HAM Pancasila: Jalan Tengah antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Sosial
I. Pendahuluan: Mengontekstualisasikan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Diskursus global mengenai hak asasi manusia (HAM) seringkali didominasi oleh penekanan kuat pada hak-hak individu, yang berakar pada tradisi demokrasi liberal. Namun, Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan budaya dan nilai-nilai keagamaan yang mendalam, menghadapi tantangan unik dalam merumuskan pendekatan terhadap HAM. Indonesia berupaya menavigasi gelombang globalisasi ini dengan pendekatan yang khas, yang dikenal sebagai HAM Pancasila, sebuah konsep yang berupaya "membumi" dalam konteks lokal. Pendekatan ini merupakan upaya sadar untuk mengadaptasi prinsip-prinsip HAM universal agar selaras dengan tatanan sosial, budaya, dan agama Indonesia, bukan sekadar mengadopsinya tanpa penyesuaian. Tantangan ini diuraikan secara tepat dalam artikel Sahudin Krishna, yang menyatakan bahwa "Di tengah gelombang globalisasi nilai dan liberalisme hak individu, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam merumuskan pendekatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)." Pernyataan tersebut secara efektif membingkai posisi Indonesia sebagai negara yang berusaha merekonsiliasi norma-norma global dengan identitas nasionalnya yang unik.
Pancasila, sebagai ideologi negara, berfungsi sebagai landasan filosofis fundamental bagi pendekatan Indonesia terhadap hak asasi manusia. Peran Pancasila melampaui doktrin politik semata; ia bertindak sebagai pandangan dunia komprehensif yang membentuk norma hukum, sosial, dan etika bangsa. Konsep "HAM Pancasila" secara eksplisit mengaitkan hak asasi manusia dengan lima prinsip dasar: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.1 Definisi ini diperkuat oleh pernyataan bahwa HAM Pancasila adalah "HAM yang didasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila," yang mencakup nilai-nilai religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.1 Pengaruh multifaset ini menggarisbawahi sifat holistik dampak Pancasila terhadap hak asasi manusia. Pancasila menempati posisi penting dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, dengan kelima silanya menjadi nilai-nilai terpenting dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.2 Lebih lanjut, Pancasila juga berfungsi sebagai "norma dasarnya" bagi sistem hukum nasional, menjadikannya bukan hanya filosofi tetapi juga
rechtsidee atau prinsip hukum fundamental bagi Indonesia.3
Pendekatan "jalan tengah" ini tidak hanya sebuah cita-cita, melainkan strategi adaptasi yang disahkan secara negara dan diabadikan secara hukum. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM secara eksplisit menyatakan bahwa HAM adalah hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh karena itu, wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang.4 Ini menunjukkan bahwa Indonesia secara sadar dan legal berupaya mempartikularisasi HAM universal, bukan untuk menolaknya, melainkan untuk menafsirkannya melalui lensa filosofisnya sendiri. Namun, pendekatan ini menimbulkan pertanyaan krusial mengenai sejauh mana adaptasi ini kompatibel dengan prinsip-prinsip HAM yang tak terpisahkan dan universal, serta apakah ada risiko menciptakan pembenaran untuk pembatasan yang mungkin dianggap bermasalah dari perspektif universal.
Meskipun artikel Sahudin Krishna membingkai HAM Pancasila sebagai solusi yang dinamis dan adaptif, terdapat konteks historis yang penting untuk dipertimbangkan. Selama rezim Orde Baru, Pancasila mengalami "pembonsaian" atau pembatasan, di mana ia menjadi ideologi yang "tertutup" dengan interpretasi yang dimonopoli oleh negara.2 Sejarah ini memperingatkan bahwa interpretasi yang kaku dapat menyebabkan Pancasila menjadi "mati" dan "terputus dengan dinamika realitas." Jika interpretasi HAM Pancasila kembali menjadi terlalu kaku atau dimonopoli, hal itu berisiko mengulangi masalah di masa lalu, di mana kekuasaan negara, atas nama Pancasila, membatasi hak-hak fundamental, terutama bagi kelompok minoritas. Hal ini menciptakan ketegangan yang melekat: apakah "jalan tengah" ini benar-benar dinamis dan terbuka terhadap interpretasi dan kritik yang berkembang, ataukah ia membawa risiko menjadi interpretasi "tertutup" lain yang, dalam praktiknya, dapat membatasi hak-hak.
Laporan ini akan menganalisis secara komprehensif HAM Pancasila, membahas kerangka konseptualnya, tantangan implementasinya, dan jalur strategis untuk peningkatannya. Argumen sentralnya adalah bahwa HAM Pancasila merepresentasikan "jalan tengah" yang berupaya mendamaikan universalitas prinsip-prinsip hak asasi manusia dengan kekhasan nilai-nilai Indonesia, sehingga menekankan keseimbangan krusial antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Pendekatan ini disajikan sebagai proses dinamis yang terus beradaptasi dengan perkembangan masyarakat internal dan tekanan global eksternal.
