Rabu

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 11

Serat Darmagandhul 11

Pembaca: 1422

Tersebut dalam Serat Tapak Hyang, yang juga disebut dengan Sastrajendrayuningrat, Serat yang tercipta dari Sabda Kun (maksudnya berasal dari wahyu juga), yang dinamakan JITHOK (KUDUK MANUSIA) sesungguhnya bermakna pu-JI THOK (Hanya Pujian semata). Dewa Yang Agung, yang telah menciptakan cahaya menyala yang menyelimuti sekujur tubuh manusia sesungguhnya ada dekat, sedekat dengan kuduk manusia. (Kuduk manusia sangat dekat, namun sulit manusia melihat kuduknya sendiri kalau tidak bercermin). JILING (KENING) sesungguhnya bermakna pu-JI e-LING (Memuji dan Ingat) kepada Gusti. PUNUK (BAHU) sesungguhnya bermakna PANAKNA (TEMPATKANLAH ~ maksudnya Tempatkanlah Kesadaran kamu pada posisi yang sesungguhnya). TIMBANGAN (TULANG BAHU YANG MENONJOL) sesungguhnya bermakna SALANG (Terhubung ~ maksudnya Terhubung dengan Gusti). PUNDHAK (PUNDAK) sesungguhnya bermakna PANDUK (Mencari), hidup dialam dunia ini hanya mencari dua hal, Buah Pengetahuan dan Buah Kuldi (Keduniawian), jika mendapatkan banyak Buah Kuldi, hasilnya akan gemuk, jika mendapatkan Buah Pengetahuan yang banyak, bisa dibuat bekal untuk hidup, HIDUP YANG KEKAL ABADI YANG TIDAK TERKENA MATI. TEPAK (DADA) sesungguhnya bermakna TEPA TAPANIRA (Tetapkan Tapa-mu). WALIKAT (BELIKAT) sesungguhnya bermakna WALIKANE GESANG (Dibalik Hidup). ULA-ULA (TULANG BELAKANG MANUSIA) sesungguhnya bermakna ULATANA (Perhatikanlah dengan seksama), amatilah punggungmu dengan seksama (maksudnya amatilah sesuatu yang dekat denganmu tapi sulit untuk dilihat secara langsung seperti halnya punggung kita). SUNGSUM (SUMSUM TULANG) sesungguhnya bermakna SUNGSUNGEN (Persembahkanlah ~ maksudnya, Persembahkanlah kehidupanmu bagi Gusti ). LAMBUNG sesungguhnya bermakna, Dewa Yang Maha Agung yang menciptakan alam ini secara bersambungan, bersambungan antara INGAT-LUPA, HIDUP-MATI (maksudnya Rwabhineda atau Dualitas duniawi). LEMPENG (BAGIAN PINGGIR PERUT) kiri dan kanan, maksudnya Kuatkan tekad dan  LEMPENG (LURUS)-kanlah tekadmu lahir batin, luruskanlah  agar bisa membedakan mana benar dan mana salah, mana baik dan mana buruk. MATA maksudnya lihatlah semuanya ini dengan kesatuan batin yang utuh, lihatlah kiblat yang benar, banyak kiblat namun yang benar hanyalah satu saja. TENGEN (KANAN) maksudnya TENGENEN (Benar-benar utamakan) hingga jelas dan terang, bahwasanya didunia ini hanya sekedar memakai Raga fana semata, Raga yang tidak susah-susah membuat sendiri dan tidak juga beli. KIWA (KIRI) maksudnya Raga ini berisi HAWA keinginan, dan sulit untuk dimatikan segala keinginan tersebut. Begitulah apa yang tertulis dalam Serat.
Manakala paduka meragukan siapakah yang membuat Raga? Siapakah yang telah memberikan nama? Sesungguhnya tak lain hanya Lata wal Huzza (sekali lagi Sabda Palon memakai istilah Tuhan dengan nama Latta wal Huzza). Manakala paduka tetap meragukan, jelas paduka bisa disebut kafir, kapiran (sia-sia) kelak jika paduka meninggal. Tidak mempercayai tulisan Gusti (yang ada didalam tubuh paduka sendiri), serta telah murtad kepada para leluhur Jawa semua. Kelak saat mati, Roh paduka akan menempel pada besi (pusaka), kayu, batu, menjadi demit yang menjaga tanah. Itu akan terjadi jika paduka tidak bisa membaca serat/wahyu yang ada didalam tubuh paduka sendiri, jelas kelak jika meninggal akan menjelma/lahir kembali menjadi kuwuk (binatang laut). Akan tetapi jika mampu membaca sastra yang tertulis didalam tubuh paduka, berasalnya manusia akan lahir kembali menjadi manusia. (Sungguh kelahiran kembali ini juga diceritakan dalam ajaran Timur Tengah), salah satu contohnya konon dulu saat Kangjeng Nabi Musa hidup, ada orang yang telah meninggal dan telah berada didalam kuburan, bisa hidup kembali, hidupnya bahkan bisa berganti menjadi Roh yang murni, bahkan bisa mencapai kedudukan (evolusi jiwa) yang baru.

Jika paduka memeluk agama Islam, seluruh masyarakat Jawa pasti akan ikut memeluk agama Islam semua. Kalau hamba ini, Badan Kasar berikut Badan Halus hamba sudah hamba gengam dan hamba kuasai, sudah mampu hamba jadikan satu, tak ada beda mana yang disebut dalam dan mana yang disebut luar lagi. Jadi hanya sesuai dengan keinginan hamba semata, menghilang dalam wujud gaib (berbadan halus) maupun mewujud (berbadan kasar seperti sekarang) bisa hamba lakukan seketika dan kapanpun juga. Jika hamba tengah berkeinginan mewujud, inilah wujud yang hamba pilih. Jikalau hamba berkeinginan untuk berwujud gaib, bisa terjadi seketika, jikalau hamba berkeinginan untuk berwujud wadag, bisa terlihat seketika juga. Raga hamba ini sudah bersifat Illahi, seluruh Raga hamba ini satu persatu memiliki nama sendiri-sendiri. Silakan ditunjuk, mana yang disebut Sabda Palon, sudah hamba halangi dengan wujud ragawi. Begitu mewujudnya hingga tidak bisa diketahui lagi mana sesungguhnya Sabda Palon. Hanya nama yang bisa dikenali. Sabda Palon sesungguhnya tidak tua juga tidak muda, tidak mati juga tidak hidup, hidupnya meliputi matinya dan matinya meliputi hidupnya, abadi selama-lamanya.”

Sang Prabhu bertanya :”Dimanakah Tuhan Yang Sejati?”

Sabda Palon menjawab: “Tiada jauh juga tiada dekat, paduka adalah perwujudan-Nya, dinyatakan telah menyatu, Budi (Kesadaran), Hawa (Keinginan) dan Badan (Jasad Fisik), ketiganya adalah sarana-Nya mewujud. Tiada terpisah, akan tetapi tidak juga menyatu. Sesungguhnya paduka adalah Raja Yang Utama, pastilah akan memahami apa yang hamba ucapkan!”Sabda Palon menjawab sedih : “Hamba menuruti aturan agama yang lama, kepada agama yang baru hamba tidak menuruti. Apa sebabnya paduka memutuskan berpindah agama akan tetapi tidak meminta pertimbangan kepada hamba? Apakah paduka lupa akan arti nama hamba Sabda Palon? Sabda artinya Ucapan, Palon : artinya Ketetapan. Naya artinya Wajah, Genggong : Langgeng tak berubah. Jadi ucapan hamba ini, adalah ketetapan bagi wajah/bentuk dari tanah Jawa, langgeng selamanya!”Sang Prabhu berkata : “Bagaimana ini, aku sudah terlanjur memeluk agama Islam, sudah disaksikan oleh Sahid, aku tidak boleh kembali memeluk agama Buda lagi. Akan memalukan dan ditertawakan bumi serta langit (jika aku tidak konsekwen)!”

Sabda Palon berkata : “Sudah terlanjur, silakan paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikut.”

Sunan Kalijaga lantas berkata kepada Sang Prabhu, yang isinya menyarankan agar tidak perlu berfikir macam-macam, sebab agama Islam itu adalah agama yang mulia. Sunan Kalijaga memohon ijin untuk menjadikan air didalam danau sebagai tanda bukti, bagaimanakah nanti baunya. Jika air danau nantinya bisa berbau wangi, itu berarti Sang Prabhu sudah mantap memeluk agama Rasul. Sunan Kalijaga lantas menyabda air danau dan seketika berbau wangi dan harum. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabhu, sebagaimana sudah terbukti, jikalau Sang Prabhu nyata telah mantap memeluk agama Rasul, tandanya air danau berbau harum.

Berkata Sabda Palon kepada Sang Prabhu : “Ini hanya kesaktian belaka. Kesaktian kecil yang hanya seimbang dengan air kencing hamba. Kesaktian seperti ini dipamerkan didepan hamba. Jikalau saya imbangi, sama saja sama melawan air kencing hamba sendiri, apa yang hendak saya perebutkan? Paduka sudah terlanjur terkecoh, sudah berkehendak menjadi manusia yang sekedar menumpang, tidak memiliki ketetapan hati, sukanya hanya ikut-ikutan. Sungguh tiada guna hamba momong paduka selama ini, hamba malu kepada bumi dan langit, telah momong manusia bodoh, HAMBA HENDAK MENCARI MOMONGAN LAIN YANG HANYA BERMATA SATU, hamba sudah tidak akan momong paduka lagi. Jikalau hamba mau, air danau ini akan hamba jadikan minyak wangi dengan lantaran kentut hamba saja. Ketahuilah, yang disebut MANIKMAYA oleh masyarakat Jawa itu tak lain adalah hamba ini! Yang menciptakan kawah diatas gunung Mahameru dulu adalah hamba. Adi Guru (Bathara Shiwa) yang memberikan ijin-Nya. Pada waktu itu tanah dipulau Jawa masih belum stabil. Didalam tanah mengeram api yang siap keluar setiap saat. Oleh karenanya, hamba kentuti setiap puncak gunung agar supaya api tersebut bisa mengalir dari sana saja. Oleh karenanya, tanah Jawa lantas menjadi stabil dan banyak gunung di Jawa yang aktif memiliki kawah berapi, berisi air panas dan air tawar. Hamba yang membuat sedemikian itu dulu. Semua atas kehendak Lata wal Huzza, yang telah menciptakan bumi dan langit. Apa kurangnya agama Buda? Setiap pemeluknya bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Percayalah, jikalau paduka berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan paduka akan senantiasa dalam kesusahan, Jawa hanya tinggal nama, Jawa-nya hilang dan sukanya akan mengikut bangsa lain. Tapi kelak suatu saat akan diperintah oleh orang Jawa yang memahami (ajaran leluhur lagi)!”

“Silakan paduka buktikan, kelak sebelum menjelang purnama jarang diikuti tampaknya bulan mulai tanggal pertama, biji padi banyak yang susah tumbuh, ditolak oleh para Dewa, dipaksa untuk ditanampun akan tumbuh menghasilkan biji Mriyi (padi kecil), hanya bisa dibuat makanan burung. Mriyi itu padi yang tidak enak rasanya, hal ini dikarenakan paduka telah berbuat kurang tepat, mengikut menyembah batu. Buktikanlah, kelak tanah Jawa berubah hawa-nya, terasa lebih panas dan kurang hujan, berkurang hasil pertanian, banyak manusia yang suka berbohong, suka berbuat nista dan mudah mengucap janji. Hujan tiba tapi salah waktu, membuat kebingungan para petani. Mulai hari ini, hujan akan berkurang, sebab merupakan hukuman bagi manusia Jawa yang berani berpindah keyakinan. Kelak jika sudah kembali Kesadaran-nya, sudah ingat kepada agama Buda lagi, serta manusia Jawa sudah gemar mencari buah Pengetahuan lagi, Tuhan akan memberikan ampunan, suasana Jawa akan makmur tenteram kembali seperti jaman Buda lagi!”

Mendengar ucapan Sabda Palon, Sang Prabhu dalam hati merasa menyesal telah berpindah agama. Hingga lama tak bersuara, lantas berkata, mengapa dirinya tertarik kepada agama Islam karena terpikat ucapan putri Champa, yang mengatakan bahwasanya kelak manusia yang memeluk agama Islam jika meninggal akan mendapatkan surga yang melebihi surga orang kafir.

Sabda Palon menjawab, sudah semenjak dahulu, jika suami terlalu menuruti istri, pasti akan menemukan kesengsaraan. Karena wanita ibaratnya adalah tempat rasa (penuh emosi), jarang yang bisa menggunakan penalaran tanpa terbalut emosinya, Sabda Palon menasehati banyak hal kepada Sang Prabhu.

Sang Prabhu berkata :”Kamu nasehati bagaimanapun juga sudah tiada guna lagi, semua terlanjur. Sekarang, sekali lagi aku hendak menanyakan ketetapan hatimu. Diriku sudah terlanjur masuk agama Islam dan telah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak mungkin lagi kembali ke Buda lagi.”

Sabda Palon mengatakan hendak berpisah. Manakala ditanya hendak pergi kemana, menjawab tidak hendak pergi jauh tapi sudah tidak bertempat di Jawa lagi. Karena bagaimanapun untuk memegang tugasnya sebagai Semar, tetap juga akan meliputi Jawa walau tiada terlihat nyata. Sang Prabhu diberikan janji, JIKA KELAK ADA MANUSIA JAWA BERNAMA TUA, BERSENJATAKAN KAWRUH (PENGETAHUAN KESADARAN) DIALAH YANG DI MOMONG SABDA PALON, MANUSIA JAWA YANG SUDAH KEHILANGAN JAWANYA AKAN DIAJARI AJARAN BENAR DAN SALAH LAGI!

Sang Prabhu berkehendak ingin merangkul Sanda Palon dan Naya Genggong, akan tetapi keduanya sirna seketika itu juga. Sang Prabhu terkejut dan tak terasa keluarlah buliran air bening dari matanya, lantas kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Kelak dikemudian hari, negara Blambangan akan berganti nama Banyuwangi. Akan menjadi pengingat bahwasanya kelak Sabda Palon akan pulang ke Jawa sembari membawa momongannya. Sekarang dia ada ditanah seberang!” Sunan Kalijaga lantas disuruh mengamati air danau, jikalau bau wangi akibat disabdakan oleh Sunan Kalijaga tadi hilang , maka itu pertanda, kelak orang Jawa aka
Sunan Kalijaga lantas membuat bumbungan dari bambu dua buah, yang satu diisi air tawar dan yang satu diisi air danau. Air danau nanti akan dijadikan pertanda, jikalau bau wanginya hilang, maka orang Jawa kelak akan berpindah agama Kawruh (Pengetahuan). Bumbungan setelah diisi air, lantas ditutup menggunakan daun Pandhan Sili, lantas dibawa oleh dua orang murid Sunan Kalijaga.
Sang Prabhu berikut rombongan lantas berangkat diikuti oleh Sunan Kalijaga dan muridnya. Perjalanan terhalang malam, lantas bermalam di daerah Sumberwaru. Waktu pagi bumbungan dibuka, air dicium masih berbau wangi, perjalanan lantas dilanjutkan. Sore menjelang, telah sampai di Panarukan, Sang Prabhu berikut rombongan bermalam disana. Pagi harinya, air didalam bumbungan dibaui masih wangi, Sang Prabhu lantas melanjutkan perjalanannya.

(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 10

Serat Darmagandhul 9

Pembaca: 1675
 Terjemahan kedalam bahasa Indonesia.
Semesta ini adalah perwujudan dari Dewa yang mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah menjadi kewajiban manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan Kesadaran diri untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri supaya tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam, makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk. Gejolak batin yang liar dan seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan dari segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur tanah ini. (Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat badani, sifat yang hanya ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan sifat yang tidak merenungkan bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya (jika sudah meninggal).
Benarlah jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur dari segala macam kecenderungan liar manusia. Muhammad juga (bisa dilambangkan) sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi oleh segala kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan sirna kembali ke asalnya lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam segala gejolak batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah kesucian yang terlapisi kekotoran : Damar Shashangka). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebenarnya sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan Sejati), Sekarang saya bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana? (Dengarkanlah lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim (Ibrahim ~ Adam leluhur manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama ‘kebrahen’ (berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih hidup dulu. Merekalah yang memperbanyak makhluk-makhluk fana, makhluk fana yang sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung terjebak rasa badani belaka. Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh yang terlapisi kekotoran duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam bentuk manusia yang memiliki segala rasa ini. (Bukankah sama juga dengan kisah Manu leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala yang fana ini (yaitu badan halus yang memiliki kecenderungan liar dan badan kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha Kuasa, diri paduka yang berwujud manusia akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati). Untuk bisa terlepas dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala kecenderungan buruk.
Ayah dan Ibu tidak membuat wujud Sejati ini, makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek : ada dengan sendirinya :Damar Shashangka), mewujud dengan sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak Lattawalhuzza (penyebutan nama ini demi menyindir Sunan Kalijaga, dimana umat Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan Hyang Widdhi atau Brahman. Lattawalhuzza adalah nama berhala yang disembah orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia. Maksud Sabda Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak Tergambarkan, diri kita adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : Damar Shashangka). Dia-lah yang meliputi segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah wujud-Nya juga. Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada wujud-Nya, (sesunguhnya kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini 'ada' dan berwujud sendiri diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru yang kita bawa kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian itu, maka pada saat kematian tiba, akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas tanah, menunggui jasadnya sendiri yang sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia. Itulah salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan dan buah pohon Kesadaran, sama saja memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi setan (Roh Penasaran). Memakan tanah atau mengharap-harap manusia lain memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya (karena hanya sesajian dan doa waktu upacara selamatan yang dilakukan keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : Damar Shashangka), dan sebagai ucapan terima kasih, Roh semacam ini akan berusaha memenuhi permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi mereka.
Manusia yang meninggal dunia, selamat atau tidaknya tidak berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya dulu penuh kebaikan, tentu akan mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau hukum dari penguasa duniawi). (Maksud Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini tak ada. Kemudian harus melakukan perbuatan yang baik selama hidup. Kesejatian bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : Damar Shashangka). Sekarang jawablah jika telah meninggal anda hendak pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda terima)?”
Sang Prabhu menjawab, “Kembali ke asal mulaku, berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).” Sabda Palon berkata lagi : “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki pemahaman akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah kematian yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS (Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih kembali). Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati Roh Idhafi. Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang terpisahkan dari kita. Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud kita kembali menjadi bagian Roh Idhafi. Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula tempat kita sebelum menjadi manusia. Kata SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah) awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah pengembara yang waspada, jangan sampai salah saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA (Pikiran) ini.”

Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan kepada manusia yang lebih/mulia.” Sabda Palon berkata : “Itu sikap dari seorang manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada pohon-pohon besar. Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan orang dan menurut apa yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan dapat menemukan kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian nista. Semenjak hidup sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri, kelak jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang kesana-menari menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh penasaran, dan mencari tempat menempel lainnya!” Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari kosong akan kembali kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi kelak aku juga akan menuju kepada kosong tersebut!” Sabda Palon menjawab, “Itu kematian manusia yang tersesat, tidak memakai iman dan ilmu (keyakinan dan pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan istilah-istilah Arab demi menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar Shashangja). Hidup hanya seperti binatang, hanya sekedar mencari makan dan minum serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum air kencing saja sudah puas. Mereka menganggap kelak jika meninggal sirna juga dirinya.” Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah luluh jadi debu!” Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah. Tidak memahami bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh, maaf paduka!” Sang Prabhu menjawab lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!” Sabda Palon tertawa, “
Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih moksha. Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan golongan mereka terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha beserta raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud menjadi Roh Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit (Jin).” Jawaban Sang Prabhu : “Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan berusaha, sudahlah terserah Yang Maha Kuasa saja!” Sabda Palon : “Paduka melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka lupa bahwa manusia dijadikan sebagai titah yang mulia. Paduka telah meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia memiliki hak untuk memilih dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi tidak perlu mencari ilmu kemuliaan untuk meraih kesempurnan kematian!” Sang Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang Maha Kuasa.” (Bersambung) (6 September 2010, by DamarShashangka)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 9

Serat Darmagandhul 9

Pembaca: 1675
 Terjemahan kedalam bahasa Indonesia.
Semesta ini adalah perwujudan dari Dewa yang mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah menjadi kewajiban manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan Kesadaran diri untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri supaya tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam, makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk. Gejolak batin yang liar dan seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan dari segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur tanah ini. (Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat badani, sifat yang hanya ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan sifat yang tidak merenungkan bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya (jika sudah meninggal).
Benarlah jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur dari segala macam kecenderungan liar manusia. Muhammad juga (bisa dilambangkan) sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi oleh segala kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan sirna kembali ke asalnya lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam segala gejolak batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah kesucian yang terlapisi kekotoran : Damar Shashangka). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebenarnya sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan Sejati), Sekarang saya bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana? (Dengarkanlah lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim (Ibrahim ~ Adam leluhur manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama ‘kebrahen’ (berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih hidup dulu. Merekalah yang memperbanyak makhluk-makhluk fana, makhluk fana yang sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung terjebak rasa badani belaka. Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh yang terlapisi kekotoran duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam bentuk manusia yang memiliki segala rasa ini. (Bukankah sama juga dengan kisah Manu leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala yang fana ini (yaitu badan halus yang memiliki kecenderungan liar dan badan kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha Kuasa, diri paduka yang berwujud manusia akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati). Untuk bisa terlepas dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala kecenderungan buruk.
Ayah dan Ibu tidak membuat wujud Sejati ini, makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek : ada dengan sendirinya :Damar Shashangka), mewujud dengan sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak Lattawalhuzza (penyebutan nama ini demi menyindir Sunan Kalijaga, dimana umat Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan Hyang Widdhi atau Brahman. Lattawalhuzza adalah nama berhala yang disembah orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia. Maksud Sabda Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak Tergambarkan, diri kita adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : Damar Shashangka). Dia-lah yang meliputi segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah wujud-Nya juga. Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada wujud-Nya, (sesunguhnya kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini 'ada' dan berwujud sendiri diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru yang kita bawa kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian itu, maka pada saat kematian tiba, akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas tanah, menunggui jasadnya sendiri yang sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia. Itulah salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan dan buah pohon Kesadaran, sama saja memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi setan (Roh Penasaran). Memakan tanah atau mengharap-harap manusia lain memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya (karena hanya sesajian dan doa waktu upacara selamatan yang dilakukan keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : Damar Shashangka), dan sebagai ucapan terima kasih, Roh semacam ini akan berusaha memenuhi permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi mereka.
Manusia yang meninggal dunia, selamat atau tidaknya tidak berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya dulu penuh kebaikan, tentu akan mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau hukum dari penguasa duniawi). (Maksud Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini tak ada. Kemudian harus melakukan perbuatan yang baik selama hidup. Kesejatian bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : Damar Shashangka). Sekarang jawablah jika telah meninggal anda hendak pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda terima)?”
Sang Prabhu menjawab, “Kembali ke asal mulaku, berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).” Sabda Palon berkata lagi : “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki pemahaman akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah kematian yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS (Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih kembali). Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati Roh Idhafi. Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang terpisahkan dari kita. Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud kita kembali menjadi bagian Roh Idhafi. Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula tempat kita sebelum menjadi manusia. Kata SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah) awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah pengembara yang waspada, jangan sampai salah saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA (Pikiran) ini.”

Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan kepada manusia yang lebih/mulia.” Sabda Palon berkata : “Itu sikap dari seorang manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada pohon-pohon besar. Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan orang dan menurut apa yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan dapat menemukan kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian nista. Semenjak hidup sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri, kelak jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang kesana-menari menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh penasaran, dan mencari tempat menempel lainnya!” Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari kosong akan kembali kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi kelak aku juga akan menuju kepada kosong tersebut!” Sabda Palon menjawab, “Itu kematian manusia yang tersesat, tidak memakai iman dan ilmu (keyakinan dan pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan istilah-istilah Arab demi menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar Shashangja). Hidup hanya seperti binatang, hanya sekedar mencari makan dan minum serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum air kencing saja sudah puas. Mereka menganggap kelak jika meninggal sirna juga dirinya.” Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah luluh jadi debu!” Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah. Tidak memahami bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh, maaf paduka!” Sang Prabhu menjawab lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!” Sabda Palon tertawa, “
Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih moksha. Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan golongan mereka terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha beserta raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud menjadi Roh Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit (Jin).” Jawaban Sang Prabhu : “Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan berusaha, sudahlah terserah Yang Maha Kuasa saja!” Sabda Palon : “Paduka melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka lupa bahwa manusia dijadikan sebagai titah yang mulia. Paduka telah meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia memiliki hak untuk memilih dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi tidak perlu mencari ilmu kemuliaan untuk meraih kesempurnan kematian!” Sang Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang Maha Kuasa.” (Bersambung) (6 September 2010, by DamarShashangka)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 8

Damar Shashangka: Serat Darmagandhul 8

Pembaca: 1722
 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia

Mendengar kata-kata Sang Prabhu yang demikian, Sunan Kalijaga tercenung dan berkata dalam hati, “Benarlah apa yang dikatakan oleh Nyi Ageng Ngampelgadhing, bahwasanya eyang wungkuk (Prabhu Brawijaya) masih mempunyai nama besar dan masih punya kuasa. Sungguh tidak melihat diri sendiri, kulit yang sudah keriput punggung yang sudah bungkuk. Jikalau sampai menyeberang ke pulau Bali, pastilah akan terjadi perang besar dan dapat dipastikan kekuatan Demak tidak akan bisa menang. Sebab jelas-jelas Demak melakukan kesalahan yang tidak akan menarik simpati Negara manapun. Kesalahan pertama berani melawan ayahanda sendiri. Kesalahahn kedua berani melawan Raja tanpa ada masalah yang jelas dan kesalahan ketiga berani membalas kebaikan dengan kejahatan. Pastilah semua penduduk Jawa (Majapahit) yang belum masuk Islam akan membela Raja tua, mereka akan ikut memperkuat barisan, dan pastilah akan kalah orang Islam, habis binasa dalam peperangan yang bakal terjadi.”
 Akhirnya Sunan Kalijaga pelan berkata,” Duh paduka yang mulia Kangjeng Sang Prabhu. Jikalau seandainya paduka terlaksana menyeberang ke Bali, terlaksana menggalang kekuatan para Raja bawahan Majapahit diluar Jawa, pastilah bakal terjadi perang besar. Apakah paduka tidak sayang akan kerusakan tanah Jawa kelak ? Sudah dapat dipastikan putra paduka (Raden Patah) yang akan menemui kekalahan. Paduka lantas kembali naik tahta, tak lama kemudian akan turun tahta karena jelas paduka sudah sepuh. Tahta Jawa lantas dikuasai oleh yang bukan keturunan darah paduka. Bagaikan anjing yang berebut bangkai, anjing yang bertengkar tak ada yang mengalah dan binasa kedua-duanya, sedangkan daging yang diperebutkan akhirnya dimiliki oleh anjing yang lain.”

Sang Prabhu Brawijaya menjawab, “Jikalau memang harus seperti itu kejadiannya nanti, semua aku pasrahkan kepada kehendak Dewa Yang Maha Lebih. Diriku ini Raja Besar, setia pada satu mata, tidak mempergunakan dua mata, hanya satu mata melihat kebenaran, kebenaran yang sudah ditetapkan turun temurun oleh leluhur tanah Jawa. Seandainya si Patah mengakui aku ayahnya, jika hanya ingin menjadi Raja, seharusnya mintalah tahta secara baik-baik. Tahta tanah Jawa pasti akan aku berikan dengan baik-baik pula. Diriku sudah tua, sudah bosan menjadi Raja, dan sudah saatnya menjadi Pandhita, menyepi dilereng gunung. Akan tetapi sekarang kenyataannya si Patah tega menyia-nyiakan diriku, demi Dewata Yang Agung pastilah sekarang diriku tidak akan rela jika tanah Jawa dikuasainya, begitu pula seluruh abdi-abdiku, tak ada yang rela jika tanah Jawa dikuasai Patah!”

Sunan Kalijaga, begitu mendengar kata-kata Sang Prabhu merasa sudah tidak bisa mencegah lagi. Sontak dia menyembah kaki Sang Prabhu. Kemudian melepas keris yang terselip dipinggang belakang serta disodorkan kepada Sang Prabhu sembari menyatakan, jikalau Sang Prabhu tidak mendengarkan kata-kata Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga memohon agar Sang Prabhu berkenan membunuhnya saat itu juga. Sunan Kalijaga merasa malu jika kelak harus melihat peperangan besar terjadi di Jawa antara ayah dan anaknya.

Melihat apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga sedemikian itu, hati Sang Prabu beku dan teriris, lama tak mampu bersuara. Dada beliau seketika sesak dan tak terasa menetes air mata Prabhu Brawijaya. Bergetar suara Sang Prabhu, “Sahid, duduklah kembali, sudah akan aku pikirkan kembali kata-kataku, akan aku renungkan lagi semua ucapanmu, benar atau tidaknya, jujur atau bohong. Sebab aku khawatir apa yang kamu ucapkan semua tadi hanya bohong belaka. Ketahuilah Sahid, jika seandainya aku benar pulang kembali ke Majapahit, lantas si Patah menghadap dihadapanku. Kebenciannya tak mungkin bisa hilang, sebab merasa memiliki ayah orang Buda totok kafir kufur. Hanya sesaat dia bisa menghargaiku. Lain hari pasti akan lupa lagi. Mungkin aku nanti bisa juga dikebiri (sunat) olehnya, atau mungkin bisa juga disuruh menjaga pintu gerbang belakang. Pagi sore dipaksa melaksanakan sembahyang. Jika tidak bisa-bisa diguyur air dikolam dan dikosok tubuhku mengunakan daun alang-alang kering!”

Sang Prabhu melanjutkan ucapannya kepada Sunan Kalijaga, “Renungkanlah, Sahid. Bagaimana sedihnya hatiku, sudah tua, bungkuk, diperlakukan bagai anak kecil direndam di kolam sedemikian rupa.”

Sunan Kalijaga tersenyum sembari berkata,”Tak mungkin hingga sedemikian itu perlakuan putra paduka. Sungguh kelak saya yang akan bertanggung jawab. Saya pastikan putra paduka tidak akan berani berlaku sia-sia kepada paduka. Jika masalah agama, semua tergantung kepada pribadi pasuka sendiri. Akan tetapi akan lebih baik jika paduka memang berkenan berganti agama Buda dengan syari’at Rasul. Menyebut asma Allah. Jikalau memang tidak berkenan, tidak juga menjadi masalah. Agama bukan jaminan (menemukan kesejatian). Keyakinan orang Islam yang utama hanyalah sahadat. Walaupun shalat jempalitan, manakala belum memahami sahadat, tetap saja dinamakan kafir.”

Sang Prabhu berkata,”Apa Sahadat itu? Aku kok belum tahu, jelaskanlah akan aku dengarkan!”

Sunan Kalijaga lantas mengucapkan kalimat Sahadat: “Ashadualla illa haillallah, wa ashadu anna Muhammadarrasulullah. Artinya Aku bersaksi, tidak ada Tuhan yang sejati kecuali Allah. Dan aku bersaksi, Kangjeng Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

Lantas Sunan Kalijaga mengatakan lagi,”Manusia yang melakukan penyembahan kearah kiblat semata, akan tetapi tidak juga memahami maksudnya, tetaplah dinamakan kafir. Dan lagi manusia yang menyembah sesuatu yang berwujud dan berwarna, itu disebut menyembah berhala. Maka oleh karenanya, manusia wajib memahami dirinya dari lahir hingga batin. Manusia mengucapkan sesuatu harus tahu apa yang diucapkan. Sesungguhnya yang disebut Nabi Muhammad Rasulullah, Muhamad itu sejatinya adalah bagaikan makam atau kuburan. Badan sejati manusia ini (Ruh) ibarat tempat tertanamnya/melekatnya segala gejolak batin. Sesungguhnya yang mengucapan sahadat adalah menyaksikan Diri-nya sendiri (Ruhnya sendiri sebagai utusan Allah), bukan naik saksi kepada Muhammad yang ada di Arab. Badan (sejati) manusia ini adalah Percikan Dzat Tuhan. Diibaratkan sebagai kubur atau makam segala rasa dan gejolak batin. (Diri sejati sebagai) Rasul (utusan) akan dapat di-Rasa-kan (oleh Ruh). Bukan dirasakan bagai merasakan Rasa makanan (dan segala rasa pancaindriya, akan tetapi Rasa sadar  bahwa diri ini adalah utusan Tuhan). Rasul (utusan/Ruh) ini murni illahi. Lullah (dari Allah) bisa juga diartikan bagaikan luluh. Seperti lumpur yang luluh. Rasulullah (Utusan Allah/Ruh ini) sesungguhnya adalah illlahi yang diselimuti oleh rasa negative dan segala yang jelek. Muhammad Rasulullah (Ruh adalah utusan Allah). Untuk menyadarinya pertama-tama harus memahami apa badan (kasar) ini, kedua memahami segala keinginan (gejolak batin/badan halus). Sudah wajib semua manusia mencermati segala rasa (gejolak batin yang ditimbulkan oleh badan halus). Rasa dan Tedhi (semua gejolak batin yang halus) itulah yang melekati Muhammad Rasulullah (Ruh utusan Allah). Oleh karenanya setiap melakukan shalat orang Islam harus mengawali dengan ucapan ‘Usholi’ artinya berniat sungguh-sungguh untuk mengetahui asal-usul (Ruh ini). Raga manusia ini berasal dari bayangan Ruh Idhofi, yaitu Muhammad Rasulullah itu sendiri. Yang dimaksud Rasul adalah utusan yang harus bisa di Rasa (disadari) bahwsanya kita ini utusan sejati. Dari sanalah benih segala kehidupan. Akan bisa dicapai dengan kesadaran terbuka. Diawali memahami ashadualla (sahadat). Jika tidak memahami apa arti sahadat sesungguhnya, maka tidak sempurna rukun Islam dan tidak akan mengetahui awal asal usul kehidupan kita!”

