pencinta-Nya. Ini juga bisa terjadi dengan bantuan visual yang berupa lokus tertentu Cahaya Illahi seperti dengan sarana wushuliyah seorang suci, benda, atau tempat suci. Ibarat daya listrik yang bukan sumber sendiri, maka ia harus melalui alat penghantar. Atau penampungan air yang tidak berada di sumber air, yang melaluinya air mengalir kepadanya. Seorang yang memperoleh penyingkapan ini akan melihat Wajah Allah yang tercermin melalui sarana hantaran yang ada, dan terpantul ke kedalaman lubuk hati. Dimana ruh al-idhafi akan menangkap pantulan tersebut. Tentu saja tingkat kesempurnaan penyingkapan lebih utama pada penyingkapan spiritual yang tanpa bantuan visual.Berdasarkan konsepsi dan realitas tersebut, maka Syekh Siti Jenar telah termasuk dalam kelompok quthb al-auliya’, dimana seluruh dimensi kasyf memang sudah dialami, dan menjadikannya sebagai “penyingkap” dan “penemu”, yang aliran sufi-nya muncul sebagai aliran sufi mandiri. 


3. Penyaksian (Musyahadah)

Musyahadah adalah penyaksian atau visi. Musyahadah adalah sejenis pengetahuan langsung tentang Hakikat yang disaksikan. Sehingga seorang sufi yang sudah berada dalam tahapan ini disebut sebagai musyahid, atau Saksi. Dia adalah orang yang telah memperoleh visi (musyahadah) tentang Allah, Yang Maha Benar.

Penyaksian ini terjadi dalam berbagai cara. Sebagian penempuh jalan spiritual dan kaum tarekat menyaksikan Allah dalam segala sesuatu. Sebagian menyaksikan Allah sebelum, sesudah dan bersama sesuatu. Sebagian lain menyaksikan Allah sendiri. Semua tergantung pada proses, jalan rohani, yang ditempuh dan juga kondisi rohani sang penempuh jalan masing-masing.

Dan karena Allah tidak pernah mengungkapkan Diri-Nya sendiri secara sama dalam dua momen berturut-turut pada sesuatu, maka penyaksian (musyahadah) itu tidak terbatas dan tiada berakhir. Inilah salah satu kenikmatan atau nikmat (na’im) yang dirasakan oleh para penghuni surga sejati. Dan tentu bagi para pecinta-Nya dan para perindu-Nya, ia bisa saja merasakan kebahagiaan abadi tersebut sejak dari dunia ini. Sehingga ketika ia melalui gerbang kematian, ia disebut sebagai “tidak mati”, akan tetapi berada dalam kehidupan. Ya, hamba yang sudah manunggal hanya beralih alam menuju pada Kehidupan Sejati dan mengarungi Keabadian sebagaimana Syekh Siti Jenar mengalami kematian, ruh dan raganya sama-sama musnah menuju Ruh al-Haqq Yang Abadi.

Jumat

AJARAN SYEH SITI JENAR dan KEJAWEN

Dalam Memandang Ketuhanan, Dosa/Neraka, Pahala/Surga)

PERBANDINGAN ANTARA AJARAN SYEH SITI JENAR Dan PANDANGAN KEJAWEN

Mengenai Ketuhanan, Alam, dan Manusia



Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan



  Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh
maulana yang utama, yang mulia yang sakti, yang suci tanpa kekurangan.
Itulah Hyang Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi
diri manusia.



  Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi, tidak
di utara atau selatan. Manusia tidak akan menemukan biarpun keliling
dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia karena ruh manusia sebagai
penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan
hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, busuk,
kotor, hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke
asalnya, yaitu ruh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Lebih
lanjut Siti Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah
ruh diri manusia yang tidak berubah, tidak berawal, tidak berakhir,
tidak bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur, yang tidak terikat
dengan rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.



  Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah
aku”. Lihatlah, Allah ada dalam diriku, aku ada dalam diri Allah.
Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan
Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya tetap teguh
sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa dirinya
bersatu dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh manusia
dengan “ruh” Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia.
Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan
manusia denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh
bersatu dengan Zat sifat Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi
yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan dalam ajaran tentang
manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua
menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.



Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang Manusia



  Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa
dan akal. Jiwa merupakan suara hati nurani manusia yang merupakan
ungkapan dari zat Tuhan, maka hati nurani harus ditaati dan dituruti
perintahnya. Jiwa merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan
dari Hyang Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap sebagai
wajah Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat
zat Tuhan yakni kekal, sesudah manusia raganya mati maka lepaslah jiwa
dari belenggu raganya. Demikian pula akal merupakan kehendak, tetapi
angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat
dipercaya, karena selalu berubah-ubah.



  Menurut sabdalangit, perbedaan karakter jiwa dan akal yang bertolak
belakang dalam pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh adanya garis
demarkasi yang menjadi pemisah antara sifat hakikat jiwa dan akal-budi.
Jiwa terletak di luar nafsu, sementara akal-budi letaknya berada di
dalam nafsu. Mengenai perbedaan jiwa dan akal, dalam wirayat Saloka
Jati diungkapkan bahwa akal-budi umpama kodhok kinemulan ing leng atau
wit jroning wiji (pohon ada di dalam biji). Sedangkan jiwa umpama
kodhok angemuli ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam
pohon).



  Bagi Syeh Siti Jenar, proses timbulnya pengetahuan datang secara
bersamaan dengan munculnya kesadaran subyek terhadap obyek. Maka
pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan akan diperoleh seseorang bersama
dengan penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui Tuhanmu,
ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syeh Lemah bang percaya
bahwa kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas ilmu pengetahuan,
mengenai wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada
bersamaan dengan munculnya kesadaran dalam diri seseorang.



Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia



  Pandangan Syeh Jenar tentang dunia adalah bahwa hidup di dunia ini
sesungguhnya adalah mati. Dikatakan demikian karena hidup di dunia ini
ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia yang
mendapatkan surga mereka akan mendapatkan kebahagiaan, ketenangan,
kesenangan. Sebaliknya rasa bingung, kalut, muak, risih, menderita itu
termasuk neraka. Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup pangan,
sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di
dunia ini bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga
manusia dan sarana kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.



  Syeh Jenar mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya mayat
yang gentayangan untuk mencari pangan pakaian dan papan serta mengejar
kekayaan yang dapat menyenangkan jasmani. Manusia bergembira atas apa
yang ia raih, yang memuaskan dan menyenangkan jiwanya, padahal ia tidak
sadar bahwa semua kesenangan itu akan binasa. Namun begitu manusia
suka sombong dan bangga atas kepemilikan kekayaan, tetapi tidak
menyadari bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia justru merasa dirinya
mulia dan bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa harta bendanya
merupakan penggoda manusia yang menyebabkan keterikatannya pada dunia.



  Jika manusia tidak menyadari itu semua, hidup ini sesungguhnya
derita. Pandangan seperti itu menjadikan sikap dan pandangan Siti
Jenar menjadi ekstrim dalam memandang kehidupan dunia. Hidup di dunia
ini adalah mati, tempat baik dan buruk, sakit dan sehat, mujur dan
celaka, bahagia dan sempurna, surga dan neraka, semua bercampur aduk
menjadi satu. Dengan adanya peraturan maka manusia menjadi terbebani
sejak lahir hingga mati. Maka Syeh Siti Jenar sangat menekankan pada
upaya manusia untuk hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup di
dunia ini. Siti Jenar kemudian mengajarkan bagaimana mencari kamoksan
(mukswa/mosca) yakni mati sempurna beserta raganya lenyap masuk ke
dalam ruh (warongko manjing curigo). Hidup ini mati, karena mati itu
hidup yang sesungguhnya karena manusia bebas dari segala beban dan
derita. Karena hidup sesudah kematian adalah hidup yang sejati, dan
abadi.





Syeh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya



  Alasan yang mendasari mengapa Syeh Siti Jenar mengkritik
habis-habisan para ulama dan santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti,
mereka hanya berkutat pada amalan syariat (sembah raga). Padahal masih
banyak tugas manusia yang lebih utama harus dilakukan untuk mencapai
tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta
bujuk rayu surga justru membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia.
Maka manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas
beratnya. Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan Tuhannya.






Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep Surga-Neraka



  Konsep surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar berbeda sekali dengan
apa yang diajarkan oleh para ulama. Menurut Syeh Siti Jenar, surga dan
neraka adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama mengajarkan surga
dan neraka merupakan balasan yang diberikan kepada manusia atas amalnya
yang bakal diterima kelak sesudah kematian (akherat).



  Menurut Syeh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan
shalat jungkir balik, mengharap-harap surga, sedang surga sesudah
kematian itu tidak ada, shalat itu tidak perlu dan orang tidak perlu
mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa, minta rizki ? Tuhan
toh tidak memberi lantaran shalat.



  Santri yang menjual ilmu dengan siapa pun mau menyembah Tuhan di
masjid, di dalamnya terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah
menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik lima kali, pagi,
siang, sore, malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga kelak.
Sehingga orang banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan orang menjadi
gelisah tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang seperti itu
sungguh bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa
shalat itu dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri
untuk menyembah Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari
keserakahannya; dengan minta-minta imbalan/hadiah surga. Orang-orang
telah terbius oleh para ulama, sehingga mereka suka berzikir, dan
disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung pahalanya tiap hari.
Sebaliknya, lupa bahwa sejatinya kebaikan itu harus diimplementasikan
kepada sesama (habluminannas).



  Lebih lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid mereka
sebagai orang dungu dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga sebagai
balasan yang nanti diterima di akhirat. Penafsiran demikian adalah
penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup asal
hidup, tidak mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati mereka menolak
mentah-mentah. Surga dan neraka letaknya pada manusia masing-masing.
Orang bergelimang harta, hidupnya merasa selalu terancam oleh para
pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah,
itulah neraka. Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil,
hasil bercocok tanam cukup untuk makan sekeluarga, menempati rumah
kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di halaman rumah
sambil memandang hamparan sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk
udaranya, tenang jiwanya, itulah surga. Kehidupan ini telah memberi
manusia mana surga mana neraka.



  Syeh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos dan
mikrokosmos (manusia) sekurangnya kedua hal ini merupakan barang baru
ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan
tidak abadi. Manusia terdiri atas jiwa dan raga yang intinya ialah
jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan.



  Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi
pancaindera, sebagai organ tubuh seperti daging, otot, darah, dan
tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang
suatu saat, setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini, akan
kembali berubah asalnya yaitu unsur bumi (tanah).



Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;

     “Bukan kehendak angan-angan, bukan ingatan, pikiran atau niat, hawa
nafsu pun bukan, bukan pula kekosongan atau kehampaan. Penampilanku
sebagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur
debu, nafasku terhembus di segala penjuru dunia, tanah, api, air,
kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Bumi langit dan
sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, manusialah yang memberi
nama”.



 Kesimpulan



  Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari
belenggu alam kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari
konsepnya tentang ketuhanan, manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan
zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah manusia
menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal
dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag
(jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan
barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang
pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.



  Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang sangat ekstrim memandang dunia
sebagai bentuk penderitaan total yang harus segera ditinggalkan
rupanya terinspirasi oleh ajaran seorang sufi dari Bagdad, Hussein Ibnu
Al Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia. Hal ini berbeda dengan
konsep Islam secara umum yang memadang hidup di dunia sebagai khalifah
Tuhan.





Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di Dunia



Pandangan Kejawen tentang makna hidup manusia dunia ditampilkan secara
rinci, realistis, logis dan mengena di dalam hati nurani; bahwa hidup
ini diumpamakan hanya sekedar mampir ngombe, mampir minum, hidup dalam
waktu sekejab, dibanding kelak hidup di alam keabadian setelah raga ini
mati. Tetapi tugas manusia sungguh berat, karena jasad adalah pinjaman
Tuhan. Tuhan meminjamkan raga kepada ruh, tetapi ruh harus
mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu. Pada awalnya Tuhan Yang
Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan suci, apabila
waktu “kontrak” peminjaman sudah habis, maka ruh diminta
tanggungjawabnya, ruh harus mengembalikan jasad pinjamannya dalam
keadaan yang suci seperti semula. Ruh dengan jasadnya diijinkan Tuhan
“turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga barang pinjaman
tersebut agar dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada
pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Ruh dan jasad menyatu
dalam wujud yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan dan
mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga yang
dinamakan bumi berikut segala macam isinya; atau mercapada. Karena bumi
bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat tidak kekal.