II. Kerangka Konseptual: HAM Pancasila sebagai "Jalan Tengah"
HAM Pancasila secara fundamental dibedakan dari diskursus hak asasi manusia arus utama karena landasannya yang eksplisit dalam lima prinsip Pancasila. Berbeda dengan hak asasi manusia liberal yang seringkali memprioritaskan otonomi individu sebagai pendorong utama hak, HAM Pancasila memandang hak asasi manusia sebagai anugerah ilahi yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.1 Konsep ini secara inheren menyeimbangkan hak dengan kewajiban komunal dan harmoni sosial. Secara sederhana, HAM Pancasila adalah HAM yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai religius atau ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.1
Perbedaan filosofis inti antara HAM Pancasila dan HAM liberal terletak pada penekanan HAM Pancasila pada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam demokrasi liberal, HAM seringkali dimaknai sebagai kebebasan individu yang tidak boleh diganggu. Namun, dalam Demokrasi Pancasila, hak selalu diimbangi dengan kewajiban [User Query]. Pendekatan Indonesia ini menegaskan bahwa hak tidak bersifat absolut, melainkan secara inheren terkait dengan tugas dan tanggung jawab terhadap individu lain dan masyarakat secara keseluruhan.5 Prinsip kesetaraan, keseimbangan hak dan kewajiban, kebebasan yang bertanggung jawab, dan perwujudan keadilan bagi seluruh rakyat merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap HAM dalam konsep demokrasi Pancasila.7 Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.8 Pembatasan ini bertujuan untuk menjamin penghormatan dan pengakuan atas hak-hak orang lain serta keleluasaan masyarakat untuk memenuhi tuntutan yang sah berdasarkan moralitas, keyakinan agama, keselamatan, dan kesejahteraan umum.9
Konsep "Kebebasan yang Beradab" adalah inti dari HAM Pancasila. Konsep ini melampaui gagasan kebebasan yang murni individualistik menuju kebebasan yang dilaksanakan dengan kesopanan dan penghormatan terhadap norma-norma sosial, agama, dan budaya yang berlaku. Kebebasan tidak berarti bebas dari norma sosial, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab [User Query]. Sebuah ilustrasi nyata dari konsep ini adalah bahwa kebebasan beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi positif, yang berarti tidak ada tempat bagi ateisme.10 Hal ini merupakan perbedaan yang mencolok dari beberapa interpretasi liberal yang umumnya mencakup kebebasan
dari agama atau hak untuk tidak memiliki kepercayaan. Meskipun UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak fundamental 11, interpretasi spesifik ini menunjukkan bahwa hak fundamental tersebut dipahami dan diterapkan dalam kerangka yang diinformasikan oleh budaya dan agama.
Paradoks yang muncul dari konsep "kebebasan yang beradab" dan potensinya untuk melemahkan universalisme HAM sangatlah signifikan. Meskipun Pasal 28J UUD 1945 menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta membenarkan pembatasan hak demi ketertiban sosial dan nilai-nilai masyarakat, pernyataan eksplisit bahwa "tidak ada tempat bagi ateisme" 10 merupakan pembatasan substansial terhadap hak universal atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 12). Hak ini secara universal mencakup kebebasan untuk tidak percaya atau mengubah kepercayaan. Hal ini menunjukkan sebuah paradoks yang melekat: konsep yang dirancang untuk membuat HAM "beradab" dan "membumi" juga mengandung pembenaran hukum dan filosofis untuk membatasi kebebasan tertentu dengan cara yang mungkin bertentangan dengan standar internasional, terutama bagi keyakinan atau ekspresi non-arus utama. Ketegangan antara "adaptasi" dan "pembatasan" ini sangat penting, karena menunjukkan bahwa "jalan tengah" dapat, dalam praktiknya, cenderung membatasi ketika dihadapkan pada interpretasi ajaran inti Pancasila.
Negara Indonesia, dalam kerangka Pancasila, memiliki peran ganda yang berpotensi saling bertentangan dalam melindungi dan membatasi hak. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan melindungi HAM.4 Namun, Pasal 28J secara eksplisit memberikan negara wewenang untuk membatasi hak melalui undang-undang guna memastikan penghormatan terhadap hak orang lain dan ketertiban umum.8 Selain itu, interpretasi resmi negara terhadap Pancasila, seperti pengecualian ateisme 10, dapat mengarah pada pembatasan spesifik terhadap apa yang dianggap sebagai pelaksanaan kebebasan yang sah. Peran ganda ini menciptakan dinamika yang kompleks di mana tindakan negara, meskipun dibingkai sebagai penegakan Pancasila dan harmoni sosial, dapat menjadi sumber pelanggaran hak jika keseimbangan tidak dijaga dengan cermat.
Interpretasi HAM di bawah Pancasila bersifat dinamis dan rentan. Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, mengabadikan Pancasila sebagai dasar negara dan secara implisit melindungi hak asasi manusia.3 Pasal 28J secara eksplisit merinci pembatasan. Namun, sejarah menunjukkan "pembonsaian Pancasila" oleh Orde Baru, di mana interpretasinya dimonopoli.2 Preseden historis ini menunjukkan bahwa meskipun Pancasila menyediakan kerangka kerja untuk HAM, interpretasi aktual prinsip-prinsipnya, terutama oleh aktor negara dan kelompok masyarakat yang berpengaruh, secara signifikan membentuk ruang lingkup praktis dan pembatasan HAM. Hal ini menunjukkan bahwa teks konstitusi saja tidak cukup untuk menjamin perlindungan HAM yang kuat; interpretasi politik, sosial, dan ideologis Pancasila yang berlaku pada waktu tertentu sangat penting dalam menentukan bagaimana HAM dipahami, diterapkan, dan berpotensi dibatasi. Ini menyoroti sifat HAM yang cair dan rentan terhadap pengaruh politik dan narasi masyarakat yang dominan, yang dapat menggeser keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam praktiknya.