Banyak yang dihaturkan oleh Sunan Kalijaga sehingga Prabhu Brawijaya akhirnya tertarik dan berkenan memeluk agama Islam. Lantas kemudian Sunan Kalijaga memohon agar diperkenankan memotong rambut panjang Sang Prabhu akan tetapi tidak bisa terpotong saat digunting. Oleh karenanya Sunan Kalijaga lantas menyarankan agar Sang Prabhu benar-benar sungguh-sungguh masuk Islam lahir batin. Sebab jika hanya lahir saja, rambut tidak akan mempan digunting. Sang Prabhu lantas berkata bahwa dirinya sudah lahir batin, oleh karenanya rambut lantas bisa dipotong.

Selesai dipotong rambutnya Sang Prabhu lantas berkata kepada Sabda Palon dan Naya Genggong, “Kalian semua aku jadikan saksi, bahwa mulai hari ini aku meninggalkan agama Buda dan memeluk agama Islam. Menyebut asma Allah Yang Sejati. Keinginanku, kalian berdua aku harapkan ikut berganti memeluk agama Rasul dan meninggalkan agama Buda!”

Sedih Sabda Palon menjawab, “ Hamba ini adalah Raja Dang Hyang (makhluk gaib) yang menjaga tanah Jawa. Siapapun yang menjadi Raja, adalah momongan hamba. Mulai dari leluhur paduka dulu, yaitu Wiku Manumanasa, Raden Sakutrem hingga Bambang Sakri, turun temurun hingga sekarang ini, semua menjadi momongan hamba dan hamba ajari ajaran Jawa sejati. Jika hamba tidur, mampu tidur selama 200 tahun. Selama saya tidur di Jawa akan banyak terjadi peperangan antar saudara. Yang   kuat akan memangsa sesame manusia, menghancurkan sesame bangsanya sendiri. Hingga sat ini usia hamba 2003 tahun. Hamba telah momong ajaran Jawa, semua yang hamba momong selama ini tak ada yang berubah agamanya. Memegang teguh agama Buda. Hanya paduka sekarang saja yang berani meninggalkan ajaran leluhur Jawa. Jawa artinya paham , yang sudah paham disebut Jawan (Sadar). Sadar bahwa badan sejati ini hanya sementara tinggal didunia, tujuannya adalah meraih moksha!”

Ucapan Wiku Utama dibarengi seketika oleh suara gemuruh guntur!

Sang Prabhu Brawijaya oleh para Dewa disindir karena telah memeluk agama Rasul. Tiga sindiran yang muncul di bhumi Jawa mulai sat itu adalah 1. Suket Jawan (Rumput Jawan), 2. Pari Randhanunut (Padi Randhanunut, Randha : Janda, Nunut : ikut tinggal/Numpang Randhanunut ~ Seorang jandha yang ikut tinggal/numpang hidup) dan 3. Pari Mriyi (Padi Mriyi).

(Konon mulai saat itulah muncul Padi dan Rumput dengan nama seperti diatas. Rumput Jawan, maksudnya Kesadaran yang telah rendah serendah rumput yang bisa diinjak-injak. Padi Randhanunut, maksudnya padi/makanan batin/ajaran agama milik seorang janda yang tinggal numpang dirumah seseorang, alias kebenaran yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang kehilangan pasangan sejati/Tuhan yang numpang di Jawa dan Padi Mriyi adalah Padi yang kecil-kecil, maksudnya makanan batin/ajaran yang masih berupa jenis yang kecil : Damar Shashangka)

Sang Prabhu berkata lagi, “Aku Tanya lagi bagaimana niatanmu, mau atau tidak meninggalkan agama Buda berganti memeluk agama Rasul. Menyebut nama Nabi Muhammad Rasulullah, panutan para Nabi dan menyebut asma Allah Yang Sejati?”

Sabda Palon sedih berkata,”Silakan paduka sendiri saja yang masuk, hamba tidak tega melihat kelakuan sia-sia mereka, seperti watak orang Arab. Sia-sia artinya suka menghukum (menghakimi), menghakimi semua yang berbadan. Jikalau hamba berganti agama, jelas akan membuat tak berguna tujuan moksha hamba kelak. Yang mengaku paling mulia itu hanya orang Arab saja dan diikuti oleh orang Islam semua. Memuji dan meninggikan kelompoknya sendiri. Menurut hamba lebih baik tidak usah mengurusi (menghakimi) tetangga (agama lain). Perbuatan semacam itu (suka menghakimi agama lain) hanya akan menunjukkan rendahnya pemahaman diri. Saya tetap menyukai agama lama, tetap suka menyebut Tuhan dengan nama Dewa Yang Maha Lebih!”




(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 7

Serat Darmagandhul 7

Pembaca: 1268

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
Lantas Nyi Ageng Ngampel berkata lagi, “ Cucuku, dengarkanlah aku akan menceritakan empat kisah lama yang bisa dijadikan suri tauladan. Dalam sebuah kitab hikayat telah diceritakan, di tanah Mesir (yang benar  cerita ditanah Israel atau Isroil, penulis Darmagandhul membuat kesalahan disini. Ini membuktikan sang penulis bukan misionaris Kristiani seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan akhir-akhir ini. Jika benar sang penulis adalah misionaris Kristiani, mana mungkin melakukan sebuah kesalahan semacam ini, dimana kisah Nabi Daud dikatakan cerita dari Mesir. Dalam Kitab Perjanjian Lama sudah jelas diketahui Daud adalah orang Israel dan Raja Israel, dan seorang Kristiani tak mungkin akan salah jika bertutur tentang Daud dan Israel-nya. : Damar Shashangka) bahwa pernah suatu ketika putra Kangjeng Nabi Daud pernah merebut tahta ayahnya. Nabi Daud sampai harus meloloskan diri dari kerajaan dan sang putra mengukuhkan diri sebagai Raja. Tidak berapa lama Nabi daud berhasil merebut kerajaannya. Sang putra lari dengan menunggang kuda ke hutan, kuda berlari tak bisa dikendalikan hingga sang putra tersangkut pohon dan batu, dan tewas dengan tubuh tersangkut pada sebatang pohon. Itulah yang disebut hukum Allah. Ada lagi cerita dari Prabhu Dewatacengkar, dia juga merebut tahta ayahandanya, dikutuk oleh sang ayah menjadi raksasa, setiap hari harus memakan daging manusia, tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang Brahmana dari tanah seberang (India) ke Jawa, bernama Aji Saka, membawa kesaktian ditanah Jawa. Seluruh masyarakat Jawa mengasihi Aji Saka, dan membenci Dewatacengkar. Aji Saka diangkat menjadi Raja, Dewatacengkar dilawan hingga lari menceburkan diri ke samudera, berubah menjadi buaya, tidak berapa lama kemudian meninggal. Ada lagi cerita dari negara Lokapala, Sang Prabhu Danaraja berani melawan ayahandanya, hukuman yang diterima juga tak jauh beda dengan cerita sebelumnya, semua menemui kesengsaraan. Dan sedangkan kamu, melawan ayah tanpa dosa, pastilah kamu menemui kesengsaraan, jika kelak meninggal pasti akan masuk neraka, itulah hukum Allah bagimu!”
Mendengar penuturan sang nenek, Sang Prabhu Jimbun dalam hati merasa menyesal, akan tetapi semua sudah terlanjur.
 Nyi Ageng Ngampel masih meneruskan penuturannya,”Ketahuilah dirimu itu diperalat oleh para Ulama dan para Bupati, mengapa kamu menurut saja? Yang akan menerima kesengsaraan pastilah hanya dirimu seorang, sudah kehilangan ayah, seumur hidup namamu akan tercemar. Kebanggaan apa yang kamu dapatkan unggul berperang dengan ayah sendiri yang patut dihormati? Walau kamu bertaubatl kepada Yang Maha Kuasa, menurutku tidak akan diterima taubatmu. Kesalahan pertama kamu berani melawan ayahanda sendiri, kesalahan kedua berani menentang Raja, kesalahan ketiga membalas kebaikan dengan kejahatan serta melakukan perusakan dan pembunuhan tanpa ada dosa. Ingat, Adipati Pranaraga (Bathara Katong) dan dipati Pengging (Adipati Andayaningrat) tidak akan mungkin bisa menerima kehancuran Majapahit, pasti mereka akan membela ayah mereka, menghadapi hal itu saja sudah sangat berat buatmu.” Banyak lagi penuturan Nyi Ageng kepada Prabhu Jimbun. Sesudah Sang Prabhu selesai dinasehati, lantas disuruh pulang ke Demak serta disuruh mencari kemana perginya ayahandanya. Jika sudah ditemukan supaya diminta pulang kembali ke Majapahit, sebelumnya diminta mampir ke Ngampelgadhing. Akan tetapi jika tidak berkenan, tidak boleh dipaksa, sebab jikalau sampai membuat kemarahan beliau lagi dan sampai mengeluarkan kutuk, pasti akan terjadi kutukan itu.

Sesampainya di Demak, Sang Prabhu Jimbun melihat seluruh prajuridnya tengah bersuka cita dan bersenang-senang merayakan kemenangan, sedangkan para santri semua memukur rebana sembari berdzikir, mengucapkan syukur dan suka dihati melihat Sang Prabhu pulang sembari membawa kemenangan.

Sunan Benang menyambut kedatangan Sang Prabhu Jimbun, Sang Raja lantas melaporkan kepada Sunan Benang bahwa Majapahit sudah bisa dijebol, seluruh kitab-kitab Buda sudah dibakar semua, serta melaporkan bahwasanya ayahandanya berikut Raden Gugur lolos dari istana, sedangkan Patih Majapahit tewas ditengah medan peperangan. Putri Cempa dibawa mengungsi ke Benang, semua prajurid Majapahit yang menyerah dipaksa masuk Islam.
Mendengar laporan Sang Prabhu Jimbun, Sunan Benang tertawa sembari mengangguk-angguk dan berkata kalau sudah sesuai dengan apa yang sudah dilihatnya secara gaib.

Sang Prabhu berkata lagi, sebelum pulang ke Demak menyempatkan mampir ke Ngampeldhenta, sowan kepada eyang Nyi Ageng Ngampel, melaporkan kepada beliau jika baru saja berhasil menjebol Majapahit dan meminta restu untuk menjadi Raja. Akan tetapi di Ngampel malah dimarahi habis-habisan karena menurut beliau dirinya tidak bisa melihat kebaikan Sang Prabhu Brawijaya. Sesudah itu, diutus oleh beliau agar mencari jejak kepergian ayahandanya, semua yang diucapkan Nyi Ageng Ngampel dihaturkan semua kepada Sunan Benang.

Sesudah mendengar penuturan Sang Raja, didalam hati Sunan Benang merasa menyesal, menyadari kesalahannya, dimana dirinya tidak mengingat semua kebaikan Sang Prabhu Brawijaya yang telah diberikan kepadanya. Akan tetapi perasaan sesal itu segera ditepis dengan ucapan bahwasanya tindakan menjebol Majapahit itu sudah benar karena Sang Prabhu Brawijaya dan Patih tidak mau memeluk agama islam.

Sunan Benang lantas berkata bahwasanya seluruh penuturan Nyi Ageng Ngampel tidak perlu dirisaukan, sebab akal seorang wanita itu pasti kurang sempurna dibandingkan dengan akal pria, lebih baik usaha menjebol Majapahit terus dilanjutkan. Jikalau Prabhu Jimbun menuruti nasehat Nyi Ageng Ngampeldhenta, Sunan Benang memutuskn hendak pulang ke Arab. Prabhu Jimbun berkata kepada Sunan Benang, bahwasanya jikalau tidak menuruti perintah Nyi Ngampel, pastinya akan mendapatkan kutuk yang tidak baik, oleh karenanya dirinya merasa takut.

Sunan Benang memberikan jalan keluar kepada Sang Prabhu, jikalau memang Sang Prabhu Brawijaya diusahakan kembali ke Majapahit, maka Sang Prabu Jimbun harus menghadap dan memohon maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Namun jika hendak diangkat kembali menjadi Raja, jangan diangkat di Jawa, sebab pastinya akan menjadi penghalang bagi mereka yang hendak memeluk agama Islam. Seyogyanya dikukuhkan sebagai Raja diluar pulau Jawa, dimana saja diwilayah Majapahit asal tidak di pulau Jawa!

Sunan Giri lantas menyambung, dia berpendapat jalan yang terbaik agar tidak sampai terjadi pertumpahan darah yang berkelanjutan, Sang Prabhu Brawijaya beserta para putra-putra yang masih memiliki kuasa dibeberapa daerah seyogyanya ditenung (di santet) saja, membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya!

Sunan Benang dan Prabhu Jimbun akhirnya menyetujui pendapat Sunan Giri tersebut.

Berganti cerita, perjalanan Sunan Kalijaga yang tengah berusaha melacak jejak Sang Prabhu Brawijaya, hanya didampingi dua orang murid. Perjalanan mereka terlunta-lunta. Setiap desa dimasuki hanya demi mencari kabar berita. Perjalanan Sunan Kalijaga sampai dipesisir timur pulau Jawa, dimana disanalah Sang Prabhu Brawijaya tengah berada.
Perjalanan dari Prabhu Brawijaya sendiri sudah sampai di Blambangan. Karena rombongan merasa lelah lantas beristirahat disamping danau. Pada saat itu suasana hati Sang Prabhu sangat gelap. Yang menghadap didepan beliau hanya dua orang abdi terkasih, tak lain adalah Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi ini terus mengcoba menghibur hati Sang Prabhu agar tidak terus larut dalam kesedihan karena kejadian yang baru dialami. Tidak berapa lama datanglah Sunan Kalijaga, menghaturkan sembah dibawah kaki Sang Prabhu.

Sang Prabhu lantas bertanya kepada Sunan Kalijaga,” Sahid, mengapa kamu ada disini? Ada perlu apa menguntit perjalananku?”

Sunan Kalijaga menjawab, “Sowan hamba ini diutus oleh putra paduka untuk mencari keberadaan paduka. Jika bertemu dimanapun, agar supaya sembah sujud sang putra dihaturkan kepada paduka. Memonon maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat yang telah berani merebut tahta. Disebabkan kebodohan hati seorang muda, yang belum memahami tata krama, terlalu lancang menuruti keinginan hati agar bisa menjadi seorang Raja yang mempunyai banyak wadyabala dan dihadap oleh banyak Bupati. Dan saat ini, putra paduka telah menyadari segala kekeliruannya. Dimana dia yang telah memiliki seorang ayah Raja Besar, yang telah mengangkat derajatnya dari orang rendah menjadi seorang Adipati Demak, akan tetapi balasannya seperti ini. Saat ini putra paduka telah menyadari, setelah paduka lolos dari istana dan tidak diketahui lagi keberadaannya, putra paduka merasa menyesal dan takut mendapatkan hukuman Tuhan. Oleh karenanya hamba diutus untuk melacak keberadaan paduka, pesannya jika bertemu dimana saja diharapkan sudilah kiranya kembali ke Majapahit, kembali bertahta seperti sediakala, mennguasai para prajurid dan dihadap para punggawa, lestari menjadi sesepuh yang dihormati oleh para putra dan cucu serta para kawula alit. Dihormati dan dimintai restunya. Jikalau paduka berkenan pulang, putra paduka rela menyerahkan tahta kembali kepada paduka, putra paduka berserah diri hidup dan matinya kepada paduka. Namun jika diperkenankan, putra paduka hanya memohon agar dimaafkan segala kesalahannya yang telah dibuat dan agar diperkenankan tetap menjabat sebagai Adipati Demak, seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan menerima tahta kembali, jika menginginkan mendirikan istana di mana saja, walaupun dilereng gunung-pun, dimanapun yang paduka senangi, putra paduka akan membuatkan dan akan menjamin sandang dan pangan paduka, akan tetapi memohon agar berkenan memberikan pusaka (tahta) tanah Jawa. Tahta diminta dengan segala kerendahan dan kerelaan hati.”

Sang Prabhu Brawijaya berkata,”Telah ku dengar semua penuturanmu, Sahid! Akan tetapi tidak aku pedulikan lagi, sebab diriku sudah kapok mendengarkan ucapan para santri yang mempunyai mata tujuh buah (maksudnya banyak akalnya), dan semua mata tersebut mata yang dilapisi, sehingga tidak terang dan jelas penglihatannya. Baik dimuka tapi memukul dari belakang. Kata-katanya hanya manis dibibir, akan tetapi hatinya penuh dengan debu kotoran yang dilemparkan ke wajahku sehingga butalah mataku ini. Sudah aku berikan kebaikan, balasannya bagaikan tingkah makhluk yang berekor. Apa salahku sehingga dirusak tanpa dosa, meninggalkan segala tata cara dan etika manusia, mengobarkan peperangan tanpa tantangan, apakah memakai cara babi, sehingga tidak memakai etika manusia?”

Mendengar jawaban Sang Prabhu, Sunan Kalijaga merasa ikut bersalah karena secara tidak langsung ikut membiarkan kehancuran Majapahit, dalam batin sangat-sangat menyesal, semua sudah terlanjur, sehingga akhirnya keluarlah keluhannya, “Apapun kemarahan yang paduka ungkapkan, tetap akan hamba jadikan jimat utama, hamba junjung dan hamba ikat diatas rambut kepala, hamba letakkan diubun-ubun, semoga bisa menambahi cahaya nurbuat yang bening sehingga membuat keselamatan bagi hamba dan semua putra dan cucu paduka. Karena hamba sudah menyadari kesalahan ini, apalagi yang hendak hamba minta, kecuali hanya kerelaan paduka untuk memberikan maaf. Lantas kalau boleh hamba bertanya, selanjutnya paduka hendak pergi kemanakah?”

