Sabtu

Riwayat KH Hasan Genggong Probolinggo (Bagian 3 - Habis): Pertemuan Singkat dengan Nabi Khidir

KH Hasan Genggong Probolinggo

Kiai Hasan memang sudah melakukan berbagai macam tirakat sejak kecil. Beliau belajar sembari
mengamalkan ilmunya dengan hidup sederhana. Beliau juga selalu menghormati lawan bicaranya, tak peduli siapa dan apa kedudukannya.

Berkat sikap itulah, Kiai Hasan banyak memiliki karomah. Salah satunya adalah karomah yang pernah diceritakan oleh KH Akhmad Mudzhar Situbondo.

Suatu hari selepas sholat Jumat, Kiai Hasan keluar dari Masjid Jami’ Al-Barokah Genggong menuju rumah beliau. Dalam perjalanan, beliau berkali-kali mengucap, “Innalillah, Innalillah,” sambil menghentak-hentakkan tangannya yang kelihatan basah.

Hari pun berlalu sampai pada Senin pagi, ketika Kiai Hasan menemui tamunya, KH Akhmad Mudzhar yang pernah jadi santrinya. KH Mudzhar datang bersama dua orang tamu yang menghadap Kiai Hasan dengan muka yang sangat kelelahan—seakan-akan baru mengalami musibah yang begitu hebat.

Tatkala dua orang tersebut bertemu dan melihat wajah Kiai Hasan, terlontarlah ucapan dari salah seorang dari keduanya.

“Ini orang yang menolong kita tiga hari yang lalu,” ujarnya. Bersamaan dengan itu, Kiai Hasan mengucap hamdalah sebanyak tiga kali dengan wajah berseri.

Melihat kejadian tersebut, KH Mudzhar sebagai satu-satunya orang yang tidak paham kejadian tersebut, menanyakan kepada dua orang tersebut terkait apa yang terjadi.

“Tiga hari yang lalu, kami berdua dan beberapa teman yang lain menaiki perahu menuju Banjarmasin. Tiba-tiba perahu oleng akibat angin topan dan perahu kami pun mengalami kecelakaan. Namun, kami sempat diselamatkan oleh seorang bapak-bapak tua.

“Waktu itu jam masih menunjukkan pukul 13.00 atau Ba’da Jumat. Setelah itu, kami sudah tidak sadar lagi apa yang terjadi hingga kami terdampar di tepi pantai Kraksaan (Kalibuntu),” ujarnya.

Salah satu orang tersebut melanjutkan cerita.

"Setelah kami sadar, kami sangat bersyukur karena diselamatkan oleh Allah dari bencana itu. Kemudian kami ingat bahwa yang menolong kami dari malapetaka tiga hari yang lalu itu adalah orang tua yang sangat alim.

“Kami merasa berhutang budi dan mencari-cari informasi tentang orang tua tersebut, setelah terus mencari hingga ke Tanah Genggong, benar saja, beliau adalah Kiai Hasan yang dekat dengan tempat kami terdampar," jelas orang tersebut sembari izin pamit.

Ada pula kisah lain yang diceritakan Alm. Habib Mukhsin Bin Ali As-Segaf Pasuruan—yang kemudian disampaikan kembali oleh cucunya, Al Habib Muhammad Pasuruan.

Pada suatu hari, Habib Mukhsin sowan pada Kiai Hasan. Saat keduanya asyik berbincang di ruang tamu, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki berpakaian serba hitam.

Orang berpakaian hitam tersebut tanpa diduga langsung bersalaman dan memberikan sejumlah uang pada Habib Mukhsin. Uang tersebut berjumlah sekitar tujuh gulden Belanda.

Setelah uang diterima, habib Mukhsin lantas men-sodaqahkan kembali uangnya kepada pemberi tadi. Dan orang langsung menerimanya seraya mengucapkan terima kasih lalu pergi.

Setelah itu, Habib Mukhsin bertanya pada Kiai Hasan, “Siapakah tamu itu Kiai?”

Kiai Hasan tidak menjawab.

”Kiai, tamu itu siapa?” tanya Habib Mukhsin lagi.

Dan Kiai Hasan masih bungkam seribu bahasa.

”Kiai siapa gerangan tamu tadi?” Habib Mukhsin bertanya untuk ketiga kalinya. Setelah itu, barulah Kiai Hasan menjawab dengan tenang dan singkat.

”Nabiyullah Khidir.”

Mendapat jawaban tu, Habib Mukhsin sejenak terdiam kemudian menangis sembari bersimpuh di hadapan Kiai Hasan.