Perbandingan antara HAM Pancasila dan standar HAM universal seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menunjukkan bahwa pendekatan Indonesia umumnya disajikan bukan sebagai penolakan, melainkan sebagai adaptasi terhadap konteks nasionalnya yang unik. Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) mengakui bahwa "signifikansi kekhasan nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama harus diperhatikan, adalah tugas Negara... untuk mempromosikan dan melindungi semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental".1 Instrumen hukum internasional ini memberikan dasar bagi kontekstualisasi, yang secara aktif dimanfaatkan Indonesia untuk membenarkan pendekatan berbasis Pancasila.
Meskipun demikian, terdapat perbedaan nyata dalam definisi HAM, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM, hingga lembaga penyelesaian pelanggaran HAM baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional di Indonesia.13 Upaya untuk menjembatani kesenjangan ini terus berlanjut, dengan Mahkamah Konstitusi (MKRI) didorong untuk mempertimbangkan standar HAM internasional dalam menguji konstitusionalitas undang-undang.14 DUHAM 12 menguraikan hak-hak universal tanpa menyebutkan secara eksplisit kewajiban atau batasan budaya, berfungsi sebagai tolok ukur perbandingan. Perbandingan dengan Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam (CDHR) menunjukkan bagaimana kerangka keagamaan, mirip dengan sila pertama Pancasila, dapat memperkenalkan interpretasi yang berbeda tentang universalitas dan cakupan hak, seperti mengaitkan martabat dan hak asasi manusia dengan "subordinasi kepada Allah" dan "kesalehan dan perbuatan baik," serta melarang pengambilan nyawa "kecuali karena alasan yang ditentukan syariah".15
Tabel berikut menyajikan perbandingan antara HAM Pancasila dan HAM Liberal untuk mengilustrasikan perbedaan konseptual inti:
Tabel 1: Perbandingan HAM Pancasila vs. HAM Liberal
Kriteria | HAM Pancasila | HAM Liberal |
Dasar Filosofis | Berakar pada lima prinsip Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan).1 | Berakar pada filosofi Pencerahan, hak-hak kodrati, otonomi individu, kontrak sosial.12 |
Penekanan Utama | Keseimbangan hak dan kewajiban, harmoni sosial, kebaikan kolektif.5 | Kebebasan individu, otonomi, dan penentuan nasib sendiri.12 |
Konsep Kebebasan | "Kebebasan yang Beradab" (kebebasan yang dilaksanakan dengan tanggung jawab sosial, menghormati norma agama dan budaya).10 | Kebebasan yang sebagian besar tidak terbatas kecuali secara langsung merugikan orang lain.12 |
Peran Kewajiban | Kewajiban bersifat inheren dan menyeimbangkan hak.5 | Kewajiban seringkali sekunder atau berasal dari kontrak sosial dan tugas sipil.12 |
Sumber Hak | Hak sebagai anugerah ilahi (anugerah Tuhan Yang Maha Esa).1 | Hak sebagai inheren pada pribadi manusia (seringkali sekuler).12 |
Hubungan dengan Agama | Peran integral norma agama (misalnya, tidak ada ateisme).10 | Penekanan pada pemisahan gereja dan negara.12 |
Cakupan Pembatasan | Hak dibatasi oleh undang-undang untuk menjamin penghormatan terhadap hak orang lain, moralitas, keyakinan agama, keselamatan, dan kesejahteraan umum.9 | Pembatasan terutama untuk keselamatan publik, ketertiban, kesehatan, moral, atau hak dan kebebasan orang lain, tunduk pada uji proporsionalitas yang ketat.12 |
III. Dasar Hukum dan Konstitusional HAM Pancasila
Pasal 28J UUD 1945 merupakan landasan pendekatan Pancasila terhadap hak asasi manusia dalam kerangka hukum Indonesia. Pasal ini secara eksplisit mengatur bahwa pelaksanaan hak asasi manusia harus menghormati hak orang lain dan tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.8 Hal ini secara langsung mencerminkan prinsip "keseimbangan" inti dari HAM Pancasila. Interpretasi konstitusional yang penting dari pasal ini menyatakan bahwa semua hak dapat dibatasi oleh hukum untuk menjamin penghormatan dan pengakuan atas apa yang harus diterima dan keleluasaan masyarakat untuk memenuhi tuntutan yang sah berdasarkan moralitas, keyakinan agama, keselamatan, dan kesejahteraan umum.9 Ruang lingkup pembatasan yang luas ini, yang mencakup moralitas, keyakinan agama, keselamatan publik, dan kesejahteraan umum, merupakan karakteristik yang menentukan dari HAM Pancasila.