Betapa Maha Pemurahnya Tuhan itu, bersedia meminjamkan jasad, berikut
tempat tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas manusia boleh
digunakan secara gratis. Tuhan hanya menuntut tanggungjawab manusia
saja, agar supaya menjaga semua barang pinjaman Tuhan tersebut, serta
manusia diperbolehkan memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan sediakan
dengan cara tidak merusak barang pinjaman dan semua fasilitasnya.



Itulah tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini;
yakni menjaga barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh
memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan Tuhan untuk manusia dengan
tanpa merusak, dan tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak,
dan kembali seperti semula dalam keadaan suci. Itulah “perjanjian”
gaib antara Tuhan dengan manusia makhlukNya. Untuk menjaga klausul
perjanjian tetap dapat terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau
“aturan-main“ yang harus dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni
manusia. Rumus Tuhan ini yang disebut pula sebagai kodrat Tuhan;
berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran atas isi atau “klausul
kontrak” tersebut berupa akibat sebagai konsekuensi logisnya. Misalnya;
keburukan akan berbuah keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula.
Barang siapa menanam, maka mengetam. Perbuatan suka memudahkan akan
berbuah sering dimudahkan. Suka mempersulit akan berbuah sering
dipersulit. 

Minggu

PERBEDAAN SYARIAT, THORIQOH, HAQIQAH DAN MA’RIFAT

English: The center of Haqiqa region, which is...

oleh : Ust. Umar Bin Sholeh AlHamid

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah-istilah agama yang kadang-kadang pengertian masyarakat masih rancu, istilah tersebut antara lain :
Syariat  Thariqah Haqiqah Ma’rifah

1. Syariat :

Adalah hukum Islam yaitu Al qur’an dan sunnah Nabawiyah / Al Hadist yang merupakan sumber acuan utama dalam semua produk hukum dalam Islam, yang selanjutnya menjadi Madzhab-madzhab ilmu Fiqih, Aqidah dan berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan oleh para ulama dengan memperhatikan atsar para shahabat ijma’ dan kiyas. Dalam hasanah ilmu keislaman terdapat 62 madzhab fiqh yang dinyatakanmu’tabar (Shahih dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya) oleh para ulama. Sedangkan dalam hasanah ilmu Tuhid (keimanan), juga dikenal dengan ilmu kalam. Ahirnya ummat Islam terpecah menjadi 73 golongan / firqah dalam konsep keyakinan. Perbedaan ini terdiri dari perbedaan tentang konsep konsep, baik menyangkut keyakinan tentang Allah SWT, para malaikat, kitab kitab Allah, para Nabi dan Rasul, Hari Qiamat dan Taqdir.
Namun dalam masalah keimanan berbeda dengan Fiqih. Dalam Fiqh masih ada toleransi atas perbedaan selama perbedaan tersebut tetap merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah, dan sudah teruji kebenarannya serta diakui kemu’tabarannya oleh para ulama yang kompeten. Akan tetapi dalam konsep keimanan, dari 73 golongan yang ada, hanya satu golongan yang benar dan menjadi calon penghuni surga, yaitu golongan yang konsisten / istiqamah berada dibawah panji Tauhidnya Rasulullah SWA dan Khulafa Ar Rasyidiin Al Mahdiyyin yang selanjutnya dikenal dengan Ahlu As Sunnah wal Jamaah. Sedangkan firqah / golongan lainnya dinyatakan sesat dan kafir. Jika tidak bertaubat maka mereka terancam masuk dalam neraka. Na’udzubillah.

