Tampilkan postingan dengan label Kejawen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kejawen. Tampilkan semua postingan

Sabtu

RAMALAN WETON

Weton
Menurut kepercayaan Jawa, arti dari suatu peristiwa (dan karakter dari seseorang yang lahir dalam hari tertentu) dapat ditentukan dengan menelaah saat terjadinya peristiwa tersebut menurut berbagai macam perputaran kalender tradisional. Salah satu penggunaan yang umum dari metode ramalan ini dapat ditemukan dalam sistem hari kelahiran Jawa yang disebut wetonan.
Weton anda merupakan gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, dll.) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa hari kelahiran anda berulang setiap lima minggu dimulai dari hari kelahiran anda.
Anda dapat menghitung weton anda dengan menggunakan program di bawah ini
Nama Anda :
Tanggal Lahir Anda :
Kemudian bacalah horoskop anda di bagian bawah

Jumat Legi Jumat Pahing Jumat Pon Jumat Wage Jumat Kliwon
Sabtu Legi Sabtu Pahing Sabtu Pon Sabtu Wage Sabtu Kliwon
Minggu Legi Minggu Pahing Minggu Pon Minggu Wage Minggu Kliwon
Senin Legi Senin Pahing Senin Pon Senin Wage Senin Kliwon
Selasa Legi Selasa Pahing Selasa Pon Selasa Wage Selasa Kliwon
Rabu Legi Rabu Pahing Rabu Pon Rabu Wage Rabu Kliwon
Kamis Legi Kamis Pahing Kamis Pon Kamis Wage Kamis Kliwon


Senin

Sistem Penanggalan Kalender Jawa

Dalam kalender Jawa Tahun bukanlah satuan waktu terpanjang, di atas tahun itu masih terdapat Windu dan Lambang.

Lambang
Lambang merupakan jarak waktu 8 tahunan, terdapat 2 macam Lambang :
Langkir (8 tahun)
Kulawu (8 tahun)
Siklus total dari Lambang adalah 16 tahun. Pergantian antara satu Lambang dengan Lambang yang lain ditentukan pada setiap tanggal 1 sura tahun Alip (Lihat sistem tahun). 

Windu
Sama seperti lambang, windu mempunyai jarak waktu atau umur 8 tahun, terdapat 4 macam Windu.
  1. Adi (8 tahun)
  2. Kuntara (8 tahun)
  3. Sengara (8 tahun)
  4. Sancaya (8 tahun)
Siklus total dari seluruh windu adalah 32 tahun. Pergantian antara satu windu dengan yang lain adalah sama dengan lambang yaitu dimulai dari tahun Alip dan berakhir pada tahun Jumakir. Bila di gabungkan antara lambang dan windu maka siklus keduanya adalah sebagai berikut : Windu Adi, lambang Langkir -> Windu Kunthara, lambang Kulawu -> Windu Sengara, lambang Langkir -> dan Windu Sancaya, lambang Kulawu.
Masing-masing Windu memiliki arti sendiri-sendiri. Windu Adi memiliki artu utama, Windu Kuntara memiliki arti kelakuan, Sengara dapat berarti banjir sedangkan Sanjata adalah kekumpulan (persahabatan). 

Tahun
Terdapat 8 macam tahun menurut kalender jawa, 8 tahun ini memiliki umur antara 354 dan 355 hari
  1. Alip (354 hari)
  2. Ehe (355 hari)
  3. Jimawal (354 hari)
  4. Je (355 hari)
  5. Dal (354 hari)
  6. Be (354 hari)
  7. Wawu (354 hari)
  8. Jimakir (355 hari)
Jumlah hari pada table diatas tidaklah mutlak, karena pada akhirnya untuk menentukan tanggal 1 Sura, biasanya penanggalan jawa mengikuti sistem Hijriah. Seperti halnya Windo setiap tahun memiliki arti sendiri : Alip berarti mulai berniat, Ehe artinya melakukan, Jimawal artinya pekerjaan, Je artinya nasih, Dal artinya hidup, Be artinya selalu kembali, Wawu artinya kearah dan Jimakir artinya kosong.

Bulan
Seperti bulan Hijriah atau Masehi, maka penanggalan Jawa juga menganut sistem dengan 12 bulan, jumlah harinya antara 29 dan 30 (mengikuti siklus bulan).
  1. Sura (30 hari)
  2. Sapar ((Dal) 29/30 hari)
  3. Mulud (30 hari)
  4. Rabimulakir/Bakdamulud (29 hari)
  5. Jumadilawal ((Dal) 29/30 hari)
  6. Julmadilakhir ((Dal) 30/29 hari)
  7. Rajab/Rejeb (30 hari)
  8. Sadran/Ruwah (29 hari)
  9. Puasa/Pasa (30 hari)
  10. Sawal (29 hari)
  11. Dulkaidah/Sela (30 hari)
  12. Besar (29/(Tahun kabisat) 30 hari)
Terdapat bulan yang berubah jumlah harinya berdasarkan tahun Dal atau tidak : Sapar, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir. Dan ada juga yang berubah karena merupakan tahun kabisat yaitu Besar.

Sejarah Kalender Jawa

Kalender Jawa mulai digunakan di pulau Jawa sejak tahun 1625 Masehi. Sultan Agung yang merupakan raja Mataram sedang berusaha keras untuk menyebarkan agama Islam. Pada saat sebelumnya sistem penanggalan yang digunakan adalah Saka yang di adopsi dari India.