Pasal 28J juga menegaskan bahwa HAM adalah "anugerah Tuhan Yang Maha Esa" dan melekat pada manusia sejak awal, bukan karena dikodifikasikan dalam undang-undang.9 Hal ini menyiratkan bahwa negara tidak diizinkan untuk membatasi HAM tanpa izin dari masyarakat melalui perwakilan mereka. Pasal 28J (1) dan (2) juga merinci kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dan tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.5 Selain itu, UUD 1945 juga memuat hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dalam Pasal 28I ayat (1), seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.5 Ini adalah detail penting karena mengidentifikasi seperangkat inti hak yang, menurut Konstitusi,
tidak dapat dibatasi, bahkan dalam kerangka Pancasila.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah instrumen hukum utama untuk perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, yang dirancang untuk mengoperasionalkan mandat konstitusional UUD 1945. Undang-undang ini mendefinisikan HAM sebagai "hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa," yang secara langsung selaras dengan sila pertama Pancasila.4 Undang-undang ini juga mewajibkan negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan melindungi HAM.4 UU ini merinci "Kewajiban Dasar Manusia (KDM)" dalam 11 bab dan 106 pasal, yang konsisten dengan penekanan Pancasila pada keseimbangan hak dan kewajiban.3 Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk pelanggaran berat juga diatur dalam undang-undang ini, menunjukkan adanya mekanisme hukum untuk akuntabilitas.3 UU No. 39 Tahun 1999, bersama dengan Pasal 28E dan 29 (2) UUD 1945, menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, secara eksplisit menyatakan bahwa hak ini "tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable)".17
Namun, terdapat paradoks yang signifikan antara hak-hak yang tidak dapat dikurangi dan pengecualian ideologis. Meskipun UU No. 39 Tahun 1999 secara eksplisit menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tidak dapat dikurangi 17, pernyataan bahwa "tidak ada tempat bagi ateisme" dalam konsep kebebasan beragama Pancasila 10 menciptakan kontradiksi langsung dalam kerangka HAM Indonesia. Jika kebebasan berkeyakinan benar-benar tidak dapat dikurangi, bagaimana mungkin kepercayaan tertentu (atau ketiadaan kepercayaan) secara eksplisit dikecualikan? Hal ini menunjukkan ketegangan hukum dan filosofis yang mendasar: meskipun teks hukum (UUD 1945, UU HAM) bertujuan untuk selaras dengan prinsip-prinsip non-derogable internasional, interpretasi dan penerapan Pancasila yang dominan, khususnya sila pertama, dapat menciptakan pembatasan
de facto terhadap apa yang dianggap sebagai keyakinan yang "sah" atau dilindungi. Hal ini secara efektif mengurangi hak yang tampaknya tidak dapat dikurangi bagi kelompok-kelompok tertentu, terutama mereka yang tidak menganut agama yang diakui, dan merupakan titik kritis untuk memahami tantangan yang dihadapi oleh minoritas agama di Indonesia.
Peran negara dalam melindungi dan mempromosikan HAM dalam kerangka Pancasila sangatlah penting. Indonesia adalah "negara hukum" (Rechstaat), bukan "negara kekuasaan" (machtsstaat), yang menyiratkan sistem yang diatur oleh hukum daripada kekuasaan sewenang-wenang.3 Pemerintah tidak boleh bersifat pasif, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan mengatur kehidupan ekonomi dan sosial.3 Kewajiban negara ini mencakup tiga aspek: "Menghormati" (tidak campur tangan dalam pelaksanaan hak), "Melindungi" (bertindak aktif mencegah pelanggaran oleh pihak ketiga), dan "Memenuhi" (bertindak aktif agar hak-hak warga negara terpenuhi).18 Contoh dari kewajiban untuk menghormati adalah "Tidak turut campur untuk mengatur praktik pelaksanaan agama tertentu (hak kebebasan untuk memilih keyakinan dan agama)" 18, yang kembali menunjukkan ketegangan dengan posisi "tidak ada ateisme".10
Meskipun terdapat dasar hukum dan konstitusional yang kuat untuk negara hukum yang berkomitmen pada hak asasi manusia, terdapat kesenjangan substansial antara kerangka de jure dan implementasi de facto. Meskipun Indonesia mengklaim sebagai negara hukum yang aktif dalam mempromosikan kesejahteraan 3, tantangan seperti "kriminalisasi atas nama agama dan budaya" dan "diskriminasi sistemik" masih banyak terjadi [User Query]. Selain itu, penegakan hukum yang lemah, pendekatan represif terhadap keamanan, dan ketidakpastian hukum diidentifikasi sebagai hambatan signifikan bagi implementasi HAM, terlepas dari kerangka hukum yang mendukung.19 Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya kurangnya dasar hukum, melainkan masalah sistemik yang berkaitan dengan penegakan, kemauan politik, dan potensi interpretasi Pancasila yang digunakan untuk membenarkan pembatasan atau kelambanan. Kondisi ini merusak cita-cita negara yang benar-benar adil dan terikat hukum.