2. Thariqah :

Adalah jalan / cara / metode implementasi syariat. Yaitu cara / metode yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan Syariat Islam, sebagai upaya pendekatannya kepada Allah Swt. Jadi orang yang berthariqah adalah orang yang melaksanakan hukum Syariat, lebih jelasnya Syariah itu hukum dan Thariqah itu prakteknya / pelaksanaan dari hukum itu sendiri.
Thariqah ada 2(dua) macam :
Thariqah ‘Aam : adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari guru / mursyid / muqaddam.
Thariqah Khas : Yaitu melaksanakan hukum Syariat Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam dengan izin bai’at khusus yang sanadnya sambung sampai pada Baginda Nabi, Rasulullah Saw. Thariqah Khas ini lebih dikenal dengan nama Thariqah as Sufiyah / Thariqah al Auliya’.Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai pada Rasulullah itu berjumlah 360 Thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama’ berjumlah 44 Thariqah, dikenal dengan Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlu Al Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah.
Dalam kitab Mizan Al Qubra yang dikarang oleh Imam Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :
ان شريعتي جا ئت على ثلاثما ئة وستين طريقة ما سلك احد طريقة منها الا نجا .(ميزان الكبرى للامام الشعرني : 1 / 30)
“Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah (metoda pendekatan pada Allah), siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat”. (Mizan Al Qubra: 1 / 30 )
Dalam riwayat hadits yang lain dinyakan bahwa :
ان شريعتي جائت على ثلاثمائة وثلاث عشرة طريقة لا تلقى العبد بها ربنا الا دخل الجنة ( Ø±ÙˆØ§Ù‡ الطبرني )
“Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga”. (HR. Thabrani)
Terlepas dari perbedaan redaksi dan jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits diatas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thariqah sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi SAW yang Al Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong). Lalu bagaimana hukumnya tidak percaya pada Hadits Nabi yang shahiih?
Dari semua thariqah sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thariqah mujahadah dan Thariqah Mahabbah. Thariqah mujahadah adalah thariqah / mitode pendekatan kepada Allah SWT dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharapkan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang martabah (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan disisi Allah SWT dengan sedekat dekatnya. Sebagian besar thariqah yang ada adalah thariqah mujahadah.
Sedangkan thariqah mahabbah adalah thariqah yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama. Dalam perjalanannya menuju hadirat Allah SWT seorang hamba memperbanyak ibadah atas dasar cinta dan syukur akan limpahan rahmat dan nikmat Allah SWT, tidak ada target maqamat dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunnah dalam hal ini. Tapi dengan melaksanakan ibadah secara ikhlash tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala ahirat , kerinduan si hamba yang penuh cinta pada Al Khaliq akan terobati. Yang terpenting dalam thariqah mahabbah bukan kedudukan / jabatan disisi Allah. tapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT. Habibullah adalah kedudukan Nabi kita Muhammad SAW. (Adam shafiyullah, Ibrahim Khalilullah, Musa Kalimullah, Isa Ruhullah sedangkan Nabi Muhammad SAW Habibullah). Satu satunya thariqah yang menggunakan mitode mahabbah adalah Thariqah At Tijany.
Nama-nama thariqah yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah dan dinyatakan Mu’ tabar (benar – sanadnya sambung sampai pada Baginda Rasulullah SAW), antara lain :

1. Umariyah 23. Usysyaqiyyah
2. Naqsyabandiyah 24. Bakriyah
3. Qadiriyah 25. Idrusiyah
4. Syadziliyah 26. Utsmaniyah
5. Rifaiyah 27. ‘Alawiyah
6. Ahmadiyah 28. Abbasiyah
7. Dasuqiyah 29. Zainiyah
8. Akbariyah 30. Isawiyah
9. Maulawiyah 31. Buhuriyyah
10. Kubrawiyyah 32. Haddadiyah
11. Sahrowardiyah 33. Ghaibiyyah
12. Khalwatiyah 34. Khodiriyah
13. Jalwatiyah  35. Syathariyah
14. Bakdasiyah  36. Bayumiyyah
15. Ghazaliyah 37. Malamiyyah
16. Rumiyah 38. Uwaisiyyah
17. Sa’diyah 39. Idrisiyah
18. Jusfiyyah 40. Akabirul Auliya’
19. Sa’baniyyah  41. Subbuliyyah
20. Kalsaniyyah 42. Matbuliyyah
21. Hamzaniyyah 43. TIJANIYAH
22. Bairumiyah 44. Sammaniyah.