Cerita diatas seringkali diceritakan Habib Mukhsin pada masyarakat ramai. Baik keluarganya sendiri, maupun tamu-tamu yang sowan padanya. Jadilah cerita ini masyhur di berbagai kalangan, bahkan setelah Kiai Hasan wafat pada 1 Juni 1955.

Saat ini, kiai yang penuh suri tauladan ini dimakamkan di komplek Ponpes Genggong, Probolinggo, Jawa Timur. Perjuangan Kiai Hasan dikenang hingga kini. Bahkan, setiap tahun, haulnya selalu didatangi tokoh-tokoh terkemuka.

Sementara itu, Ponpes Genggong sekarang diasuh oleh KH Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah, yang juga dikenal sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.

*TAMAT* Bagian 1 disini

Riwayat KH Hasan Genggong Probolinggo (Bagian2): Tak Pernah Kalah Adu Debat dengan Para Ulama Mekkah


KH Hasan Genggong Probolinggo
Kala berada di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul bersama saudaranya, Asmawi—yang langsung gembira karena bisa berkumpul bersama saudaranya. Keduanya pun bisa menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji bersama.

Namun hati kecil Asnawi mengatakan bahwa dirinya akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan dibanding Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah pun langsung mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar.

Setelah bertemu, ternyata Ahsan langsung diajak berkumpul bersama para pemburu ilmu untuk ber-mujadalah (debat). Tentu saja semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Semua lawan debat mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan.

Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya yang sekali lagi ingin menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah semata.

Setelah melihat mujadalah sebelumnya, Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang punya kemampuan luar biasa. Namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal itu. Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk ber-mujadalah.

Kali ini, Asnawi diadu dengan seorang keturunan Magrabi yang sudah bermukim di Mekkah selama 40 tahun dan dikenal sebagai seorang alim ulama terkemuka di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun, terlebih kepada Asmawi yang notabene sepupunya sendiri, menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut.

Dan seperti sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah.

Pertemuan itu bermula di waktu pagi menjelang Salat Duha, dan berlangsung berjam-jam hingga memasuki waktu Salat Duhur. Setelah salat, mujadalah kembali berlanjut. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu, dijawab dengan baik olehnya.

Dalam hatinya, ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya. Namun, sang alim ulama tak mampu menjawabnya.

Dengan mata kagum ulama tersebut berkata, "Sungguh engkau adalah pemuda yang benar-benar alim!"

Sadar dirinya selalu ditarik ke dalam mujadalah, Ahsan kemudian meminta saudaranya itu untuk tidak lagi mempertemukannya dengan orang-orang lagi jika tujuannya adalah mujadalah. Mengetahui kekecewaan saudara sepupunya itu, Asmawi kemudian meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.

Selama di Mekkah, Ahsan sempat belajar pada beberapa syekh terkemuka—disamping juga berguru pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim di Tanah Suci. Beberapa nama yang sempat jadi guru Asnawi di antaranya: KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi.

Selama berguru hingga ke tanah suci, Ahsan juga memiliki banyak sahabat. Selain saudara sepupunya sendiri, Asnawi, ia juga memiliki teman-teman dekat yang kelak di masa depan menjadi tokoh terkemuka.

Diantaranya adalah KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa’id Poncogati Bondowoso, Kyai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kyai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwi Besuki.

Sepulangnya dari menimba ilmu di Tanah Suci, Ahsan kemudian berganti nama Kyai Haji Mohammad Hasan. Ia kemudian menikah dengan putri KH. Zainul Abidin yang bernama Nyai Ruwaidah. Sejak pernikahan inilah, KH. Mohammad Hasan membantu mertuanya dalam membina pesantren.

Beliau mengembangkan sistem pendidikan pesantren salafiyah (tradisional) dengan metode pembelajaran dan pendidikan klasikal.

Selama hidupnya, Kiai Hasan selalu memberikan contoh pada orang di sekitarnya. Beliau selalu mengingatkan bahwa manusia hanyalah partikel debu di alam semesta. Lantas, apa yang bisa dibanggakan dari mahkluk yang begitu kecil di alam semesta milik Allah?

Apakah dengan sedikit keunggulan entah jabatan, kehormatan dan harta, ada yang patut dibanggakan?

Dalam menggapai ridho Allah, beliau senantiasa zuhud dan hidup sederhana. Tidak berlebihan, serta selalu menghindari sombongnya hati. Beliau yang tidak diragukan lagi keunggulan ilmunya, bahkan tak pernah merendahkan siapapun yang ada di depannya. Beliau juga senantiasa ramah bahkan dengan orang yang tidak dikenalnya sekalipun.