Sang Prabhu Brawijaya menjawab, “Sekarang aku memutuskan hendak ke pulau Bali, menemui adikku Prabhu Dewa Agung di Klungkung. Aku hendak memberitahu segala tindakan Patah, menganiaya orang tuanya sendiri yang tanpa dosa. Aku hendak meminta adikku Prabhu Dewa Agung untuk menghubungi seluruh Raja bawahan Majapahit diluar pulau Jawa, agar mempersiapkan diri dengan persenjataan perang lengkap! Serta aku hendak meminta tolong kepada adikku Prabhu Dewa Agung agar Adipati Palembang diberitahu, jikalau kedua anaknya sesampainya di Jawa sudah aku angkat sebagai Bupati, akan tetapi tidak tahu jalan yang benar, dan berani melawan ayah dan Raja-nya sendiri, aku hendak meminta kerelaan Adipati Palembang untuk merelakan anaknya (Raden Kusen/Kin Shan ~ Adipati Terung Pecattandha) aku bunuh. Bahkan melalui adikku Prabhu Dewa Agung aku hendak meminta tolong menghubungi Hong Te di China, untuk mengabarkan bahwasanya putrinya yang menjadi istriku telah melahirkan seorang cucu baginya (Raden Patah ~ Adipati Demak), tapi tidak tahu jalan yang benar, berani melawan ayah dan Raja-nya, aku juga hendak meminta kerelaan Hong Te untuk merelakan cucunya aku  bunuh. Tidak hanya itu, aku juga akan mengutus Prabhu Dewa Agung untuk menghubungi  Keraton China, meminta bantuan prajurid dengan persenjataan lengkap dan segera  datang ke Bali bersiap menggempur Jawa! Pasti Raja China masih memperhatikan nama besarku, pasti Raja China tidak tega melihat Raja yang sudah bungkuk terlunta-lunta seperti aku. Nama besarku pasti akan membuat prajurid China bakal dikirimkan ke Bali. Akan aku kerahkan semua pasukan tadi menyerang tanah Jawa, merebut tahtaku kembali. Sekarang, jika memang harus terjadi perang besar antara ayah melawan anak, aku sudah tidak peduli lagi! Sebab diriku selama ini tidak pernah memulai membuat kesalahan, diriku selama ini tidak pernah meninggalkan tata cara seorang Raja bijak!”




(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 6

Serat Darmagandhul 6

Pembaca: 1858





Terjemahan dalam bahasa Indonesia :




Sang Prabhu lantas berkata kepada sang Patih, segala kejadian yang telah terlanjur ini sebenarnya juga akibat kesalahan sang Raja sendiri, meremehkan agama yang sudah dipeluk secara turun temurun oleh orang Jawa, serta terpikat oleh kata-kata Putri Champa, memberikan ijin kepada para ulama untuk menyebarkan agama Islam secara mudah di Majapahit. Begitu gelap batin Sang Raja sehingga keluarlah ucapan kutuk dari bibir beliau : Aku memohon kepada Dewa Yang Maha Agung (Dewa segala dewa/Tuhan), semoga terbalaskan kesedihan yang aku alamiini, semoga orang Islam Jawa kelak terbalik dalam menjalankan agamanya, berubah menjadi orang berkuncir, karena tak mengerti kebaikan, aku beri kebaikan balasannya malah keburukan!" (orang berkucir maksudnya : manusia yang gampang mendua, gampang terpengaruh duniawi, meremehkan spiritualitas, spiritualitas hanya dipakai kedok belaka. Spiritualitas diperdagangkan, ditukar dengan materi. Berkucir adalah rambut yang dikepang kekiri dan kekanan. Orang Islam Jawa kelak disisi lain bisa kelihatan alim tapi disisi lain sangat materialistik. Seorang haji diam-diam merangkap rentenir, seorang kyai bisa berkorupsi, tak ada rasa bersalah dan risih, semua dianggap wajar dan bisa ditebus dengan tobat jika sudah puas dengan materi kelak). Sabda Raja Besar yang tengah bersusah hati, diterima oleh Bathara (Tuhan), disaksikan oleh jagad semesta, dengan tanda tiba-tiba terdengar suara bergemuruh diangkasa bagaikan suara guntur. Semenjak itulah di Jawa mulai muncul beberapa jenis burung bangau yang berkuncir bulu kepalanya. Para ulama dan Sunan semua mempunyai nama rangkap bertolak belakang (maksudnya disatu sisi dia tampil sebagai sosok penuntun, disisi lain diam-diam menimbun kekayaan dari spiritualitas yang diajarkan. Nama rangkap bertolak belakang, disisi lain alim disisi lain masih terjerat kenikmatan duniawi), hingga sekarang banyak contoh para ulama yang demikian itu (nama rangkap bertolak belakang dan berkucir rambutnya).

Sang Prabhu meminta pendapat Sang Patih, mengenai datangnya musuh, yaitu para santriyang hendak merebut kekuasaan, baiknya dilawan atau tidak? Sang Raja merasakecewa dan heran bercampur satu, kecewa dan heran mengapa hanya karena ingin memegang kekuasaan Majapahit, Adipati Demak memilih jalan pertumpahan darah? Seandainya diminta dengan baik-baik, pasti juga akan diberikan karena Sang Rajasudah sepuh.

Sang Patih menyarankan agar melawan musuh yang datang. Sang Prabhu ragu karena merasa sangat malu jika terdengar kabar beliau berperang memperebutkan tahta dengan putra sendiri, oleh karenanya Sang Prabhu memerintahkan agar menghadang musuh tapi hindari pertumpahan darah yang besar. Lantas Sang Prabhu memerintahkanjuga agar memangil Adipati Pengging (Adipati Handayaningrat) dan Adipati Pranaraga (Ponorogo ~ Adipati Bathara Katong) untuk memimpin pasukan, sebab Raden Gugur belum saatnya untuk maju berperang. Selesai memberikan perintah Sang Prabhu berkehendak meloloskan diri dari keraton menuju Bali, diiringkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong. Saat Sang Prabhu tengah memberikan perintah, pasukan Demak sudah tiba dan mengepung kota. Kepergian Sang Prabhu sangat tergesa-gesa sekali.


Pasukan Demak lantas bertempur dengan pasukan Majapahit, para Sunan sendiri yang memimpin peperangan. Patih Majapahit mengamuk hebat dimedan tempur. Begitu juga delapan orang pejabat Nayaka Bupati ikut terjun ke peperangan. Peperangan berjalan sengit, pasukan Demak berjumlah tiga juta prajurid sedangkan pasukan Majapahit yang ada di ibu kota hanya terkumpul tiga ribu prajurid. Majapahit telah diserang musuh secara besar-besaran, banyak prajurid yang gugur, Patih dan para pejabat Nayaka Bupati terus bertempur tanpa kenal mundur. Prajurid Demak yang terkena amukan mereka pasti tewas. Putra selir sang Prabhu yang bernama Lembu Pangarsa juga mengamuk dimedan laga, berhadapan dengan Sunan Kudus. Ditengah pertempuran, Patih Demak Mangkurat melemparkan tombak kearah putra selir Majapahit, gugurlah dia! Melihat putra selir gugur secara licik,sang Patih semakin mengamuk bagai banteng ketaton, tak lagi ada yang ditakuti,segala senjata tak mampu melukai tubuhnya, bagaikan tugu terbuat dari baja,segala besi tak ada yang mempan ditubuhnya! Ditempat mana yang diterjang pasti bubar semburat, yang nekat melawan pasti tewas mengenaskan. Mayat bertumpang tindih. Sang patih ditembak pelor dari kejauhan, bagaikan hujan datangnya mimis, akan tetapi mental bagai mengenai batu cadas! Sunan Ngundhung (ayah Sunan Kudus) maju kedepan menghadapi amukan sang Patih, ditikam tapi tak terluka, ganti terkena tikaman, Sunan Ngundhung tewas seketika! (makam Sunan Ngundhung masih ada di pemakaman Troloyo, Trowulan Mojokerto sampai sekarang : DamarShashangka). Begitu Sunan Ngundhung tewas, sang Patih dikeroyok begitu banyak prajurid Demak, sedangkan para prajurid Majapahit sudah banyak yang tewas.Seberapa kuatnya satu orang melawan begitu banyak orang, akhirnya sang Patih gugur.  Akan tetapi jasadnya hilang dan meninggalkan suara : " Ingat-ingatlah kalian semua orang Islam, diberikan kebaikan oleh Raja-ku malah membalas dengan keburukan, tega merebut negara Majaphit dan membuat pembunuhan sedemikian besar, ingatlah kelak akan aku balas, akan aku hajar kesadaranmu agar tahu mana yang benar dan mana yang salah, akan aku potong bersih rambutmu (maksudnya segala kebodohan mereka) dan akan aku tiup kepalamu (maksudnya akan diberikan pengetahuan yang benar)!"

Setelah sang Patih gugur, para Sunan lantas masuk kedalam keraton. Akan tetapi sang Prabhu sudah tidak ada, yang tinggal hanya Ratu Mas, yaitu Putri Champa. Sang putri diminta untuk menyingkir ke Benang dan menurut.

Para prajurid Demak masuk kedalam keraton tanpa dkomando, didalam istana mereka menjarah dan mengambil segala yang ada hingga bersih, para penduduk tidak ada yang berani melawan.Raden Gugur yang masih kecil berhasil meloloskan diri. Adipati Terung ikut masuk kedalam istana, membakar seluruh buku-buku ajaran Buda (Shiwa Buddha), pasukan yang tersisa kocar kacir melarikan diri, padahal seluruh pintu benteng dijaga pasukan Terung (coba diteruskan apa yang terjadi jika demikian? Dalam Serat Darmogandhul tidak dilanjutkan). Masyarakat Majapahit yang tidak mau tunduk lantas mengungsi besar-besaran ke gunung dan ke hutan-hutan (salah satunya pengikut Raden Jaka Seger dan Dewi Rara Anteng yang mengungsi ke daerah pegunungan Bromo. Menurunkan suku Tengger sampai sekarang. Nama Tengger diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden Jaka Se-GER : Damar Shashangka).Sedangkan masyarakat yang tunduk dikumpulkan semua, lantas di Islam kan secara massal. Jasad para pejabat berikut putra-putra selir yang gugur dikumpulkan dan dikubur (tidak dibakar secara Shiwa Buddha) disebelah tenggara istana.Pemakaman tadi lantas dinamakan Bratalaya, konon katanya disanalah makam RadenLembu Pangarsa juga berada.

Tiga hari kemudian, Sultan Demak berangkat ke Ngampel, yang dipercaya menjaga di istana Majapahit adalah Patih Mangkurat dan Adipati Terung, untuk menjaga keamanan istana dari serangan-serangan pasukan Majapahit yang mungkin masih tersisa.Sunan Kudus juga ikut menjaga istana, seolah-olah menjadi pengganti Sang Prabhu. Wilayah Terung dijaga ulama tiga ratus, setiap malam melaksanakan shalat hajat serta membaca Kur'an. Separuh pasukan dan beberapa sunan mengiringi Sultan Demak menuju Ngampeldhenta.

Sunan Ngampel sudah wafat, hanya tinggal sang istri yang ada di Ngampel. Sang istri berasal dari Tuban, putri Adipati Arya Teja. Sepeninggal Sunan Ngampel, Nyi Ageng (istri Sunan Ngampel) dituakan oleh masyarakat Ngampel. Sang Prabhu Jimbuningrat (Raden Patah/Sultan Demak) sesampainya di Ngampel, segera memberikan sembah bakti kepada Nyi Ageng. Bergiliran, para sunan juga menghaturkan sembah baktinya. Prabhu Jimbuningrat lantas melaporkan bahwa telah berhasil menjebol Majapahit, melaporkan lolosnya Sang Ayahanda dan Raden Gugur,serta tewasnya Patih Majapahit serta mengabarkan bahwa dirinya sudah mengukuhkan diri sebagai Raja yang menguasai tanah Jawa, berjuluk :  Senopati Jimbun atau Panembahan Palembang. Maksud kedatangannya ke Ngampel hendak meminta restu agar lestari menjadi Raja hingga keturunanya kelak.

Usai mendengar laporan Prabhu Jimbun, Nyi Ageng seketika menangis dan merangkul Sang Prabhu (Jimbuningrat). Hatinya bagai diiris-iris, beginilah ucapan yang keluardari bibir beliau :"Cucuku, kamu telah melakukan tiga buah dosa. Berani melawan Raja-mu sekaligus Orang tua-mu, orang yang telah memberikan kemuliaan duniawi, namun kamu hancurkan tanpa dosa. Jika mengingat kebaikan paman Prabhu Brawijaya,dimana para ulama diberikan tempat tinggal sehingga bisa mencari makan ditempat masing-masing, serta diberi kebebasan untuk menyebarkan agama, seharusnya sebagai manusia patut mengucapkan terima kasih. Tetapi mengapa akhirnya dibalas dengan kejahatan, sekarang beliau wafat atau masih hidup tidak diketahui lagi bagaimana nasibnya!"

Nyi Ageng berkata lagi kepada Sang Prabhu : "Ngger, aku hendak bertanya kepadamu, jawablah sejujurnya, siapakah ayahmu yang sesungguhnya? Siapakah yang mengukuhkan kamu menjadi Raja tanah Jawa dan siapa yang merestui? Apa sebabnya kamu melakukan pembunuhan kepada orang Majapahit sedangkan mereka tanpa memiliki kesalahan kepadamu?"

Sang Prabhu menjawab, konon Prabhu Brawijaya memang ayahandanya yang sesungguhnya.Yang mengangkat dirinya menjadi Raja tanah Jaya tak lain para Bupati pesisir utara. Yang merestui para Sunan. Majapahit diserang, sebab Sang Prabhu Brawijaya tidak mau masuk Islam, tetap bersikukuh memeluk agama kafir kufur,agama Buda (Shiwa Buddha) totok yang sudah keras bagai kerasnya kuwuk (batu laut).

Mendengar penuturan Prabhu Jimbun, Nyi Ageng menjerit seketika dan merangkul sambilberkata : "Ngger!  Ketahuilah! Kamu telah berbuat dosa tiga macam. Pasti akan mendapatkan hukuman Gusti Allah.  Kamu telah berani melawan Raja-mu dan Orangtuamu sendiri, yang telah memberikan kemuliaan duniawi bagimu, kamu tega telah melakukan kekerasan kepada orang yang tanpa salah. Adanya manusia Islam dan Kafir siapa yang menciptakan, kecuali hanya satu Gusti Allah sendiri.Manusia berganti agama itu tidak bisa dipaksa, jika bukan kehendak pribadinya sendiri. Ketahuilah manusia yang gugur karena memegang teguh keyakinannya termasuk manusia yang utama! Jika Gusti Allah menghendaki, pastinya tak usah disuruh, pasti akan memeluk agama Islam sendiri. Gusti Allah yang bersifat Rahman (Kasih) tidak memerintahkan untuk memaksa orang masuk agama tertentu,semua sesuai kehendak manusia sendiri-sendiri. GUSTI ALLAH TIDAK AKAN MENYIKSA MANUSIA KAFIR YANG TAK BERSALAH DAN TIDAK AKAN MEMBERIKAN PAHALA KEPADA ORANG ISLAM YANG PERBUATANNYA TIDAK BENAR! HANYA PERBUATANNYA YANG AKAN DIADILI SECARA ADIL, BUKAN KARENA AGAMANYA APA! Ibumu China menyembah Pek-Kong, yang diwujudkan dalam kertas bergambar atau arca dari batu. Tidak benar membenci orang Buda. Itu tandanya matamu masih terlapisi, sehingga tidak terang penglihatanmu, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah! Konon kamu putra Sang Prabhu, tapi mana ada putra yang tega menghancurkan ayahandanya sendiri, menghancurkan tanpa ada kesalahannya. Beda dengan mata orang Jawa asli, Jawa atau Jawi  ( Jawa maksudnya paham atau sadar, orang Jawa yang tidak paham etika atau sadar sopan santun lumrah disebut ORA JAWA! : DamarShashangka), penglihatannya satu, paham mana yang benar dan mana yang salah, sadar mana yang baik dan mana yang buruk! Pasti takut berbakti kepada orangtua, kedua berbakti kepada Raja yang telah memberikan anugerah kemuliaan duniawi, orang tua maupun Raja wajib diberikan dharma bakti. Niatnya berbakti kepada orang tua, bukan melihat kafirnya! Kamu aku beritahu, Agung Kuparman beragama Islam dan mempunyai mertua kafir. Mertuanya benci kepadanya karena beda agama, senantiasa mencari jalan agar menantunya mati. Akan tetapi Agung Kuparman senantiasa berbakti dan menghormati karena mengingat dia adalah mertuanya yang bagaikan orangtua sendiri, tidak melihat kafirnya! Itulah contoh manusia utama, tidak seperti perbuatanmu, menganiaya orang tua hanya karena beliau beragama Buda dan tidak mau berganti agama Islam. Perbuatanmu tidak patut. Dan lagi aku hendak bertanya, apakah kamu pernah meminta secara pribadi kepada ayahandamu agar bersedia berganti agama? Lantas apa yang menyebabkan kamu nekad merusak negara Majapahit?"