Pasal 28J, meskipun merupakan perwujudan konstitusional dari keseimbangan antara hak dan kewajiban dan dasar bagi "kebebasan yang beradab," juga berfungsi sebagai pedang bermata dua untuk perlindungan hak asasi manusia. Pasal ini memungkinkan pembatasan hak demi memastikan pelaksanaan hak yang bertanggung jawab dan mencegah pelanggaran hak orang lain.8 Namun, cakupan pembatasan yang luas—meliputi "moralitas, keyakinan agama, keselamatan dan kesejahteraan umum" 9—dapat, dan seringkali, digunakan untuk membenarkan pembatasan hak yang mungkin dianggap berlebihan atau sewenang-wenang menurut standar internasional. Pasal 28J, meskipun mendasari karakter unik HAM Pancasila, juga berfungsi sebagai "katup pengaman" hukum yang dapat digunakan untuk melegitimasi tindakan yang membatasi kebebasan individu atas nama kebaikan kolektif, norma agama atau budaya, atau ketertiban umum. Hal ini menyoroti sifat bermata dua dari ketentuan konstitusional ini: ia adalah mekanisme untuk menyeimbangkan hak sekaligus potensi dasar hukum untuk pembatasan yang tidak semestinya, sehingga interpretasi dan penerapannya sangat penting bagi kondisi HAM yang sebenarnya di Indonesia.
IV. Tantangan dalam Implementasi HAM Pancasila
Implementasi HAM Pancasila dihadapkan pada berbagai tantangan nyata di lapangan, yang seringkali berakar pada dinamika sosial, politik, dan budaya yang kompleks. Tantangan-tantangan ini menghambat terwujudnya keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial yang diamanatkan oleh Pancasila.
A. Politik Identitas dan Kriminalisasi
Salah satu tantangan utama adalah politik identitas, yang seringkali berujung pada kriminalisasi atas nama agama dan budaya [User Query]. Isu ini termanifestasi dalam penuntutan hukum atau tekanan sosial terhadap individu yang dianggap melanggar norma agama atau budaya. Kasus-kasus penistaan agama yang menonjol, seperti yang melibatkan mantan Gubernur Jakarta Ahok (2016), Sukmawati Soekarnoputri (2019), Rizieq Shihab (2020), Permadi Arya (2021), Ade Armando (2015), dan Roy Suryo (2022), secara jelas menunjukkan bagaimana undang-undang terkait penodaan agama digunakan untuk mengkriminalisasi individu atas dugaan penghinaan terhadap sentimen keagamaan.21
Selain itu, terdapat insiden kekerasan dan kriminalisasi yang terjadi "atas nama agama," termasuk serangan berulang dan pengusiran paksa terhadap penganut Ahmadiyah di NTB pada tahun 2001, protes terhadap dialog antaragama, dan penangkapan Lia Aminuddin dari Komunitas Eden atas tuduhan penodaan agama.22 Kasus Muhamad Yusman Roy, yang dipenjara karena memimpin salat dalam bahasa Indonesia, juga menyoroti interpretasi kaku terhadap praktik keagamaan.22 Kejadian-kejadian ini menunjukkan sifat intervensi negara dalam masalah keyakinan dan praktik keagamaan.
Politik identitas juga dapat dimanipulasi untuk memicu konflik dan polarisasi sosial. Identitas seringkali dipolitisasi melalui interpretasi yang ekstrem, terutama di kalangan generasi milenial melalui media sosial, yang mengarah pada polarisasi dan dikotomi oposisi.23 Hal ini menciptakan kerentanan masyarakat terhadap perpecahan berbasis identitas, yang kemudian dapat memicu kriminalisasi dan pelanggaran HAM.
B. Diskriminasi Sistemik
Diskriminasi sistemik merupakan masalah struktural yang lebih dalam, di mana kelompok-kelompok seperti penghayat kepercayaan dan minoritas seksual seringkali tidak mendapatkan akses yang setara terhadap pelayanan publik [User Query]. Diskriminasi ini bukan sekadar tindakan individu, melainkan tertanam dalam institusi dan kebijakan. Diskriminasi sistemik didefinisikan sebagai diskriminasi institusional atau struktural, yang mempengaruhi korban pelanggaran HAM masa lalu, perempuan dan anak-anak, masyarakat adat, minoritas agama, dan penyandang disabilitas.24 Tiga penyebab utama diskriminasi sistemik adalah historisitas dan budaya yang terus-menerus direproduksi, kebijakan diskriminatif, dan struktur kekuasaan yang timpang.24
Konsep interseksionalitas relevan untuk memahami diskriminasi berlapis yang dihadapi oleh individu dengan berbagai identitas minoritas, seperti ras, gender, keyakinan, disabilitas, dan etnis.25 Konstruksi sosial dapat menyebabkan eksklusi sosial, sehingga individu dengan identitas minoritas kesulitan mengakses hak-hak dasar mereka.25 Penghayat kepercayaan, khususnya, sangat rentan terhadap diskriminasi, termasuk pelarangan ibadah dan kesulitan mengakses pendidikan.26 Kasus perusakan Wale Paliusan milik penghayat Laroma dan penyebaran stigma "sesat" oleh oknum rohaniwan menunjukkan kesenjangan antara pengakuan hukum dan perlindungan praktis.27 Meskipun keberadaan penghayat Laroma dijamin oleh Konstitusi dan terdaftar secara resmi, mereka menghadapi intoleransi dan diskriminasi yang parah.27
Komnas HAM telah berupaya mengatasi masalah ini, bekerja sama dengan organisasi seperti Kemitraan sejak 2015 untuk melindungi kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda dan memasukkan isu-isu masyarakat adat serta konflik agraria dalam laporan tahunannya.28 Namun, laporan dari Setara Institute menunjukkan peningkatan intoleransi dan diskriminasi minoritas pada awal tahun 2023, dengan kekhawatiran bahwa negara memberikan kesan melindungi pelaku.29
Terdapat kontradiksi yang mencolok antara jaminan konstitusional dan realitas hidup kelompok minoritas. Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak untuk beribadah dan berserikat, dan penghayat kepercayaan seperti Laroma secara sah diakui dan terdaftar.27 Namun, insiden kekerasan seperti perusakan tempat ibadah mereka dan stigmatisasi yang terus-menerus menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara jaminan hukum
de jure dan realitas de facto yang dialami oleh kelompok minoritas di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kerangka hukum, meskipun tampak kuat di atas kertas dan menegaskan hak-hak yang tidak dapat dikurangi, menjadi tidak memadai tanpa mekanisme penegakan yang efektif, kemauan politik yang kuat, dan perubahan budaya mendasar menjauh dari intoleransi. Hal ini mengungkapkan kegagalan kritis negara dalam memenuhi "kewajiban untuk melindungi" dan "kewajiban untuk memenuhi" 18 bagi populasi rentan ini, yang menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada kurangnya undang-undang, melainkan pada kegagalan dalam penerapan yang konsisten dan adil.