Kalender Saka
Sebelum beredarnya Kalender Jawa yang seperti saat ini, di pulau Jawa terutama pada jaman kerajaan Mataram, orang menganut penanggalan Saka atau Kalender Saka. Kalender ini berasal dari India dan menggunakan perhitungan bulan dan matahari. Kalender ini masuk ke Indonesia seiring dengan pengaruh agama Hindu yang mulai masuk ke Indonesia sejak abad ke 4/5. Di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, sistem penanggalan ini di adaptasi lagi agar sesuai dengan corak penanggalan lokal.

Mulainya Kalender Jawa
Semenjak masuknya Islam di pulau Jawa, Sultan Agung yang telah menganut agama Islam berkehendak untuk menggunakan Kalender Islam (Hijriah) tanpa meninggalkan perhitungan Kalender yang telah ada. Maka dari itu munculah kalender Jawa yang merupakan adaptasi dari Kalender Islam. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama bulan yang digunakan di Kalender Jawa yang sesuai dengan nama-nama bulan di Kalender Islam. Sedangkan adaptasi tetap di butuhkan untuk mengakomodasi kepentingan lokal saat itu. Pada contohnya penggunaan kalender Islam yang menggunakan 7 hari dalam seminggu sedangkan orang Jawa menggunakan sistem 5 hari dalam seminggu. Sistem ini tetap dipertahankan yang membuat kedua sistem ini tetap berjalan secara paralel hingga saat ini.
Tepatnya pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung mulai menggunakan kalender Jawa, untuk menjaga kesinambungan dengan tahun Saka yang digunakan saat itu maka tahun yang ditetapkan adalah 1547 Jawa bukan 1035 Hijriah. Hingga saat ini kalender Jawa tetap bertahan dan digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa.

Satu Suro · Kalender Jawa

Tanggal satu suro menandakan awal tahun baru dalam kalender jawa. Tanggal ini bertepatan dengan 1 Muharram yang juga merupakan tahun baru Islam. Dalam tradisi masyarakat Jawa, satu suro memiliki makna tersendiri, dan di banyak daerah satu suro ini diperingati dengan berbagai macam kegiatan.


Lek-lekan
Lek-lekan dapat diartikan begadang, ini dapat
dilakukan di kampung-kampung, seperti di pos ronda contohnya. Masyarakat
berkumpul, mengobrol sambil menanti datangnya pagi.


Tapa Bisu
Ritual tapa bisu dilakukan menjelan dini hari dengan cara mengelilingi benteng keraton dengan tetap membisu. Ini dilakukan untuk mawas diri dan merenung mengenai hal-hal yang telah dilakukan selama satu tahun sebelumnya, selain itu perenungan ini juga dilakukan untuk berpikir mengenai hubungan manusia dengan Tuhan YME.


KungKum
Kungkum atau berendam di sungai atau di sendang air, dilakukan untuk membersihkan badan sambil merenung.


Kirab Kebo Bule
Kebo Bule atau Kerbau albino adalah binatang peliharaan keraton. Kirab kebo bule dimulai biasanya pada malam hari, dimana sang kerbau tanpa digiring oleh siapa pun akan berjalan ke halaman keraton. Orang-orang akan ramai untuk mengikuti kebo-kebo bule tersebut.


KEJAWEN : Ajaran Luhur Yang Dicurigai & Dikambinghitamkan

KEJAWEN
“Permata” Asli Bumi Nusantara yang Selalu Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan


Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.

Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial,  pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.

Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;

Klenik :    merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis :    adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Takhayul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat  mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.  Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja,  sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.



Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas  pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.


Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan


NAFSU

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya. 
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.


PAMRIH

Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya.  Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.

Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
  1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
  2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
  3. Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.

Kejawen Belajar Lelaku Puasa dan Ngelmu dari Serat Wedharaga

Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan sukubangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut “Agami Jawi”.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama (lain) tertentu.
Beberapa aliran dengan anggota besar:
Padepokan Cakrakembang
Sumarah
Budi Dharma
Maneges
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar : Wikipedia


BULAN Ramadan adalah bulan penuh hikmah bagi siapa yang bisa mengambil pelajaran. Yang dimaksud dengan pelajaran adalah dalam laku puasa yang biasa dilaksanakan pada bulan Ramadan. Di dalam laku puasa, terdapat beraneka hikmah dan ilmu yang bisa dipetik. Lelaku puasa itu pun juga diajarkan dalam ilmu Kejawen.
Salah satu serat yang menyatakan pentingnya puasa dan hikmah yang terkandung di dalamnya adalah lewat serat Wedharaga. Disebut serat Wedharaga karena serat ini lebih menitik-beratkan pada latihan ragawi, salah satunya adalah dengan lelaku puasa. Apa saja isi dari serat Wedharaga yang berkaitan dengan puasa dan kewajiban kaum muda untuk mencari ilmu tersebut?
Serat Wedharaga
R. Ng. Ronggowarsito
Pupuh Gambuh
Mangkene patrapipun
Wiwit anem amandenga laku
Ngengurangi pangan turu sawatawis
Amekak hawa nepsu
Dhasarana andhap asor.