Prabhu Jimbun menjawab, belum pernah meminta kesediaan ayahandanya agar berganti agama, datang ke Majapahit langsung menyerang.

Nyi Ageng Ngampel tertawa dan berkata, "Perbuatanmu semakin terlihat salah! Para Nabi pada jaman dulu, berani menentang orang tuanya, sebab sudah setiap hari meminta kesediaan orang tua mereka agar berganti agama, akan tetapi tidak mau juga,bahkan hingga diberi bukti mukjijat segala, mukjijat sudah saatnya berganti agama Islam, akan tetapi permintaan itu tidak digubris, orang tua mereka masih tetap memegang teguh agama lama, lantas mereka dimusuhi oleh orang tua mereka.Jika begitu kejadiannya, kalaupun harus bermusuhan dengan orang tua, mereka tidak salah. Sedangkan dirimu, apa mukjijatmu? Jika memang nyata Khalifatullah(Wakil Allah) yang berhak mengganti agama lama sekarang perlihatkan mukjijadmu aku ingin menyaksikannya!"

Prabhu Jimbun menjawab jika tidak memiliki mukjikat apapun, hanya menuruti bunyi kitab, katanya jika meng-Islam-kan orang kafir kelak mendapat anugerah surga.

Nyi Ageng Nganpel tertawa dan semakin marah, " Hanya katanya kok dituruti, bahkan bukan ujar leluhur. Kata-kata orang pengembara kok dituruti, akhirnya yang rusak dirimu sendiri. Itu tanda masih mentah pengetahuan agamamu! Berani kepada orang tua, hanya karena ingin menjadi Raja, kesengsaraan masyarakat banyak tidak kamu fikirkan. Dirimu bukan santri ahli Budi (Kesadaran), hanya manusia yang berikat kepala putih, bagaikan putihnya burung bangau, yang putih hanya kulitnya saja,didalamnya masih merah menyala! Saat kakekmu (Sunan Ngampel) masih hidup,dirimu pernah meminta ijin untuk menyerang Majapahit, kakekmu tidak memberikan ijin, bahkan wanti wanti jangan sampai bermusuhan dengan orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, larangannya kamu langgar, kamu tidak takut melanggar wasiatnya. Jikalau dirimu sekarang meminta restu padaku untuk menjadi Raja tanah Jawa, diriku tidak berwenang memberikan ijin, diriku orang kecil, seorang wanita lagi. Nanti terbalik akhirnya. Sebab seharusnya dirimu yang berwenang memberikan restu kepadaku, sebab dirimu adalah Khalifatullah di tanah Jawa.Dirimu adalah orang tua, apa yang kamu ucapkan bagaikan ludah berisi api (maksudnya bakal dituruti banyak orang), diriku hanya tua tanpa arti, dirimulah yang tua karena kamu sekarang Raja!"






(Bersambung)

SERAT DARMO GANDHUL Bagian 5

Serat Darmagandhul 5

Pembaca: 1950

Sunan Benang berkata lagi, “Jikalau tidak kamu rebut sekarang dan kamu menunggu ayahandamu turun tahta, jelas tahta Majapahit tidak akan jatuh kepadamu. Pasti akan diberikan kepada Adipati Panaraga (Ponorogo ~ yaitu Adipati Bathara Katong : Damar Shashangka), sebab dia terbilang putra tua (maksudnya tegas dan berwibawa), atau diberikan kepada putra menantu, yaitu Ki Andayaningrat (Adipati Andayaningrat ~ yang disebut-sebut dalam Hikayat Putri Gunung Ledang dan yang pernah bertempur dengan Hang Tuah. Cuma ada kesalahan dalam catatan Hikayat dari Malaka tersebut. Saat Hang Tuah ke Jawa, Majapahit sudah hancur dan Adipati Andayaningrat-lah yang dianggap sebagai pengganti Prabhu Brawijaya karena memang dia-lah yang berhak mewarisi tahta Majapahit. Jadi sesungguhnya Hang Tuah tidak ke Trowulan, Mojokerto, melainkan ke Pengging di sekitar Surakarta sekarang. : Damar Shashangka) yang ada di Pengging. Kamu terbilang putra yang paling muda, jadi tidak berhak menggantikan sebagai Raja. Mumpung sekarang kesempatan terbuka, dan masalah Giri yang menjadi alasan bagi kamu untuk menyerang Majalengka. Walaupun harus mati saat bertempur dengan orang kafir, matimu adalah dijalan Sabilullah (dijalan Allah), kematianmu tidak sis-sia, kelak akan mendapatkan surga yang mulia. Sudah benar bagi orang Islam jika terbunuh oleh orang kafir karena membela agamanya. Dan pula sudah benar manusia hidup didunia mencari kemuliaan duniawi, mencari derajat yang paling tinggi, jikalau manusia hidup tidak memahami akan tujuan hidupnya dengan jelas, maka belum benar dia hidup. Sudah sewajarnya bagi manusia menginginkan kekuasaan dan ingin memiliki kekuatan, yaitu menjadi seorang Raja. Sebab Raja adalah Khalifah, wakil Hyang Widdhi. Apa yang kamu inginkan akan terpenuhi jika kamu menjadi Khalifah. Sudah menjadi suratan takdirmu, kamu bakal menjadi Raja di tanah Jawa, menggantikan kedudukan ayahandamu. Tapi semua harus menggunakan usaha lahir yaitu dengan cara merebutnya melalui peperangan. Jikalau dirimu tidak mau menjalankan, pastilah anugerah Gusti Allah yang hendak diberikan kepada dirimu akan diambil kembali oleh-Nya. Itu namanya manusia yang menolak anugerah Gusti Allah. Diriku hanya sekedar mendukung, sebab diriku sudah tahu semua apa yang bakal terjadi nanti, bagaikan aku melihat dengan semprong (kaca yang dipergunakan untuk pelita jaman dulu) yang benar-benar berlobang begitulah aku melihat secara gaib kejadian yang bakal terjadi nanti. Dirimulah yang mendapatkan wahyu Tuhan, akan menjadi Raja di tanah Jawa, sebagai cikal bakal tersebarnya agama Suci (Islam) di Jawa. Bahkan aku yang akan meruwat segala halanganmu saat menjadi Raja nanti, aku yang akan memberikan restu agar kamu menjadi Raja beserta keturunanmu selama-lamanya.” Banyak lagi kata-kata Sunan Benang, membujuk Adipati Demak agar terbakar hatinya, dan mau angkat senjata menyerang Majalengka. Bahkan ditambah dengan cerita tentang seorang Nabi, yang berani melawan ayahnya yang kafir, ujung-ujungnya juga menemukan kesejahteraan (Nabi Ibrahim yang melawan ayahnya : Damar Shashangka).
Adipati Demak berkata, “Jikalau demikian kehendak paduka, saya hanya sekedar menjalani, paduka yang memegang kendali.”
Sunan Benang berkata lagi, “Sungguh seperti itulah yang aku kehendaki darimu. Sekarang dirimu sudah sepakat. Untuk itu sekarang kirimkan surat kepada Adipati Terung (adik tiri Adipati Demak yang berkedudukan disekitar ibukota Majapahit: Damar Shashangka), akan tetapi pakailah kata-kata yang halus tersamar, intinya tulislah apakah dia berat kepada Raja Majapahit ataukah kepada saudara seibu yang juga se-agama. Jikalau adik (tiri)-mu sudah mendukungmu, sangat gampang untuk menjebol Majalengka. Didalam keraton Majapahit saat ini siapa lagi yang diandalkan sebagai panglima perang jikalau bukan Kusen (Adipati Terung atau nama aslinya Kin-San : Damar Shashangka). Si Gugur (maksudnya Raden Gugur, yaitu putra bungsu Prabhu Brawijaya dengan putri Champa yang sudah resmi diangkat sebagai permaisuri. Putri sulung dinikahi Adipati Andayaningrat dan tinggal di Pengging, putra kedua Raden Lembu Peteng berkedudukan di Madura, yang bungsu Raden Gugur masih didalam keraton. Raden Gugur inilah kelak dikenal sebagai Sunan Lawu, penguasa Gunung Lawu yang terkenal hingga sekarang. : Damar Shashangka) masih kecil, mana mungkin dia berani maju perang. Sang Patih sudah tua, dipukul sekali sudah mati. Jika Kusen mendukungmu, siapa lagi sekarang ini yang bisa melawanmu di ibu kota Majapahit?”
Adipati Demak lantas mengirimkan surat ke Terung, tidak berapa lama berselang utusan telah kembali, sudah diterima surat balasan dari Adipati Terung, isinya bersedia membantu perang. Surat diberikan kepada Sunan Benang, membuat senang hatinya. Sunan Benang lantas memerintahkan kepada Adipati Demak, agar memberitahukan kepada semua Bupati dan semua Sunan agar datang ke Demak dengan dalih hendak membangun masjid, dan agar diberitahu bahwa Sunan Benang sudah hadir di Demak.
Singkat cerita, tidak berapa lama para Sunan dan para Bupati telah berdatangan semua. Lantas berkumpul dan membangun masjid. Setelah masjid selesai dibangun, lantas dipergunakan pertama kali untuk shalat. Seusai shalat, pintu masjid ditutup, seluruh yang hadir (para Sunan dan Bupati saja) diberitahu oleh Sunan Benang bahwasanya Adipati Demak hendak dikukuhkan sebagai Raja. Dan kemudian hendak menyerang Majapahit. Jika semua setuju, maka rencana akan segera digulirkan serta tidak menunggu waktu lama lagi. Seluruh Sunan dan Bupati semua menyetujui, hanya seorang yang tidak menyetujui, yaitu Syeh Siti Jenar. Sunan Benang murka, Syeh Siti Jenar dibunuh. Yang diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Syeh Siti Jenar dijerat lehernya hingga tewas. Sebelum Syeh Siti Jenar benar-benar meninggal, dia sempat meninggalkan pesan : “Ingat-ingatlah wahai seluruh ulama Giri, kalian tidak akan aku balas kelak diakherat, namun akan aku balas didunia ini sekarang. Kelak jika ada Raja Jawa yang digandeng oleh orang tua, pada saat itulah leher kalian ganti aku jerat.” Sunan Giri menjawab, “Nanti aku berani, sekarang-pun aku berani. Tidak akan mundur diriku!”. Setelah sepakat semua, lantas mematangkan rencana yang sudah disepakati. Sang Adipati Demak lantas dikukuhkan sebagai Raja, menguasai tanah Jawa, bergelar Senapati Jimbuningrat. Patihnya berasal dari mancanegara bergelar Patih Mangkurat. Keesokan harinya Senapati Jimbuningrat sudah mempersiapkan bala tentara berikut seluruh persenjataan perang, lantas berangkat menuju Majapahit diiringi oleh para Sunan dan para Bupati. Rombongan yang berangkat mirip dengan rombongan memperingati grebeg Maulud (Peringatan Kelahiran Nabi). Seluruh prajurid tidak memahami apa maksud keberangkatan mereka, kecuali para Tumenggung, para Sunan serta para Ulama. Sunan Benang dan Sunan Giri tidak ikut dalam rombongan ke Majapahit, mereka merasa sudah tua dan hendak membantu dengan doa dari dalam masjid saja. Mereka berdua memberkati rombongan tersebut. Jadi, hanya para Sunan dan para Bupati saja yang mengiringi Adipati Bintara (Adipati Demak/Senapati Jimbuningrat). Tidak diceritakan dalam perjalanan.
Berganti kisah yang ada di Majapahit. Seusai dari Giri Sang Patih melaporkan tentang hasil penyerbuan ke Giri. Yang menjadi senapati pasukan Giri adalah orang China yang sudah memeluk agama Islam, bergelar Secasena. Dia maju kegaris depan mengamuk dengan senjata terhunus, beserta seluruh bala tentaranya sebanyak tiga ratus orang. Semuanya pandai bermain silat, berkumis tipis berkepala gundul dan memakai sorban bagaikan seorang haji. Mereka bertempur lincah bagaikan belalang. Tentara Majapahit merangsak maju, tentara Giri tidak mampu menahan serangan tentara Majapahit. Senapati Secasena tewas, sedangkan tentara Giri yang terdiri dari orang China melarikan diri kocar-kacir. Banyak yang mengungsi ke hutan dan pegunungan, sebagian ada yang melarikan diri menyeberang laut, melarikan diri ke Benang. Terus dikejar oleh prajurid tempur Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Benang melarikan diri dalam satu kapal menyeberang lautan, mungkin saja melarikan diri ke Arab dan tidak berniat kembali ke Jawa. Sang Prabhu lantas mengutus Patih untuk mengirimkan utusan ke Demak, guna memberikan perintah kepada Adipati Demak agar supaya jika ada ulama dari Giri dan dari Benang melarikan diri kesana, segera ditangkap dan dihaturkan kepada negara. Kesalahan santri dari Benang adalah, telah melakukan perusakan didaerah Kertasana sedangkan kesalahan santri Giri adalah, tidak mau menghadap kepada Sang Prabhu dan berniat untuk membangkang!
Sesampainya di Paseban luar keraton, Sang Patih kemudian memanggil duta yang hendak diutus ke Demak. Saat masih ada di Paseban luar keraton, bertepatan datang utusan Bupati Pathi, memberikan surat khusus kepada Sang Patih. Surat lantas dibaca oleh Sang Patih. Isi surat adalah demikian. Menak Tunjungpura yang berkuasa di Pathi memberikan laporan, bahwasanya Adipati Demak, yaitu Babah Patah, sudah mengukuhkan diri sebagai Raja Demak. Yang memberikan ijin dan restu adalah Sunan Benang dan Sunan Giri. Seluruh para Bupati pesisir utara yang sudah memeluk Islam semua mendukung. Adipati Demak mengambil gelar Senapati Jimbuningrat atau Sultan Syah ‘Alam Akbar Sirullah Khalifaturrasul ‘Amirilmu’minin Tajudil ‘Abdulhamid Khaq atau Sultan Adi Surya ‘Alam Ing Bintara. Saat ini Babah Patah berikut pasukan Demak telah berangkat menuju ibukota Majapahit, hendak menantang perang ayahandanya. Babah Patah lebih berat kepada gurunya, dia menganggap enteng ayahandanya. Para Sunan dan para Bupati banyak yang memberikan bantuan pasukan untuk menjebol Majapahit. Jumlah pasukan Babah Patah kurang lebih tiga ribu prajurid dengan persenjataan perang lengkap. Mohon segera dihaturkan kepada Sang Prabhu laporan ini. Surat dari Bupati Pathi tertanggal 3 Mulud 1303 tahun Jimakir, Masa Ke-Sembilan Wuku Prangbakat (Tahun Jawa dimulai pada Jumat Legi, 1 Suro 1555 Alip. Meneruskan tahun 1555 Saka dan perhitungannya lantas diubah menjadi perhitungan tahun Hijriyyah atau menggunakan sistem Bulan. Jika ada tahun Jawa 1303, maka ini adalah semacam perhitungan mundur mirip dengan Sebelum Masehi pada tahun Masehi. : Damar Shashangka). Surat habis dibaca, Kyai Patih benar-benar tak menyangka. Seketika gigi bergemeletukan, menggeram, menggeleng-gelengkan kepala dan benar-benar tidak bisa mempercayainya. Wajahnya tengadah menatap angkasa sembari menyebut nama Dewa Yang Maha Luhur. Dalam hatinya benar-benar heran kepada kelakuan orang Islam yang tidak tahu budi baik Sang Prabhu dan malah membalas dengan hal yang tidak sepatutnya. Segera Kyai Patih menghadap Sang Prabu dan melaporkan isi surat yang baru diterimanya.
Mendengar laporan Patih, Sang Prabhu benar-benar terkejut. Seketika terdiam kaku tak bisa bersuara. Bagaikan sebuah tugu batu yang mati. Dalam hati beliau benar-benar tidak bisa memahami akan kemauan putranya dan kemauan para Sunan sehingga mereka memiliki niatan yang semacam itu. Sudah diberi kedudukan tapi balasannya malah sedemikian rupa, tega hendak merusak Majapahit. Benar-benar Sang Prabhu tidak dapat memahami apa yang menjadi latar belakang kemauan mereka sehingga putranya sendiri berikut para ulama hendak berniat menyerang keraton Majapahit. Lama Sang Prabu merenung, tetap juga tidak menemukan jawabannya, lahir dan batin sungguh tindakan mereka adalah tindakan yang tidak masuk akal sama sekali. Hati Sang Prabu benar-benar terliputi kegelapan, benar-benar kecewa dan sedih, kesedihan seorang Raja besar. Hati Sang Prabhu habis, seolah hati seekor kerbau yang habis dimakan oleh kutu-kutu kecil. Setelah berapa lama berselang, Sang Prabhu bertanya kepada Sang Patih, apa sebabnya sehingga putranya sendiri berikut para ulama serta didukung para Bupati tega hendak menyerang Majapahit dan tidak ingat sama sekali dengan kebaikan Sang Prabhu?
Sang Patih memberikan jawaban bahwasanya dirinya sendiri juga tidak mengerti latar belakangnya. Sunguh diluar nalar sehat. Diberikan kebaikan malah membalas dengan kejahatan. Umumnya manusia diberi kebaikan akan membalas dengan kebaikan serupa. Ki Patih-pun ikut keheranan dan kecewa, heran pada orang Islam yang memiliki kehendak yang tidak baik semacam itu. Yang telah diiberi kebaikan malah membalas dengan kejahatan.
(Bersambung)

Kitab Negara Kertagama

Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Nagarakretagama

Pujasastra Negarakretagama terdiri dari 98 pupuh. Isi pembagiannya dilakukan dengan sangat rapi. Negarakretagama terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dimulai dari pupuh 1 – 49. Sedangkan bagian kedua dimulai dari pupuh 50 – 98.Judul asli dari manuskrip ini adalah Desawarnana yang artinya Sejarah Desa-Desa. Sejak ditemukan kembali oleh para arkeolog, naskah ini kemudian dinamakan Negarakretagama yang artinya Kisah Pembangunan Negara.Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi), penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra , bekas pembesar urusan agama Budha di istana Majapahit. Beliau adalah putera dari seorang pejabat istana di Majapahit dengan pangkat jabatan Dharmadyaksa Kasogatan. Penulis naskah ini menyelesaikan naskah kakawin Negarakretagama diusia senja dalam pertapaan di lereng gunung di sebuah desa bernama Kamalasana. Berikut adalah terjemahan lengkapnya dalam Bahasa Indonesia.