C. Dampak Globalisasi
Globalisasi juga menimbulkan tantangan sosio-kultural yang signifikan, yaitu melemahnya nilai-nilai tradisional seperti gotong royong akibat meningkatnya individualisme [User Query]. Gotong royong, yang merupakan karakter melekat pada masyarakat Indonesia dan inti kohesi sosial, kini mulai memudar.30
Beberapa penyebab utama memudarnya gotong royong meliputi: (1) kesibukan pekerjaan yang membuat individu merasa kontribusi finansial dapat menggantikan kehadiran fisik dalam kegiatan komunitas; (2) rasa malas yang meluas; (3) kurangnya sosialisasi dan meningkatnya egoisme, yang menumbuhkan sikap acuh tak acuh terhadap kegiatan komunitas; (4) kesalahpahaman atau ketergantungan berlebihan pada bantuan pemerintah, yang mengurangi inisiatif swadaya; dan (5) kecemburuan sosial akibat distribusi bantuan yang tidak adil.31 Fenomena ini secara eksplisit dikaitkan dengan adopsi "sikap kebarat-baratan" oleh banyak orang, menghubungkan individualisme secara langsung dengan pengaruh global.31
Paradoks yang mendalam muncul dari dampak globalisasi ini: sementara globalisasi sering dikaitkan dengan penyebaran cita-cita HAM universal, ia secara bersamaan berkontribusi pada erosi kohesi sosial (gotong royong) yang ingin dimanfaatkan oleh HAM Pancasila sebagai kekuatan unik dan fondasi bagi pendekatan yang seimbang terhadap hak dan tanggung jawab. Hal ini menciptakan ketegangan internal yang signifikan bagi Indonesia: bagaimana ia dapat secara efektif mempromosikan model HAM yang berpusat pada komunitas ketika nilai-nilai komunal yang mendasarinya, yang seharusnya memberikan kekhasan dan kekuatannya, dilemahkan oleh tren global ini? Hal ini menyiratkan bahwa mengatasi dampak globalisasi terhadap nilai-nilai sosial tradisional bukan hanya masalah budaya, tetapi tantangan mendasar terhadap kelangsungan filosofis dan praktis HAM Pancasila itu sendiri.
D. Hambatan Implementasi yang Lebih Luas
Di luar jenis pelanggaran spesifik, masalah sistemik dalam tata kelola dan ranah masyarakat menghambat implementasi HAM secara keseluruhan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pelanggaran HAM meliputi faktor internal (seperti egoisme, rendahnya kesadaran HAM, dan intoleransi) dan faktor eksternal (termasuk penyalahgunaan kekuasaan, ketidaktegasan aparat penegak hukum, penyalahgunaan teknologi, dan kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi).32
Implementasi nilai-nilai Pancasila yang melemah, menurut beberapa pihak, terjadi di kalangan pemimpin atau pejabat, dan sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah.2 Hal ini menunjukkan masalah kritis terkait komitmen politik dan kepemimpinan sebagai penentu kemajuan HAM. Tantangan sistemik utama dalam implementasi hukum HAM meliputi pendekatan represif terhadap keamanan, kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang HAM, serta ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum HAM.19
Tabel berikut merangkum tantangan-tantangan utama dalam implementasi HAM Pancasila dengan contoh-contoh spesifik:
Tabel 2: Tantangan Utama dalam Implementasi HAM Pancasila dengan Contoh
Kategori Tantangan | Deskripsi | Contoh/Bukti Spesifik |
Politik Identitas & Kriminalisasi | Pemanfaatan identitas (terutama agama/budaya) untuk memicu konflik dan membenarkan penuntutan hukum atau tekanan sosial. | Kasus penistaan agama (Ahok, Sukmawati, Rizieq Shihab, Permadi Arya, Ade Armando, Roy Suryo).21 Serangan dan pengusiran terhadap Ahmadiyah; penangkapan Lia Aminuddin; hukuman bagi Muhamad Yusman Roy.22 Polarisasi identitas melalui media sosial.23 |
Diskriminasi Sistemik | Diskriminasi yang tertanam dalam institusi dan kebijakan, menghambat akses kelompok minoritas terhadap hak-hak dasar dan layanan publik. | Diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan (pelarangan ibadah, kesulitan akses pendidikan).26 Perusakan Wale Paliusan penghayat Laroma dan penyebaran stigma "sesat" oleh oknum rohaniwan.27 Diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual.24 |