Makanya yang tepat
Sejak muda saatnya untuk lelaku
Mengurangi makan tidur sementara
Menahan hawa nafsu
Dengan didasari sifat sopan santun
Akanthi awas emut
Aja tingal weweka ing kalbu
Mituhua wewaruh kang makolehi
Den taberi anggeguru, aja isin tetakon.
Oleh karena itu harus diingat
Jangan meninggalkan kalbu
Carilah ilmu yang bermanfaat
Kalau perlu bergurulah, jangan malu bertanya
Wong amarsudi kaweruh
Tetirona ing reh kang rahayu
Aja kesed sungkanan sabarang kardi
Sakadare anggenipun
Nimpeni kagunganing wong.

Orang mencari ilmu
Carilah ilmu keselamatan
Janganlah malas dan malu untuk mengupayakan
Sekedarnya untuk
Mendapatkan (ilmu) milik orang
Tinimbang lan angenganggur
Boya becik ipil-ipil kaweruh
Angger datan ewan panasaten sayekti
Kawignyane wuwuh-wuwuh
Wekasan kasub kinaot.

Daripada menganggur
Lebih baik mencari ilmu
Asalkan tidak malu nasehat sejati
Hingga penuh ilmu
Akhirnya nanti berguna
Lamun wus sarwa putus
Kapinteran sinimpen ing pungkur
Bodhonira katakokna ing ngarsa yekti,
Gampang traping tindak tanduk
Amawas pambekaning wong.

Jika sudah memiliki kepandaian
Simpanlah kepandaian itu
Perlihatkanlah kebodohan,
Itu akan mempermudah dalam bertindak tanduk
Memahami sikap orang lain.
KAWRUH KEJAWEN

Minggu

Puncak Ilmu Kejawen

“Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
          Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno.  Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26;
        Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia…
        Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut;
Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni;
  1. Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.
  2. Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo.
        Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan Wisrawa.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang.
        Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni;
  1. Dosomuko
  2. Kumbokarno
  3. Sarpokenoko
  4. Gunawan Wibisono
Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.
Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
1.            Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.
2.            Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3.            Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4.            Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).

Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan Bima (mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air kehidupan atau tirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat. Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudia bertemu dengan Dewa Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”.
Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.
Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. 
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.
Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.
Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri.
Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal.
Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;
Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu  (Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.

  1. Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.
  2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.
  3. Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.
  4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat  Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

 
Sifat Manusia Terpilih
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
        Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.

Semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih dan pinilih untuk meraih ilmu sejatinya hidup.