Kiai Hasan juga dikenal sebagai salah satu Mursyid Thariqah Tijaniyah, sebuah thariqah yang berasal dari daerah Tijani, Maroko. Sekalipun thariqah ini sempat diperdebatkan oleh sebagian ulama dan habaib di Jawa Timur karena keterkaitan sanadnya hanya melalui perjumpaan dengan Rasulullah Saw melalui mimpi saja.*

Sementara Asnawi, sepupu sekaligus sahabat Ahsan—yang sudah lebih dikenal sebagai Kiai Hasan—saat ini lebih dikenal sebagai KH. Rofii Sentong.

*Setelah melalui berbagai forum dan diskusi, Thariqat Tijaniah akhirnya disahkan sebagai salah satu Thariqah yang diakui dan menjadi thariqah yang muktabar dan sah mempunyai keterkaitan sanad yang bersambung sampai Rasulullah SAW. Saat ini Mursyid Thariqah Tijaniyah diampu oleh KH Soleh Basalamah, Pengasuh Ponpes Darussalam, Jatibarang, Brebes-Jawa Tengah.

Bersambung Bagian 3

Riwayat KH Hasan Genggong Probolinggo (Bagian 1): Ulama Panutan Pengarang Kitab Safinatun Najah


KH Hasan Genggong Probolinggo
KH. Mohammad Hasan atau akrab dengan sebutan Kiai Hasan Sepuh, berjuang di daerah Genggong, Probolinggo Jawa Timur. Kelak, di daerah ini terdapat sebuah pesantren besar yang bernama Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Kiai Hasan memiliki nama kecil Ahsan bin Syamsuddin. Lahir pada 27 Rajab 1259 atau kira-kira 23 Agustus 1840 di Desa Sentong, sekitar 4 km ke arah selatan Kraksan, Probolinggo. Bagaimana riwayat ulama pengarang Safinatun Najah ini? Berikut kisah selengkapnya.

Dikisahkan, ada sepasang suami istri yang biasa saja, bukan saudagar maupun tuan tanah. Sang suami, bernama Kyai Syamsuddin, sehari-hari bekerja mencetak genteng yang dijual guna mencukupi kebutuhan keluarga.
Istrinya bernama Khadijah, sehari-hari hanyalah menjadi ibu rumah tangga meski beberapa kali ikut membantu sang suami. Malam itu Kyai Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya, beliau melihat istrinya menggapai bulan purnama, kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun.
Ketika terbangun, Kyai Syamsuddin mencoba merangkai apa arti dari mimpinya. Bersama istri, Kiai Syamsuddin hanya bisa bermunajat kepada Allah, berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi keluarga kecil mereka.
Waktu bergulir, dari rahim seorang istri yang begitu sederhana, lahirlah jabang bayi yang dinanti-nantikan. Anak itu diberi nama Ahsan bin Syamsuddin. Sang anak tumbuh di bawah bimbingan ayah dan ibunya. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama karena sang ayah meninggal dunia ketika Ahsan masih amat muda.
Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman sebayanya. Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Dalam bertutur kata, Ahsan juga diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan Bahasa Madura yang halus dan santun, disertai dengan sikap yang lemah lembut.
Ahsan kecil belajar mengaji Al-Quran dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi (Sepupu) serta teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kyai Syamsuddin—pamannya sendiri.
Menginjak usia 14 tahun, sekitar tahun 1857, Ahsan dan Asmawi berangkat menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut sekitar 70 km. Keduanya menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok yang diasuh KH. Mohammad Tamim itu. Keduanya hidup sederhana di pesantren dan rajin menabung. Tabungan keduanya ditempatkan di atas loteng tanpa takut dimakan tikus. Atas izin Allah, uang keduanya utuh.

Suatu ketika, Kyai Tamim berencana merenovasi bangunan pondok. Biaya yang dibutuhkan tak sedikit. Mengetahui itu, Kyai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para santri. Beliau bermaksud mengutarakan perihal biaya pembangunan pondok pesantren.
Setelah majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di loteng kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Mereka menghadap Kyai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu.
Melihat kedua santrinya yang begitu ikhlas, Kiai Tamim terharu dan memanjatkan do'a kepada Allah untuk keduanya.
Belajar ke Bangkalan
Selepas menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi melanjutkan ngaji di pondok Bangkalan Madura. Keduanya kembali menempuh perjalanan tersebut dengan berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut.
Mereka mengaji kepada Syaikhona KH. Mohammad Kholil.  Selama berada di Madura, Ahsan juga sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan KH. Jazuli Madura.
Suatu ketika, Asmawi tiba-tiba ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Asmawi selalu bertanya-tanya, mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya, Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannyanya.
Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dan tempat tujuan untuk memperdalamnya hanya satu: Makkah Al Mukarromah.
Tahun 1863, berangkatlah Asmawi sendirian menuju Mekkah untuk menunaikan Ibadah Haji dan memperdalam ilmunya. Sementara di Bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga.
Di hati kecilnya, muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun Ahsan paham benar bahwa keinginan itu sulit terpenuhi. Ahsan pun bermunajat pada Allah,memohon agar dapat menyusul saudaranya.
Tak lama setelah keberangkatan Asmawi, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh Sang Ibunda. Ahsan kemudian dinasehati, jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke Bangkalan.
Pilihan yang sulit bagi Ahsan muda. Ahsan memutuskan untuk sholat istikharah kepada Allah, mengharap petunjuk dari-Nya. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah menghendaki. Atas pemikirannya tersebut, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok. Akhirnya ia kembali ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kyai Kholil untuk mengadukan hal tersebut, sekaligus memohon doa kepada Kyai Kholil, supaya Allah memudahkan keberangkatannya ke Tanah Suci. Kyai Kholil pun mendoakan niat dan harapan itu.
Selang beberapa waktu, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meskipun yang siap hanya ongkos perjalanan saja.
Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Akhirnya, Ahsan pun berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.