Pupuh 1
  1. Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.
  2. Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.
  3. Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.
  4. Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.
  5. Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.
Pupuh 2
  1. Sang Sri Rajapatni yang ternama adalah nenekanda Sri Baginda. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku Wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Budha. Tahun Saka dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke Budhaloka.
  2. Ketika Sri Rajapatni pulang ke Jinapada, dunia berkabung. Kembali girang bersembah bakti semenjak Baginda mendaki tahta. Bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendra-putera.
Pupuh 3
  1. Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Rajapatni. Setia mengikuti ajaran Budha, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Baginda raja ialah Sri Kertawardana raja. Keduanya teguh beriman Budha demi perdamaian praja.
  2. Ayahnya Sri Baginda raja bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan Negara. Mahir mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.
Pupuh 4
  1. Puteri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertahta di Daha, cantik tak bertara, bersandar nam guna. Adalah bibi Baginda, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan Rani Jiwana bagai bidadari kembar.
  2. Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, masyhur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat masyuhrlah nama beliau di seluruh tanah Jawa.
Pupuh 5
  1. Adinda Baginda raja di Wilwatikta. Puteri jelita, bersemayam di Lasem. Puteri jelita Daha, cantik ternama. Indudewi puteri Wijayarajasa.
  2. Dan lagi puteri bungsu Kertawardana. Bertahta di Pajang, cantik tak bertara. Puteri Sri Narapati Jiwana yang termasyhur. Terkenal sebagai adinda Sri Baginda.
Pupuh 6
  1. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya. Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
  2. Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira. Bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia perkawinannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
  3. Bhre Lasem menurunkan puteri jelita Nagarawardani. Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi. Raja Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardhana. Bagai titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
  4. Puteri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana gambar. Para raja Pulau Jawa masing-masing mempunyai Negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama-sama menghamba Sri Nata.
Pupuh 7
  1. Melambung kidung merdu pujian sang prabu, beliau membunuh musuh-musuh. Bagai matahari menghembus kabut, menghimpun Negara di dalam kuasa. Girang najma utama bagai bunga tunjung, musnah durjana kumuda. Dari semua desa di wilayah Negara pajak mengalir bagai air.
  2. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai Dewa Yama, menimbun harta bagai Waruna. Para telik menembus segala tempat laksana Hyang Bhatara Bayu. Menjaga pura sebagai Dewi Pertiwi, rupanya bagus seperti bulan.
  3. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para puteri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik. Paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan baginda.
  4. Berputeralah beliau puteri mahkota Kusumawardhani, sangat cantik. Sangat rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikramawardana memegang perdata seluruh Negara. Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang.
Pupuh 8
  1. Tersebut keajaiban kota: tembok bata merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban.
  2. Di sebelah utara, bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur, panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, disebelah pecan, rumah berjejal jauh memanjang sangat indah. Di selatan jalan perempatan, balai prajurit tempat pertemuan tiap caitra.
  3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah: bagian utara, paseban pujangga dan menteri. Bagian timur, paseban pendeta Siwa-Budha, yang bertugas membahas upacara. Pada masa gerhana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
  4. Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil siwa. Di selatan, tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat; di utara, tempat Budha bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
  5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, di sela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat ditengah-tengah halaman, bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
  6. Di dalam, di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.
Pupuh 9
  1. Inilah para penghadap: pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang. Nyu Gading Janggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama Waisangka Kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang Jayagung. Dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan, dan banyak lagi.
  2. Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak terbatas. Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua.
  3. Di bagian barat, beberapa balai memanjang sampai mercudesa. Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga. Di bagian selatan agak jauh, beberapa ruang, mandapa dan balai. Tempat tinggal abdi Sri Narapati Paguhan, bertugas menghadap.
  4. Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas, dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias. Di sebelah timur, menjulang rumah tinggi berhias lambing kerajaan. Itulah balai tempat terima tatamu Sri Nata di Wilwatikta.
Pupuh 10
  1. Inilah pembesar yang sering menghadap dibalai Witana. Wreda menteri, tanda menteri pasangguhan dengan pengiring. Sang Panca Wilwatikta: mapatih, demung, kanaruhan, rangga, tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
  2. Semua patih, demung Negara bawahan dan pengalasan.  Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika datang, berkumpul di kepatihan seluruh Negara. Lima menteri utama, yang mengawal urusan Negara.
  3. Ksatria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap. Berdiri di bawah lindungan asoka di sisi Witana. Begitu juga dua dharmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.
Pupuh 11
  1. Itulah penghadap balai Witana, tempat tahta, yang berhias serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur, agak jauh dari pintu pertama. Ke istana Selatan, tempat Singawardhana, permaisuri putra dan putrinya. Ke istana utara, tempat Kertawardana. Ketiganya bagai kahyangan.
  2. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni. Kainya dari bata merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang, menarik perhatian. Bunga tanjung, kesara, campaka, dan lain-lainnya terpencar di halaman.
Pupuh 12
  1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Budha-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri dan sanak kadang adiraja.
  2. Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
  3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha, adinda baginda di Wengker. Bhatara Narapati, termasyhur sebagai tulang punggung praja. Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
  4. Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana, serta bakti kepada Negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang cerdas, cerdik lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda Negara.
  5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Budha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya dan ksatria. Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
  6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa umpama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Pupuh 13
  1. Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane.
  2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama Negara-negara melayu yang telah tunduk. Negara-negara di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut
Pupuh 14
  1.  Kandandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solor dan juga Pasir. Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
  2. Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan, serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah. Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
  3. Disebelah timur Jawa, seperti yang berikut: Bali dengan Negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, dan Dompo. Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
  4. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk. Sampai Udamaktraya dan pulau lain-lainnya tunduk
  5. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Bangawi Kunir, Galian, serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
Pupuh 15
  1. Inilah nama Negara asing yang mempunyai hubungan. Siam dengan Ayudyapura, begitu pun Darmanagari Marutma, Rajapura, begitu juga Singanagari. Campa, Kamboja, dan Yawana ialah Negara sahabat.
  2. Tentang pulau Madura, tidak dipandang Negara asing. Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
  3. Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda. Tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti
Pupuh 16
  1. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di Nusantara. Dilarang mengabaikan urusan Negara, mengejar untung. Seyogianya, jika mengemban perintah ke mana juga. Menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat
  2. Konon, kabarnya, para penderita penganut Sang Sugata. Dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata. Dilarang menginjak tanah sebelah barat Pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Budha.
  3. Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun, Bali boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan, menurut kabaran mahamuni Empu Barada serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh
  4. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja. Dikirim ke timur ke barat; dimana mereka sempat. Melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar
  5. Semua Negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari Pulau Jawa. Tapi, yang membangkang, melanggar perintah, dibinasakan pimpinan angkatan laut, yang telah masyhur lagi berjasa
Pupuh 17
  1. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah Nusantara. Di Sripalatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang dan lega. Wipra, pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi masyhur
  2. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama. Lepas dari segala duka, mengenyam hidup penuh segala kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Janggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari Negara tetangga.
  3. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Baginda. Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya
  4. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima
  5. Atau pergilah beliau bersembah bakti kehadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jinur, mengunjungi gunung-gunung permai. Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu, dan Lingga hingga Desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun.
  6. Tahun Aksatisura (1275), Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun Saka angga-naga-aryama (1276), ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279), ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu, dan Sideman.
  7. Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281), di Badrapada bulan tambah Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju Kota Lumajang naik kereta diiringi semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.
  8. Juga yang menyamar Prapanca girang turut serta mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putera pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Baginda sebagai pembesar kebudhaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Budha umerak membicarakan tingkah lakunya dulu.
  9. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja, berkata berdampingan, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun, belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah, dan menggubah karya kakawin; begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut.
  10. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Duluwang, Bebala di dekat Kanci, Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkala memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.
  11. Habis berkunjung pada candi makam Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya, sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap di tangan lain, rindu termenung-menunggu
Pupuh 18
  1. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impitan. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
  2. Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap menteri lain lambangnya. Rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang kerajaan keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda.
  3. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma emas mengkilat.
Pupuh 19
  1. Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, Menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikuti jalan pasir lemak – lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
  2. Tersebut dukuh Kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gadjah Mada, teratur indah. Disitulah Baginda menempati pasanggrahan yang terhias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandibakti.
Pupuh 20
  1. Sampai di desa Kasogatan, Baginda dijamu makan minum Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar We Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
  2. Begitu pula Desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa kasogatan yang ber-akuwu Sejak dahulu, delapan saja yang menghasilkan bahan makanan.
Pupuh 21
  1. Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.
  2. Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah Kota Rembang. Sampai di kemirahan yang letakknya di pantai lautan.
Pupuh 22
  1. Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda bercengkrama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pesisir darat, lembut limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
  2. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama.
  3. Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat setelah surya laut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi.
  4. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hutan.
  5.  Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahatlah di Renes seraya menanti Baginda. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta – Wanagriya.
Pupuh 23
  1. Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.
  2. Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ bermalam; segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang.
Pupuh 24
  1. Terlalu lancer lari kereta melintasi Palayangan dan Bengkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa.
  2. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintasi Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.
Pupuh 25
  1. Panjang lamun dikisahkan kelakuan para menteri dan abdi. Beramai-ramai Baginda telah sampai di Desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep. Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata.
  2. Semua menteri mancanagara hadir di Pakuwuan. Juga Jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji siwa dan Panji budha, faham hukum dan putus sastra.