Salam
Sabdalangit

Primbon Kakang Kawah Adhi Ari-ari

Diantara sembilan saudara yang menyertai kelahiran jabang bayi, Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari adalah yang paling dikenal. Kedua saudara ini selalu disebut pada saat doa permohonan bagi si bayi tersebut, bahkan hingga sampai dewasa, menikah dan sampai menjadi orangtua.
Kakang Kawah.
Disebut kakang karena lahir lebih dahulu dari jabang bayi. Kawah adalah banyu kawah. Wujudnya air, fungsinya membasahi dan membuat licin vagina, agar jabang bayi yang akan keluar lewat jalan tersebut dapat lancar, dan kulit bayi yang masih halus sekali tidak luka karenanya. Oleh karena perannya menyiapkan dan membuka jalan untuk kelahiran, maka kemudian banyu kawah tersebut diadakan keberadaannya dan dianggap sebagai saudara tua dari si bayi, dengan sebutan Kakang Kawah. Dalam kehidupan selanjutnya, Kakang Kawah didudukan sebagai kepanjangan Tangan Tuhan yang dapat disambat-sebuti atau dimintai pertolongan untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.
Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari menjaga si bayi mulai masih berujud janin hingga sampai akhir hayat.
Pada saat proses kelahiran berlangsung, si ibu yang melahirkan membutuhkan kain jarit untuk dipakai sebagai alas untuk menampung air dan darah yang keluar dari vagina si ibu. Kain jarit tersebut dinamakan kopohan, arti kata kopoh atau basah.
Setelah selesai proses kelahiran, kain Kopohan ini dicuci, yang mencuci diberi upah uang lalu disimpan, tidak boleh dipakai harian, kecuali jika si bayi sedang sakit, kain Kopohan tersebut dapat di selimutkan si bayi. Atau dipakai besuk kalau si ibu mempunyai anak lagi.
Adhi Ari-Ari.
disebut Adhi karena lahirnya menyusul setelah jabang bayi. Ari-ari adalah gumpalan daging lunak, yang sebelumya menjadi tempat jabang bayi.tumbuh dari janin hingga menjadi bayi. Ketika tiba saatnya kelahiran, bayi tersebut lahir keluar diikutti oleh Ari-ari. Antara Bayi dan Ari-ari digandengkan oleh tali pusar. Jika proses kelahirannya di rumah dan ditangani oleh Dukun Bayi atau semacam bidan tradisional, tali pusar tersebut dipotong dengan menggunakan welat, yaitu kulit bambu hitam dan dilandasi dengan kunyit.
Setelah pemotongan tali pusar, ari-ari tersebut dirumat, diopeni, dirawat khusus, ditempatkan dalam kendhil baru dari tanah liat yang di beri alas daun senthe. Setelah ari-ari dimasukan, di atasnya diberi: kembang boreh, minyak wangi, kunir bekas untuk alas memotong tali pusar, welat alat pemotong tali pusar, tulisan Jawa, Arab, Latin, uang sagobang, garam, jarum, jahit, benang, gereh, pethek, gantal, dan kemiri. Barang-barang tersebut setelah dimasukkan ke dalam kendhil dan kemudian ditutup rapat dengan cowek tanah liat, lalu dibungkus kain mori putih.
Pada umumnya ari-ari tersebut di tanam di tanah pada pintu utama rumah sebelah kanan. Sebaiknya yang melakukan adalah bapaknya si bayi dengan pakaian Jawa lengkap dengan memakai keris.
Ada ari ari yang tidak ditanam, tetapi dilabuh di sungai. Ada lagi yang digantungkan di pojok rumah sebelah luar. Setelah sibayi besar, Ari-ari yang digantung tersebut dilabuh di sungai oleh sibayi yang sudah menjadi besar.
Oleh karena perannya yang pokok, mulai dari pertumbuhan janin hingga menjadi bentuk bayi secara utuh, Ari-ari tersebut dianggap sebagai saudara muda dari si bayi dengan sebutan Adhi Ari-ari. Seperti juga Kakang Kawah, Adhi Ari-ari ini dalam kehidupan jabang bayi selanjutnya, didudukan sebagai kepanjangan Tangan Tuhan yang dapat disambat-sebuti atau dimintai pertolongan untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.
Pada peringatan weton atau hari dan pasaran kelahiran si bayi, yang terjadi setiap 35 hari atau selapan, si jabang bayi dibuatkan jenang among-among. Jenang among-among tersebut dimaksudkan sebagai ucapan syukur atas keselamatan si bayi dan untuk ngemong-mongi atau memelihara dan menjaga si jabang bayi selanjutnya. Yang disambat-sebuti adalah Tuhan, namun dikarenakan Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari adalah kepanjangan tangan-Nya maka Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari berada dalam wilayah karya penjagaan Tuhan terhadap si bayi. Bahkan sebagai saudara hubungan antara si bayi dengan Kakang Kawah serta Adhi Ari-ari lebih akrab, seperti permohonan yang diucapkan pada saat membuat jenang among-among :
“Kakang Kawah Adhi Ari-ari,
jaganen aku sadina sawengi,
supaya slamet tumeka awakku,
sluman-slumun slamet
tan kena bebaya saka kersaning Allah”
Kakang Kawah dan adhi ari-ari ini dalam ilmu kasepuhan bisa didaya gunakan dalam membantu permasalahan hidup,karena mereka ada dalam diri kita masing-masing maka jika saudaranya meminta bantuan tentunya mereka akan membantu apa yang menjadi keinginan saudaranya. Ada pula yang menyebut Qorin/Khodam Pendamping/Perewangan Urip/dsb,namun yang perlu diketahui Kakang Kawah Adhi Ari-ari adalah saudara/pendamping ghaib anugerah Ilahi yang sudah diberikan pada kita guna mendampingi, menjaga, melantari permohonan / permintaan kita pada Sang Hyang Maha Kuasa agar segera terwujud. Dengan Kunci Ilmu tertentu saudara ghaib ini bisa mampu membantu menyelesaikan permasalahan hidup baik urusan jodoh, rezeki, cinta asmara, keselamatan, bahkan sampai urusan kekayaan/membantu melunasi hutang yang menumpuk agar terselesaikan.
Jarang seseorang dijazaman modern ini mengetahui/memiliki keilmuan dalam membangkitkan potensi saudara ghaib anugerah Allah SWT tersebut. Bahkan Paranormal belumlah lengkap/sempurna ilmunya jika belum menguasai ilmu Kakang Kawah Adhi ari-ari.Salah satunya diantara tempat /perguruan yang terpercaya dalam Pengijazahan Kunci Ilmu Kakang Kawah Adhi Ari-ari adalah susuhangin yang dikhususkan pengijazahannya untuk urusan rezeki yakni meraih Pesugihan Putih dengan perantaraan saudara ghaib “Kakang Kawah adhi Ari-ari” untuk mendongkrak kesuksesan,kemakmuran,terbebas dari masalah keuangan,dsb.Sebenarnya Program tersebut bukan hanya untuk masalah rezeki aja bila urusan tersebut terselesaikan maka potensi itu bisa ditingkatkan untuk perlindungan ghaib, pemagaran ghaib, pelet pengasihan, dll.

Jumat

SEDULUR PAPAT

A. SEDULUR PAPAT KELIMO PANCER

Orang jawa tradisional percaya akan eksistensi sedulur papat/saudara empat yg selalu mendampingi seseorang dimana saja dan kapan saja selama orang itu masih hidup. Meraka memang ditugas oleh kekausaan alam untuk selalu setia membantu. Mereka tidak mempunyai badan jasmani tetapi ada baiknya dan kamu juga harus mempunyai hubungan baik dengan mereka

Adapun yang disebut sedulur papat adalah:
  1. KAKANG KAWAH: saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih
  2. ADI ARI-ARI: adik ari-ari, dia keluar dari gua garba ibu setelah kamu, tempatnya di barat warnanya kuning
  3. GETIH: darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah
  4. PUSER: pusar yang dipotong sesudah kelahiran mu, tempatnya di utara warnanya hitam
Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah kelima pancer itulah badan jasmani kamu. Merekalah yang disebut sedulur papat kelima pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang mengatakan mereka kiblat papat lima tengah (empat jurusan yang kelima di tengah). Mereka berlima di lahirkan melalui ibu.
Mereka itu adalah MAR dan MARTI, berbentuk udara. MAR adalah udara yang di hasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi sedangkan MARTI adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat melahirkan si jabang bayi. Secara mistis MAR dan MARTI ini warnanya putih dan kuning. Kamu bisa minta bantuan MAR dan MARTI setelah kamu melakukan tapa brata (laku spiritual yang sesungguhnya). 