Minggu

12 Bentuk Ketupat Asli Indonesia

Tak hanya bentuk wajik, masih banyak bentuk ketupat lainnya. Ada yang persegi panjang, mirip mulut bebek hingga seperti untaian rambut dikepang dua.1. Ketupat Jago
Berasal dari Sudimoro Kudus, dibuat dari 8 helai janur. Cirinya berbentuk segitiga sama kaki dengan ujung menjuntai di kanan kiri. Helaian janur di bagian atasnya lalu diikat. Biasanya hadir di syukuran empat bulanan. Jika bayinya laki-laki, kelak ia diharapkan jago, berwatak kstaria, dan punya kedudukan tinggi.
2. Ketupat Tumpeng
Berbentuk mengerucut dengan dasar melebar. Helai janur menjuntai di bagian yang runcing.
3. Ketupat Sidalungguh
Punya 3 helai janur yang dikeluarkan dari sisiannya. Biasanya dihadirkan dalam syukuran empat bulanan sebagai simbol ditiupkanya ruh ke dalam kandungan. Sang jabang bayi lalu diberi kedudukan (sida lungguh) sebagai manusia kecil.
Inilah 12 Bentuk Ketupat Asli IndonesiaProses Menganyam Janur untuk Ketupat (Foto: iStock)
4. Ketupat Sari
Berbentuk segitiga sama sisi, hanya saja lebih kecil dibanding ketupat jago. Cirinya ada helaian keluar di sudut kanan dan kirinya.
5. Ketupat Bata
Disebut juga ketupat luwar, dibuat dari dua helai janur. Ketupat dianyam menjadi persegi panjang layaknya bentuk batu bata. Satu helaian berada di satu sudut, sementara helaian satu lagi keluar di seberang sudut tadi. Jadi simbol harapan jabang bayi lahir dengan mudah dan selamat. Juga menyimbolkan tercapainya keinginan.
6. Ketupat Debleng
Sinta atau sintok sering ditampilkan sebagai ilustrasi ketupat bentuk belah ketupat. Ujung janurnya keluar di dua sudut berseberangan. Ketupat ini menyimbolkan wanita cantik dan berbudi luhur sesuai dengan harapan anak perempuan yang akan lahir. Ketupat ini dibuat dari empat helai janur.
7. Ketupat Sidapurna
Paling unik karena berbentuk seperti huruf P terbalik atau kipas sate. Hiasannya berupa lipatan janur mirip pita di salah satu sudutnya. Sudut dibawahpun dilipat sebagai hiasan.
8. Ketupat Bebek
Jenis ini juga termasuk ketupat mungil. Bagian bawahnya sedikit membulat dengan ujungnya dibiarkan agak panjang dan miring ke atas, mirip mulut bebek.
Inilah 12 Bentuk Ketupat Asli IndonesiaSalah Satu Bentuk Ketupat Tradisional Indonesia (Foto: iStock)
9. Ketupat Geleng
Persegi panjang seperti ketupat bata. Bedanya, tak ada helaian janur menjuntai keluar di sudut manapun sehingga tampilannya tampak rapat sekali.
10. Ketupat Bagea
Bentuknya hampir bundar dengan janur menjuntai di bagian atas. Anyamannya dibuat saling menyilang, mirip kue bagea atau kuntum bunga.
11. Ketupat Pendawa
Seperti untaian rambut dikepang dua, bentuk ketupat segitiga dengan ujung berupa dua helai janur yang dikepang.
12. Ketupat Gatep
Mirip ketupat bebek, hanya saja bentuknya lebih mirip huruf D kecil.