3. Haqiqah

Yaitu sampainya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. di depan pintu gerbang kota tujuan, yaitu tersingkapnya hijab-hijab pada pandangan hati seorang salik (hamba yang mengadakan pengembaraan batin) sehigga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya Hakekat dirinya selaku seorang hamba didepan TuhanNya selaku Al Kholiq Swt. bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada lefel ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah SWT, tapi justru karena adanya target target hajat duniawi yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal.
Sedangkan golongan Muhaqqiqqiin tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata mata karena Allah SWT, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan / tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuan, tanpa ada harapan akan gaji / pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya semata. Jadi tujuan mereka adalah Allah SWT bukan benda benda dunia termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan tersebut diatas.
4. Ma’rifah
Adalah tujuan akhir seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. (salik) Yaitu masuknya seorang salik kedalam istana suci kerajaan Allah Swt. ( wusul ilallah Swt). sehingga dia benar benar mengetahui dengan pengetahuan langsung dari Allah SWT. baik tentang Tuhannya dengan segala keagungan Asma’Nya, Sifat sifat, Af’al serta DzatNya. Juga segala rahasia penciptaan mahluk diseantero jagad raya ini. Para ‘Arifiin ini tujuan dan cita cita ibadahnya jauh lebih tinggi lagi, Mereka bukan hanya ingin Allah SWT dengan Ampunan dan keridhaanNYa, tapi lebih jauh mereka menginginkan kedudukan yang terdekat dengan Al Khaliq, yaitu sebagai hamba hamba yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT.
(syariah dan Thariqah) kita bisa mempelajari teori dan praktek secara langsung, baik melalui membaca kitab-kitab / buku-buku maupun melalui pelajaran-pelajaran (ta’lim) dan pendidikan (Tarbiyah) bagi ilmu Thariqah. Sedangkan Haqiqah dan ma’rifah pada prinsipnya tidak bisa dipelajarisebagai mana Syariah dan Thariqah karena sudah menyangkut Dzauqiyah.
Haqiqah dan ma’rifah lebih tepatnya merupakan buah / hasil dari perjuangan panjang seorang hamba yang dengan konsisten (istiqamah) mempelajari dan menggali kandungan syariah dan mengamalkanya dengan ikhlash semata mata karena ingin mendapatkan ridha dan ampunan serta cinta Allah SWT.
Perumpamaan yang agak dekat dengan masalah ini adalah : ibarat satu jenis makanan atau minuman ( misalnya nasi rawon ). Resep masakan nasi rawon yang menjelaskan bahan bahan dan cara membuat nasi rawon itu sama dengan Syariah. Bimbingan praktek memasak nasi rawon itu sama dengan Thariqah. Resep dan praktek masak nasi rawon ini bisa melalui buku dan mempraktekkan sendiri (ini thariqah ‘am ) sedangkan resep dan praktek serta bimbingan masak nasi rawon dengan cara kursus pada juru masak yang ahli (itu namanya Thariqah khusus). Makan nasi rawon dan menjelaskan rasa / enaknya ini sudah haqiqah dan tidak ada buku panduannya, demikian juga makan nasi rawon dan mengetahuisecara detail rasa, aroma, kelebihan dan kekurangannya itu namanya ma’rifah.

Sumber :
  1. Keputusan Kongres & Mubes Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabaroh An Nahdliyah, pada hasil Mu’tamar kedua di Pekalongan tanggal 8 Jumadil Ula 1379 H / 9 November 1959. halaman 25.
  2. http://www.piss-ktb.com/2011/12/920-makalah-perbedaan-syariat-thoriqoh.html

MAKNA SPIRITUAL DAN FILOSOFIS HANACARAKA: KAJIAN KEBATINAN JAWA DALAM PERSPEKTIF

  MAKNA SPIRITUAL DAN FILOSOFIS HANACARAKA: KAJIAN KEBATINAN JAWA DALAM PERSPEKTIF MAHASISWA   Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fils...