B. AKTIVASI SEDULUR PAPAT KELIMO PANCER 

"Bismillahirrohmanirrohim...
Kun kata Allah, fayakun kata Muhammad, robbukum kata jibril, 
Ya Jibril Ya Mikail Ya Isrofil Ya Izroil, 
Ya iku Sang Ratu Kepyok Sang Ratu Herang Putih, Ka dulur bathin Ka anak bathin kanu opat lima pancer,
Ya ALLAH aku mohon diantar ke dulur bathinku ke anak bathinku,
yang hidup dalam satu hari satu malam.
Wahai dulur bathinku anak bathinku,
bantulah aku................
Berkat LA ILAHAILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH,
aku tahu asal mu 204 sambungan HU ALLAH (di baca 13X atau 75X selama 7 hari berturut2) 



C. UNTUK MINTA BANTUAN SEDULUR PAPAT KELIMO PANCER 

"Kakang kawah adi ari-ari sedulur tua papat lima pancer,
sing dumunung ana ing awak ingsun,
jungkungana laku ingsun jabang bayine...(nama anda) bisa kasembadan apa sing ana ati lan pikiran ingsun yaiku...(sebutkan permintaan anda ex: bisa ketemu kelawan sira sedulur kabeh), kanti kalis ing sambekala padang panjang...Amien..."
Sebelum membacanya sebaiknya baca alfatihah

http://sekawan-kumpulan-goib.blogspot.com/2012/08/sedulur-papat.html

Primbon Kakang Kawah Adhi Ari-ari

Antarane Sedulur sanga sing mbarengi lahire jabang bayi, Kakang kawah lan Adhi Ari-Ari niku sing paling dikenal. sedulur loro Iki kang tansah dipun sebut menawi nyuwunaken sawab pandonga kangge janang bayi niku, malah nganti tekan gede, nikah lan dadi wong tua. Kakang kawah. Diarani Kakang amarga lahir lewih ndisit sedurunge jabang bayi lair. Kawah inggih punika banyu kawah. Ingkang wujude banyu, sing gunane kanggo nelesi dalan bayi kareben lunyu ora seret, supados bayi sing bakal metu bisa liwat dalan lahire kanti saged lancar, lan bayi kulit isih alus iki ora tatu mangkono. Amarga saka sawijining peran kanggo nyiyapake lan mbukak dalan kanggo lair, mulane banyu kawah utawa kakang kawah niku diontenaken kawontenane lan dianggep minangka Sedulur sepuh si jabang bayi, minangka sebutan Kakang kawah. Ing alam urpi seteruse, Kakang Kawah diselehake minangka pengejawantahan saka Gusti Allah  sing bisa disambat-sebuti utawa dijaluki pitulungan kanggo ngrewangi ngrampungi masalah - masalah Penguripan.
Kakang kawah lan Adhi Ari-Ari njaga jabang bayi kawit wujude tesih calon bayi nganti pungkasan urip (kivandanu).

Pada saat proses kelahiran berlangsung, si ibu yang melahirkan membutuhkan kain jarit untuk dipakai sebagai alas untuk menampung air dan darah yang keluar dari vagina si ibu. Kain jarit tersebut dinamakan kopohan, arti kata kopoh atau basah.

Setelah selesai proses kelahiran, kain Kopohan ini dicuci, yang mencuci diberi upah uang lalu disimpan, tidak boleh dipakai harian, kecuali jika si bayi sedang sakit, kain Kopohan tersebut dapat di selimutkan si bayi. Atau dipakai besuk kalau si ibu mempunyai anak lagi.

Adhi Ari-Ari. disebut Adhi karena lahirnya menyusul setelah jabang bayi. Ari-ari adalah gumpalan daging lunak, yang sebelumya menjadi tempat jabang bayi.tumbuh dari janin hingga menjadi bayi. Ketika tiba saatnya kelahiran, bayi tersebut lahir keluar diikutti oleh Ari-ari. Antara Bayi dan Ari-ari digandengkan oleh tali pusar. Jika proses kelahirannya di rumah dan ditangani oleh Dukun Bayi atau semacam bidan tradisional, tali pusar tersebut dipotong dengan menggunakan welat, yaitu kulit bambu hitam dan dilandasi dengan kunyit.

Setelah pemotongan tali pusar, ari-ari tersebut dirumat, diopeni, dirawat khusus, ditempatkan dalam kendhil baru dari tanah liat yang di beri alas daun senthe. Setelah ari-ari dimasukan, di atasnya diberi: kembang boreh, minyak wangi, kunir bekas untuk alas memotong tali pusar, welat alat pemotong tali pusar, tulisan Jawa, Arab, Latin, uang sagobang, garam, jarum, jahit, benang, gereh, pethek, gantal, dan kemiri. Barang-barang tersebut setelah dimasukkan ke dalam kendhil dan kemudian ditutup rapat dengan cowek tanah liat, lalu dibungkus kain mori putih.