Pupuh 26
  1. Sang Adipati Suradikara memimpin upacara sambutan. Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain. Girang rakyat girang raja, Pakuwuan berlimpah kegirangan.
Pupuh 27
  1. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari. Baginda mendekati permaisuri seperti dewa dewi. Para puteri laksana apsari  turun dari kahyangan. Hilangnya keganjlan berganti pandang penuh heran cengang.
  2. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.
Pupuh 28
  1. Selama kunjungan di Desa Patukangan. Para menteri dari Bali dan Madura. Dari Balumbung, kepercayaan Baginda. Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul.
  2. Persembahan bulu bekti bertumpah limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang.
  3. Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Baginda keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta, membuat gembira rakyat.
Pupuh 29
  1. Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama. Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertajaya. Teman bersuka ria, teman karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah.
  2. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
  3. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke Desa Keta. Melewati Tal tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dari Bungatan. Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.
Pupuh 30
  1. Tersebutlah perjalanan Sri Narapati kea rah barat. Segera sampai Keta dan tinggal disana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain hingga puas.
  2. Atas perintah sang arya semua menteri menghadap. Wiraprana bagai kepala, upapati Siwa-Budha. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan.
Pupuh 31
  1. Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring makin bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gerbang, Krebilan. Sampai di Kalayu Baginda berhenti ingin menyekar.
  2. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi makam sanak kadang Baginda raja. Penyekaran di makam dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat Sigi” nama upacara penyekaran itu.
  3. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak.
  4. Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya berlomba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja.
  5. Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, menuju Kambangrawi, bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Budha menjulang tinggi, sangat elok bentuknya.
  6. Perjamuan Tumenggung Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Baginda Nala bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, B’rurang. Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.
Pupuh 32
  1. Segera Sri Baginda sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah candi Budha beliau memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanottama para menteri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang.
  2. Berangkat dari situ Sri Baginda menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu.
  3. Sang pujangga Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar.
  4. Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat. Suka cita Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cita. Di atas atap terpahat ucapan sloka yang disertai nama. Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan.
  5. Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkupi selokan. Andung, karawita, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah, menguntai di sudut mengharu rindu pandangan.
  6. Tiada sampailah kata merah keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan pria, tua-muda, nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.
Pupuh 33
  1. Habis berkeliling asrama, Baginda lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapaan. Baginda membalas harta, membuat mereka gembira.
  2. Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerama ke taman penuh dengan kesukaan. Kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang.
  3. Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang masih remaja puteri sengaja merenung. Batinnya: dewa asmara turun untuk datang menggoda.
Pupuh 34
  1. Baginda berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup mata, sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam roga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya.
  2. Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan sawah ditepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke utara menuju Desa Gading.
  3. Para menteri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Budha. Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Baginda dengan emas dan kain.
  4. Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.
Pupuh 35
  1. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya, kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang. Ke Kedung Peluk dan Ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Segera Baginda menuju Kota Singasari bermalam dib alai kota.
  2. Prapanca tinggal disebelah barat Pasuruan ingin terus melancong. Menuju Indarbaru yang letaknya di daerah Desa Hujung. Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.
  3. Isi piagam: tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara. Begitu pula dengan Markaman, lading balunghura, sawah hujung. Isi piagam membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di Putusingin, ia menyingkir ke Indarbaru.
  4. Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama. Karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Baginda mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.
Pupuh 36
  1. Pada Subakala, Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada makam Bhatara bersama segala pengiringnya. Harta, perlengkapan, makanan, dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera, disambut sorak sorai dari penonton.
  2. Habis penyekaran, narapati keluar, dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Budha dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa lahab Baginda bersantap sampai puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah.
Pupuh 37
  1. Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara. Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar di dalam, terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
  2. Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru, dengan arca Bhatara Siwa di dalamnya. Karena Girinata putera disembah bagai Dewa Bhatara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.
  3. Sebelah selatan candi makam ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya masih berdiri, berciri kasogatan. Lantai di dalam, hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sangar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah.
  4. Disebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpancar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Diluar gapura pabaktan luhur, tapi longsor tanahnya. Halaman luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.
  5. Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu. Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya.
  6. Sedih mata memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau masyhur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagat. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan Bhatara.
  7. Tersebut lagi, paginya Baginda berkunjung ke Candi Kidal. Sesudah menyembah Bhatara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menyembah arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.
Pupuh 38
  1. Keindahan Bureng: telaga bergumpal air jernih. Kebiru-biruan, ditengah: candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan.
  2. Terlewati keindahannya; berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi. Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang.
  3. Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Budha, sarjana pengawas candid an silsilah raja, pantas dikunjungi.
  4. Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan masyhur. Meskipun sempurna dalam karya, jauh dari tingkah takabur. Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsyafannya.
  5. Tamu mendadak diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai, orang bahagia, pujangga besar pengiring raja. Pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?”
  6. Maksud kedatanganya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan. Masih selalu dihadap. Ceritakanlah mulai dengan Bhatara Kagenengan. Ceritakan sejarahnya jadi putera Girinata.
Pupuh 39
  1. Paduka empuku menjawab: “Rakawi Maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup”
  2. Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang tujuh. Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur.
  3. Semoga rakawi bersifat pengampun. Diantara kata terselip salah. Harap percaya kepada orangtua. Kurang atau lebih janganlah dicela.
Pupuh 40
  1. Pada tahun Saka Lautan Dasa Bulan (1104) ada raja perwira yuda. Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Rangga Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
  2. Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putera sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan Negara. Ibu Negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.
  3. Tahun Saka Lautan Dadu Siwa (1144) beliau melawan raja Kediri. Sang adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah ketakutan, melarikan diri ke dalam biara kecil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
  4. Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Janggala Kediri dibawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa.
  5. Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka Muka Lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha.
Pupuh 41
  1. Bhatara Anusapati, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun Saka Perhiasan Gunung Sambu (1170) beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diwujudkan arca Siwa gemilang di candi makam Kidal.
  2. Bhatara Wisnuwardhana, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau, sungguh titisan Siwa di Bumi.
  3. Tahun Saka Rasa Gunung Bulan (1176) Bhatara Wisnu menobatkan puteranya. Segenap rakyat Kediri Janggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia.
  4. Raja Kertanegara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti nama Praja Singasari.
  5. Tahun Saka Awan Sembilan Mengebumikan Tanah (1192) raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Budha. Sementara itu Bhatara Narasingamurti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper  diarcakan bagai Siwa Mahadewa.
  6. Tersebutlah Sri Baginda Kertanegara membinasakan perusuh penjahat. Bernama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192). Tahun Saka naga bermuka rupa (1197) Baginda menyuruh menundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.
Pupuh 42
  1. Tahun Saka janma suny surya (1202) Baginda raja memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh Negara. Tahun Saka badan langit surya (1206) mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Baginda sebagai seorang tawanan.
  2. Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah Baginda. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur dihadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa.
  3. Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Baginda waspada tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Budha. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.
Pupuh 43
  1. Menurut kabaran sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara. Tahun saka lembu gunung indu tiga (3179) beliau pulang ke Budhaloka. Sepeninggalnya datang zaman kali, dunia murka, timbul huru-hara. Hanya Bhatara raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jagat.
  2. Itulah sebabnya baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni. Teguh tawakal memegang pancasila, laku utama, upacara suci gelaran Jina beliau yang sangat masyhur ialah Sri Jnyanabadreswara. Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama.
  3. Berlomba-lomba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan. Pertama tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati. Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba.
  4. Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau. Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama adil, teguh dan Jinabrata dan tawakal kepada laku utama. Itulah sebabnya beliau turun temurun menjadi raja pelindung.
  5. Tahun saka laut janma bangsawan yama (1214) Baginda pulang ke Jinalaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama, beliau diberi gelaran: Yang mulia bersemayam di alam Siwa-Budha. Di makam beliau bertegak arca Siwa-Budha terlampau indah permai.
  6. Di sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan Negara. Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.
Pupuh 44
  1. Tatkala Sri Baginda Kertanagara pulang ke Budhabuana, merata takut, duka, huru hara, laksana zaman kali kembali. Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kediri.
  2. Tahun saka laut manusia (1144) itulah sirnanya raja Kertajaya. Atas perintah Siwaputera Jayasaba berganti jadi raja. Tahun saka delapan satu satu (1180) Sastrajaya raja Kediri. Tahun tiga Sembilan siwa raja (1193) Jayakatwang raja terakhir.
  3. Semua raja berbakti kepada cucu Girinata. Segenap pulau tunduk kepada kuasa Raja Kertanagara. Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata dunia tak baka akibat bahaya anak piara Kali.
  4. Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar saja. Lalu ditundukan putera Baginda; ketentraman kembali. Sang menantu Dyah Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia. Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebut Jayakatwang.
Pupuh 45
  1. Sepeninggal Jayakatwang jagat gilang cemerlang kembali. Tahun saka masa rupa surya (1216) beliau menjadi raja. Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh bergelar Sri Narapati Kretarajasa Jayawardana.
  2. Selama Kretarajasa Jayawardana duduk di tahta, seluruh Jawa bersatu padu, tunduk menengadah. Girang memandang pasangan Baginda empat jumlahnya. Puteri Kertanegara cantik-cantik bagai bidadari.
Pupuh 46
  1. Sang Prameswari Tribuwana yang sulung, luput dari cela. Lalu Prameswari Mahadewi, rupawan tak bertara. Prajnyaparamita Jayendra dewi, cantik manis menawan hati. Gayatri yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni.
  2. Perkawinan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga. Karena Bhatara Wisnu dengan Bhatara Narasingamurti. Akrab tingkat pertama; Narasingamurti menurunkan Dyah Lembu Tal. Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Budha.
Pupuh 47
  1. Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata. Dalam hidup atut runtut sepakat sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan.
  2. Tersebut tahun saka tujuh orang dan surya (1217) Baginda menobatkan puteranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putera Indreswari. Bergelar Sang Raja Putera Jayanagara.
  3. Tahun saka surya mengitari tiga bulan (1231) Sang orabu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam beliau. Dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.
Pupuh 48
  1. Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan dua orang puteri keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai Dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani di Daha.
  2. Tersebut pada tahun saka mukti guna memaksa rupa (1238) bulan madu baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh. Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap jagat melihat keperwiraan Sri Baginda.
  3. Tahun saka bulatan memanah surya (1250) beliau berpulang. Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Di sila petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah. Di sukalila terpahat arca Budha sebagai jelmaan Amogasidi.
Pupuh 49
  1. Tahun saka uma memanah dwi rupa (1256) Rani Jiwana Wijayatunggadewi bergilir mendaki tahta Wilwatikta didampingi raja putera Singasari.
  2. Atas perintah ibunda Rajapatni sumber bahagia dan pangkal kuasa. Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Baginda Wilwatikta.
  3. Tahun Saka Api memanah ari (1253) Sirna musuh di sadeng, Keta diserang. Selama bertahta, semua terserah kepada menteri bijak, Mada namanya.
  4. Tahun saka panah musim mata pusat (1265) Raja Bali yang alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya menjauh segala yang jahat, tenteram.
  5. Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh mengharukan ujar Sang Kaki. Jelas keunggulan Baginda di dunia. Dewa asalnya, titisan Girinata.
  6. Barangsiapa mendengar kisah raja, tak puas hatinya. Pasti takut melakukan tindak jahat, menjauhkan diri dari tindak durhaka.
  7. Paduka empu minta maaf berkata: “Hingga sekian kataku, sang rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu, Bagai buahnya gubahlah pujasastra”
  8. Habis jamuan rakawi dengan sopan minta diri kembali ke Singasari. Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya berangkat menghadap Baginda.
Pupuh 50
  1. Tersebut Baginda Raja berangkat berburu. Berlengkap dengan senjata, kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Nandawa, rimba belantara. Rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak.
  2. Bala bulat beredar membentuk lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit. Burung ribut beterbangan berebut dulu.
  3. Bergabung sorak orang berseru dan membakar. Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala menjilat udara. Seperti waktu hutan Kandawa terbakar.
  4. Lihat rusa-rusa lari lupa daratan. Bingung berebut dahulu dalam rombongan. Takut miris menyebar, ingin lekas lari malah menengah berkumpul tumpuk timbun.
  5. Banyaknya bagai benteng di dalam Gobajra. Penuh sesak bagai lembu di Wresabapura. Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci, biawak, kucing, kera, badak dan lainnya.
  6. Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.
Pupuh 51
  1. Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa. Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?
  2. Seolah-olah demikian kata serigala dalam rapat. Kijang, kasuari, rusa dan kelinci serempak menjawab: “Hemat patik, tidak ada jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin.”
  3. Banteng, kerbau, lembu serta harimau serentak berkata: “Amboi! Celaka bang kijang, sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat perwira lari atau menanti mati. Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.”
  4. Jawab singa: “Usulmu berdua memang pantas diturut. Tapi harap dibedakan yang dihadapi baik atau buruk. Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan. Karena sia-sia belaka jika mati terbunuh olehnya.
  5. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Budha seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta. Jika menghadapi raja terburu, tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu.
  6. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan Bhatara Siwa berupa narpati. Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama daripada terjun ke dalam telaga.
  7. Siapa diantara sesame akan jadi musuhku? Kepada Tripaksa aku takut, lebih utama menjauh. Niatku jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lagi bagai binatang.”
Pupuh 52
  1. Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak maju berdesak. Prajurit darat yang terlanjur langkahnya tertahan tanduk satwa, lari kembali.
  2. Tersebut adalah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh dengan anaknya dirayah tak berdaya.
  3. Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah, buas membekos-bekos, matanya merah liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Pupuh 53
  1. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru menyeru. Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya. Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan.
  2. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun. Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
  3. Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak. Kasihanilah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah! Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!
  4. Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk timbun.
  5. Ada pendeta Siwa-Budha yang turut menombak, mengejar disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila, turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Pupuh 54
  1. Tersebutlah baginda telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya. Menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai.
  2. Celeng, kaswari, rusa, dan kelinci tinggal dalam ketakutan. Baginda berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai. Menteri, tanda, dan pujangga di punggung kuda turut memburu. Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong, tertusuk, tertikam.
  3. Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut, di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda. Puaslah hati baginda, sambil bersantap dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Pupuh 55
  1. Terlangkahi betapa narpati  sambil berburu menyerap sari keindahan. Gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan. Membawa wanita seperti cengkerama; di hutan bagai menggempur Negara. Tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa.
  2. Tersebutlah beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura. Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan. Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar. Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai disitu perjalanan beliau.
  3. Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Belanak. Menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam. Kembali ke Selatan, ke Barat menuju Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut penonton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam.
Pupuh 56
  1. Adanya candi makam tersebut sudah sejak zaman dahulu. Didirikan oleh Sri Kertanegara, moyang baginda raja. Di situ hanya jenazah beliau saja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Budha.
  2. Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Budha, sangat tinggi. Didalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobhya bermahkota tinggi tak bertara. Namun telah hilang; memang sudah layak, tempatnya di nirwana.
Pupuh 57
  1. Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang. Ada pada Baginda guru besar, masyhur, pada Paduka. Putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni. Telah terbukti bagai mahapendeta, terpundi sasantri.
  2. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam di candi. Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah. Menimbulkan iri di dalam hati pengawas candi suci. Ditanya, mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
  3. Pada Paduka menjelaskan sejarah candi makam suci. Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti, kecewa! Tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
  4. Tahun Saka Api Memanah Halilintar (1253) itu hilangnya arca. Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam. Benarlah kabaran pendeta besar bebas dari prasangka. Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?
  5. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surge turun. Gapura luar, mekala serta bangunanya serba permai. Hiasang di dalamnya nagapuspa yang sedang berbunga. Disisinya lukisan puteri istana berseri-seri.
  6. Sementara Baginda girang cengkrama menyerap pemandangan. Pakis berserak di tengah tebar bagai bulu dada. Ketimur arahnya dibawah terik matahari, Baginda meninggalkan candi, pekalongan girang ikut jurang curam.
Pupuh 58
  1. Tersebut dari Jajawa Baginda berangkat ke Desa Padameyan. Berhenti di Cunggrang, mencari pemandangan, masuk hutan rindang. Kea rah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
  2. Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap. Ke Barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput. Yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
  3. Pukul tiga itulah waktu baginda bersantap bersama-sama. Paling muka duduk baginda, lalu dua paman berturut tingkat. Raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan di sisi Sri Baginda; terlangkahi betapa lamanya bersantap.
Pupuh 59
  1. Paginya pasukan kereta Baginda berangkat lagi. Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang. Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak.
  2. Banasara dan Sangkan Adoh telah dilalui. Pukul dua Baginda telah sampai di perbatasan kota. Sepanjang jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati, kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan.
  3. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya, tidak jauh , berikut narapati Lasem. Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang.
  4. Rani Daha, Rani Wengker semuanya urut belakang. Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta Baginda serombongan besar. Diiringi beberapa ribu oerwira dan para menteri.
  5. Tersebutlah orang yang rapat tampak menambak tepi jalan. Berjejal ribut menanti kereta Baginda berlintas. Tergopoh-gopoh perempuan ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk lainnya.
  6. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk berdesak-desakan di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat orang, karena terpekur memandang.
  7. Gemuruh dengung gong menampuk Sri Baginda raja datang. Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan. Setelah raja lalu, berarak pengiring di belakang. Gajah, kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
Pupuh 60
  1. Yang berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan berjalan belakang. Lada, kesumbu, kapas, buah kelapa, buah pinang, asam dan wijen terpikul.
  2. Di belakangnya oemikul barang berat. Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan kanan menuntun kirik dan kiri genjik. Dengan ayam itik di keranjang merunduk.
  3. Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung, rebung, slundang, cempaluk, nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk gelaknya seperti hujan panah jatuh.
  4. Tersebut Baginda telah masuk pura. Semua bubar ke rumah masing-masing. Ramai bercerita tentang hal yang lalu. Membuat girang semua sanak kadang.
Pupuh 61
  1. Waktu lalu; Baginda tak lama di istana. Tahun saka dua gajah bulan (1282) Badrapada, beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan.
  2. Tahun saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, baginda raja berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jumble untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menentramkan cita.
  3. Dari Blitar ke selaan jalannya mendaki. Puhonnya jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari. Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai.
  4. Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping. Ingin memperbaiki candi makam leluhur. Menaranya rusak, dilihat miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.

Pupuh 62
  1. Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasasti, yang dibaca lagi. Diukur panjang lebarnya; disebelah timur sudah ada tugu asrama gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam. Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara.
  2. Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Jnyanabadra terus ke timur. Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi Surabawana. Paginya berangkat lagi, berhenti di Bekel, sore sampai pura. Semua pengiring bersowang sowing pulang ke rumah masing-masing.
Pupuh 63
  1. Tersebut paginya Sri Naranata dihadapan para menteri semua. Dimuka para Arya, lalu Pepatih, duduk teratur di Manguntur. Patih Amangkubumi Gadjah Mada tampil ke muka sambil berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan”.
  2. Atas perintah Sang Rani Sri Tribuwana Wijayatunggadewi, supaya pesta Serada Sri Rajapatni dilangsungkan Sri Baginda. Di istana pada tahun saka bersirah empat (1284) bulan Badrapada. Semua pembesar dan wredda menteri diharap memberi sumbangan.”
  3. Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira Baginda. Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan menteri yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala. Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan Sri Baginda.
  4. Tersebutlah sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa” di setinggil. Ada yang mengetam baik makanan, bokor-bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja membuat persiapan.
Pupuh 64
  1. Ketika saatnya tiba, tempat telah teratur sangat rapi. Balai Witana terhias indah, dihadapan rumah-rumahan. Satu diantaranya berkaki batu karang, bertiang merah. Indah dipandang, semua menghadap kea rah tahta Baginda.
  2. Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja. Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk. Para isteri, pembesar, menteri dan pujangga, serta pendeta. Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi.
  3. Demikian persiapan Sri Baginda memuja Budha Sakti. Semua pendeta Budha berdiri dalam lingkaran bagai saksi. Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka. Tenang, sopan, budiman faham tentang sastra tiga tantra.
  4. Umumnya melintasi seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus dibantu. Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran. Mudra, tantra, dan japa dilakukan tepat menurut aturan.
  5. Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surge dengan doa. Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan puja.
Pupuh 65
  1. Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara/ Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet serta gendering. Didudukkan diatas singgasana, besarnya setinggi orang berdiri. Berderet beruntun-runtun semua pendeta tua muda memuja.
  2. Berikut para raja, parameswari dan putera mendekati arca. Lalu patih dipimpin Gadjah Mada maju ke muka berdatangan sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat penjuru. Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur.
  3. Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap. Bersusun timbun seperti pohon dan sirih bertutup kain sutera. Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti lembu Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan makanan dari mulutnya.
  4. Raja wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat. Disertai penyebaran harta di lantai balai besar berhambur-hamburan. Elok persembahan raja Tumapel berupa perempuan cantik manis dipertunjukkan selama upacara untuk menharu-rindukan hati.
  5. Paling hebat persembahan Sri Baginda berupa gunung besar Mandara. Digerakkan oleh sejumlah dewa dana danawa dhsyat menggusarkan pandang. Ikan lembora besar berlembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar. Bagaikan sedang mabuk diayun gelombang ditengah-tengah lautan besar.
  6. Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi. Agar para wanita, menteri, pendeta dapat makanan sekenyangnya. Tidak terlangkahi para ksatria, arya dan abdi di pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala tentara.
Pupuh 66
  1. Pada hari keenam pagi Sri Baginda bersiap mempersembahkan persajian. Pun para ksatria  dan pembesar mempersembahkan rumah-rumahan yang terpikul. Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan.
  2. Esoknya Patih Mangkubumi Gadjah Mada sore-sore menghadap sambil menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun, ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan…
  3. Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Baginda raja pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan makanan. Luas merata kepada empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan jamuan kepada pembesar abdi dan niata mengalir bagai air.
  4. Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak. Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta pura leluhur. Sri Nata menari di balai Witana khusus untuk para puteri dan para istri. Yang duduk rapat rapi berimpit, ada yang ngelamun karena tercengang memamndang.
  5. Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan. Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit, yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan gelak mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita membangkitkan gembira rakyat.
Pupuh 67
  1. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Rajapatni yang sudah mangkat. Semoga beliau melimpahkan berkat kepada Baginda raja. Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya.
  2. Paginya pendeta Budha datang menghormati, memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke Budhaloka. Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi.
  3. Lodang lega rasa Baginda melihat perayaan langsung lancer. Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun dahana tujuh surya (1274) dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.
Pupuh 68
  1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah karena cinta raja Erlangga kepada kedua puteranya.
  2. Ada pendeta Budhamajana putus dalam tantra dan yoga. Diam di tengah kuburan Lemah Cittra, jadi pelindung rakyat. Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Mpu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman.
  3. Girang beliau menyambut permintaan Erlangga membelah Negara. Tapal batas Negara ditandai air kendi, mancur dari langit. Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara, selatan. Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
  4. Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan. Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah. Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil.
  5. Itulah tugu batas gaib yang tidak akan mereka lalui. Itu pula sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga baginda serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada. Berjaya dalam memimpin Negara, yang sudah bersatu padu.
Pupuh 69
  1. Prajnaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun. Arca Sri Rajapatni diberkahi oleh pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu Negara. Laksana titisan Empu Bharada, menggembirakan hati Baginda.
  2. Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja. Wisesapura namanya, jika candi sudah berdiri sempurna dibangun.
  3. Candi makam Sri Rajapatni tersohor sebagai tempat keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para menteri dan pendeta. Di tiap daerah, rakyat serentak membuat peringatan dan memuja. Itulah surganya, berkat berputera, bercucu narendra utama.
Pupuh 70
  1. Tersebut pada tahun saka angin delapan utama (1285) baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam. Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat. Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara.
  2. Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa. Memangku jabatannya semenjak mangkat Kertarajasa. Ketika menegakkan menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung, yang diserahi menjaganya.
  3. Sekembalinya dari Simping, segera masuk pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gadjah Mada sakit. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.
Pupuh 71
  1. Tahun saka tiga angin utama (1253) beliau mulai memikul tanggung jawab. Tahun rasa (1286) beliau mangkat; Baginda gundah, terharu bahkan putus asa. Sang Dibyacita Gadjah Mada cinta kepada sesame tanpa pandang bulu. Insaf bahwa hidup tidak baka, karenanya beramal tiap hari.
  2. Baginda segera bermusyawarah dengan kedua rama serta ibunda. Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada yang layak akan diangkat hanya calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang menimbang, tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan.
  3. Baginda berpegang teguh. Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti. Bila karenanya timbul keberatan, beliau sendiri bertanggung jawab. Memilih enam menteri yang menyampaikan urusan Negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan Baginda.
Pupuh 72
  1. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih sebagai wredda menteri karib Baginda bernama Mpu Tadi.
  2. Penganut karib Sri Baginda Nata. Pahlawan perang bernama Mpu Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat. Mancanegara bergelar tumenggung.
  3. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah menundukkan Negara  Dompo, Serba ulet menanggulangi musuh.
  4. Jumlahnya bertambah dua menteri. Bagai pembantu utma Baginda. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh para upapati.
  5. Mpu Dami menjadi menteri muda. Selalu ditaati di istana. Mpu Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Baginda.
  6. Demikianlah titah Sri Baginda Nata. Puas, taat, teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah hari setia baktinya. Karena Baginda yang memerintah.
Pupuh 73
  1. Baginda makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih bijak. Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikuti undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil, semua pihak merasa puas. Masyhur nama beliau, mampu menembus zaman, sungguhlah titisan Bhatara.
  2. Candi makam serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala yang belum siap diselesaikan, dijaka dan dibina dengan seksama. Yang belum punya prasasti disuruh buatkan piagam oleh ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah temurun.
  3. Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan disebut pertama karena tertua: Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan Kalang, Brat dan Jago. Lalu Blitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.