Dampak Globalisasi | Erosi nilai-nilai tradisional seperti gotong royong akibat meningkatnya individualisme dan pengaruh budaya asing. | Memudarnya gotong royong karena kesibukan, rasa malas, kurang sosialisasi, ketergantungan bantuan, dan kecemburuan sosial.30 Adopsi "sikap kebarat-baratan".31 |
Hambatan Implementasi yang Lebih Luas | Masalah struktural dan kelembagaan yang menghambat penegakan HAM secara efektif. | Penegakan hukum yang lemah, pendekatan represif terhadap keamanan, kurangnya pemahaman publik tentang HAM, dan ketidakpastian hukum.19 Kesenjangan antara jaminan konstitusional dan realitas hidup minoritas.27 Lemahnya kemauan politik dan implementasi nilai Pancasila di kalangan pejabat.2 |
Siklus politisasi identitas, stigmatisasi, dan diskriminasi sistemik merupakan masalah yang saling memperkuat. Politisasi identitas, seringkali berdasarkan garis agama atau budaya, mengarah pada stigmatisasi dan dehumanisasi kelompok minoritas.23 Stigmatisasi ini, yang berakar kuat dalam narasi sejarah dan budaya, kemudian diabadikan dan direproduksi melalui kebijakan dan praktik diskriminatif (diskriminasi sistemik), yang pada gilirannya membatasi akses kelompok-kelompok ini terhadap layanan publik dan hak-hak fundamental.24 Siklus ini diperparah oleh penegakan hukum yang lemah dan kurangnya kemauan politik untuk melindungi minoritas ini.19 Keterkaitan yang kompleks ini menunjukkan bahwa tantangan-tantangan tersebut bukan hanya insiden yang terisolasi, melainkan masalah yang sangat struktural dan budaya.
V. Jalur Strategis untuk Peningkatan Implementasi
Untuk mengatasi tantangan dalam implementasi HAM Pancasila, diperlukan strategi yang komprehensif dan multidimensional, mencakup reformasi legislatif, pendidikan, dan penguatan peran masyarakat sipil.
A. Reformasi Legislatif
Langkah legislatif yang krusial adalah merevisi Undang-Undang HAM untuk memasukkan klausul etika sosial dan religio-kultural sebagai pagar moral dalam pelaksanaan HAM, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar universal [User Query]. Revisi UU HAM memang telah direncanakan, dengan fokus pada restitusi dan rehabilitasi korban pelanggaran HAM masa lalu, serta program-program remedial.33 UU HAM yang ada saat ini dianggap tidak lagi mengakomodasi perkembangan zaman, sehingga diperlukan pembaruan.33 Meskipun revisi yang direncanakan belum secara eksplisit menyebutkan "etika sosial dan religio-kultural," hal ini membuka peluang untuk mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 telah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi, dan Pasal 28J UUD 1945 serta Pasal 18(3) ICCPR memungkinkan pembatasan demi keselamatan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral.17 Tantangan bagi reformasi legislatif adalah bagaimana secara efektif memasukkan "etika sosial dan religio-kultural" tanpa menciptakan pembatasan yang terlalu luas atau ambigu yang dapat disalahgunakan atau merusak sifat hak-hak yang tidak dapat dikurangi. Komnas HAM secara aktif terlibat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Legislasi (Baleg) untuk memberikan rekomendasi mengenai undang-undang baru dan revisi, termasuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).34 Hal ini menunjukkan adanya dialog yang berkelanjutan dan jalur penting bagi Komnas HAM untuk mengadvokasi integrasi prinsip-prinsip HAM yang kuat dalam proses legislasi. Rekomendasi Komnas HAM yang lebih luas untuk memperkuat implementasi HAM juga mencakup peningkatan sinergi dengan pemerintah pusat dan daerah, penguatan kapasitas kelembagaan, advokasi peningkatan anggaran, dan pemanfaatan teknologi informasi untuk pemantauan.35
B. Pendidikan HAM Kontekstual
Pergeseran pedagogis diperlukan untuk mengembangkan modul pendidikan HAM berbasis kasus lokal, seperti konflik Kendeng atau diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan, guna mengajarkan nilai-nilai HAM dalam konteks Indonesia [User Query]. Pendekatan ini bertujuan untuk membuat HAM lebih relevan, nyata, dan dapat ditindaklanjuti bagi siswa Indonesia dengan menghubungkan prinsip-prinsip abstrak dengan masalah lokal di dunia nyata.