Pada umumnya ari-ari tersebut di tanam di tanah pada pintu utama rumah sebelah kanan. Sebaiknya yang melakukan adalah bapaknya si bayi dengan pakaian Jawa lengkap dengan memakai keris.

Ada ari ari yang tidak ditanam, tetapi dilabuh di sungai. Ada lagi yang digantungkan di pojok rumah sebelah luar. Setelah sibayi besar, Ari-ari yang digantung tersebut dilabuh di sungai oleh sibayi yang sudah menjadi besar.

Oleh karena perannya yang pokok, mulai dari pertumbuhan janin hingga menjadi bentuk bayi secara utuh, Ari-ari tersebut dianggap sebagai saudara muda dari si bayi dengan sebutan Adhi Ari-ari. Seperti juga Kakang Kawah, Adhi Ari-ari ini dalam kehidupan jabang bayi selanjutnya, didudukan sebagai kepanjangan Tangan Tuhan yang dapat disambat-sebuti atau dimintai pertolongan untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.

Pada peringatan weton atau hari dan pasaran kelahiran si bayi, yang terjadi setiap 35 hari atau selapan, si jabang bayi dibuatkan jenang among-among. Jenang among-among tersebut dimaksudkan sebagai ucapan syukur atas keselamatan si bayi dan untuk ngemong-mongi atau memelihara dan menjaga si jabang bayi selanjutnya. Yang disambat-sebuti adalah Tuhan, namun dikarenakan Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari adalah kepanjangan tangan-Nya maka Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari berada dalam wilayah karya penjagaan Tuhan terhadap si bayi. Bahkan sebagai saudara hubungan antara si bayi dengan Kakang Kawah serta Adhi Ari-ari lebih akrab, seperti permohonan yang diucapkan pada saat membuat jenang among-among :


“Kakang Kawah Adhi Ari-ari,
jaganen aku sadina sawengi,
supaya slamet tumeka awakku,
sluman-slumun slamet
tan kena bebaya saka kersaning Allah”

Kakang Kawah dan adhi ari-ari ini dalam ilmu kasepuhan bisa didaya gunakan dalam membantu permasalahan hidup,karena mereka ada dalam diri kita masing-masing maka jika saudaranya meminta bantuan tentunya mereka akan membantu apa yang menjadi keinginan saudaranya. Ada pula yang menyebut Qorin/Khodam Pendamping/Perewangan Urip/dsb,namun yang perlu diketahui Kakang Kawah Adhi Ari-ari adalah saudara/pendamping ghaib anugerah Ilahi yang sudah diberikan pada kita guna mendampingi, menjaga, melantari permohonan / permintaan kita pada Sang Hyang Maha Kuasa agar segera terwujud. Dengan Kunci Ilmu tertentu saudara ghaib ini bisa mampu membantu menyelesaikan permasalahan hidup baik urusan jodoh, rezeki, cinta asmara, keselamatan, bahkan sampai urusan kekayaan/membantu melunasi hutang yang menumpuk agar terselesaikan.

Jarang seseorang dijazaman modern ini mengetahui/memiliki keilmuan dalam membangkitkan potensi saudara ghaib anugerah Allah SWT tersebut. Bahkan Paranormal belumlah lengkap/sempurna ilmunya jika belum menguasai ilmu Kakang Kawah Adhi ari-ari.Salah satunya diantara tempat /perguruan yang terpercaya dalam Pengijazahan Kunci Ilmu Kakang Kawah Adhi Ari-ari adalah susuhangin yang dikhususkan pengijazahannya untuk urusan rezeki yakni meraih Pesugihan Putih dengan perantaraan saudara ghaib “Kakang Kawah adhi Ari-ari” untuk mendongkrak kesuksesan,kemakmuran,terbebas dari masalah keuangan,dsb.Sebenarnya Program tersebut bukan hanya untuk masalah rezeki aja bila urusan tersebut terselesaikan maka potensi itu bisa ditingkatkan untuk perlindungan ghaib, pemagaran ghaib, pelet pengasihan, dll.

 http://sekawan-kumpulan-goib.blogspot.com/2012/08/primbon-kakang-kawah-adhi-ari-ari.html

AJARAN SYEH SITI JENAR dan KEJAWEN

Dalam Memandang Ketuhanan, Dosa/Neraka, Pahala/Surga)

PERBANDINGAN ANTARA AJARAN SYEH SITI JENAR Dan PANDANGAN KEJAWEN

Mengenai Ketuhanan, Alam, dan Manusia



Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan



  Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh
maulana yang utama, yang mulia yang sakti, yang suci tanpa kekurangan.
Itulah Hyang Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi
diri manusia.



  Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi, tidak
di utara atau selatan. Manusia tidak akan menemukan biarpun keliling
dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia karena ruh manusia sebagai
penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama menggunakan
hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada asalnya, busuk,
kotor, hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya kembali bersatu ke
asalnya, yaitu ruh maulana yang bebas dari segala penderitaan. Lebih
lanjut Siti Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat ruh manusia adalah
ruh diri manusia yang tidak berubah, tidak berawal, tidak berakhir,
tidak bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur, yang tidak terikat
dengan rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.



  Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah
aku”. Lihatlah, Allah ada dalam diriku, aku ada dalam diri Allah.
Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku dirinya sebagai Tuhan
Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya tetap teguh
sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa dirinya
bersatu dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh manusia
dengan “ruh” Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri manusia.
Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada persatuan
manusia denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat sifat, ruh
bersatu dengan Zat sifat Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi
yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan dalam ajaran tentang
manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua
menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.



Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang Manusia



  Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa
dan akal. Jiwa merupakan suara hati nurani manusia yang merupakan
ungkapan dari zat Tuhan, maka hati nurani harus ditaati dan dituruti
perintahnya. Jiwa merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan
dari Hyang Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap sebagai
wajah Hyang Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat
zat Tuhan yakni kekal, sesudah manusia raganya mati maka lepaslah jiwa
dari belenggu raganya. Demikian pula akal merupakan kehendak, tetapi
angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat
dipercaya, karena selalu berubah-ubah.



  Menurut sabdalangit, perbedaan karakter jiwa dan akal yang bertolak
belakang dalam pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh adanya garis
demarkasi yang menjadi pemisah antara sifat hakikat jiwa dan akal-budi.
Jiwa terletak di luar nafsu, sementara akal-budi letaknya berada di
dalam nafsu. Mengenai perbedaan jiwa dan akal, dalam wirayat Saloka
Jati diungkapkan bahwa akal-budi umpama kodhok kinemulan ing leng atau
wit jroning wiji (pohon ada di dalam biji). Sedangkan jiwa umpama
kodhok angemuli ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam
pohon).



  Bagi Syeh Siti Jenar, proses timbulnya pengetahuan datang secara
bersamaan dengan munculnya kesadaran subyek terhadap obyek. Maka
pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan akan diperoleh seseorang bersama
dengan penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui Tuhanmu,
ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syeh Lemah bang percaya
bahwa kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas ilmu pengetahuan,
mengenai wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada
bersamaan dengan munculnya kesadaran dalam diri seseorang.



Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia



  Pandangan Syeh Jenar tentang dunia adalah bahwa hidup di dunia ini
sesungguhnya adalah mati. Dikatakan demikian karena hidup di dunia ini
ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia yang
mendapatkan surga mereka akan mendapatkan kebahagiaan, ketenangan,
kesenangan. Sebaliknya rasa bingung, kalut, muak, risih, menderita itu
termasuk neraka. Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup pangan,
sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di
dunia ini bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga
manusia dan sarana kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.



  Syeh Jenar mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya mayat
yang gentayangan untuk mencari pangan pakaian dan papan serta mengejar
kekayaan yang dapat menyenangkan jasmani. Manusia bergembira atas apa
yang ia raih, yang memuaskan dan menyenangkan jiwanya, padahal ia tidak
sadar bahwa semua kesenangan itu akan binasa. Namun begitu manusia
suka sombong dan bangga atas kepemilikan kekayaan, tetapi tidak
menyadari bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia justru merasa dirinya
mulia dan bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa harta bendanya
merupakan penggoda manusia yang menyebabkan keterikatannya pada dunia.



  Jika manusia tidak menyadari itu semua, hidup ini sesungguhnya
derita. Pandangan seperti itu menjadikan sikap dan pandangan Siti
Jenar menjadi ekstrim dalam memandang kehidupan dunia. Hidup di dunia
ini adalah mati, tempat baik dan buruk, sakit dan sehat, mujur dan
celaka, bahagia dan sempurna, surga dan neraka, semua bercampur aduk
menjadi satu. Dengan adanya peraturan maka manusia menjadi terbebani
sejak lahir hingga mati. Maka Syeh Siti Jenar sangat menekankan pada
upaya manusia untuk hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup di
dunia ini. Siti Jenar kemudian mengajarkan bagaimana mencari kamoksan
(mukswa/mosca) yakni mati sempurna beserta raganya lenyap masuk ke
dalam ruh (warongko manjing curigo). Hidup ini mati, karena mati itu
hidup yang sesungguhnya karena manusia bebas dari segala beban dan
derita. Karena hidup sesudah kematian adalah hidup yang sejati, dan
abadi.





Syeh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya



  Alasan yang mendasari mengapa Syeh Siti Jenar mengkritik
habis-habisan para ulama dan santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti,
mereka hanya berkutat pada amalan syariat (sembah raga). Padahal masih
banyak tugas manusia yang lebih utama harus dilakukan untuk mencapai
tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan ketakutan neraka serta
bujuk rayu surga justru membelenggu raga, akal budi, dan jiwa manusia.
Maka manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu lupa akan tugas-tugas
beratnya. Manusia demikian menjadi gagal dalam upaya menemukan Tuhannya.






Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep Surga-Neraka



  Konsep surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar berbeda sekali dengan
apa yang diajarkan oleh para ulama. Menurut Syeh Siti Jenar, surga dan
neraka adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama mengajarkan surga
dan neraka merupakan balasan yang diberikan kepada manusia atas amalnya
yang bakal diterima kelak sesudah kematian (akherat).



  Menurut Syeh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan
shalat jungkir balik, mengharap-harap surga, sedang surga sesudah
kematian itu tidak ada, shalat itu tidak perlu dan orang tidak perlu
mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa, minta rizki ? Tuhan
toh tidak memberi lantaran shalat.