Pupuh 74
  1. Makam rani: Kamal Pandak, Segala, Simping, Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir, bangunan baru Prajnyaparamitapuri di Bayalangu yang baru saja dibangun.
  2. Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra, dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli sastra.
Pupuh 75
  1. Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara orang utama, yang seksama dan tawakal membina semua candi. Setia kepada baginda, hanya memikirkan kepentingan bersama. Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam.
  2. Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Baginda Darmadyaksa Kasewan bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan. Darmadyaksa Kasogatan disuruh menjaga biara kebudhaan. Menteri ber-haji bertugas memelihara semua pertapaan.
Pupuh 76
  1. Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak: Biara Relung Kunci, Kapulungan, Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna. Parahyangan, Kuti Jati, Candi Lima, Nilakusuma, Harimananda, Uttamasuka, Prasada-haji, Sadeng, Panggumpulan, Katisanggraha. Begitu pula Jayasuka.
  2. Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigir, Nyudonto, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara, Rambut, Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen, Ratimanatasrama, Kula, Kaling ditambah sebutan lagi Batu Putih.
  3. Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak: Wipulahara, Kutahaji, Jantraya, Rajadanya, Kuswanata, Surayasa, Jarak, Lagundi, serta Wadari. Wewe Pacekan, Pasuruan, Lemah Surat, Sangan serta Pangiketan. Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela, dan Pamulang.
  4. Baryang Amretawardani, Wetlwetihn, Kawinayan Patemon serta Kanuruhan. Engtal, Wengker, Banyu Jiken, Batabata, Pagagan, Sibok dan Engtal Wetan. Pindatuha, telang, Suraba, itulah yang terpenting, sebuah suka Sukalila. Tak disebut perdikan tambahan seperti Pogara, Kulur, Tangkil, dan sebagainya.
Pupuh 77
  1. Selanjutnya, disebut berturut desa kebudhaan Bjradara: Isanabajra, Naditara, Mukuh, Sambang, Tanjung, Amretasaba, Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadata.Tidak juga terlangkahi Kumuda, Ratna serta Nadinagara.
  2. Wungajaya, Palandi, Tangkil, Asahing, Samici, serta Acitahen. Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng, Pojahan, dan Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan serta Kahuripan. Keraki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala.
  3. Badur, Wirun, WUngkilur, Mananggung, Watukura serta Bajrasana. Pajambayan, Salaten, Simapura, Tambvak Laleyan, Pilangu, Pohaji, Wangkali, Biru, Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudhaan Bajradara yang sudah berprasasti.
Pupuh 78
  1. Desa Keresian seperti berikut: Sampud, Rupit dan Pilan. Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air. Yang mulia Mahaguru – demikian sebutan beliau.
  2. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut piagam. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, diantaranya yang penting: Bangawan Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasita, Palah, Padar, Siringan. Itulah desa perdikan Siwa.
  3. Wangjang Bajrapura, Wanara, Makiduk, Hansen, Guha dan Jiwa. Jumpud, Soba, Pamuntaran dan Baru, perdikan Budha utama. Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagri, Centing, Wekas. Wandira, Wandayan, Gatawang, Kulapayan dan Talu pertapaan resi.
  4. Desa perdikan Wisnu berserak di Barwan serta Kamangsian, Batu, Tanggulian, Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting. Sedang, Medang, Hulun Hyan, Parung Langge, Pasajan, Kelut, Andelmat, Pradah, Geneng, Panggawan, sduah sejak lama bebas pajak.
  5. Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu pula asrama tetap yang bercandi serta yang tidak. Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Baginda raja. Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.
Pupuh 79
  1. Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan, candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang berpiagam dipertahankan, yang tidak segera diperintahkan pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja.
  2. Segenap desa sudah diteliti menurut perintah Raja Wengker. Raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya. Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan. Segenap penduduk jawa patuh mengindahkan perintah baginda raja.
  3. Semua tata aturan patuh diturut oleh Pulau Bali. Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya. Pembesar kebudhaan Baduhulu, Badaha Lo Gajah ditugaskan membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya.
Pupuh 80
  1. Perdikan kebudhaan Bali seperti berikut: Biara Baharu (Hanyar), Kadikaranan, Purwanagara, Wirabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah enam kebudhaan Bajradara, biara kependetaan. Terlangkahi biara dengan bantuan Negara seperti Arya-dadi.
  2. Berikut candi makam di Bukit Sulang, Lemah Lampung dan Anyawasuda, Tatagatapura, Grehastadata, sangat masyhur, dibangun atas piagam pada tahun saka Angkasa Rasa Surya (1260) oleh Sri Baginda Jiwana. Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya: upasaka wredda menteri.
  3. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri. Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman. Begitulah tabiat raja utama, Berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga kelak para raja sudi membina semua bangunan suci.
  4. Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut. Menentramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan Negara.
Pupuh 81
  1. Besarlah minat Baginda untuk tegaknya tripaksa. Tentang piagam beliau bersikap agar tetap diindahkan. Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata sila dan adat-tutur diperhatikan.
  2. Itulah sebabnya sang caturdwija  mengejar laku utama. Resi, Wipra, pendeta Siwa Budha teguh mengindahkan tutur. Catur Asrama  terutama catur basma tunduk rungkup tekun. Melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara.
  3. Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran. Para menteri dan arya pandai membina urusan Negara. Para puteri dan ksatria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan Sudra dengan gembira menepati tugas darmanya.
  4. Empat kasta yang lahir sesuai dengan keinginan Hyang Mahatinggi. Konon, tunduk rungkup kepada kuasa dan perintah baginda. Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah, Candala, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacat-cacatnya. Begitulah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata.
Pupuh 82
  1. Penegakan bangunan – bangunan suci membuat gembira rakyat. Baginda menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma. Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku sang prabu.
  2. Sri Nata Singasari membuka lading luas di daerah Sagala. Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang. Mendirikan perdikan Budha di Rawi, Locanapura, Kapulungan. Baginda sendiri membuka lading Watsari di Tigawangi.
  3. Semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas. Candi, Biara dan Lingga utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.
Pupuh 83
  1. Begitulah keluhuran Sri Baginda ekanata di Wilwatikta. Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang. Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera.
  2. Bertambah masyhur keluhuran Pulau Jawa di seluruh jagat raya. Hanya Jambudwipa dan Pulau Jawa yang disebut Negara utama. Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh jumlahnya. Panji Jiwalekan dan Tenggara yang menonjol bijak di dalam kerja.
  3. Masyhurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur. Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya. Hyang Brahma, sopan, suci, ahli weda, menjalankan nam laku utama. Bhatara Wisnu dengan cipta dan mantera membuat sejahtera Negara.
  4. Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Kamataka. Goda serta Saim mengarungi lautan bersama para pedagang. Resi dan pendeta, semua merasa puas menetap dengan senang.
  5. Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormati di seluruh Negara. Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli penjual, barang terhampar di dasaran.
  6. Berputar keliling gamelan dalam tanduan di arak rakyat ramai. Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura. Korban api, ucapan mantra dilakukan para pendeta Siwa-Budha. Mulai tanggal delapan petang demi keselamatan Baginda.
Pupuh 84
  1. Tersebut pada tanggal empat belas bulan petang, Baginda berkirap. Selama kirap keliling kota busana Baginda serba kencana. Ditatang jempana kencana, panjang berarak beranur runtun. Menteri, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam.
  2. Mengguntur gaung gong dan salung, disambut terompet meriah sahut menyahut. Bergerak barisan pujangga menampung beliau dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari seluruh jawa.Tanda bakti Baginda perwira bagai Rama, mulia bagai Sri Kresna.
  3. Telah naik Baginda di tahta mutu-manikam, bergebar pencar sinar. Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji astuti. Yang Nampak, semua serba mulia, sebab Baginda memang raja agung. Serupa jelmaan Sang Sudodana putera dan Jina bawana.
  4. Sri Nata Pajang dengan Sang Permaisuri berjalan paling muka. Lepas dari Singgasana yang diarak pengiring terlalu banyak. Menteri Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok. Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul.
  5. Raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya. Lalu Raja Kediri dengan permaisuri serta menteri dan tentara. Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para pengiring. Sebagai penutup Baginda dan para pembesar seluruh Jawa.
  6. Penuh berdesak-desak para penonton ribut berebut tempat. Di tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap rumah mengibarkan bendera dan panggung membujur sangat panjang. Penuh sesak perempuan tua muda, berjejal berimpit –impitan.
  7. Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton. Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil. Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci didulang berukir. Menteri serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama.
Pupuh 85
  1. Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka. Menteri, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir. Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota. Begitu pula para ksatria, pendeta, dan Brahmana utama.
  2. Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat. Tetapi menganut ajaran Rajakapakapa, dibaca tiap Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang. Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat.
Pupuh 86
  1. Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar. Di utra kota terbentang lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi Baginda, naik tandu bersudut tiga. Diarak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang.
  2. Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke utara bertemu tebing sungai. Dikelilingi bangunan menteri di dalam kelompok.
  3. Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang. Tiangnya penuh berukir dengan isi dongeng parwa. Dekat disebelah baratnya bangunan serupa istana. Tempat menampung Baginda di panggung pada bulan Caitra.
Pupuh 87
  1. Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat. Bagian utara dan selatan untuk para raja dan arya. Para menteri dan dyaksa duduk teratur menghadap timur. Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya.
  2. Disitulah Baginda member rakyat santapan mata: pertunjukan perang tanding, perang pukul, desuk mendesuk, perang keris, adu tinju, tarik tambang, menggembirakan sampai tiga empat hari lamanya baru selesai.
  3. Seberangkat Baginda, sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala perlombaan bubar; rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan petang Baginda menjamu para pemenang. Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian.
Pupuh 88
  1. Segenap ketua desa dan wedana tetap tinggal, paginya mereka dipimpin Arya Ranadikara menghadap baginda minta diri di pura. Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan. Sri Baginda duduk di atas tahta, dihadap para abdi dan pembesar.
  2. Berkatalah Sri Nata Wengker di hadapan para pembesar dan wedana: “Wahai, tunjukkan cinta serta setai baktimu kepada Baginda raja. Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu. Jembatan, Jalan Raya, Beringin, Bangunan dan Candi supaya dibina.
  3. Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah. Perhatikan tanah rakyat, jangan sampai jatuh ketangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar.
  4. Sri Nata Kartawardhana setuju dengan anjuran pembesar desa. “Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana, terutama pelanggar susila. Agar bertambah kekayaan baginda demi kesejahteraan Negara.
  5. Kemudian bersabda Baginda Nata Wilwatikta memberi anjuran: “Para Budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi. Rajakarya, terutama beacukai, pelawang, supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas.
Pupuh 89
  1. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati. Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan, biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya.
  2. Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, Negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, Negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”.
  3. Begitulah perintah Baginda kepada wedana, yang tunduk mengangguk. Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau. Menteri, upapati, serta para pembesar menghadap bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama.
  4. Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang. Di tiga sudut ruang para wedana  duduk teratur menganut sudut. Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas. Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Baginda.
  5. Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman purba makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda.
Pupuh 90
  1. Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba banyak serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak. Berderap cepat datang menurut acara.
  2. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing hanya dihidangkan kepada para penggemar. Karena asalnya dari berbagai desa mereka diberi kegemaran, biar puas.
  3. Mengalir berbagai minuman keras segar: Tuak nyiur, Tal, Arak kilang, tuak rumbya. Itulah hidangan minuman utama. Wadahnya emas berbentuk aneka ragam.
  4. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar. Berisi minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir. Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk.
  5. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.
Pupuh 91
  1. Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan. Solah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain.
  2. Disuruh menghadap baginda, diajak minum bersama. Menteri upapati berurut minum bergilir menyanyi. Nyanyian Manghuri Kandamuhi dapat sorak pujian. Baginda berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu.
  3. Tercengang dan terharu hadirin mendengar suara merdu. Semerbak meriah bagai gelak merak di dahan kayu. Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis. Resap membaru kalbu bagai desiran buluh perindu.
  4. Arya Ranadikara lupa bahwa Baginda berlaku bersama Arya Mahadikara, mendadak berteriak bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng. “Ya!” jawab beliau; segera masuk untuk persiapan.
  5. Sri Kertawardana tampil ke depan menari panjak. Bergegas lekas panggung disiapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu rindu, tingkahnya memikat hati.
  6. Bubar mereka itu ketika Sri Baginda keluar. Lagu rayuan Baginda bergetar menghanyutkan rasa, Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah. Resap meremuk rasa merasuk tulang sumsum pendengar.
  7. Sri Baginda warnawan telah mengenakan tampuk topeng. Delapan pengiringnya dibelakang, bagus, bergas pantas keturunan arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya. Inilah sebabnya banyolannya selalu tepat kena.
  8. Tari Sembilan orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku. Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu. Tepat mengenai sasaran menghanyutkan hati penonton.
  9. Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar minta diri mencium duli paduka. Katanya: “Lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”. Terlangkahi pujian Baginda waktu masuk istana.
Pupuh 92
  1. Begitulah suka mulia Baginda raja di pura, tercapai segala cita. Terang baginda sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan Negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Budha. Dengan laku utama beliau memadamkan api kejahatan durjana.
  2. Terus membumbung ke angkasa kemasyhuran dan keperwiraan Sri Baginda. Sungguh beliau titisan Bhatara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang dipandang dan musnah letanya abdi yang disapa.
  3. Inilah sebabnya keluhuran beliau masyhur terpuji di tiga jagat. Semua orang tinggi, sedang dan rendah menuturkan kata-kata pujian. Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai gunung tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.
Pupuh 93
  1. Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Baginda. Sang pendeta Budhaditya menggubah rangkaian sloka Bogawali. Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa.Brahma Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian sloka indah.
  2. Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra. Bersama-sama merumpaka sloka pujasastra untuk nyanyian. Yang terpenting pujasastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma. Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana.
Pupuh 94
  1. Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara, Prapanca bangkit turut memuji Baginda, meski tak akan sampai pura. Maksud pujiannya agar Baginda gembira jika mendengar gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan Negara, terutama Baginda dan rakyat.
  2. Tahun saka gunung gajah budi dan janma (1287) bulan Aswina hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan keliling Negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut Desawarnana. Dengan maksud, agar Baginda ingat jika membaca hikmat kalimat.
  3. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar. Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita “Sugataparwa”. Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap.
  4. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin, terdorong cinta bakti kepada Baginda, ikut membuat pujasastra berupa karya kakawiin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.
Pupuh 95
  1. Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di dusun. Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar manis. Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan. Apa gunanya mengenai ajaran kasih, jika tidak diamalkan?
  2. Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal. Buta, tuli, tak Nampak sinar memancar dalam kesedihan, kesepian. Seyogyanya ajaran sang Mahamuni diresapi bagai pegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda.
  3. Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan. Membuat rumah dan tempat persajian ditempat sepi dan bertapa. Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tingg-tinggi. Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah lama dikenal.
Pupuh 96
  1. Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu, pipinya sembab, matanya ngeliyap, gelaknya terbahak-bahak.
  2. Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh tidak menuruti ajaran tutur. Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali.
Pupuh 97
  1. Ingin menyamai Mpu Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang.
  2. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu uang dibagi. Terus bertapa brata. Mendapat pimpinan hidup.
  3. Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum selesai ingin mencapai nirwana, jadi pahlawan pertapa.
Pupuh 98
  1. Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina orang-orang yang puas dalam ketenangan dan menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacat dan dicela di dalam pura.
tammat

HAM Pancasila: Jalan Tengah antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Sosial

HAM Pancasila: Jalan Tengah antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Sosial   I. Pendahuluan: Mengontekstualisasikan Hak Asasi Manusia di Indones...