Model pembelajaran kontekstual berbasis kearifan lokal dapat memperkuat pendidikan karakter, dengan pendidikan karakter diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).36 Pembelajaran kontekstual dapat menumbuhkan kemandirian dalam mengidentifikasi nilai-nilai dari keluarga dan masyarakat, serta menanamkan nilai-nilai karakter melalui pembiasaan dalam kegiatan komunitas seperti
gotong royong.36 Pancasila dan PKn merupakan mata pelajaran nasional wajib di pendidikan tinggi Indonesia, yang bertujuan untuk menumbuhkan karakter nasional dan patriotisme.37 Terdapat advokasi kuat untuk meningkatkan dan memperkuat "paradigma literasi hak asasi manusia" dalam kurikulum PKn untuk membangun kewarganegaraan yang demokratis.37
Meskipun pendidikan HAM telah terintegrasi dalam kurikulum PKn di sekolah dasar, implementasinya masih menghadapi tantangan seperti keterbatasan pelatihan guru, pengembangan materi ajar kontekstual, dan penerapan metode pembelajaran partisipatif.38 Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang HAM juga diidentifikasi sebagai hambatan utama dalam implementasi HAM, dengan peningkatan pendidikan HAM sebagai solusi krusial.19
C. Penguatan Masyarakat Sipil dan Pemantauan Berbasis Komunitas
Pendekatan dari bawah ke atas diperlukan untuk memperluas sistem pemantauan HAM berbasis komunitas yang melibatkan tokoh adat, agama, dan pemuda lokal [User Query]. Hal ini menekankan kepemilikan lokal, partisipasi, dan akuntabilitas dalam perlindungan HAM. Masyarakat sipil memainkan peran vital dalam memperkuat demokrasi, memfasilitasi rekonsiliasi sosial melalui dialog lintas-sektoral dan program pendidikan masyarakat, serta mempromosikan toleransi.39 Kemajuan teknologi dan media sosial menawarkan peluang baru untuk partisipasi publik yang lebih luas.39 Penting untuk mempertimbangkan konteks lokal dan dinamika antar-kelompok dalam merancang strategi keterlibatan masyarakat sipil yang efektif.39
Organisasi masyarakat sipil (LSM, komunitas lokal, media independen) berfungsi sebagai "suara alternatif" dan pilar penting dalam memastikan akuntabilitas dan transparansi pemerintah.40 Mereka terlibat dalam kampanye pendidikan publik, meskipun menghadapi tantangan seperti tekanan politik dan dukungan publik yang terbatas.40 Peluang untuk kemitraan strategis dengan pemerintah dan sektor swasta dapat memperkuat advokasi mereka.40
VI. Kesimpulan
HAM Pancasila merepresentasikan upaya Indonesia untuk menavigasi kompleksitas hak asasi manusia universal dengan tetap berakar pada nilai-nilai filosofis, religius, dan budaya bangsanya. Konsep "jalan tengah" ini bertujuan untuk menyeimbangkan kebebasan individu dengan tanggung jawab sosial, yang diwujudkan dalam "kebebasan yang beradab" yang terikat oleh norma-norma masyarakat, agama, dan hukum. Konstitusi, khususnya Pasal 28J UUD 1945, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, memberikan kerangka hukum yang kuat untuk pendekatan ini, menekankan keseimbangan hak dan kewajiban serta mengakui hak-hak yang tidak dapat dikurangi.
Namun, laporan ini menemukan adanya kesenjangan yang signifikan antara idealisme konseptual dan realitas implementasi. Tantangan seperti politisasi identitas yang mengarah pada kriminalisasi, diskriminasi sistemik terhadap kelompok minoritas (termasuk penghayat kepercayaan dan minoritas seksual), dan erosi nilai gotong royong akibat globalisasi, menunjukkan bahwa kerangka hukum yang ada belum sepenuhnya mampu melindungi semua warga negara secara adil dan merata. Terdapat kontradiksi yang mencolok antara jaminan konstitusional atas hak-hak yang tidak dapat dikurangi, seperti kebebasan beragama, dengan interpretasi yang secara de facto mengecualikan kepercayaan tertentu atau membenarkan pembatasan yang berlebihan. Hal ini diperparah oleh penegakan hukum yang lemah, kurangnya kesadaran publik, dan kemauan politik yang belum konsisten dari para pemimpin dan pejabat.
Untuk memperkuat implementasi HAM Pancasila, diperlukan pendekatan multi-sektoral. Reformasi legislatif harus secara cermat mengintegrasikan etika sosial dan religio-kultural tanpa mengorbankan prinsip-prinsip universal, memastikan bahwa pembatasan hak tidak menjadi alat untuk diskriminasi. Pendidikan HAM kontekstual yang berbasis kasus lokal sangat penting untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam dan empati di kalangan generasi muda. Terakhir, penguatan masyarakat sipil dan sistem pemantauan berbasis komunitas akan memberdayakan masyarakat di tingkat akar rumput untuk mengadvokasi hak-hak mereka dan memastikan akuntabilitas negara. Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini secara proaktif dan konsisten, Indonesia tidak hanya dapat membangun sistem HAM yang kuat dan relevan secara lokal, tetapi juga menawarkan model alternatif yang berharga bagi dunia tentang bagaimana hak dan tanggung jawab dapat bersinergi untuk peradaban yang lebih adil dan bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda disini, bisa berupa: Pertanyaan, Saran, atau masukan/tanggapan.