  Santri yang menjual ilmu dengan siapa pun mau menyembah Tuhan di
masjid, di dalamnya terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah
menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik lima kali, pagi,
siang, sore, malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga kelak.
Sehingga orang banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan orang menjadi
gelisah tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang seperti itu
sungguh bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa
shalat itu dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri
untuk menyembah Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari
keserakahannya; dengan minta-minta imbalan/hadiah surga. Orang-orang
telah terbius oleh para ulama, sehingga mereka suka berzikir, dan
disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung pahalanya tiap hari.
Sebaliknya, lupa bahwa sejatinya kebaikan itu harus diimplementasikan
kepada sesama (habluminannas).



  Lebih lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid mereka
sebagai orang dungu dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga sebagai
balasan yang nanti diterima di akhirat. Penafsiran demikian adalah
penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup asal
hidup, tidak mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati mereka menolak
mentah-mentah. Surga dan neraka letaknya pada manusia masing-masing.
Orang bergelimang harta, hidupnya merasa selalu terancam oleh para
pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan pun gelisah,
itulah neraka. Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung terpencil,
hasil bercocok tanam cukup untuk makan sekeluarga, menempati rumah
kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di halaman rumah
sambil memandang hamparan sawah hijau menghampar, hatinya sesejuk
udaranya, tenang jiwanya, itulah surga. Kehidupan ini telah memberi
manusia mana surga mana neraka.



  Syeh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos dan
mikrokosmos (manusia) sekurangnya kedua hal ini merupakan barang baru
ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan
tidak abadi. Manusia terdiri atas jiwa dan raga yang intinya ialah
jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan.



  Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi
pancaindera, sebagai organ tubuh seperti daging, otot, darah, dan
tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang
suatu saat, setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini, akan
kembali berubah asalnya yaitu unsur bumi (tanah).



Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;

     “Bukan kehendak angan-angan, bukan ingatan, pikiran atau niat, hawa
nafsu pun bukan, bukan pula kekosongan atau kehampaan. Penampilanku
sebagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur
debu, nafasku terhembus di segala penjuru dunia, tanah, api, air,
kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Bumi langit dan
sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, manusialah yang memberi
nama”.



 Kesimpulan



  Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari
belenggu alam kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari
konsepnya tentang ketuhanan, manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan
zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah manusia
menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal
dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag
(jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan
barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang
pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.



  Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang sangat ekstrim memandang dunia
sebagai bentuk penderitaan total yang harus segera ditinggalkan
rupanya terinspirasi oleh ajaran seorang sufi dari Bagdad, Hussein Ibnu
Al Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia. Hal ini berbeda dengan
konsep Islam secara umum yang memadang hidup di dunia sebagai khalifah
Tuhan.





Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di Dunia



Pandangan Kejawen tentang makna hidup manusia dunia ditampilkan secara
rinci, realistis, logis dan mengena di dalam hati nurani; bahwa hidup
ini diumpamakan hanya sekedar mampir ngombe, mampir minum, hidup dalam
waktu sekejab, dibanding kelak hidup di alam keabadian setelah raga ini
mati. Tetapi tugas manusia sungguh berat, karena jasad adalah pinjaman
Tuhan. Tuhan meminjamkan raga kepada ruh, tetapi ruh harus
mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu. Pada awalnya Tuhan Yang
Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan suci, apabila
waktu “kontrak” peminjaman sudah habis, maka ruh diminta
tanggungjawabnya, ruh harus mengembalikan jasad pinjamannya dalam
keadaan yang suci seperti semula. Ruh dengan jasadnya diijinkan Tuhan
“turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga barang pinjaman
tersebut agar dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada
pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Ruh dan jasad menyatu
dalam wujud yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan dan
mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga yang
dinamakan bumi berikut segala macam isinya; atau mercapada. Karena bumi
bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat tidak kekal.



Betapa Maha Pemurahnya Tuhan itu, bersedia meminjamkan jasad, berikut
tempat tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas manusia boleh
digunakan secara gratis. Tuhan hanya menuntut tanggungjawab manusia
saja, agar supaya menjaga semua barang pinjaman Tuhan tersebut, serta
manusia diperbolehkan memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan sediakan
dengan cara tidak merusak barang pinjaman dan semua fasilitasnya.



Itulah tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini;
yakni menjaga barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh
memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan Tuhan untuk manusia dengan
tanpa merusak, dan tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak,
dan kembali seperti semula dalam keadaan suci. Itulah “perjanjian”
gaib antara Tuhan dengan manusia makhlukNya. Untuk menjaga klausul
perjanjian tetap dapat terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau
“aturan-main“ yang harus dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni
manusia. Rumus Tuhan ini yang disebut pula sebagai kodrat Tuhan;
berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran atas isi atau “klausul
kontrak” tersebut berupa akibat sebagai konsekuensi logisnya. Misalnya;
keburukan akan berbuah keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula.
Barang siapa menanam, maka mengetam. Perbuatan suka memudahkan akan
berbuah sering dimudahkan. Suka mempersulit akan berbuah sering
dipersulit. 

MAKNA SPIRITUAL DAN FILOSOFIS HANACARAKA: KAJIAN KEBATINAN JAWA DALAM PERSPEKTIF

  MAKNA SPIRITUAL DAN FILOSOFIS HANACARAKA: KAJIAN KEBATINAN JAWA DALAM PERSPEKTIF MAHASISWA   Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fils...